Selasa, 30 Maret 2021

#30 Alasan yang Hilang

"Hidup adalah serangkaian perubahan alami dan spontan. Jangan melawan mereka - itu hanya menciptakan kesedihan. Biarkan kenyataan menjadi kenyataan. Biarkan segala sesuatu mengalir secara alami ke depan dengan cara apa pun yang mereka suka." - Lao Tzu (link)

Ya, belakangan ini saya sedang kembali menemukan alasan yang hilang tentang beberapa hal yang ingin saya capai. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk tetap menjaga semangat dan niat hati untuk terus bermimpi. Dan mungkinkah semangat itu akan roboh begitu saja saat ada orang yang mengatakan, "Kenapa harus Papua?" Lagi-lagi saya kehilangan alasan yang kuat mengapa harus Papua!

Entahlah, tapi pencarian tersebut mengingatkan saya pada sebuah acara di televisi saat saya masih SMP atau SMA. Saya lupa! Entah itu mungkin malah sewaktu kuliah. Saya tak ingat. Ada sebuah acara semacam jejak petualang atau pengenalan budaya Indonesia. Ya, saya tiba-tiba ingat itu. Hal yang masih sangat saya ingat adalah tentang Papua, kehidupan Mama-Mama Papua. Menanam ubi, berjalan jauh ke pasar untuk menjajakan sayuran. Bagaimana menghuni rumah dengan atap jerami dengan tungku di tengahnya. Sepertinya itu gambaran yang pernah terekam dalam memori saya mengenai Papua. 

Lalu, ditambah lagi saya sangat suka film Laskah Pelangi dan Alangkah Lucunya Negeri Ini saat saya kuliah. Sepertinya, gambaran tentang kehidupan daerah pedalaman menyisakan memori yang sungguh dalam di ingatan saya. Dan keinginan untuk mengunjungi dan tinggal di pedalaman pun tumbuh seiring waktu. Ah, apakah impian saya itu terlalu muluk-muluk? Entahlah....

Bahkan ketika ada pertanyaan yang muncul mengapa saya tak menjadi guru sekolah di Jakarta dan malah memilih menjadi pekerja lepas, saya selalu menjawab, saya tak ingin menghabiskan banyak waktu di jalan karena macetnya Jakarta, jika saya ingin menjadi guru sekolah, saya ingin menjadi guru di pedalaman. Dan itu impian yang hingga saat ini masih saya pupuk, masih saya perjuangkan.

Tahun ini menurut saya adalah waktu yang cocok untuk kembali memperjuangkan mimpi itu setelah 8 tahun mati suri. Kesempatan yang pas di saat semua yang dulu-dulu menjadi penghambat, di tahun ini pula sudah tuntas terselesaikan dengan baik. Jika memang tahun ini tahun baik untuk saya pergi dan mewujudkan impian saya itu, semoga Tuhan memberi rencana yang terbaik. Jika memang belum, saya mungkin perlu belajar lagi lebih banyak hingga saya siap untuk pergi sesuai rencana Tuhan.

Ahhh, terima kasih semesta sudah membawa saya sejauh ini!



Senin, 29 Maret 2021

#29 Mari Luruskan Niat!

Hari ini saya sungguh merasa sangat takut, takut kalau-kalau apa yang saya perjuangkan mendapat penolakan lagi. Entah, bisikan apa yang membuat saya sangat takut akan rencana manusia dan seolah saya melupakan rencana Tuhan yang jauh lebih indah. Ya, rasa ketakutan itu sungguh mematahkan semangat saya. Sepertinya, saya belum bisa 99%, lima puluh persen saja belum untuk bersikap semeleh. Masih tetap berspekulasi dan berasumsi tentang apa-apa yang belum saya tahu ke depannya. Ahhh, rencana Tuhan memang sangat misteri.

Hari ini pula hati terasa enggan bahagia, tak terasa hati pun menangis tanpa sebab yang jelas. Ya, rasanya pengen nangis aja, yang susah dideskripsikan rasanya. Setelah saya pikir-pikir lagi, ternyata saya menangis karena merasa down lagi. Antara ambisi dan realita saat ini. Hati kuat ingin ke Papua, tapi realita otak berpikir menimbang-nimbang lagi antara tetap stay di Jogja atau 'memaksakan diri' ke Papua. Tahap wawancara semi akhir beberapa saat yang lalu belum juga menampakkan hasil.

Sepertinya perlu saya luruskan lagi niat. Bahkan saat Fitri bertanya, mengapa kamu ingin ke Papua? Sa tak bisa jawab. Seperti ada missing part yang saya sulit jelaskan. Kalau sudah begitu, Fitri akan mengingatkan pada saya untuk kembali memperjelas alasan mengapa harus Papua, jika memang mau mengajar di daerah pedalaman, masih banyak kok daerah lain yang juga pedalaman, mengapa harus Papua?

Kemelut hati kembali bertambah saat Kuri Juni menanyakan, "Sudah baca-baca tentang Papua? Sudah pertimbangkan kira-kira orang-orang di sana butuh dirimu nggak? Atau apa yang bisa kamu lakukan untuk Papua? Jangan sampai semangat kamu saat ini membuatmu kecewa nanti!" Tamat sudah! Saya mencoba menggali lagi alasan saya selama ini. Hampir 8 tahun lho, saya tetap memegang mimpi itu walaupun sempat mati suri. Saya kembali mengingat alasan pertama saya mengapa memilih Papua? Mengapa memilih mengajar di pedalaman?

Ah, benar juga kata-kata mereka. Jika memang sudah waktunya ke Papua, semesta akan memberi jalan! Ya, seperti kata Kak Rosa, "Kalau ada rencana yang tidak tercapai saat ini, berarti ada hidden mission dari semesta untuk kita. Kita gak perlu ngoyo untuk kejar, tapi tetap dipupuk mimpinya dan pelan-pelan diupayakan. Believe it or not, universe will conspire to make your dream happen."

Semoga ada jalan.... Aamiin....

Minggu, 28 Maret 2021

#28 Terima Kasih!

Beberapa waktu yang lalu, Kak Rosa mengajak saya untuk terlibat Elege Inone, sebuah komunitas peduli pendidikan anak-anak Papua yang Kak Rosa dirikan bersama teman-temannya. Setelah bertemu Yesman dan Endi, saya memiliki kesempatan bertemu pula dengan Demite. Trio Kogoya ini sangat menginspirasi saya untuk bermimpi tentang Papua kembali.

Saya sangat senang saat Kak Rosa mengajak saya untuk ikut mengurus @magebaga IG @magebaga, salah satu brand Demite yang menjual barang-barang handmade seperti noken atau sulaman tangan Demite atau juga hasil desain Yesman. Tunggu produk-produk baru kami ya.... :)

Nah, kali ini ada 9 noken, 8 kiriman dari orang tua Demite untuk mendukung pendidikan Demite dan Yesman. Alhamdulillah, noken jualan kami habis. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membeli. :) Untuk kamu yang ketinggalan, tunggu info terbaru kami ya! Kamu juga bisa ikut membantu lho untuk pendidikan anak-anak Papua melalui @Elege Inone di link Elege Inone. Terima kasih :)


Catatan: Tulisan direvisi tanggal 11/4/2021



Sabtu, 27 Maret 2021

#27 Daun Dala - Mengenali Diri Sendiri Melalui Melukis di Tulang Daun

Daun Dala! Awalnya saya tertarik dengan namanya, bagus! Cerita yang baru saya tahu, Daun Dala adalah singkatan dari Daun Mandala. Bagus ya!

Nah, pertemuan saya dengan kak Prapti atau yang sering dipanggil kak Plap ini juga dari pertemanan Kak Rosa. Berasa banget dunia makin sempit lingkup pertemanan ini. Ya itu lagi itu lagi kalau kita bergerak di satu bidang. Seperti ada benang merah yang menghubungkan kami semua. Ya, seperti teman-teman saya di instagram ternyata ada mutualan sama kak Plap di bidang penguasaan diri dan pengenalan diri sendiri. Pas cerita-cerita, lah ternyata saya tahu beberapa kenalan Kak Plap dan saya ada ketertarikan di bidang yang kak Plap geluti. Hahaha, kadang itu membuat kami tertawa sambil berkata, lah ternyata kenal juga to? Iyak, segitu kocaknya hidup ini.

Di sesi bersama Daun Dala ini, saya belajar kembali menemukan diri sendiri. Ternyata apa yang dibilang kak Plap benar, sempat kak Plap bilang kalau dirinya akan berbeda saat mengisi sesi sama saat dirinya main bareng. Ya, kebetulan sempat ketemu sekali di tempat kak Rosa. Oh, bukan kebetulan ding, tapi itu memang jalan semesta tentang pertemuan kami. Tak ada yang kebetulan! Tambah lagi muatan positif dari jiwa-jiwa berenergi positif lagi dari Kak Plap dan Kak Rangga, plus teman baru Kak Mila, kawan satu kos Kak Juni.

Sebuah refleksi saya setelah mengikuti sesi Daun Dala. Kadang kita lupa membahagiakan diri sendiri dan lebih fokus untuk selalu membahagiakan orang lain. Kita juga lupa menghargai waktu dan energi untuk diri sendiri. Kadang pula saya pun masih memikirkan apa kata orang lain. Padahal yang bisa kita kontrol itu adalah respon kita terhadap orang lain. Kadang memori buruk selalu membayangi kita. Padahal sebenarnya kita punya banyak memori bahagia yang tersimpan dan itu yang membuat kita terus termotivasi. Dan satu hal yang membuat hidup bahagia, terencana tapi juga harus tetap fleksibel. Kenapa? Ketika kita saklek dengan rencana-rencana kita, ketika ada sesuatu yang terjadi tidak sesuai rencana mungkin itu akan menjadi penghambat kita untuk tetap menuju tujuan. Selain itu, terencana tapi tetap fleksibel ini artinya kita tetap menuju tujuan yang ingin kita dapatkan walaupun dalam prosesnya kita melalui jalan yang berbeda. Bisa jadi kita malah menemukan jalan baru yang tidak pernah kita rencanakan sebelumnya.

Lalu, pertemuan saya dengan Kak Plap juga mengajarkan kepada saya untuk kembali ke alam. Sejatinya seperti proses perendaman daun dengan menggunakan air biasa. Mungkin menggunakan zat kimia akan cepat proses perendaman, tapi ketika kita mengikuti saja proses alam, itu akan memberi banyak kesempatan untuk mengenali diri sendiri. Seperti contohnya, proses perendaman daun akan memakan waktu yang cukup lama jika kita menggunakan air biasa. Proses inilah yang akan melatih kesabaran diri. Selain itu, kita juga bisa menikmati prosesnya, kalau kata kak Plap, nikmati saja sesuai indera yang kita punya. Misalnya saja, indera pembau atau penciuman, nikmati saja bau tak sedap dari proses perendaman daun itu yang nantinya aroma itu akan sedikit demi sedikit pudar. Indera pendengaran, saat kita menyikat daun itu, kita akan lebih peka pada kapan kita harus berhenti, kapan kita harus terus menggosok daunnya agar daun tetap bagus dan tidak robek. Lalu indera penglihatan, daun hijau yang kita rendam beberapa waktu, kita akan amati selang beberapa waktu, warna hijaunya akan pudar dan berganti menjadi warna tulang daun yang transparan. Ini proses menarik menurut saya. Indera peraba, kita bisa merasakan bagian daun yang kasar dan daun yang halus, kapan kita menggunakan power maksimal atau sedang-sedang saja saat menyikat daun itu. Setiap daun kita tidak bisa melakukan atau memberi treatment yang sama karena karakteristik beda-beda. Begitu pula saat kita berteman atau bertemu dengan orang lain, tak semua orang bisa kita pukul rata kemampuan untuk merespon diri kita. Ya, kalau tidak mau patah atau rusak, ya kita harus tetap waras untuk berpikir dalam menanggapi respon orang lain. Ya, pada akhirnya walaupun kita sudah berhati-hati, tetap saja ada gesekan dengan orang lain. Tapi tergantung kita menyikapinya, mau tetap waraskah? Atau malah ikut berburuk sangka padahal alam pun sudah mengajarkan yang terbaik.

Ya, tak dipungkiri juga semakin kita dewasa semakin banyak sekali excuse dan pikiran yang ada di otak kita. Kita sibuk mencari alasan untuk tidak berani mengambil langkah atau mencoba sesuatu. Seperti di dalam pikiran kita itu gimana-gimana-gimana, gimana kalau gagal? Gimana kalau diomongin orang? Dan lain sebagainya. Sudah saatnya kita menandai hal-hal yang mengganggu dan tetap berpikir positif. Hal yang kita bisa kontrol adalah diri sendiri dan respon kita terhadap orang lain. Saya juga masih belajar tentang ini.... Bagaimana mengenali diri sendiri lebih dalam lagi....

Apakah kamu sudah mengenali diri sendiri dengan baik?

Tim belajar bareng Daun Dala


Cantik sekali daun bodi ini dan hasil karya kami


Tempat baru yang ternyata memang dijodohkan dengan tempat ini


Penjelasan tentang proses perendaman daun


Serius mikir ini sambil mengingat-ingat momen yang sudah-sudah




Jumat, 26 Maret 2021

#26 Mari Kita Potong Sudah!

Pagi-pagi anak-anak sudah ribut di depan gerbang. Memanggil-manggil saya yang masih juga baru bangkit dari rebahan. "Lah, memang hari ini kita belajar?" tanya saya. "Kita kan mau potong sabun hari ini!" balas mereka bersemangat.

Oh iya, lupa saya!

Sungguh semangat mereka belajar luar biasa. Langsunglah saya mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu dan saya bergegas mengambil sabun. Anak-anak itu pun girang melihat sabun mereka sudah mengeras dan siap dipotong. Sebenarnya banyak foto-foto yang kami dapatkan di hari sebelumnya, sayangnya hp saya tiba-tiba error dan beberapa memori foto yang kami punya hilang sudah. Sedih? Iya sih tapi ya sudah. Bukankah momen lebih melekat di hati daripada hanya sebuah foto. Ya kadang memang perlu suatu momen tanpa ada foto, ya nikmati saja begitu, bukan malah sibuk ambil foto sana ambil foto sini. Ya walaupun tak dipungkiri, pengambilan momen menggunakan foto akan mudah diingat kembali dan paling banter ya upload di social media. Ini sih yang masih sulit dihindari! Social media masih menjadi wadah untuk menyimpan foto-foto kenangan dan terkadang niatnya hanya untuk dapat like atau ajang woro-woro memberitahukan segala aktivitas ke teman-teman dunia maya. Jujur itu masih menjadi hal yang cukup sulit dihindari. Padahal kawan-kawan dunia maya kita itu 'they do not care about your life!' Ya, benar. Saya juga masih belajar untuk menangani hal ini.

Ya, kembali lagi ke cerita hari ini pemotongan sabun ya. Topiknya ini tuh kemana-mana. Hahaha. Maaf! Proses pemotongan menggunakan pisau. Anak-anak saya minta berpikir sebaiknya dipotong jadi berapa agar semua kebagian. Ada yang punya usul, "Duh, sayang dipotong sabunnya! Biar gitu sajalah kayak kue ulang tahun. Kalau mau pake dicolek saja!" Hahaha. Saya juga maunya gitu, sayang dipotong, habis bentuknya lucu! Hahaha Akhirnya kami bersepakat akan memotong menjadi 16 untuk yang block.

Usai potong-potong sabun, beberapa anak masih semangat belajar. Lalu saya minta saja mereka mengerjakan tugas dari sekolahnya. Nah, Aufar, salah satu anak mengambillah LKS sekolahnya. Dibukalah LKS dan mulai mengerjakan soal matematika. Topiknya adalah simetri lipat dan simetri putar. Aufar dengan cepatnya menyelesaikan soal-soal itu dan tibalah di soal tentang gambar baju dan diminta untuk mencari jumlah simetri lipat. Dia berpikir sambil mengingat-ngingat momen dimana dia lipat baju. Saat saya tahu kalau anak ini butuh visualnya, saya pun langsung mengambil kaos yang saya punya di lemari dan memberikan kaos itu kepada Aufar. Langsunglah dia mengeksekusi lipat baju! Ada 3 lipatan, katanya! Lalu saya pun mengajukan beberapa pertanyaan lanjutan. Saya minta tunjukkan simetri lipat itu seperti apa. Ternyata dia berpikir bahwa simetri lipat itu sama seperti saat kita melipat baju, ya karena kebetulan soalnya tentang baju. Duhhh!!! Masuk diakal sih ya, melipat baju ini. >.< Akhirnya saya jelaskan lagi konsep simetri putar dan simetri lipat.

Berlanjut, setelah saya belajar dengan anak-anak, saya jemput Kuro-chan dari klinik. Alhamdulillah, sudah bisa pulang ini anak kicik. :)


Kamis, 25 Maret 2021

#25 Membuat Sabun Ala Pandawa Lima

Pagi ini kami berkumpul kembali dengan ide membuat sabun. Ide ini tercetus setelah saya belajar dengan Ibu Guru Rosa beberapa hari yang lalu. Yak, sepertinya mudah jika diaplikasikan ke anak-anak. Baiklah! Yuk, buat!

Bahan-bahannya cukup mudah dan saya masih punya sisa praktik di kelas Kuri Rosa. Ada minyak kelapa, minyak zaitun, saya tambah minyak kelapa sawit (uji coba), air putih saya pakai air galon, soda api, pewangi saya pakai vanili, dan kunyit untuk pewarna alami. Ukuran-ukurannya saya sesuaikan dengan bahan minyak. Anak-anak menimbang sendiri bahan-bahannya dengan pantauan saya. Saya memperingatkan pada mereka kalau soda api berbahaya jika kena kulit karena bisa membuat kulit melepuh. Mereka pun sangat berhati-hati.

Mereka mengamati bagaimana proses mendidihnya campuran soda api dan air yang membuat mata perih, lalu mengamati panasnya baskom sampai menunggu dingin. Sungguhlah itu pengalaman pertama mereka mengenal beberapa jenis minyak goreng, soda api dan pembuatan sabun.

Setelah bahan-bahan sesuai hitungan Aufar, di sini Aufar menjadi tim hitung karena diyakini dia yang paling jago matematika. Hahaha, sesuai tugas ya! Prosesnya dimulai campur-campur bahan, lalu aduk-aduk dengan menggunakan hand blender. Walaupun ini pertama kalinya mereka menggunakan hand blender, tapi mereka cukup lihai lho! Mudah mengarahkan mereka untuk menggunakannya dengan hati-hati.

Refleksi saya, mereka itu anak-anak yang cerdas, rasa ingin tahunya tinggi, dan bertanggung jawab. Satu per satu akhirnya saya bisa tahu karakter masing-masing anak. Ya, mereka sungguhlah anak-anak yang membanggakan! Senang belajar dan antusias tinggi. Bahkan kalau sudah ke kosan saya, mereka tidak mau pulang! Hahaha.

Sabun kami jadi, dicetak dan besok siap dipotong! Terima kasih Pandawa Lima!

Rabu, 24 Maret 2021

#24 Menikmati Setiap Momen "Pecel dan Tempe"

Agenda berubah! Pagi ini saya bergegas pergi ke warung sayur. Saya pikir saya akan bertemu anak-anak pagi itu, tapi ternyata tak ada satu pun anak-anak yang menghampiri. Mungkin karena saya sudah bilang kalau hari ini libur sehari sebelumnya. Ya mungkin!

Awalnya, saya mau mengajak anak-anak sekalian belanja di warung, memilih bahan sendiri, memilah bahan, dan sepertinya seru jika ada bagian berbelanjanya. Tapi ya itu, ketika saya berangkat ke warung, tak ada satu pun anak-anak yang muncul di hadapan saya. Baiklah! Tidak apa-apa, mungkin bisa buat besok saja, begitu pikir saya sambil menenteng kardus yang penuh dengan belanjaan sayur-mayur.

Beberapa langkah sebelum memasuki gerbang kos, saya berpapasan dengan Febrian salah satu murid Pandawa Lima yang sedang santai sepedahan. Saya langsung saja menyapanya dan mengajak membuat tempe goreng hari ini saja. Lantas apa tanggapan anak itu? Dia sedikit tak percaya dan memastikan lagi ajakan saya itu sebelum akhirnya dia bergegas pergi menghampiri kawan-kawannya yang lain. Tak sulit mengumpulkan mereka sebenarnya. Kalau ketemu satu saja, dia akan segera memanggil yang lain. Terbukti, selang beberapa detik saja, anak-anak sudah berkumpul di depan gerbang kos. Alamakkk, cepat sekali rupanya mereka berkumpul. Okaylah! Baikkk!!!

Saya langsung segera mengajak mereka mempersiapkan bahan-bahan yang baru saya beli tadi keluar dari kardus. "Bayam, ini ambil saja daunnya, petik saja ya!" pintaku dengan memberi contoh. Mereka berebut bayam dan segera menyelesaikan petikan-petikan daunnya. Saya tanya iseng, kalian pernah petik bayam tidak? Mereka kompak jawab, belum pernah. Baik, jadi ini pengalaman pertama mereka masak-masak. Menu hari ini adalah pecel dan tempe goreng Pandawa Lima. Yak, tempe yang 2 hari lalu kami buat itu sudah matang dan siap digoreng. Berhasil jadi juragan tempe kita! Serius banyak, ada kali 50 biji sendiri itu tempe. Hahaha. Kalap!

"Daun bawang, kupas saja, terus potong-potong," mintaku. Kali ini Ridho dan Aufar bertugas. Teman yang lain buka-buka tempe daun. Belum juga selesai potong-potong, tetiba Aufar berkata, "Mbak, aku nangis! Pedes banget ini daun bawangnya." Ridho ikut menimpali. Kulihat keduanya dengan mata berkaca-kaca, nangis karena pedas dan bawang. Lucu sekali liat mereka! Ini pastinya membuat pengalaman pertama mereka iris daun bawang dan nangis. Hahaha.

Berlanjutlah kami mengocok telur dan membuat bumbu tepung untuk goreng tempe. Semuanya kami bekerja dalam tim. Ada yang aduk-aduk, ada yang kasih bumbu, ada yang memantau, lengkap sudah. Satu hal yang saya pelajari, ternyata handle mereka cukup sulit di awal-awal. Energi mereka seakan berlebih, kinestetik sekali. Satu dipanggil, yang lain kabur entah kemana. Saya sering sekali peringatkan untuk tidak lari-larian di dalam rumah, tapi gagal. Cara itu tidak mempan. Hahaha. Lalu saya pun memakai cara lain agar mereka tetap terkontrol. Yak, kasih tanggung jawab saja mereka! Dua anak yang paling anteng adalah Febrian dan Rafqi, keduanya dari awal paling banyak membantu urusan menggoreng dan merebus. Aman! Ridho, Hanan, dan Aufar? Jangan tanya, mereka berlarian! Hahaha. Alhasil saya selalu panggil nama mereka satu per satu untuk mengemban beberapa tugas, seperti cuci piring, aduk telur, goreng tempe, atau yang paling ngena, akhirnya Hanan lebih aktif dan rajin membantu mengurus tempe goreng kesayangannya. :) Aufar menyelesaikan tugasnya cuci piring, dan Ridho mencicip makanan. :) Semua sesuai porsinya masing-masing.

Tempe goreng dapat satu bakul hahaha. Telur dadas satu wajan teflon, nasi sudah matang, sambal satu mangkok yang ngaduknya membuat Febrian dan Hanan pegal-pegal tangannya, sayuran bayam dan tauge matang dari awal. Sudahlah, lengkap! Ohhh, satu lagi, daun pisang untuk makan tugas Aufar ambil di kebunnya. Dia lihai ambil sendiri daun pisangnya tanpa bantuan, tiba-tiba bawa pisau, langsung potong, dapatlah daun pisang segar. Asyik!!!

Kami menggelar makan bersama di teras kos. Satu daun pisang dibuat alas, makan bersama ala-ala hajatan. Mantap!!! Hari ini kami punya perut kenyang sudah!

Selasa, 23 Maret 2021

#23 Belajar Membuat Eco-Enzyme

Pagi itu anak-anak sudah berkumpul di depan gerbang pagi sekali. "Belajar apa hari ini?" ucap mereka.

Okay, baik! Saya langsung putar otak kira-kira apa yang bisa dilakukan hari ini. Melihat sisa sayuran dan kulit buah sisa kemarin masih ada di kulkas, yang memang saya suka mengumpulkan untuk persiapan pembuatan eco enzyme, baiklah mari kita eksekusi saja! Yak, mari kita belajar eco-enzyme sudah!

Anak-anak pun sedikit banyak sudah mendapat bocoran eco-enzyme seperti apa. Beberapa hari yang lalu mereka ingin tahu toples berisi air berwarna coklat dengan kulit jeruk yang mengapung-apung di halaman belakang itu apa namanya. Mereka kita itu ikan. :) Ya memang dari kejauhan seperti ada ikannya, tapi itu bukan ikan. Itu adalah hasil eksperimen pertama yang saya buat setelah mengikuti workshop pembuatan eco-enzyme bersama Pak Aang, salah satu aktivis peduli lingkungan.

Bahan-bahan hanya ada 3, yaitu kulit buah dan sisa sayuran dengan kondisi yang tidak busuk, air keran, gula merah. Perbandingannya air adalah 60% dari volume wadah. Kemudian kita ukur gula merah 1/10 dari volume air. Lalu sisa sayuran atau kulit buahnya 3 kali ukuran gula merah. Nah, untuk eco enzyme sendiri, semakin banyak varian sayuran atau kulit buahnya, semakin bagus dan kaya akan nutrisi. Hal yang perlu diingat dalam pemilihan kulit buah atau sisa sayuran tidak boleh yang bergetah, bau menyengat, busuk, berulat, berjamur, kulit keras, beberapa daun pepohonan tidak bisa, ranting, atau bahan-bahan yang dimasak. Sebaiknya juga dicacah lembut semakin bagus. Untuk air yang mengandung kaporit sebaiknya diendapkan terlebih dahulu, lalu gunakan wadah plastik yang mulut botolnya lebar karena rawan meledak. Hati-hati ya!

Nah, kali ini anak-anak benar-benar mulai dari awal langkah-langkah pembuatan. Mulai dari mengumpulkan sisa-sisa buah dan sayur sehari sebelumnya, mereka juga mulai memotong kulit buah dan sayuran menjadi potongan kecil sendiri. Bahkan mereka juga mencari toples bekas dari warung sekitar kosan sendiri lho! Mempersiapkan bahan-bahan saya bantu sedikit-sedikit, ditambah ukuran saya jelaskan juga sedikit. Mereka yang menimbang dan memperkirakan sendiri. Lalu juga, mereka menjumlahkan beberapa perhitungan untuk menambahkan beberapa bahan ke dalam adonan. 

Yak, dan berhasil mencampur adonan sesuai ukuran. Tinggal kasih penanggalan, kita tunggu 7 hari kemudian. Yak, semoga jadi! Terima kasih untuk kelas hari ini Pandawa Lima! Semangat terus belajarnya ya!

Proses potong-potong bahan


Masih proses potong-potong


Ini hasil karya anak-anak hari ini


Tim lengkap!


Foto dulu pokoknya! Hasil menyusul...


Bahn sisa-sisa kulit buah dan sayuran


Timbang-meningbang dulu ya


Bahagia cukup sesederhana ini



Senin, 22 Maret 2021

#22 Membuat Tempe Ala Pandawa Lima

Pertemuan saya dengan anak-anak tetangga kos kali ini dimulai dari Kuro-chan, artis idola kampung kami. Hampir semua anak tahu siapa itu Kuro-chan. Yak, benar! Artis idola itu adalah kucing saya alias big boss saya. :) :)

Kala itu saya sedang menyapu di halaman bersama Kuro chan. Beberapa anak tetangga lewat dan berhenti di depan gerbang sambil memanggil Kuro. Saya pun langsung mengajak mereka masuk untuk duduk di teras. Kami mengobrol beberapa hal tentang sekolah mereka dan cara belajar mereka. Tiba-tiba tercetuslah ide, "Yuk buat tempe yuk!" Lantas, kami pun membuat rencana. "Saya siapkan dulu kedelainya ya, harus direndam 24 jam dulu baru bisa dibuat tempe. Besok saya beli kedelai dulu di pasar," janjian kami ditutup 'deal!'. Kita buat tempe!

Yak, benar saja, saya beli kedelai di pasar Bantul, lalu rendam selama 24 jam. Baru keesokannya kami buat tempe. Caranya pun cukup mudah diikuti anak-anak. Ada 5 orang yang datang, Aufar, Ridho, Febrian, Hanan, Rafqi. Mereka adalah anak-anak saya yang pertama di sekitaran kos. :) :) :)

Bagaimana prosesnya? Anak-anak sudah datang pagi-pagi bahkan saya belum mandi. Saya ambilkan kedelai yang sudah direndam untuk dibersihkan kulit arinya. Prosesnya lama, tapi anak-anak semangat mengupas kedelai sampai-sampai saya tinggal mandi pun, mereka tetap bertanggung jawab menyelesaikan tugas penting itu. Ahhh, saya bangga pada mereka!

Usai kulit ari bersih, kami pun mulai mengukus tempe lumayan lama. Sembari menunggu kedelai matang, kami membuat rujak, yang semua bahannya mereka bagi tugas. Ada yang beli buah, nyari buah ke warung sendiri, sampai nguleg sambalnya sendiri. Mereka anak-anak laki-laki tapi jago masak dan nguleg! Luar biasa! Mereka pun bereksperimen dengan berbagai macam sambal yang terasa pedas itu, kebanyakan cabe setan pula. Lidah kami sepertinya tak cocok untuk porsi rujak pedas macam sengir itu. Hahaha. Alhasil mereka tambah sendiri gula, nanas, dan terakhir keju. Lumayan mengubah rasa yang sebelumnya sengir jadi cocok di lidah kami. Hahaha, luar biasa mereka!

Lanjut, setelah kedelai matang, mulai proses pendinginan. Tetep nunggu dingin kami terus menikmati rujak buah bengkoang, mentimun, dan nanas. Sungguhlah surga! Usai panas, saya pun mengajari mereka cara dan porsi membubuhkan ragi ke kedelai tersebut lantas aduk-aduk hingga rata. Nah, ini! Daun pisang pun mereka bergantian lap dan buat tali untuk ikat. Saya beri tahu contoh satu saja, mereka tirukan. Dan apa yang terjadi? Hasil bungkus mereka bagus!!! Walaupun ada beberapa daun yang mudah sobek, alhasil kami lapisi dengan koran. Saya kira mereka akan kesulitan bungkus, ternyata sampai habis mereka selesaikan dengan sangat baik, malah di atas ekspektasi saya dalam urusan bungkus-membungkus daun pisang!

Setelah selesai semua, saya bilang ke mereka untuk menunggu 2 sampai 3 hari tempe jadi. Dan tiap hari mereka ke rumah buat cek tempe jadi atau tidak. Rumah saya pun ramai tiap hari. Di hari pertama sudah muncul serabut-serabut tipis cikal bakal tempe matang, lalu hari kedua pun hasilnya mantap, sempurna matang! Saya beri tahu anak-anak kalau tempe sudah jadi, mereka sangat senang dan tak sabar untuk menggoreng tempe dan makan-makan tempe sampai puas! Alamakkk!!!

Muka bahagia kami berhasil membungkus tempe!


Proses membuat rujak sambil nunggu kedelai dingin


Jagoan nguleg sambel!


Ayo... ayo... kupas kulit ari kedelainya!


Tempe garit ala anak-anak Pandawa Lima


Tempe daun yang bungkusnya cantik-cantik gini, ada yang mau beli?

Tim Dokumentasi: Rifa


Minggu, 21 Maret 2021

#21 Ketika Kuro-Chan Sakit

Hari ini Kuro-chan sakit lagi. Tiba-tiba muntah-muntah dan gak mau makan. Saya khawatir terjadi apa-apa. Tubuhnya pun lebih lemas. Biasanya saat Kuro sakit, dia akan semakin manja, maunya sama emaknya. Kemana pun pergi selalu diikuti, tidur minta dipuk-puk, makan minta ditemenin, sama persis seperti anak kecil.

Saya khawatir betul jika Kuro sakit. Tak tega hati lihat dia lemas. Awalnya saya coba periksakan ke dokter dekat kos. Kata Bu dokter, ini anak cacingan. Yak, cacingan! Kucing memang sangat rentan cacingan apalagi kalau induknya tidak pernah minum obat cacing. Kucing yang masih di dalam perut ibunya pun bisa cacingan. Nah, saya kurang tahu tentang silsilah Kuro-chan. Tapi yang pasti, ini anak saya minta dari pemilik warung sayur yang katanya punya kucing banyak. Itu pun saya minta karena ketemu di pinggir jalan, seperti kucing tak terurus. Perutnya buncit, kurus, aroma tubuhnya macam sangit-sangit gimana gitu.

Nah, ini pertama kalinya kucing yang kurawat yang sampai periksa-periksa ke dokter. Kalau waktu kecil dulu, tiap punya kucing tak pernah ada istilah ke dokter. Ya memang keluarga saya belum terbiasa ke dokter hewan. Atau mungkin memang tidak familiar saja di kehidupan kampung.

Semenjak Kuro sakit, saya banyak-banyak nyari info tentang pelihara kucing yang baik. Saya tanya Fitri juga yang kucingnya dikasih makan royal canin, juga tanya kak Inez yang suka rescue kucing-kucing malang di jalan. Mereka sangat membantu dan memberi gambaran umum bagaimana cara merawat kucing yang baik dan jadwal ke klinik. Menarik! Ini nih, yang dari dulu saya belum bisa membantu kucing-kucing saya di saat kritis. Maaf ya kucing-kucing saya.... Ya, alasannya karena pengetahuan yang kurang dan juga masalah kantong yang tak mendukung. Dan di saat-saat sekarang saya mencoba untuk memberi anggaran perawatan untuk kucing-kucing saya. 

Saya merasa kasihan lihat Kuro-chan yang sakit. Muntah-muntah, harus disuntik paksa, dan pastinya perutnya terasa tak enak akibat terlalu banyak cacing di dalamnya. Rawat inap 4 hari membuat saya benar-benar rindu sama Kuro. Tiap hari saya selalu jenguk dia di klinik. Konsultasi dengan dokternya tentang perkembangan Kuro. Apalagi kalau dokternya bilang, Kuro sempat drop! Alamak, bikin saya sedih dan pengen nangis. Ditambah dokter yang bilang kalau misal saya lebih telaten menjaga dan menangani Kuro, dia akan cepat sembuh dan tak perlu dirawat. Aihhh, itulah alasan saya mengapa membawa Kuro ke klinik, bukannya gak telaten, tapi memang saya takut salah penanganan dengan ilmu cethek yang saya miliki. -_-"

Tapi saya bersyukur, Kuro bisa berangsur-angsur sembuh dan membaik. Di hari pertama dia masih sangat lemas. Di hari kedua, lebih parah karena abis muntah cacing besar kata dokternya. Dan di hari ketiga, Kuro sudah bisa makan sendiri. Saya suapin snack habis 2 porsi! Senang sekali akhirnya dia bisa makan sendiri. Terima kasih Kuro-chan sudah berjuang untuk sembuh! Hari keempat, yak, Kuro sudah bisa pulang. Tak apa banyak biaya yang ibu keluarkan yak, yang penting kamu sembuh Nak! Sehat itu mahal memang!

Perawatan selanjutnya, antibiotik, vitamin, obat cacing, dan nanti vaksin! Sehat-sehat selalu ya Kuro-chan! Love you!

Di kandang tempat perawatan Klinik Baba shop


Muka pengen cepet sembuh ya Nak!


Sabtu, 20 Maret 2021

#20 'Slow Living'? Mari Kita Coba!

Sempat beberapa hari yang lalu Kak Rosa, Kak Juni, Jane dan saya membahas tentang 'slow living'. Sungguhlah menjadi ide baru saya dalam memilih hidup seperti apa. Terlebih lagi di tengah kehidupan yang serba cepat ini, kita dituntut untuk segala sesuatu harus cepat dan instan. Lalu muncullah perkataan, "Kalau ada yang gampang kenapa harus cari yang susah?"

Kadang segalanya yang serba instan dan cepat ini membuat stress tanpa saya sadari. Tuntutan yang tinggi membuat kita jarang sekali memaknai hidup ini terlebih menikmatinya. Ya, seperti saja contohnya, saat makan kita tak fokus dengan makanan apa yang dihidangkan atau menu apa yang kita nikmati kala itu karena tangan dan pikiran juga sibuk dengan bolak-balik memantau social media. Padahal, momen itu kita seharusnya bisa menikmati rasa yang kita rasakan saat mengunyah makanan, menikmati suara piring dan 65sendok yang riuh beradu, atau bahkan merasakan uap panas dari sayur yang baru saja matang dari kompor. Ya, itu, kita mencoba untuk multi tasking tapi lupa menikmati setiap momennya.

Saya pun masih belajar, baru juga mencoba beberapa hal yang masih bisa saya coba lakukan. Seperti fokus satu-satu kegiatan yang ingin saya lakukan dan mencoba menikmati setiap momennya. Berusaha memulai dari nol, dari mulai membaca hal-hal tentang slow living hingga melakukan satu per satu aktivitas yang mendukung. Tak apa, satu hari satu kegiatan yang tercapai, nanti bertambah lagi seiring waktu berjalan. Pelan-pelan saja... Kalau kata Kak Rosa mengutip dari kata-kata Lao Tzu, "Alam tidak pernah terburu-buru, tapi semua tercapai." Ya betul, pupuk saja terus mimpi-mimpi itu, lakukan pelan-pelan, lama-lama akan menjadi terbiasa dan jika waktunya sudah tepat, semesta akan menunjukkan hasilnya.

Berikut ini beberapa artikel yang saya baca mengenai 'slow living' ini.

1. Mengenal Gaya Hidup Slow Living Saat di Kos | RoomMe

2. Tips Menjalani Slow Living bagi Millennial agar Lebih Nikmat (idntimes.com)

Jumat, 19 Maret 2021

#19 Mari Temukan Jalan Sendiri

Beberapa hari yang lalu ibu menelepon, menanyakan apakah saya bisa pulang tanggal 8 April nanti. Aku sudah curiga ada sesuatu yang akan terjadi 'lagi'. Dengan pura-pura tak tahu, jawabku singkat, "Ada apa di tanggal itu?" Sebenarnya jawaban yang sudah saya bisa tebak dan jawab sendiri. Ya, menikah lagi! Apa yang saya rasakan? Entahlah, saya tak bisa mengenali rasa yang saya rasakan, emosi apa yang telah bergelut di dalam batin, atau respon apa yang harus aku sampaikan. Benar-benar membingungkan!

Mungkin ini karena ada kondisi dimana sesuatu itu pernah terjadi dan seakan otak sudah tahu kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti. Sungguh, saya hanya bisa diam sambil mencoba merelakan. Kata Fitri, otak sedang memprosesnya, beberapa sarafnya mencoba memanggil kembali kenangan-kenangan yang sebenarnya sudah terlupakan, tapi dibangunkan kembali. Oh Tuhan! Apa lagi ini?

Sempat saya mempertanyakan jodoh itu sebenarnya seperti apa? Mengapa ibu menikah lagi? Siapa sebenarnya jodoh ibu sebenarnya? Bukankah jodoh sudah di tulis sebelum kita dilahirkan? Sampai sekarang tak pernah terjawab.

Tahun ini, saya memilih jalan sendiri. Mencoba mencari kebahagiaan saya sendiri. Menjadi diri saya sendiri. Seperti kepindahan saya ke Jogja tanpa sepengetahuan ibu. Hanya adik saya yang paling besar saja yang saya beri tahu, adik yang kecil saja tak tahu tentang hal ini. Saya hanya ingin menemukan jalan hidup sendiri, jalan hidup yang telah lama saya tinggalkan demi membahagiakan orang lain. Ya, bukankah di dunia ini kita tak bisa membahagiakan semua orang? Tentu saja begitu. Ada berapa hal yang akan dikorbankan untuk kebahagiaan orang lain? Sedangkan kita jarang membahagiakan diri sendiri. Ah, mari hidup di jalan masing-masing.

Kamis, 18 Maret 2021

#18 Tuhan Lebih Tahu Kapan Waktu yang Tepat

Impian itu selangkah lebih dekat! Impian yang telah saya tangguhkan sejak 2013 lalu. Beberapa kali saya mendaftar beberapa kesempatan, tapi gagal. Alasannya macam-macam. Mungkin memang Tuhan belum menjodohkan saya dengan mimpi itu atau juga Tuhan punya rencana lebih indah dari rencana saya.

Suatu waktu saya termenung, memikirkan benang merah semua kejadian yang saya alami akhir-akhir ini. Seperti satu per satu memiliki ikatan satu sama lainnya. Sangat erat! Apakah Tuhan sedang berpihak pada saya tahun ini? Mungkin! Dan semoga saja! Aamiin.

Nanti saya akan ceritakan impian itu jika memang semuanya sudah fix. Masih dalam proses dan tinggal selangkah lagi, tapi saya tidak boleh terlalu berharap. Jika memang jalannya lewat jalan itu, saya akan mendapatkannya, tapi jika memang belum jalannya, saya akan merelakan, setidaknya saya sudah berjuang sedemikian rupa melakukan yang terbaik. Urusan berhasil atau tidaknya, biarkan Tuhan yang mengatur. Sesungguhnya, Tuhan lebih tahu waktu kapan yang tepat untuk kita mendapatkan sesuatu.

Semesta akan memilih pemilik kaki yang dikehendaki. Katanya, pulaulah yang memilih takdir orang-orang yang menghuninya. Dan biarkan itu menjadi keberkahan dari Tuhan. 

Rabu, 17 Maret 2021

#17 Menjadi Bukan Diri Sendiri

Sesuatu yang tidak sesuai dengan hati pasti akan berat untuk dijalani. Ya, jujur pada diri sendiri itu sungguhlah berat, terlebih melawan kata hati.

Suatu ketika saya cerita kepada Fitri tentang hal-hal yang berat dalam menjalaninya. Seperti berkata bohong atau melakukan hal-hal yang tidak jujur. Entah mengapa ketika kita tidak jujur pada diri sendiri atau pun pada orang lain, rasanya seperti tidak tenang. Mungkin karena selama ini kita selalu berusaha untuk jujur dan ketika ada di posisi yang mengharuskan kita tidak jujur terlebih menyangkut diri orang lain, sudahlah pusing tak bisa tidur semalaman. Haha

Ada suatu kisah lucu, malam itu Kak Rosa, Kak Juni, Jane dan saya membuat tempe. Sambil menunggu tempe selesai, kami bercerita banyak hal tentang hidup masing-masing. Suatu waktu saya cerita kalau saya pernah bekerja di label "M*M", sebuah sistem kerja mencari downline. Saya cerita kalau pekerjaan itu membuat saya rada trauma kalau ditawari M*M produk apapun. Tapi ya saya belajar dari sana, saya jadi tahu tolak ukur yang bisa saya terima dalam bekerja. Terlebih bernegosiasi. Lalu, nyeletuklah Kak Juni, "Lah, ko tak tahu Kuri Rosa juga ikut lho M*M produk G*K*" sambil nunjuk salah satu barang di meja. Apa respon saya? Setengah percaya-setengah tak percaya!

Entah mereka dapat tektokan dari mana, benar-benar meyakinkan. Sungguh! Sepanjang perjalanan pulang pun saya berpikir keras tentang ini. Ditambah lagi perkataan Kak Rosa, kalau M*M ini beda dengan yang lain karena tidak ada bonus kapal pesiar atau jalan=jalan ke Eropa, tapi bonus pengalaman dan pelatihan untuk daerah pedalaman. Siapa yang tak tergiur? Sudah tahu saya punya mimpi ke daerah pedalaman, sudah pasti saya tergiur.... Bahkan sampai saya tidak tenang tidur karena memikirkan hal ini. Dream come true! Melihat saya semakin bertanya-tanya tentang M*M ini, Kak Rosa pun semakin susah menjawab pertanyaan-pertanyaan penasaran saya. Alhasil, dia pawai dalam "ngeles", "Sa tanya dulu nih, kak Dian tertarik benar tidak? Kalau iya, sudah besok saya ikut diklatnya." Itu pun saya percaya sama yang semua diomongin Kak Rosa. Serius! Antara saya yang polos apa gimana nih?

Di sisi lain, saya sangat tertarik dengan hal-hal yang menyangkut pendidikan anak pedalaman, tapi juga cukup trauma dengan menjadi member "M*M". Sama-sama kuat, tapi pendidikan anak pedalaman jauh lebih kuat. Alhasil baru saja saya memutuskan, sepertinya saya harus join di M*M Kak Rosa tanpa berpikir ulang. Di saat keputusan itu bulat, Kak Rosa pun mengklarifikasi bahwa itu hanya skenario kalau-kalau dia dan Kuri Juni diajak bisnis M*M. Dia jelaskan pun saya masih tak percaya kalau itu semua masih hanya skenario belaka.... Bahkan sampai pagi!

Akhirnya, saya baru yakin setelah klarifikasi Kak Juni kalau itu semua hanya untuk menghibur diri saya yang punya pengalaman pahit tentang M*M. Sungguh, skenario mereka sungguh smooth. Bahkan saya masih berasa itu semua benar-benar terjadi. Hahaha

Apa yang saya pelajari dari hal ini? Hidup hanya sandiwara... Tergantung kita mau berperan jadi apa... Toh juga pada akhirnya orang lain tak tahu kita sebenarnya siapa... Tinggal main saja peran... Mau jadi A, B, atau Z... Sayangnya kalau kita bersandiwara tidak sesuai diri sendiri itu butuh energi besar dan bikin hidup tak nyaman... Kita bisa saja menciptakan diri kita yang berbeda, bisa juga bukan menjadi diri sendiri, atau bahkan seperti Kak Rosa dan Kak Juni yang membuat skenario menjadi sosok yang berbeda dengan yang kukenal tentang mereka. Semua bisa! Tapi balik lagi, apakah kita sanggup untuk mengeluarkan energi ekstra untuk sebuah drama? Kita lihat saja seberapa sanggup menjadi bukan diri sendiri!

Selasa, 16 Maret 2021

#16 Melalui Tempe, Saya Belajar Tentang Pentingnya Proses

Hari ini saya dapat kesempatan untuk membuat tempe bersama Ibu Guru Rosa dan PKK 123 Random Club. Ternyata membuat tempe cukup membuat saya belajar sesuatu, "Yang kita lihat sederhana ternyata memiliki proses yang cukup lama". Ya benar saja! Membuat tempe itu melatih kesabaran.

Pertama, kita perlu menyiapkan kedelai yang bisa dibeli di pasar, di penjual beras dan kacang-kacangan biasanya ada. Saya belinya di pasar Bantul, di bagian penjual-penjual beras. Harga per kilonya sebelas ribu rupiah. Itu pun kata penjualnya kedelai terus naik dan harga mahal. Saya yang hanya membeli 1 kg mungkin tak terlalu berdampak, tapi untuk industri kecil maupun besar, kenaikan itu pun sangat terasa. Lalu, saya mencari ragi tempe. Ternyata ada 2 jenis ragi untuk membuat tempe, yaitu ragi daun dan ragi yang disebut usar. Harga ragi hanya seribu lima ratus rupiah bisa digunakan untuk 7 kilogram kedelai. Luar biasa! Ternyata bahan-bahannya sederhana. Hanya perlu kedelai, ragi usar, daun pisang atau plastik untuk membungkus. Sudah!

Kedua, cara pengolahannya, kedelai direndam 24 jam sebelum diolah menjadi tempe. Hal menarik yang saya dapatkan adalah ternyata kedelainya mengembang jadi banyak. Hahaha. Awalnya hanya satu baskom, ternyata jadi setengah dandang setelah direndam selama 24 jam. Lalu, ini nih hal yang cukup memakan waktu: proses pengupasan kulit ari kacang kedelai. PR banget pokoknya, milihin satu-satu, yang kata kak Rosa tempenya harus bersih dari kulitnya. Ya sudah petualangan dimulai. Kami berkumpul di rumah Obit, saya datang terlambat karena harus mengajar dahulu. Untungnya, semua alat sudah saya persiapkan sebelum saya ngajar, jadi selesai ngajar langsung berangkat.

Proses pemisahan biji kedelai dengan kulit arinya, sudah pakai tenaga full ini


Proses pemisahan biji kedelai dengan kulit arinya masih lanjut nih....


Ini sudah hampir selesai....

Lanjut setelah dirasa bersih, kedelai dicuci kembali, baru dikukus sampai lumayan empuk. Proses pembuatan kedelai sebenarnya sederhana, hanya saja nunggunya lumayan lama. Sembari menunggu tempe dikukus, kami pun cerita-cerita tentang masa kecil dan pengalaman hidup. Tak terasa pun malam sudah hampir larut, kami masih bercuap-cuap bersama. Kak Rosa mengecek berkali-kali kedelai kukus itu. Setelah cukup empuk, kedelai pun ditiriskan dan diangin-anginkan biar cepat dingin. Setelah proses pendinginan, mulailah proses peragian. Kak Rosa memberitahu bahwa kita cukup satu ujung sendok makan ragi ke adonan setengah kilo kedelai. Tinggal aduk-aduk saja raginya ke kedelai itu.

Nah, proses yang tak kalah serunya adalah pembungkusan dengan daun pisang. Diawali contoh dari Kak Rosa. Saya, Kak Juni, Jane pun mencoba dengan style masing-masing. 


Hasil prakarya kami hari ini


Setelah disusun sedemikian rupa untuk dokumentasi


Rada shock kok ternyata hasil bungkusan saya sebanyak ini, minus 1 contoh bikinan Kak Rosa


Jane dan hasil tempe fenomenalnya


Ini Kak Juni dengan tempe yang hasilnya makin bagus saja


Full team dari kiri: Jane, Kak Juni, saya, Kak Rosa
Kenapa itu hitam-hitam bajunya? Memang kok itu dresscode kelas tempe hari ini :)

Sungguh berfaedah kelas hari ini ditambah cerita tentang hidup yang sungguhlah membuat saya makin bangga bisa kenal kalian. :) :) :)
Terima kasih banyak-banyak ee.... Tunggu tempe 2-3 hari hingga menjadi tempe dengan citra rasa khas penuh cinta. :)



Senin, 15 Maret 2021

#15 Kebiasaan "Mepet Deadline" Baru Muncul Ide

Siang ini Fitri bilang dengan penuh percaya dirinya bahwa dialah yang akan memenangkan #30HariMenulis #30HariBercerita ini karena selalu menulis tepat waktu, sedangkan saya ada beberapa hari yang terlambat mengirim. Alhasil, saya jadi termotivasi untuk mengejar ketertinggalan.

Nah, Fitri bilang cara yang ia gunakan adalah memberi batas waktu suntuk menulis satu jam setiap hari, katanya sangat ampuh untuknya dalam hal menyelesaikan tantangan ini. Berbeda dengan saya, saya nulis kalau ada momen yang ingin saya tulis, malah kadang ide banyak tapi keinginan buat nulis itu mandeg tiba-tiba. saya masih belum bisa mengatur kebiasaan "mepet deadline" baru muncul ide. Ini nih yang selalu menjadi boomerang diri saya sendiri. Alhasil, beberapa tulisan tak jadi saya publish karena ada rasa perfeksionis muncul. Ya, kadang sudah nulis tapi mandeg di tengah jalan, padahal mah tulisan saya curhat semua. hehe

Demi mengejar ketertinggalan sekaligus sebagai upaya menyelesaikan tantangan #30HariBercerita #30HariMenulis ini saya bertekad untuk tulisan-tulisan saya selanjutnya akan saya atur beri batas waktu satu jam seperti yang Fitri lakukan. Menginspirasi sekali Fit!

Tunggu saja saya tak mau menyerah! Makasih inspirasinya, saya akan coba metode kamu. Alhasil hari ini 3 tulisan kelar, aku coba pakai batas waktu. :) :) makasih lho inspirasinya. :)

Kadang kala kita perlu trial and error untuk mencoba hal baru. Lama-lama kita akan menemukan hal-hal yang cocok dengan diri kita sendiri. Tinggal tiru dan modifikasi kebaikan orang lain. :)

Minggu, 14 Maret 2021

#14 Kedamaian di Tengah Perbedaan

 Ini kali pertama saya ke Ganjuran. Itu pun diajak Kak Rosa karena awalnya aku ingin juga ke sana dan kebetulan Kak Rosa juga ingin ke sana. Ya sudah ikut!

Kami berangkat setengah tujuh malam. Kak Rosa menjemput saya di kosan walaupun ada agenda nyasar nyari alamat saya. Memang kos saya di daerah perkampungan yang masuk gang, tak sedikit teman yang nyasar ke kos saya. Baiklah, kami berangkat dengan vespa milik Kak Rosa yang walaupun 2 tahun tak dipakai, habis servis, mesinnya pun tetap bagus.

Jadi ingat vespa milik keluarga saya sewaktu saya masih kecil. Dulu bapak pernah punya vespa warna biru. Vespa itu masih melekat erat dalam ingatan saya, ya mungkin karena berkesan di hati, apalagi sama bapak, pastilah masih terekam baik di kepala saya. Ya, masih ingat, dulu bapak sering mengantar ke sekolah naik vespa. Bahkan saya masih ingat sewaktu TK, saya nangis gak mau sekolah karena tidak dinaikkan ke kelas satu dengan alasan belum cukup umur diantar naik vespa itu. Lalu aku teringat lagi memori hampir jatuh di selokan jembatan kecil hanya muat satu motor, itu pun licin, saat pulang dari rumah nenek, digonceng ibu. Ya maklum, motor vespa kan gede bentuknya, sedangkan ibu nyetir dengan membawa 3 anak, 2 di depan, dan saya di belakang. Hal yang saya ingat waktu menyeberang jalan kecil itu, ibu oleng karena tikungannya memang cukup curam ditambah habis hujan. Tapi saya tidak ingat jatuhnya ditolongin orang atau nggak, yang pasti belum sampai jatuh ke selokan. Itu jembatan kecil bikin saya trauma. Ingat betul tiap lewat jalan itu, saya selalu pejamkan mata, takut jatuh. Terus juga saya ingat kenangan sewaktu kecil tentang vespa. Vespa bapak juga pernah dipakai jalan jauh Blora-Purwodadi ke rumah Pak Dhe. Keluarga saya berlima, bisa dibayangkan seperti apa itu vespa dipakai buat berlima. Saya dan adik saya di depan, terus bapak, terus ibu sambil gendong adik saya paling kecil. :) Setelah saya pikir-pikir, ternyata kuat juga itu vespa. Terus lagi, vespa juga mengingatkan saya belajar menyebutkan huruf "R". Setiap kali pulang dari rumah embah, sepanjang jalan saya disuruh berlatih menyebutkan huruf "R" oleh Bapak. :) Banyak kenangan ternyata sama vespa. :)

Saya tak ingat kenapa vespa Bapak dijual. Mungkin perawatannya mahal kali ya.... Entahlah.... Dan ini, setelah hampir 25 tahun, saya baru kali kemarin naik vespa lagi. Walaupun kaki saya tidak nyampe buat taruh di sandaran kaki. Ngakak sepanjang jalan, menertawakan diri sendiri karena kaki gak sampe itu. 😅😅😅

Nah, akhirnya kami sampai juga di Gereja & Candi Ganjuran. Hari Minggu malam ramai karena orang-orang pulang Misa. Hawanya enak sekali, mungkin perlu dicoba ke Ganjuran tapi bukan hari Minggu, sepertinya lebih tenang. Kami masuk dengan berbagai pengecekan suhu badan dan cuci tangan. Kak Rosa mengajak saya ke salah satu mata air yang dibuat pancuran. Katanya, airnya memiliki kandungan zat-zat menyehatkan. Makanya, tiap ke tempat ini, Kak Rosa dan beberapa pengunjung bawa botol minum. Airnya segar, saya minum juga dari kerannya langsung. Cuci muka dan basuh tangan kaki.

Lalu dilanjutkan kami berdiam diri di salah satu tempat tenang di salah satu pojok bangunan. Entah mengapa saya langsung teringat kunjungan saya ke salah satu candi di Sri Lanka. Aroma dupa dan lilin-lilin yang menyala di dua tempatnya. Lalu, saya mulai berdoa dan berefleksi diri. Cukup dengan berdiam diri saja, entah mengapa saya menitikkan air mata. Lagi-lagi saya sedih karena sebagian dari kita saling mencerca agama lain. Padahal, menurut saya tiap agama selalu mengajarkan kedamaian. Ahhh, semoga dunia tetap menebar kedamaian. Aamiin. Rasa itu muncul lagi persis seperti saat saya menangis di salah satu gereja di Satar Lenda. Rasa yang sulit dideskripsikan, hanya saja berada di tengah-tengah perbedaan rasanya begitu damai!

Bukankah perbedaan seharusnya saling melengkapi? Kapan-kapan aku mau ke Ganjuran lagi!

Sabtu, 13 Maret 2021

#13 Sabun Organik (Resep Menyusul)

Sebenarnya pembuatan sabun organik ini sudah lama direncanakan oleh Kak Rosa, Kak Juni, dan saya sebelum mengantar Endi kembali ke Papua. Namun, rencana itu terkendala karena tempat belajar sabun membatasi peserta kelas karena masa covid, yang hanya diperbolehkan hanya satu peserta. Alhasil, kami memutuskan untuk Kak Rosa belajar duluan membuat sabun sebelum kembali ke Asmat. Setidaknya lebih urgent lah daripada kami yang tinggal di Jawa, lebih mudah untuk ikut kelas selanjutnya.

Nah, ternyata kerandoman kami pun mulai haus akan ilmu baru. Jadilah Kak Rosa menginisiasi kelas baru tongkrongan yang udah macem ibu-ibu PKK. Awalnya, rencana cuma bertiga, tapi nambah personel ada Metri, Alfi (saudara Metri), Jane (yang katanya saudara Kak Juni, iyaaa, sodara sebangsa dan setanah air dari Sabang sampai Merauke :)))) Nah, ternyata lingkup pertemanan kami seputaran daun kelor. Pas saling ketemu, ehhh, ternyata saling punya mutual friend-an. Ya, begitulah Tuhan menakdirkan kita untuk sebuah pertemuan.

Kehebohan kami sore itu seputar minyak kelapa, olive oil, soda api, dan rujak. Jadilah kami buat sabun dipandu oleh Ibu Guru Rosa dengan murid-muridnya yang kayak kami semua.... Hahaha. Heboh dalam segala macam hal.

Nah, kami pun membuat sabun dengan 5 jenis variasi, ada kopi, rujak (aneka buah rujak), pepaya, kunyit, dan lidah buaya. Semuanya kami buat bersama-sama, ada yang blender buah, ada yang blender adonan, ada yang cairin soda api, ada yang nimbang minyak, semua berkat tim kerja yang solid, sudah siap direkrut kerja pokoknya. :) :) :)

Resep nanti menyusul ya, saya lupa taruh catatan dimana. :) Harus hitung ulang soalnya. Saya kasih fotonya saja ya.... :)

Tampilan sabun di cetakan dengan 5 varian: rujak, kopi, kunyit, pepaya, lidah buaya


Varian rujak yang sudah dipotong-potong


Sabun dengan varian rujak yang baru saja keluar dari cetakan


Tim kerja-kerja-kerja PKK 123 Random Club


Tim kerja-kerja-kerja PKK 123 Random Club dengan segala keribetannya


Entah ini sabun bagian yang ke sekian dibuat


Adonan sabun kopi siap masuk ke cetakan


Video full team PKK 123 Random Club

Full Team & Hasil Karya



Full Team dari Belakang: Kak Juni, Kak Rosa, Jane, Saya, Alfi, Metri


Terima kasih Kak Rosa, sudah mengajari kami dengan sangat sabar... Semangat belajar!

Foto: Kak Rosa & Metri





#12 Belajar dari Sebuah Pertemuan

Siapa sangka kepindahan ke Jogja mempertemukan saya dengan beberapa kawan baru. Ada Kak Rosa, Yesman, Endi, Mas Edy, Kak Juni, Mbak Prapti, Mas Rangga, Kak Chendy dan keluarga, Kak Sari, dan Hilda. Pertemuan yang sungguhlah tak pernah kami rencanakan sebelumnya. Kami dipertemukan oleh Tuhan untuk saling belajar. Ya, belajar banyak hal tentang hidup dan masa depan. Sebenarnya, tak semudah itu saya berkenalan dengan orang baru. Tapi entah mengapa mengenal mereka, saya menjadi diri saya sendiri, apa adanya, tak perlu menjadi diri orang lain.

Lucu ya! Kita selalu dipertemukan dengan berbagai macam orang dan karakter. Dan kadang pertemuan itu tidak disangka-sangka akan membuka banyak kesempatan baru untuk kita. Ya, tak ada salahnya kita memperbanyak kenalan. Ya, siapa tahu pertolongan datang dari mana saja di saat kita kesulitan. Satu hal yang pasti, Tuhan telah menjodohkan kita kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya untuk bertemu satu sama lain agar kita belajar suatu hal. 

Pernah nggak sih kadang kita bertemu teman baru bisa langsung klik, kadang juga kita bertemu teman baru seperti ada jarak tembok yang membatasi? Ya, seperti hati menerima langsung atau bisa juga hati menolak untuk mengenal lebih jauh. Dan biasanya ini yang saya rasakan saat bertemu orang-orang baru. Pikiran bekerja untuk mengumpulkan informasi-informasi mengenai objek dan nantinya akan memunculkan anggapan baik atau buruk seseorang terhadap objek itu sendiri. Kadang pula kita tak tahu alasan mengapa kita tak bisa dekat dengan si A atau si B atau pun sebaliknya. Nah, saat-saat ini saya mencoba mengurangi pikiran-pikiran negatif kepada orang-orang baru yang saya temui. Ya, kadang pikiran kita lah yang membatasi diri untuk membuka diri menerima kehadiran orang baru. Ya, walaupun tak serta-merta terlalu baik dengan semua orang, perlu juga waspada. Jika kita kira kok sepertinya berada di lingkungan pertemanan yang membawa dampak buruk, ya pelan-pelan pergi. Kalau sekiranya pertemanan berada di jalan yang baik, ya lanjutkan. Pastinya, Tuhan punya rencana untuk kita semua belajar "sesuatu".


Kamis, 11 Maret 2021

#11 Katakan, "You are GREAT!"

Beberapa hari yang lalu saya sempat menulis tentang perasaan sedih karena merasa tidak sekeren teman-teman yang lainnya. Kekecewaan terhadap diri sendiri karena bekerja bukan di kantor atau di sekolah internasional seperti kawan-kawan lain yang meniti karir. Kesedihan yang seharusnya saya tak perlu pedulikan karena telah memilih jalan sendiri dan memutuskan melewatkan kesempatan berkarir di gedung megah untuk memilih kehidupan yang beratap langit. Ya, seharusnya! Tapi kadang pikiran-pikiran dan keegoisan itu muncul dan menekan kata hati yang mungkin tak bisa dibohongi. Ah, apa yang saya cari hingga sampai titik ini? Mengapa membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain?

Ya, kadang kita selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Membandingkan kebahagiaan orang lain terhadap kebahagiaan diri sendiri! Sungguhlah kejam diri kita ini. Bahkan melewatkan memuji diri sendiri dan selalu mencaci bahwa diri ini tak layak untuk bahagia. Kadang kita kurang berterima kasih pada diri sendiri setelah berjuang selama ini. Ya, orang bilang itu "insecure", kegelisahan pada diri sendiri terhadap orang lain. Kejam ya!

Nah, tahun ini saya mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri. Mendata semua hal yang pernah saya lakukan dalam bentuk CV.  Sebenarnya sudah dari tahun lalu saya memperbaharui CV saya. Itu pun setelah beberapa tahun saya menyandang tak punya CV karena tak punya kantor. Apa itu melamar kerja? Saya sudah lupa. Cerita yang paling saya ingat saat tahun 2014, saya mengirimkan CV saya yang ala kadarnya untuk mendaftar di beberapa lembaga pengajaran. Tapi tak ada satu pun yang nyangkut. Ohhh, saya ingat ada satu lembaga yang nyangkut ding, tapi dari sisi fee tidak sesuai harapan. Lalu, akhirnya saya bekerja di sebuah tempat bimbel selama 2 tahun. Usai dari sana, saya pun memutuskan untuk tidak terikat dengan lembaga mana pun. Kalaupun ada, ya nggak 'ngoyo' banget.

Berbicara soal CV, ketika saya susun daftarnya kembali, ternyata banyak juga hal-hal yang sudah pernah saya lakukan. Bahkan dengan beberapa pengalaman tersebut tanpa saya sadari memberi kesempatan lebih banyak kepada saya daripada saya menjalani rutinitas bekerja kantoran. Ya, walaupun pada akhirnya saya mengorbankan jenjang karir saya seperti ketika saya menetap menjadi orang kantoran. Ada jalan lain yang saya ambil dan putuskan untuk perjalanan hidup saya. Ada kebahagiaan yang kita tukar dengan kebahagiaan lain. Dan itu jalur yang sudah saya pilih. Sungguh!

Hal menarik yang saya dapatkan ketika saya mencoba mendaftar 'sesuatu' yang telah menjadi impian saya sejak dulu di tahun ini, saya kembali menemukan diri saya yang hampir hilang. Ya, rasa percaya diri itu kembali! Seseorang di sana mengapresiasi apa yang telah saya kirim lewat email beberapa hari yang lalu. Ternyata apa yang saya takutkan selama ini salah bahwa saya tak punya apa-apa, saya tak seperti teman-teman saya yang memiliki karir bagus, rasa minder dan lain sebagainya. Ternyata saya layak untuk mencintai diri sendiri dan layak untuk bahagia!

Mungkin saya lupa bahwa diri kita ini sebenarnya memiliki kekuatan yang luar biasa, kemampuan yang berbeda dari yang lain, hanya saja kadang kita terlalu melihat diri orang lain tanpa melihat diri sendiri. Ya, saya jadi ingat materi leadership kapan tahun yang pernah saya ikuti, jangan lupa lakukan ini, tepuk bahu sendiri lalu katakan, "You are GREAT!"

Rabu, 10 Maret 2021

#10 Pendidikan Daerah Terpencil

Masalah pendidikan di Indonesia, terutama di daerah terpencil, masih menjadi momok bagi pemerataan pendidikan di Indonesia. Ada 3 aspek permasalahan mendasar, yaitu masalah sumber daya manusia, masalah akses sarana prasarana, dan masalah lingkungan masyarakat. Ketiga permasalahan tersebut bisa diatasi dengan kerjasama berbagai pihak, baik individu, komunitas, dan juga pemerintah.

Pertama, masalah sumber daya manusia terutama para guru di daerah terpencil memiliki kapasitas yang terbatas. Hal ini dikarenakan kurangnya kesempatan para guru untuk mengikuti training dan pengembangan diri. Di kenyataannya, para guru yang mendapat kesempatan pelatihan pun kurang mendapatkan pembinaan sebagai upaya tindak lanjut maupun evaluasi penerapan hasil pelatihan tersebut. Alhasil, pelatihan kepada guru-guru hanya sampai kepada materi saja, belum sampai ke evaluasi implementasi di lapangan. Padahal, jika kita tengok kembali, pelatihan terhadap guru-guru tersebut seharusnya tepat sasaran dan berguna untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar di kelas sehingga secara tidak langsung, pelatihan memiliki dampak positif kepada anak didik.

Kedua, masalah krusial pendidikan di daerah terpencil adalah tidak tercukupinya literatur atau media pembelajaran. Kurangnya buku-buku kontekstual di berbagai daerah pun masih menjadi faktor utama kurangnya literatur yang sesuai untuk daerah terpencil. Kadangkala adanya penyeragaman literatur maupun buku cetak seluruh Indonesia, padahal tidak memenuhi kesesuaian konteks masing-masing daerah. Seperti contohnya, daerah pulau terpencil diberi buku paket yang isinya membahas tentang kereta, ya tidak sesuai konteks, belum tentu anak-anak tahu bentuk dan seperti apa kereta api itu. Materi bahan ajar yang tidak disesuaikan konteks atau kehidupan sehari-hari, apa yang bisa dilihat, ditemukan, maupun yang dekat dengan anak-anak inilah yang akan mempersulit tersampaikannya materi dengan baik. Selain itu, media pembelajaran atau literatur yang tidak cocok dengan konteks kehidupan sekitar juga akan memberi jarak apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang dipelajari di sekitar.

Ketiga, dukungan orang tua terhadap kemajuan pendidikan anaknya kurang. Dalam kenyataannya di daerah terpencil, pendidikan formal masih belum mampu memenuhi tuntutan komunitas itu sendiri. Tak jarang jika anak-anak di daerah pedalaman lebih memilih bekerja membantu orang tua daripada sekolah dari pagi sampai sore setiap hari. Orang tua pun pada akhirnya memilih tidak menyekolahkan anak-anak mereka karena tanpa sekolah pun mereka bisa "bahagia" dengan cara mereka sendiri.

Dari ketiga permasalahan tersebut, pendidikan alternatif hadir untuk menjadi salah satu solusi pendidikan di daerah pedalaman. Apa itu pendidikan alternatif? Mari kita bahas di tulisan selanjutnya ya!

Selasa, 09 Maret 2021

#9 Semua Akan Hilang Pada Waktunya!

Sejak kecil saya suka sekali mengamati lingkungan sekitar. Tak jarang daya ingat saya cukup kuat menyoal hal-hal yang berkesan untuk saya. Secara tak sadar, memori itu terekam dengan baik dan sewaktu-waktu bisa saja muncul begitu saja bahkan saat saya tak bermaksud mengingatnya. Seperti saja contohnya, saya akan mudah ingat dengan tanggal lahir orang-orang yang berkesan atau orang-orang yang memiliki memori dengan saya. Bahkan, saya mudah ingat momen-momen jam, kondisi, situasi, keramaian, atau keheningan yang terjadi lengkap dengan printilan dan detail kejadiannya. Seperti ada gudang dalam otak saya untuk menyimpan banyak hal dan kadangkala membuat saya susah melupakan hal-hal buruk yang terjadi pada saya yang berakibat sulitnya memaafkan seseorang jika saya rasa itu sangat menyakiti saya. Sebenarnya ini hal buruk yang sampai saat ini saya masih berusaha untuk memperbaikinya.

Ditambah lagi, saya merupakan tipe orang yang sayang dengan barang-barang yang memorable. Bahkan, sewaktu kuliah, teman saya pernah nyeletuk tentang barang yang sudah lama tak dipakai hasil karya kelas kami, "Coba saja tanya Dian, pasti dia simpan itu barang dari tahun kapan!" Ya, benar saja! Sewaktu kuliah saya selalu menjadi orang yang mengumpulkan barang-barang hasil karya kelas. Apalagi kalau barang-barang itu adalah barang berharga versi saya, penuh kenangan. Misalnya saja, butuh waktu semalaman mengerjakannya secara berkelompok, tentu saja saya tak tega membuang hasilnya karena saya pikir ketika kita menyimpannya kita akan menghargai kerja keras kita itu. Lantas, apa yang terjadi? Setelah 10 tahun, kosan saya bak gudang dengan perkakas yang hampir saja tanpa space untuk duduk.

Suatu ketika, kosan saya kebanjiran karena selokan mampet. Berhubung kos saya di lantai satu, alhasil barang-barang saya banyak yang basah dan mau gak mau saya merelakan untuk buang sebagian dan sebagian lagi tetap saya simpan. Sebenarnya, barang-barang itu tak serta merta saya gunakan setiap hari. Saya hanya menyimpannya dan menjaga setiap memorinya. Ternyata saya salah! Barang-barang itu banyak yang semakin lembab setelah tetap saya simpan setahun setelah banjir itu datang dan malah merusak barang lain yang sebenarnya masih bisa digunakan kembali. Semenjak itu, saya akhirnya pindah ke kosan baru, banyak barang-barang saat kuliah yang terpaksa saya buang, tapi tetap saja masih ada 30an container 70 literan. Bayangkan! 30an box ya! Pindahannya pun 30 hari sebelum penempatan kosan baru. Beruntungnya, mas kosan baik diperbolehkan menghuni kamar satu bulan setelah itu setelah loading barang. Inilah yang membuat saya tidak suka pindahan! Ya, karena barang-barang saya banyak!

Pernas suatu hari saat kami pulang dari kampus, seorang teman nyeletuk, "Tuh, Put, Mbak Dian nih barang-barang di kosannya banyak. Semua disimpan sama dia!" Lantas, aku balas, "Ya, aku hanya mau menjaga kenangan dan barang-barang itu penuh memori!" Belum selesai, salah satu kawan pun berkata, "Gak mungkin Lo simpan terus itu barang. Pasti suatu saat Lo akan buang itu!" "Tidak mungkin!" jawabku dengan berbagai idealisme tinggi.

Benar saja, saya pikir saya akan bisa tetap menampung semua hal yang bisa saya jaga, termasuk barang-barang itu. Mungkin saya perlu buka gedung museum kali ya untuk merealisasikan hal itu. Sayangnya, saya salah memilih menjadi orang yang menyimpan setiap kenangan. Saya salah terlalu enggan untuk meninggalkan masa lalu. Saya salah menjadi orang yang terlalu pemikir dan takut kehilangan. Ya, padahal sebenarnya kita bisa mendapat hal lain yang lebih bermanfaat untuk masa kini dan masa depan selain memikirkan masa lalu. Ya, saya masih belajar untuk hal ini. Untuk menghargai setiap momen waktu dan merelakan setiap momen itu tersimpan pada tempatnya, tapi tak ingin memaksanya tersimpan, hanya biarkan saja apa adanya. Dan benar saja, saya tak bisa terus menyimpan setiap kenangan yang ada, cukup nikmati saja dan ikuti saja perasaan apa yang muncul saat itu juga. Itu saja cukup. Nikmati saja selagi bisa, tidak perlu membebani diri sendiri dengan masa lalu, karena kita hidup bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa kini dan masa depan.

Biarkan rencana Tuhan yang bertindak! Kita akan belajar banyak hal. :) :) :)