Minggu, 26 Mei 2013

Dear My Little Brother II



Hari ini, kau bercerita tentang hal yang membuat kau bahagia dan hal yang membuat kau takut. Kau telah memutuskan masa depanmu. Ke manakah langkah jejak kakimu akan kautelusuri? Aku percaya, kau mampu!

Tahun 2010 adalah gebrakan bagiku dan pastinya hal baru untuk keluarga kecilku. Mungkin kau juga merasakannya saat ini.

Aku tahu sekali bagaimana rasanya lulus dari Sekolah Menengah Atas? Ya seperti tahun 2009 itu! Sebuah sejarah panjang dalam hidupku. Beradu nasib! Mungkin kesempatanku tak seperti teman-teman lain, yang begitu didukung keluarga-dan pastinya mereka dari golongan berada. Kuliah, tinggal pilih jurusan dan perguruan tinggi yang menjadi idam-idamannya. Sebenarnya, aku sempat iri dengan kondisi demikian. Aku iri, mengapa hidupku tak seberuntung mereka? Ah, begitu bodoh aku kala itu. Tak pernah bersyukur!

Sebagai anak perempuan yang dituakan, aku punya tanggung jawab besar terhadap adik-adikku. Satu hal yang kupikirkan, "Jika aku tak kuliah, maka aku hanya akan menjadi beban keluarga." Bagaimana kelanjutan adik-adikku kelak? Entahlah, mungkin aku seperti lilin yang mati dalam gelas hampa udara. Tak bisa jadi penerang, tapi malah terkungkung.

Aku lahir dari sebuah desa dan tahulah bagaimana adat desa yang begitu kental untuk anak perempuan. Lulus sekolah, kalau tak kerja pastinya menunggu lamaran dari seorang lelaki. Itu mungkin sudah menjadi tradisi turun-temurun. Dan aku tak menginginkan hidupku hanya sebatas itu saja. Aku perlu pengalaman dan pendidikan untuk masa depanku kelak. Bukan malah pasrah dengan keadaan yang bisa mencekik leher para pemilik jiwa yang enggan berubah. 

Ya, impianku masih banyak untuk kuraih. Jalanku masih panjang. Dan satu-satunya hal yang bisa mengubah keadaan adalah pendidikan, begitu bagiku. Lulus sekolah telah membuat kegalauan. "Ke mana ya setelah aku lulus nanti? Kuliah atau kerja?" Pilihan yang sulit!

Dalam hati sebenarnya, aku ingin bisa kuliah-mengenyam bangku pendidikan. Pikirku, jika aku bisa melanjutkan pendidikan maka peluang dan kesempatan kerja lebih luas. Pertanyaan selanjutnya, "Biaya sekolah mahal! Mampukah orang tuamu membiayai kuliahmu?" Pertanyaan itu segera kandas di tengah jalan. Kubuang jauh-jauh merengek ke orang tua untuk bisa kuliah. Aku sudah membebani beliau, tak mungkin menambah berat lagi beban itu. 

Kuliah memang menjadi pilihan ke sekian dalam silsilah keluarga, tapi aku terlalu keukeuh dengan keinginanku, impianku! Ya, aku perjuangkan!

Pernah salah satu teman berkata, "Setelah lulus mau ke mana?"
Lalu kujawab, "Aku ingin kuliah!"
Dengan nada bercandanya, "Kalau bermimpi itu jangan tinggi-tinggi, nanti kalau jatuh sakit!"

Ah, itu hanya pikiran orang yang pesimistis. Aku hanya diam. "Oke, akan kubuktikan. Aku tak main-main untuk mimpi-mimpiku!" pikirku.

Faktor ekonomi, mungkin telah menjadi permasalahan sebagian besar orang. Tak terkecuali untukku. Apakah di dunia ini ada yang gratis? Kupikir perlu dipertimbangkan lagi. 

Satu-satunya jalan yang kupikirkan adalah mencoba jalur beasiswa. Dalam kasus ini, beasiswa UGM tahun 2009, mungkin belum jalur yang tepat. Ya, kegagalan menghampiriku. Jurusan matematika murni yang kuinginkan tak membuahkan hasil. Kota Jogja yang sempat menjadi kota impianku harus kukatakan, "Good bye!" Cukup sampai di situ saja. 

Kegagalanku telah memperburuk keluarga. Ayahku sakit parah, mungkin terlalu memikirkan aku. Sedangkan aku terlalu keras kepala untuk urusan kuliah. Betapa bego aku ini waktu itu. Ya, kesalahanku mungkin terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.

Melihat kondisi yang tak memungkinkan, aku pun memutuskan untuk membekukan mimpiku itu dalam beberapa waktu. Entah sampai kapan, aku tak yakin. Aku harus bekerja!

Di dunia kerjaku pun begitu keras. Kekolotan pemikiran tetap menjadi kendala paling sulit untuk diselesaikan. Modalku hanya satu: jujur. Dan kuyakin, orang-orang yang berdiri menusukku dari belakang tak akan bertahan lama. Ini adalah sebuah pertandingan dan aku butuh perjuangan untuk menjadi seorang pemenang. 

Di sela-sela kesibukanku, selalu ada impianku. Aku sengaja menuliskan mimpi-mimpiku itu dalam buku pribadiku. Mungkin itu hal konyol yang pernah kulakukan. Daftar ketiga adalah aku ingin kuliah tanpa memberatkan orang tua. Ya, malah catatan itu masih ada hingga saat ini. Sengaja kusimpan sebagai tanda sejarah yang pernah kutuliskan. Biarkan abadi bersama perjuanganku. Aku percaya, suatu hari nanti akan kuraih satu per satu.

Kuniatkan diri lagi untuk gencar-gencaran mendaftar beasiswa. Langkah keduaku adalah Beasiswa ITB 2009. Diam-diam aku mendaftarkan diri dengan jurusan ... Hayati. Entah apa lengkapnya, aku sudah lupa. Jurusan itu sengaja kupilih karena aku lebih menyukai MIPA daripada ilmu sosial. Kupikir, kemampuanku bisa membantu untuk mendapatkan beasiswa itu. Namun, apa yang terjadi? Gagal lagi!

Bahkan aku benar-benar tak tahu apakah mimpiku itu terlalu muluk atau hal yang tak mungkin. Aku terhenti melangkah. Aku terjatuh dan takut untuk melangkah lagi. Sudah kuputuskan, kukubur hidup-hidup mimpiku itu. Sudah cukup!

***

Satu tahun bekerja memberi pengalaman yang cukup menjadi gebrakan baru diriku. Walaupun gaji tak seberapa, tapi setidaknya lumayan cukup. Ya, tujuh puluh ribu seminggu dengan 8 jam per hari, mungkin gaji yang sungguh di bawah UMR. 

Tak mempersoalkan gaji, aku bersyukur bisa bekerja. Walaupun masih terasa jauh masa depanku, kuliahku, dan mimpi-mimpiku yang lain. Terlebih lagi, adik-adikku. Ya, beginilah beratnya jadi anak yang dituakan. Harus punya benteng pertahanan semangat yang tinggi. Kalau pondasi saja tak kuat, akan jadi apa bangunan di atasnya nanti?

Bekerja memang butuh keuletan dan kegigihan. Dan aku telah berusaha semampuku. Aku percaya, aku mampu menyelesaikan tugas-tugasku itu. Hidup adalah perjuangan dan pilihan. Jalan mana yang akan ditempuh untuk meneruskan perjalanan itu?

***

Jakarta, 2010

Pertama kali kuinjakkan kaki di Jakarta ini. Apakah impianku memiliki jalan? Kuliah? Tak sia-sia. Kuingat kata-kataku dulu, "Aku akan kerja setahun, lalu kuliah di tahun berikutnya."

Ini benar-benar nyata. Alhamdulillah, aku lolos seleksi masuk ke Sampoerna School of Education. Di sanalah, di kampus mungil itu perjuanganku dimulai kembali. Keluarga kecil yang memberi semangat dan jalan untuk masa depanku.

Daftar ketigaku dalam list mimpi-mimpiku telah tercoret saat ini. Menunggu catatan lain untuk segera diluapkan karena telah kuraih pula.

***

Jakarta, 2013

Terima kasih Bapak, Ibu, kedua adikku, dan orang yang mendukungku, aku telah sampai di sini. Semester 6 ini, harus tetap semangat. Biarkan catatan ini menjadi penyemangatku ketika aku hendak terhenti untuk meraih mimpi. 

"Berjuanglah sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya." 
-Nyai Ontosoroh, dalam buku "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer-

#Teruntuk orang yang aku sayangi dan yang menyayangiku.
Dian yang sekarang bukanlah Dian yang terkungkung dalam penyesalan seperti dulu, tapi Dian sekarang adalah Dian yang tegar dan terus berjuang!

*Catatan ini sengaja kutulis kembali sebagai sejarah hidupku sampai kapan pun.
25 Mei 2013

Dear My Little Brother I



Ah, sebagai lelaki, kau sungguh rapuh. Kau begitu cepat meneteskan airmatamu di depanku. Aku tahu, kau terlalu bahagia mendengarkan kabar yang kau tunggu-tunggu: kau lulus. Dan siang ini, kau meneleponku dengan bangga. Ah, betapa aku rindu kebersamaan itu. Jika kau tahu, aku sungguh ingin memelukmu erat. Kita bercerita tentang jalan yang kita tempuh, kisah duka dan suka yang telah kita lalui. Aku akan diam mendengarkan kau bercerita banyak hal di bawah rindangnya Mahoni depan rumah. Lalu, bagaimana bahagia hatiku melihat senyuman yang merekah di bibir merah jambumu? Aku bahagia.


Kau tahu, di saat kau berteriak kecil memanggil namaku, tanpa kusadari airmata ini pun menetes tak terhalangkan. Walau ada jeda waktu dan ruang, kurasa kita telah bertatap muka langsung. Entah mengapa, aku terbawa suasana untuk menjadi rapuh. Mungkin rinduku telah memaksa diri ini untuk menggugat emosi. 


Ah, kuingin kau tumbuh menjadi pribadi yang tegar, tahan banting. Hari ini kau lulus, ini adalah awal masa depanmu. Kau harus lebih menang daripada aku. Jangan cengeng! Kuharap jalanmu lebih baik. Kau lelaki! Bermimpilah tinggi, kejar mimpi-mimpi itu sekuat tenaga. You are great! I miss you! 

Tetap berjuang!


Lovely,

Your Sister
*Dari pojok kos, Jakarta.
24 Mei 2013

Minggu, 19 Mei 2013

Menengok Kembali Pancasila



Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027

“Banyak dari kita sebagai generasi muda yang terdidik dan sadar akan kesejahteraan rakyat tak mengacuhkan politik. Hal ini dapat berakibat lagi-lagi para politikus yang menduduki kursi kepemimpinan adalah orang-orang yang hanya bermental tempe dan ujung-ujungnya korupsi, memimpin tak becus, dan rakyat disengsarakan!”

            Tiba-tiba saja terlintas di benak saya membenarkan kata-kata itu. Sebuah diskusi di kelas Pancasila, entah itu pertemuan ke berapa, saya lupa, itu pun mengetuk hati. Jujur, selama ini saya paling anti politik. Bagi saya, politik adalah candu dan “tahi kucing”, maaf sebelumnya. Saya merasa muak dengan sistem politik yang tak bersih, jabatan pemerintahan yang masih nepotisme, dan janji-janji palsu dari para pemegang jabatan itu. Entahlah, selama ini saya golput dalam hak memilih saya sebagai rakyat Indonesia.

            Mungkin, Anda akan mengatakan, “Bagaimana mau menjadi warga yang baik, kalau lagi-lagi golput? Apakah sudah menyelesaikan kewajiban selain menuntut hak?” Ah, mungkin saya terlalu kolot untuk hal ini. Saya tak tertarik dalam pembahasan politik, apalagi harus memilih orang yang dicalonkan sebagai “wakil rakyat”; orang yang tak pernah saya kenal.

            Pepatah lama yang masih berlaku, mungkin, “Tak kenal maka tak sayang”. Ya, saya tak pernah berusaha mendekatkan diri, menguak pengetahuan tentang calon-calon wakil rakyat tersebut. Saya selalu hanya sekadar tahu saja, malah parahnya hampir saya kadang-kadang tak tahu nama calon legislatif itu. Tragis memang dan itu memang benar-benar kenyataan yang saya lalui.

            Malah, beberapa hari yang lalu, kata “politik” menggelitik pikiran saya. Suatu pagi, politik menjadi "guyonan" di pasar. Seorang penjual menjajakan dagangannya sambil merayu pelanggan, "Saya itu kalau jualan bersih Bu. Nggak kayak pemeritah yang korupsi. Di sini nggak masuk TV, jualan saya itu nggak korupsi. Lihat aja di KPK, direkam akibat banyak pejabat yang korupsi." Begitulah dengan logatnya yang dibuat-buat, santai.

Korupsi, rakyat sengsara, dan tatanan negara semrawut telah membekas di pikiran sebagian orang, begitu pula dengan saya. Ketidakpercayaan saya mungkin telah memberi pandangan bahwa politik terlalu pembohong. Saya sempat “galau” tentang politik pada arti yang sebenarnya. Apakah saya sudah tahu seluk-beluk dunia perpolitikan? Saya rasa masih belum. Sebenarnya, kita perlu mendalami politik tidak hanya dari satu pihak keburukan saja, tetapi kita juga perlu membaca dari sisi kebaikannya. Dan itu masih dalam proses perjalanan hidup saya.

            Kembali lagi tentang kalimat petikan refleksi awal di tulisan ini, hati kecil saya membenarkan hal tersebut. Lantas, apa yang akan saya lakukan untuk menanggapi pernyataan itu? Setelah kelas Pancasila beberapa pertemuan, seakan membuka mata hati saya untuk sedikitnya atau mungkin lebih cocoknya lebih banyak “tahu” tentang dunia politik. Alasannya adalah agar kita tak dibodohi oleh orang yang bodoh.

            Untuk saat ini, saya sempatkan diri untuk membaca sedikit demi sedikit dunia politik. Sebuah buku yang saya sukai adalah buku “Catatan Seorang Demonstran” – Soe Hok Gie. Membaca ulasan-ulasan Gie, membuat saya termangut-mangut. Sungguh besar semangat beliau untuk membela rakyat memang dari hati. Sangat berbeda dengan zaman sekarang. Jika dulu, para pemuda memang berjuang demi rakyat, sekarang saya masih menyangsikan “Apakah tujuan mulia itu masih ada?”. Entahlah. Beberapa celetukan seorang teman dalam sebuah obrolan ringan di tanggal 1 Mei 2013 kemarin, “Orang-orang berdemo di hari Buruh. Saat ini banyak sekali aksi demo yang hanya “dibayar” dan dikoordinir oleh beberapa orang.”

Kata “dibayar” masih membuat saya gamang. Apakah perjuangannya hanya sebatas untuk dibayar saya? Lagi-lagi masalah uang. Memang, siapa sih yang tak suka uang? Jika ada, mungkin orang itu sudah sedikit “gila”. Hidup ini mau tak mau harus ada uangnya, walaupun tak harus “gila uang”. Itu pendapat saya, jangan sampai kita diperbudak oleh uang.

Lalu, sebuah ungkapan yang pernah saya dengar atau baca, hanya saja saya lupa sumbernya, “Para pendemo lari tunggang-langgang bukan karena takut aparat negara, melainkan hanya karena serbuan hujan. Sebegitukah mental muda saat ini?”

Sebuah refleksi saya, sebenarnya saya tidak begitu setuju jika kita harus turun ke jalan-jalan dan merusak fasilitas negara dengan embel-embel “membela rakyat”. Jika ingat, Soekarno dan Soeharto turun dari kepresidenan diikuti oleh aksi tragis dari para mahasiswa. Lantas, apakah jika kita turun di jalan dan mengulang sejarah kelam, itu hal yang masih pantas? Saya rasa pejabat juga sudah waspada dan punya strategi untuk mengantisipasi pengulangan tersebut. Walau masih ada kemungkinan hal itu bisa terjadi, tapi saya tetap kurang setuju jika kita turun ke jalanan dan melakukan aksi heroik dan brutal seperti yang sudah-sudah. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang kena. Biaya negara untuk mengganti fasilitas itu pasti akan membludak dan uang yang seharusnya untuk rakyat terpaksa digunakan. Menyedihkan memang.

            Sebenarnya, paparan saya di atas sedikit berkaitan dengan peranan Pancasila dalam kehidupan saya. Apakah Pancasila penting bagi kehidupan saya? Refleksi saya, selama ini pelajaran Pancasila hanya diajarkan untuk dihafal. Bahkan saya pun lupa tentang butir-butir Pancasila. Ironis memang, tapi mau bagaimana lagi? Saya rasa peranan Pancasila kurang melekat di kehidupan saya, entah saya sadari maupun tidak.

Jika kita mengingat, sebenarnya Pancasila sebagai dasar negara seharusnya menjadi landasan atau kompas kehidupan kita. Segala sumber tertib negara, hukum, dan jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral Pancasila (Soegito, 2009, dalam Susanto, 2013). Sayangnya, tak banyak orang menyadari hal tersebut, termasuk saya.

Saya tidak tahu, apakah saya sudah termasuk orang yang ber-Pancasila atau bukan? Bagi saya, hidup ya berkelakuan baik saja. Saling menghargai sesama, lantas tidak keluar dari pedoman yang diikuti. Sebenarnya begitu menurut saya.

Jujur, saya “galau” kalau harus menjawab apakah tindakan saya sudah berdasarkan Pancasila? Refleksi, menurut saya, saya sudah melakukan yang terbaik. Hanya saja, sebagai manusia saya tak pernah luput dari kesalahan juga. Saya pernah melenceng dari aturan dan mungkin itu adalah titik di mana saya merasa jenuh, bosan jika harus baik-baik saja.

Saya akan bercerita tentang hal yang mungkin sederhana, tapi ini adalah pengakuan dosa. Tanggal 2 Mei 2013, adalah hari Pendidikan Nasional. Saya sadar bahwa di kampus akan diadakan upacara bendera. Dari tahun ke tahun, baru kali ini, yang saya ingat, saya tidak hadir dalam upacara tersebut. Entah apa yang membuat saya merasa bersalah karena hal tersebut.

Pagi itu, saya sudah bangun pagi dan berencana untuk masuk pagi, datang tepat waktu. Saya hendak berangkat, tapi saya mengingat sebuah paying di kamar saya. Payung itu milik teman saya dan harus saya kembalikan hari itu juga. Ketika saya lipat dan bereskan, tiba-tiba saya kilaf dan teledor. Sebuah besi penyangganya pun patah dan paying itu rusak. Saya merasa bersalah. Teman saya sudah baik kepada saya, tapi saya malah tak menjaga kepercayaannya dengan baik. Saya berusaha keras untuk membetulkan paying itu, tapi ternyata susah sekali. Saya berusaha keras, tapi malah ada besi lain yang patah. Saya panik dan akhirnya tak melihat waktu yang terus berjalan. Jam telah menunjukkan lebih dari jam delapan, itu berarti saya telat jika harus mengikuti upacara.

Satu hal yang ada di pikiran saya: ragu. Apakah saya harus ikut upacara, tapi kepercayaan teman saya itu? Saya bingung memutuskan, saya takut. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak mengikuti upacara.

Sebenarnya bukan gara-gara saya tak menghargai Indonesia. Saya bangga memiliki Indonesia. Ada sebuah celetukan dari teman, “Bangga jadi Indonesia ya? Tadi ikut upacara memang?”

Menaggapi hal tersebut, sebenarnya saya sedikit sebal. Apakah dengan cara ikut upacara saja berarti kebanggaan itu sudah dicapai? Saya rasa belum. Jika saya perhatikan, tak semua peserta pun merasa nyaman ketika ikut upacara. Apalagi kalau cuaca panas. Bagaimana sikap siap sempurna saat upacara pun mungkin telah sedikit terlupakan? Ah, saya tak mengikuti upacara kemarin, saya sangat menyesal rasanya. Benar-benar timbul rasa bersalah dalam hati.

Mengingat pengamatan saya, tak semua orang peka terhadap sikap-sikap saat upacara. Di sini tak pantas saya menjabarkan dan menilai sikap orang lain, jadi saya hanya menilai diri saya saja. Jujur, saya terkadang enggan untuk berdiri di tengah lapangan yang panas. Itu manusiawi, tapi entah mengapa saya menjadi mampu bertahan di kondisi yang seperti itu. Upacara bagi saya adalah hal yang sakral. Pengenangan masa lalu dan rasa memiliki pun muncul. Hal yang saya anggap pokok dari upacara adalah pengibaran bendera. Saya selalu was-was kalau menyaksikan pengibaran bendera tersebut. Saya takut kalau pengibaran tersebut tak berlangsung lancar.

Pengalaman saya sewaktu sekolah dasar mungkin menjadi traumatic tersendiri bagi saya. Dulu, saya pernah mendapat tugas mengibarkan bendera di sekolah. Sayangnya, saya lalai dalam tugas. Akibat kesalahan saya, pengibaran bendera menjadi berantakan. Saya sangat sedih waktu itu. Sampai saat ini, saya menjadi takut kalau bendera gagal berkibar gara-gara kesalahan yang sama dengan saya.

Hal menarik lainnya adalah pembacaan Pancasila. Di sini, saya menyayangkan, mengapa Pancasila hanya dihafal? Jujur, jika saya ditanya apakah Pancasila itu? Saya akan menjawab lima aturan. Memang benar bukan? Lantas saya akan mengingat lima sila dalam Pancasila, itu saja tanpa mendalami dan menggali lebih dalam penjabaran Pancasila itu sendiri.

Ah, membahas Pancasila mungkin tak akan berakhir secepat itu. Saya pernah membaca sebuah ulasan di facebook tentang pendapat seseorang mengenai Pancasila. Menurutnya, Pancasila dan UUD adalah sesat. Pancasila diagung-agungkan padahal Pancasila hanya sebuah lambang dan dibuat oleh manusia. Walaupun saya hanya sekilas tahu tentang Pancasila, tapi saya tetap tak setuju jika Pancasila dianggap sesat.

Bukankah Pancasila sebagai harapan bangsa? Coba saja lihat, Indonesia terlalu banyak macamnya. Mulai dari bahasa, latar belakang, kebiasaan, agama, ras, golongan, dan suku, sampai kepulauan yang berbeda-beda. Dari segala perbedaan tersebut, muncullah yang disebut Indonesia.

Masih ingat dengan semboyan yang tertera dalam cemngkraman burung garuda di simbol Pancasila? “Bhineka Tunggal Ika” : walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Hal inilah yang merupakan ciri khas Indonesia. Jika kita ingat saja, bagaimana sejarah masa lampau itu terjadi?

Saya mulai suka untuk mendalami sejarah dari hati, ketika saya mendapat kelas Pancasila. Entahlah, dulu saya di sekolah dasar dan menengah hanya dicekoki oleh hafalan yang luar biasa, tapi tak pernah merasa butuh sejarah. Sekarang saya benar-benar sadar, sikap saya yang dulu adalah salah. Saya butuh ilmu pengetahuan tentang sejarah saat ini untuk tahu alur dan jalan ke depan.

Mempelajari sejarah ternyata menyenangkan dan saya sangat senang. Ada seorang teman bertanya, “Apa sih enaknya membaca buku sejarah kayak Soe Hok Gie itu?” Saya pun membeberkan bahwa sejarah Indonesia itu sangat seru dan poin besar adalah untuk belajar dan memetik pandangan baik orang zaman dahulu. Saya belajar tentang perjuangan mereka, pemikiran kreatif, dan inilah wawasan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kepada kita.

Jujur, saya merasa kecil jika menyaksikan perjuangan para pahlawan dulu. Kritis, berjuang keras, pantang menyerah, dan berani. Sedangkan saat masa sekarang, saya belum mampu berkontribusi apa-apa untuk Indonesia ini. Membaca sejarah dapat mengajak saya ke masa lalu. Saya benar-benar seperti masuk dalam dunia penjajahan, zaman terdahulu. Saya berefleksi, jika ada sejarah zaman dahulu pasti beberapa tahun ke depan, tahun ini akan menjadi sejarah yang berarti untuk masa yang akan datang.

Oleh sebab itu, saya berusaha untuk mengukir sejarah hidup saya untuk masa depan. Saya suka menulis dan saya akan tetap menyimpan dan mempublikasikannya. Mungkin ini salah satu kontribusi untuk Indonesia. Buku-buku itu semoga bermanfaat suatu hari nanti. Saya senang bisa berbagi lewat tulisan. Ini adalah menyenangkan.

“Saya yakin, suatu hari nanti saya akan tetap dikenang karena prestasi saya bukan karena keburukan saya. Jika saya telah tiada, nama saya tetap ada bersama karya-karya saya.” Seperti Pancasila dan buku-buku sejarah, mungkin.

Secara tak langsung hal-hal tersebut di atas juga termasuk pengamalan sila-sila Pancasila. Setiap orang punya harapan untuk hidup nyaman, sentosa, adil, makmur, dan sejahtera pastinya. Sebenarnya, jika kita mau menilik kembali tentang nilai moral yang diajarkan dari kearifan lokal daerah kita, akan memiliki kemiripan dengan Pancasila. Mulai dari lingkungan keluarga saja, coba kita perhatikan. Kita harus patuh terhadap orang tua kita, bukan? Memiliki tuntunan agama, kebutuhan tercukupi, bersatu dengan anggota keluarga yang lain, hidup damai, sejahtera, berdiskusi untuk menyelesaikan masalah, dan menghargai orang lain. Sebenarnya, kita sudah diajarkan tentang kandungan Pancasila itu secara tak langsung. Hanya saja sebagian besar kita tak sadar bahwa kita telah melakukan Pancasila.

Saya rasa Pancasila sebenarnya telah kita lakukan di kehidupan sehari-hari, sayangnya kurang tergali lebih dalam. Jadi kesimpulan saya adalah pancasila bukan menjadi tuntunan, tapi sebagai harapan kita semua. Indonesia berharap jika rakyatnya semua telah melakukan hal-hal yang berhubungan dengan penjabaran Pancasila tersebut, Indonesia menjadi lebih baik. Seharusnya kita sendiri yang sadar akan hal tersebut, bukan malah menuntut negara untuk menjalankan Pancasila. Kita semua memiliki tugas untuk mencapai harapan dan cita-cita Indonesia yang termaktub dalam lambang Pancasila tersebut.

Indonesia memiliki begitu banyak masalah saat ini. Itu semua bukan akibat dari sistem pemerintah yang salah. Semua itu karena setiap individu belum mampu mengemban tugas: mencapai kemerdekaan untuk memikirkan masa depan Indonesia. Mungkin memang susah karena dalam kepala setiap orang berbeda-beda. Saya pun merasa belum mampu berkontribusi juga.

Bagi saya, tak harus sama apa yang kita lakukan untuk negeri ini. Tak harus ikut-ikutan berdemo menuntut pemerintah. Kalau hanya ikut-ikutan sama saja dengan kebohongan masal. Apa pun yang bisa lakukan untuk RI, hal yang bermanfaat, lakukan saja. Biarkan mengalir apa adanya. Tugas kita bukan lagi menuntut pemerintah, tapi mencapai harapan bangsa. Pancasila adalah harapan Indonesia, dan tugas kitalah untuk membantu mencapainya. Haruskah Indonesia hanya bisa berharap? Mari kita refleksikan dalam diri sendiri.

****

Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa. Dibaca pada tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#

Jumat, 17 Mei 2013

REFLEKSI

JADILAH DIRI SENDIRI!!!

17 Mei 2013 # SEP

Akan ada masanya di mana setiap orang yang berada di sekelilingmu pergi. Dia akan meninggalkanmu sendiri dan tak akan lagi menyapamu seperti sedku benciiiiiiakala. Bahkan kau tak akan mampu untuk mengembalikan lagi segala itu dengan baik.

Aku tak pernah menyukai apa yang namanya keterikatan. Bagiku itu akan menyakitkan dan membuat kau semakin terluka jika suatu saat ada yang berkhianat. Aku lebih suka hidup sendiri, mungkin inilah yang disebut pengasingan.

Bisa jadi semua orang telah merasa bosan. Entah mengapa aku tak mampu lagi untuk merasa nyaman di lingkungan yang begitu mengikat. Atau bahkan inikah yang disebut kekecewaan? Ah, aku begitu ingin menangis rasanya, tapi mata ini tak mampu untuk meneteskan sedikitpun airmata. Mata ini telah lama mengering untuk berduka hanya karena sebuah kekecewaan.

Ah, aku sangat benci dengan orang yang pernah melukai hatiku. Walaupun itu hanya sedikit, tapi aku benar-benar kecewa. Dalam perspektifku, mereka terlalu egois!

Aku benciiiii!!!

Sebuah hal yang membuat aku merasa dibodohi adalah ternyata keterikatan dan kepercayaanku dikhianati. Aku tak tahu, mungkin aku yang terlalu egois dan selalu ingin tahu.

Ah, ini bukan penyesalan, tapi ini adalah teriakan hati. Aku tak pernah mampu untuk mengunyah segala macam menu, tapi aku terlalu kenyang dengan apa itu rasanya "kurang dihargai".

Mungkin, pengasingan adalah satu-satunya cara untuk pelampiasan dan menjadi hal yang istimewa untuk mengerti hidup ini.

"Tak semua orang bisa kita bahagiakan karena dunia memang seperti itu."

-Kaikiri Sensei-

Ya, sebuah pesan dari Sensei yang membuat saya kagum. Dan itulah kenyataannya.

Rabu, 01 Mei 2013

Dia (Pancasila), yang Terlupakan


Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027

Kutatap langit Indonesiaku, kupijakkan kaki pada bumi pertiwiku. Bibirku tertawa kecil, lantas kuputar memori terdahulu hingga kini. Terekam segala peluh dan sejarah panjang masa lalu. Kupelikkan mimpi-mimpi nan surut lagi! Masihkah ada sisa? Indonesiaku ke manakah dirimu? Beta tengah lama tak berjumpa dan aku merinduimu!

Dulu,
Kaki-kaki kecil meniti, menelusuri jalan setapak, berlumur darah, dan noda. Bertahan pada benteng-benteng perjuangan tanpa nama. Mati bertaruh nyawa, tanpa tercantum dalam sejarah bangsa

Kaki-kaki kecil terseok, membawa kabar: Indonesia merdeka! Senyum kecil terpampang di wajah-wajah pilu. Sentosa? Mungkin! Pribadi masih berharap mimpi segera menghampiri raga

Kaki-kaki kecil menapak tanpa alas, pengumbar ide para pembela. Neraca waktu tetap berimbang, seadil-adilnya. Para kepala tak berbudak pada tuannya dan setia pada negara. Generasi muda berpengayom, rohaniah terpenuhi, lantas istilah makmur diperjuangkan

Kaki-kaki kecil berlari kencang. Mengulur benang, menggantungkan cita setinggi-tingginya. Membawa satu hal pribadi bangsa Indonesia:
Garuda berperisai dengan pilar-pilarnya. Pancasila disebutnya.
Cengkraman kaki kuat sebuah pita persatuan:
Bhineka Tunggal Ika. Itulah semboyannya.

Aih, mungkin itu dulu. Zaman tiap insan sadar dan berbaur pada alam. Kini, kaki-kaki kecil lelah, langkahnya hampir terhenti. Mata-mata penuh harap masih tersisa. Aku, kau, kita hampir meredup. Bagai lilin tanpa sumbu, lama-lama mengoyak tubuh sendiri lantas mati! Ah,  budi pekerti telah tergerus zaman. Yang dulu digembar-gemborkan pun tak lagi terdengar. Apa? Adil? Makmur? Sentosa?

Lihatlah lagi candu-candu kehidupan marak menjejali otak! Korupsi! Kelaparan! Mengemis! Bayi-bayi kecil meronta meminta susu, tapi malang! Menunggu nasib, gizi buruk tetap membebat lengan! Ah, kapan makmur? Harapan yang dulu diperjuangkan masihkah tersisa? Atau hanya sia-sia belaka, menunggu usia tua?

Ah, pribadi bangsa telah pudar, terikis oleh zaman yang disebut globalisasi. Zaman tua renta ini, kapan ada lagi Pancasila untuk negeri?

Jakarta, 2013
-Dian Sulistiani-

            Puisi tersebut sengaja saya tulis sebagai pembukaan tulisan ini. Beberapa kata dan kalimat, saya bold untuk menandakan pokok-pokok ide. Permasalahan yang terjadi saat ini berpilar pada pendidikan karakter lemah. Hal tersebut sering dikaitkan dengan implementasi Pancasila sebagai jati diri bangsa seakan luntur.

            Seperti yang telah sering kita perdengarkan sebuah lagu melegenda berjudul “Garuda Pancasila” pun turut bercerita tentang kegagahan Pancasila:

Ciptaan: Sudharnoto
Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju

            Lagu tersebut memberi semangat kepada para pelantunnya untuk tetap gigih memperjuangkan Pancasila sebagai kepribadian bangsa.

Jika kita tengok kembali sejarah masa silam, Pancasila diartikan sebagai cita-cita dan pengharapan yang wajib dijunjung tinggi oleh seluruh elemen di dalamnya. Pancasila juga sebagai dasar Negara Indonesia yang dibentuk dan dikembangkan berdasarkan kesepakatan bersama di atas segala macam perbedaan yang ada. Sebagai pondasi bangsa, Pancasila seyogyanya benar-benar menjadi dasar yang teguh dan bermoral. Sependapat dengan Dipoyudo (1984, Susanto, 2013), beliau menyebutkan penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa mengindikasikan bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara. Lalu, segala sumber tertib negara, hukum, dan jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral Pancasila (Soegito, 2009, dalam Susanto, 2013).

            Sayangnya, esensi dari Pancasila itu sendiri belum dimaknai di kalangan masyarakat. Realita yang ada, Pancasila masih dipahami hanya berupa verbal saja. Kita masih disodorkan pada pelafalan kelima sila dalam Pancasila saat upacara bendera, misalnya. Itu pun kalau masih hafal di luar kepala. Bahkan tragisnya lagi, ketika kita duduk di sekolah dasar maupun menengah, kita hanya dituntut untuk mengerti konsep yang abstrak dari Pancasila tanpa mengerti pengimplementasiannya.

Pemahaman nilai-nilai Pancasila kurang sesuai perkembangan kognitif seseorang. Sebagai contohnya, pelajaran yang berbasis pada Pancasila di sekolah dasar kurang tergali mendalam. Seperti yang sempat saya alami ketika masih duduk di sekolah dasar, kebanyakan materi tentang Pancasila harus dihafalkan. Alhasil, sampai sekarang banyak materi yang terlupakan begitu saja. Bentuk riil dari Pancasila belum sepenuhnya menyatu dalam kehidupan. Padahal, Pancasila seharusnya tak hanya dihafal tetapi juga diimplementasikan. Memahami tidak cukup menghafal saja, bukan? Sudah selayaknya Pancasila sebagai kompas pemersatu untuk menunjukkan arah menuju mimpi-mimpi Indonesia ini berjalan dengan baik.

            Pancasila bukanlah hal yang baru bagi kita, terutama bagi individu yang masih mengaku bangsa Indonesia. Sayangnya, dewasa ini Pancasila hanya dipandang sebelah mata. Arus globalisasi seakan membuat kita buta terhadap jati diri bangsa sendiri. Kearifan lokal masyarakat yang dulu dipupuk erat kini mulai luntur. Egoisme dan hedonisme masyarakat semakin tinggi.

            Mari kita refleksikan diri sendiri, sejauh mana kita mengenal Pancasila itu sendiri? Hanya dari sejarahkah? Hanya sebuah ukiran berbentuk burung garudakah? Atau malah sama sekali belum pernah melihat rupa simbol Pancasila?

            Pancasila hanyut dalam arus globalisasi. Banyak ciri khas dari kita, Indonesia, yang terlupakan begitu saja. Padahal Pancasila sebagai kepribadian bangsa seharusnya menjadi tameng dan filter segala hal dari luar. Sayangnya, penyaring itu telah lemah ditelan zaman. Seakan para pemiliknya tidak lagi memedulikan.

            Realita yang ada saat ini seharusnya bisa menyadarkan mata bangsa Indonesia. Beberapa pulau kecil tak terurus akhirnya “dicuri” bangsa lain. Karya anak bangsa, batik dan lagu “Rasa Sayange” pun turut andil menggegerkan bangsa akibat hampir “diambil alih” bangsa tetangga. Semua itu disebabkan oleh kekurangpekaan kita sebagai pemilik. Apakah tindak pembelaan selalu datang setelah direbut bangsa lain? Seharusnya tidak!

            Apakah mengelus dada saja cukup menyelesaikan permasalahan? Saya pikir hal itu bukanlah pemikiran kaum terdidik. Teringat oleh saya sebuah pernyataan salah satu dosen saya, “Jika belum bisa berkontribusi, setidaknya jangan ‘membebani’ orang lain.” Sebuah kalimat yang menohok dan tertancap di hati serta pikiran menurut saya. Ya, saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menjadi bahan refleksi diri.

            Lalu, apa hubungannya dengan Pancasila? Di sini kita berbicara bahwa Pancasila sebagai identitas bangsa. Pancasila menjadi ciri unik bangsa ini yang benar-benar milik sendiri. Bahkan perjuangan para pejuang terdahulu membutuhkan kucuran darah dan pemerasan tenaga serta pikiran. Berkontribusi adalah kewajiban kita sebagai penerus bangsa. Jikapun kita belum mampu, seharusnya kita sadar “tak menjadi beban” demi kemajuan bangsa. Sayangnya, lagi-lagi kita terlalu egois. Kita kurang peduli dan peka.

            Coba saja lihat dan cermati kondisi saat ini. Generasi bangsa lebih menggembargemborkan budaya bangsa lain. Gaya hidup dan style penampilan bangsa lain masih menjadi trend di kalangan masyarakat. Lalu, siapakah yang akan melestarikan budaya sendiri? Grup band Korea sebagai contohnya. Masyarakat lebih memilih untuk berjejalan di antara ribuan orang hanya untuk menonton pertunjukan grup idolanya daripada menyaksikan pertunjukan “Wayang”. Harga tiket tinggi pun tak dihiraukan masyarakat walau merogoh kantong lebih dalam demi kepuasan ego didapatkan. Begitu pula lagu “Gundul-Gundul Pacul” pun jarang dikumandangkan lagi. Berapa ribu bahasa ibu (daerah) yang punah tak ada jejak? Belum lagi gaya hidup orang barat lebih dipentingkan daripada kearifan lokal bangsa: gotong royong. Alhasil, khasanah bangsa semakin punah.

            Penyaringan budaya asing di Indonesia tidak lagi berdasarkan pada jati diri bangsa. Kesemrawutan sistem pemerintahan, belum tercapainya harapan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun masih menjadi pekerjaan rumah kita semua. Kondisi saat ini mengindikasikan bahwa Pancasila telah diabaikan begitu saja.

            Tidak hanya itu, bangsa ini pun seakan mengalami krisis moral. Beberapa permasalahan besar yakni: kurang kokohnya persatuan bangsa. Kita memang bermacam-macam suku, ras, agama, dan golongan, tapi tak selayaknya kita pecah dalam egoisme masing-masing. Sebagai contoh: konflik antarsuku di Papua, cek-cok antaragama, dan penegakan hokum yang dirasa sangat lemah. Pancasila bukan sebagai pemecah-belah, melainkan justru menjadi pemersatu. Sudah sepatutnya, kita sebagai generasi penerus menyadari dan melakukan strategi baru dari pemikiran-pemikiran baru pula. Jangan sampai kita didikte bangsa lain seperti zaman penjajahan terdahulu. Kisah masa lalu terulang kembali itu berarti kita tak dapat memperbaiki kesalahan. Jatuh pada lubang yang sama berarti “orang bodoh”.

            Berefleksi dari hal di atas, perlu adanya penafsiran-penafsiran baru untuk memaknai pancasila. Pengintegrasian esensi Pancasila itu sendiri di setiap unit masyarakat sesuai kontekstual pun sangat perlu dilakukan. Membersihkan Pancasila dari dramatisasi politik menjadi tugas kita. Mari kita benahi bangsa Indonesia berdasarkan ciri khas dan identitas bangsa: Pancasila. Memulai dari diri sendiri terlebih dahulu memaknai Pancasila secara benar. Bertindak sesuai Pancasila dan moral bangsa! Inilah tugas besar kita demi mewujudkan mimpi-mimpi yang diidamidamkan bangsa. Pendidikan berpancasila pun masih diperlukan. Hal ini dapat diwujudkan dari tangan-tangan pihak pemerintah dan rakyat yang berjalan selaras saling mendukung. Pemerintah tanpa rakyat cacat, rakyat tanpa pemerintah hancur! Semangat berjuang!

Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa. Dibaca pada tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#