Rabu, 07 Desember 2011

Perenungan untuk Bertemu Illahi


Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027 / Section A
“Siapa itu Tuhan? Mengapa Tuhan tidak terlihat? Kalau Tuhan ada, coba saya ingin makanan sekarang. Mana kok Tuhan belum beri mkanan juga?” begitulah tanggapan seorang anak tentang Tuhan. Konsep ketuhanan merupakan salah satu hal yang sering kali menjadi pertanyaan setiap individu. Pandangan mengenai bentuk dan wujud Tuhan tergantung dari diri masing-masing manusia dalam memreprentasikannya. Sering kali kita menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang ghoib atau tidak tampak namun ada. Sebenarnya konsep ketuhanan tidaklah untuk diperdebatkan namun Tuhan sebagai Sang Pencipta untuk diyakini. Walaupun Tuhan tidak tampak (ghoib) namun kekuasaan-Nya begitu luar biasa yang dapat kita nikmati setiap waktu. Semua tergantung masing-masing individu dalam memaknai Tuhan itu sendiri.
Berbicara seperti apakah bentuk Tuhan, semua itu sulit untuk dijelaskan. Tuhan tidak tampak namun masih bisa dirasakan bagi orang yang menyakini. Kita yakin doa dan harapan yang kita haturkan kepada Tuhan akan terwujud. Jika kita telah mencapai impian kita itu, sering kali kita lupa untuk bersyukur kepada Tuhan. Padahal semua yang terjadi, kita percaya semua adalah milik Tuhan. Coba saja bayangkan seandainya Tuhan tampak di mata manusia? Pastinya semua orang akan mengikutinya dan antri untuk meminta Tuhan mengabulkan semua keinginan. Jika kita pakai logika kita, bagaimana mengatur rezeki, takdir, dan lain sebagainya, siapa yang berkehendak? Semua itu atas kekuasaan Tuhan.
Mari kita renungkan sejenak. Bumi yang kita pijak, hewan, tumbuhan, laut, dan berbagai alam semesta ini, siapa yang menciptakan? Atau jika kita melihat langit, menembus jauh ke luar bumi, bermiliaran benda angkasa berada. Kita juga menemukan sebuah ruangan tanpa batas berada di sana. Atau yang lebih simple lagi, kita sebagai makhluk hidup setiap hari bernafas dan butuh makan. Dari mana datangnya udara dan berbagai sumber alam? Kita sebagai makhluk yang berakal seharusnya dapat berfikir mengenai itu semua.
Jika ditanya apa kepercayaanmu? Pastilah penulis menjawabnya Islam sebagai agamaku. Sebagian besar manusia yang terlahir dari keluarga dan lingkungan mayoritas Islam maka kemungkinan besar manusia itu akan memeluk Islam. Begitu pula dengan agama lain selain Islam. Apapun agama seseorang bukan menjadi masalah karena agama menjadi hak masing-masing untuk memilih dan meyakininya. Menurut penulis, semua agama mengajarkan kebaikan hanya saja sedikit berbeda tentang cara implementasiannya. Semua mengajarkan kita pada kasih sayang dengan orang lain.
Tempat Tuhan yang terdekat adalah berada di hati masing-masing hamba-Nya. Menjadikan pedoman untuk kebaikan dalam menjalani hidup. Mengatur segala kehidupan yang ada di bumi dan di langit. Bukankah Tuhan telah menunjukkan kekuasaannya akan alam semesta ini? Lalu apakah kita tetap memperdebatkan tentang kekuasaan Tuhan? Semua itu perlu menjadi refleksi kita dalam kehidupan ini. Alangkah baiknya kita sebagai hamba yang taat kepada-Nya, bersyukur terhadap apa yang telah ada.

Rabu, 02 November 2011

Perbedaan Identitas bukanlah Penghalang Persatuan


Oleh: Dian Sulistiani
2010110027/Section A

“Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta…”
--Soe Hok Gie--
Begitulah serangkai kata yang memberi secercah harapan dan penguatan dalam diri saya tentang sebuah perbedaan. Saya yakin setiap individu pasti tidak ada yang sama persis dengan individu lainnya. Walaupun banyak persamaannya namun hal tersebut pasti ada beberapa segi  yang berbeda. Hal ini telah menjadi anugrah Sang Pencipta kepada kita semua. Sayangnya tidak semua individu berhasil untuk berefleksi dan memahami sebuah perbedaan tersebut.
Berbagai macam perbedaan itu sangatlah nyata di kehidupan sehari-hari. Jika kita tengok kembali di sekeliling, kita akan menemukan berbagai keistimewaan tersendiri. Keanekaragaman telah melekat kuat di jiwa bangsa Indonesia. Banyak suku, agama, ras, adat, warna kulit, dan kebudayaan yang pastinya berbeda dari masing-masing individu maupun kelompok masyarakat. Semua itu bergabung dan menjadi ciri khas dari sebuah identitas seseorang dalam masyarakat.
Berbicara soal identitas, saya memiliki perspektif pandang dan definisi sendiri tentang hal itu. Identitas seseorang kebanyakan dilihat dari suku, agama, dan status sosial. Misalnya saja, saya lahir di daerah Jawa dan dari orang tua berkebudayaan Jawa juga. Maka dapat dikatakan bahwa identitas saya sebagai orang Jawa. Lalu bagaimana dengan teman kita yang ayahnya dari Batak, ibunya dari Sunda, tetapi dia lahir di daerah yang berkebudayaan Jawa. Bagaimana dengan identitasnya? Apakah dia termasuk orang Batak atau orang Sunda, atau bahkan orang Jawa? Menurut saya, untuk menentukan identitas suku seseorang sebaiknya kita perlu memilih dan memutuskan sendiri mana yang sekiranya kita nyaman berada di dalamnya. Kalau kita memang telah nyaman menjadi orang Jawa maka lebih optimalkan dan lebih selami lagi apa itu Jawa. Namun lantas kita jangan bertindak egois dengan keberadaan yang lain. Kita harus menghargai dan menerima keadaan serta pilihan orang lain di sekitar kita.
Kemudian, identitas seseorang saat ini sering dikaitkan dengan identitas keagamaan. Berefleksi setelah membaca Kompas (26/2) yang membahas tentang persoalan nasib minoritas. Di dalamnya ada pernyataan bahwa sentimen kebangsaan telah dikalahkan oleh sentimen keagamaan. Hal tersebut sering terjadi di kehidupan kita. Berbagai masalah misalkan saja penghalangan hak para pemeluk agama minoritas oleh pemeluk agama mayoritas mengenai tempat peribadatan. Secara pribadi saya menolak hal tersebut walaupun posisi saya sebagai pemeluk agama mayoritas di lingkungan saya berada. Identitas seseorang hanya dilihat dari segi agama saja. Bisa saja suatu waktu kita akan menjadi kaum minoritas di daerah lain. Apakah kita masih akan berlaku seperti itu? Mari kita renungkan jika kita alam posisi kaum minoritas. Saya setuju bahwa sifat kebangsaan dan kesatuan kita seakan-akan telah luntur oleh sikap egois dan hanya memandang orang lain dari salah satu segi saja.
Kebanyakan orang belum bisa memandang sesuatu dari semua segi tidak terkecuali saya. Banyak orang yang beranggapan orang Jawa itu lemah lembut. Namun apa yang akan Anda katakana saat bertemu dengan saya? Saya lebih suka dipanggil sebagai orang Jawa karena saya telah nyaman dengan Jawa. Namun saya tidak lemah lembut seperti yang orang katakan bahwa Jawa pasti lemah lembut. Apakah karena tidak lemah lembut lantas saya bukan orang Jawa?
Terkadang saya berpikir tentang pandangan-pandangan yang hanya dari satu pihak saja seperti stereotype, telah meracuni pemikiran kita. Pandangan tersebut seolah telah terpatri dalam memori. Bahkan saya masih sering terhasud oleh stereotype itu. Misalkan saja ketika saya mendengar kata Madura, yang terlintas di benak saya adalah orang Madura itu keras dan galak. Padahal dalam kenyataannya tidak semua orang Madura keras dan galak. Itulah mindset kita yang kadangkala membuat kita ragu untuk bergelut dan mendalami orang lain yang sebenarnya.
Langkah awal kita agar persatuan tetap ada di lingkungan yang beragam sebaiknya kita saling toleran dan peduli dengan sesama. Lebih mengenal identitas diri sendiri dahulu sebelum mengenal orang lain. Kalau kita saja tidak mengenal diri sendiri kapan orang lain mau mengenal kita? Jika ditanya apakah kita harus toleran dan peduli dengan orang lain yang tidak tolran dan tidak peduli terhadap kita? Saya menjawab harus sebab sebelum kita meminta dipedulikan dan dihargai orang lain, kita harus bersikap peduli dan menghargai orang lain terlebih dahulu. Dengan sendirinya timbal balik antara apa yang kita beri dan apa yang kita terima pasti ada. Oleh karena itu, tunjukkan bahwa diri kita dihadapan orang lain itu baik dan berarti bagi lingkungan sekitar.
Setiap perbedaan pasti saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Keberagaman di kehidupan kita merupakan khasanah yang sangat berharga dan wajib kita lestarikan sebagai jati diri bangsa. Keanekaragaman untuk menguatkan persatuan dan kesatuan, saling memiliki satu dengan yang lainnya, bukan malah pemecah belah.

Rabu, 05 Oktober 2011

Mathematics is Fun


What is mathematics? I am sure, we think some numbers, formulas, or x and y may be. Yups, that is not false. We are often say that mathematics is difficult, right? Okay, in here, we are going discuss about mathematics. Do you know, Guys? I have some opinion about that. Okay, are you ready with our discuss? Sippp, I will begin.
First, mathematics is a mother of science. Yups, I agree with that statement because mathematics is a ground of other science such as physics, biology, chemical and else. Do you remember? Okay, we can find that in physics. For example, we learn about acount numbers, or integral to find a speed value or acceleration or else. we can learn that in mathematics. It will be explored in mathematics. In mathematics, we learn about logic, arithmetic, algebra, geometry, probability, statistics, and calculus. So, we are not only learn about numbers but also we learn about logic statement. Mr. Rahmat Sagara said, “Do not ask about the benefits of science that we learn but believe that science has benefits for you.” Yups, I agree with him.
            Second, mathematics is language. Do you agree with me? Mathematics is often called “Language of nature” because it is so useful for modeling the natural world. We can find formulas of nature and go back in nature. That is not easy but we need try, Guys. In mathematics, we can reduce the problem in world to be a simple formulas or language. The mathematics symbol is familiar context so that can learned by all people. we can communicate with mathematics. We can use them to solve our problem.
            Third, mathematics is art. Do you remember? May be, when you were in elementary school, the teacher gave a shape, such as rectangle, circle, or cube for you. Or, you drawn a graph or else. Do you know? You have to draw a art. How to put the point in cartesian diagram, that need art skill. Do you know, again? If we connect a point by point, we can get a shape. That is very interesting, right?
            Fourth, mathematics is fun. We can play with mathematis. We can search a pattern of formula. We can learn about many shapes. That is interesting. Mathematics is not only formula but also anything in nature are mathematics.
We can find and need mathematics. For example, if you are a wife-house, you need mathematics to determine a food composition or manage your family’s money. Or, the dustman also need mathematics in their life. They need mathematics to manage their money or monthly income in their life.
Mathematics is very important for our life. So, Indonesian children should understand well. Actualy, mathematics is not difficult, but our mainset make that to be difficult. So we are new generation of teacher must change the bad mainset of students about mathematics. We as teachers candidate so we must make a fun teaching and learning process so that students can enjoy that. Do not be a cruel teacher. Make students have motivation to learn mathematics. Good Luck.

By:      Dian Sulistiani
2010110027
Sampoerna School of Education

Selasa, 04 Oktober 2011

That’s Me



 My Logo

What is the meaning of name? This is the phrase that we often hear. But, whatever definition or explanation about the name, I think the meaning of name is an important part of life. The name is something historic in life. It is also an implicit part of a prayer and hope.
Okay, in here I will try to share about the name, may be, you also have name as my name. Nothing is impossible. Firstly, I want to introduce myself. My name is Dian Sulistiani. Actually, it is difficult for me to explain what is the meaning of my name. The name was a gift from my parents. That is not only a name but that is a unique story of my life. Okay, I will explain my name story. Actually, I am not the first child of my family. I still have a sister, but when my sister was born in this world, the condition of my family was less supportive families. My father was seriously ill and the economy was so bad. Some day after the birth of my sister, God took back her. Like or not, my parents must be willing that.
My parents believed God give us the best anything. After one year, my mother pregnant again. After 9 months and 10 days, a baby girl was born. My birth was not given any changes in my family. But both my parents were proud and happy. I gave a new life and new expectation. So, my parents found the best name for me. It is Dian Sulistiani. According them, as a first daughter that she life and one day will be a guide for younger, Dian is perfect. My father said that Dian is light source, Sulistiani is a good woman. So, in my opinion, Dian Sulistiani is a good woman that can be lighter to other in every time and anywhere. I believe, my parents give my name like that’s, they hope so that their children become a good people in attitude, character, and great dreams. May be if I related in my historic of life, my name is very important. A expectation of my parents. That all are the meaning of my name that is my opinion.
Perhaps because my name, I grew up be a person who has the courage, have give up and most importantly, how can I change the lives of all the things around me for the better. I am proud to be the names of both parents. I think that is perfect for me. I am comfortable with it. As people that have the name, I always try to achieve that dream of my parents. I love my parents so much, my parents are very good at choosing names for their children. I am very fortunate.
 

Jumat, 30 September 2011

Perlu Memperhatikan Etika


Kini kemajuan ilmu dan teknologi serta tuntutan untuk bersaing di era globalisasi tak dapat dihindari oleh setiap bangsa tak terkecuali Indonesia. Tidak hanya itu, kesadaran akan mewujudkan cita-cita reformasi juga telah menjadi pekerjaan rumah yang wajib dipenuhi oleh Bangsa Indonesia. Namun sayangnya, perwujudan cita-cita mulia bangsa saat ini juga dibarengi dengan maraknya tindakan melenceng dari berbagai pihak, seperti korupsi dan kurangnya penegakan hukum yang masih terjadi di mana-mana.
Jika banyak pihak khususnya mahasiswa yang kian bersuara mengkritik tindakan pemerintah yang tidak sesuai cita-cita reformasi, hal ini wajar dilakukan. Sebagai generasi muda sekaligus warga negara RI, mahasiswa juga memiliki hak dan kewajiban untuk mengingatkan serta mengawasi jalannya pemerintahan demi cita-cita bersama tercapai. Namun, dalam penyampaian kritik tersebut, mahasiswa juga harus memperhatikan etika, tidak anarkhi, tidak melanggar peraturan dan tidak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Mahasiswa perlu bersikap kritis tetapi memiliki landasan argumen yang logis. Di sinilah, peran mahasiswa sebagai generasi muda yang aktif sangat diperlukan.
                    Dengan adanya hubungan antara pemerintah, generasi muda, dan seluruh rakyat yang harmonis, maka diharapkan cita-cita reformasi dapat terwujud.

Jakarta, Jumat, 5 Agustus 2011

Miris “Bahasa Ibu”


Punahnya bahasa daerah sungguh tidak dapat dimungkiri. Semakin langka generasi muda yang cakap dalam menggunakan bahasa ibu. Terasa luntur nilai-nilai kesopanan yang dulu dijunjung tinggi dalam setiap tata bahasanya. Ironisnya, khasanah budaya asli bangsa Indonesia tersebut hanya dipandang sebelah mata.
Kini masyarakat terutama kaum muda telah banyak termakan oleh bahasa asing. Apalagi bahasa yang dikatakan “gaul” telah mengubah paradigma terhadap bahasa masing-masing daerah. Padahal, jika kita tengok kembali, bahasa daerah memiliki keunikan tersendiri. Sebagai salah satu contohnya adalah bahasa Jawa. Bahasa ini memiliki tingkatan penggunaan yaitu Krama Inggil, Krama, dan Ngoko. Penggunaan tingkatan itu sesuai dengan kepada siapa kita berbicara. Hal tersebut sebagai nilai kesopanan terhadap orang yang kita hadapi. Sayangnya, keunikan dan nilai-nilai bahasa daerah telah dipandang kuno. Dalam arti lain ketinggalan zaman.
Penanaman pendidikan bahasa daerah sejak dini memang masih dikesampingkan.  Pendidikan dasar kebanyakan didapat hanya di lingkungan keluarga. Itu pun kalau lingkungan keluarga mendukung. Lalu apa yang terjadi jika keluarga kurang memperhatikan bahasa daerah? Bisa jadi pendidikan kurang diterima dengan baik dan tidak dapat tersampaikan sesuai aturan tata bahasa yang benar. Penanaman moral dan nilai kesopanannya pun hanya sebatas tahu sekilas saja.
Di samping itu, bahasa daerah hanya sebagai mata pelajaran tambahan saja. Banyak guru yang kurang sesuai kemampuan harus mengajar bahasa tersebut. Seyogyanya pendidiknya pun juga harus mampu dan menguasai bahasa itu sendiri. Namun saat ini, guru yang seperti itu masih jarang sekali. Padahal didikan bahasa daerah sangat perlu untuk menanamkan nilai kesopanan dan tata krama kepada generasi selanjutnya. Tidak lupa juga untuk melestarikan budaya bangsa.


Kenyataan yang sungguh pahit bagi Bangsa Indonesia. Bahasa ibu telah dibiarkan begitu saja. Tidak sudi hidup kuno masa abad-abad silam. Menjaga dan melestarikan hanya akan menjadi pekerjaan rumah buat semua masyarakat Indonesia.
Tidak menyalahkan fakta yang terjadi saat ini. Tetapi pandangan diri kita akan bahasa-bahasa daerah perlu dibenahi. Pendidikan-pendidikan formal seperti sekolah negeri maupun swasta perlu menindaklanjuti pembelajaran tentang bahasa ibu itu sendiri. Misalnya saja dengan memasukkan bahasa daerah dalam kurikulum sekolah. Seperti pengadaan hari berbahasa daerah setiap seminggu sekali. Selain meningkatkan kemampuan berbahasa, hal tersebut juga akan membantu generasi muda untuk selalu mengingat budaya daerah yang menjadi kepribadian bangsa.
Kemudian masalah minimnya guru yang berkompeten dalam pendalaman bahasa ibu, pemerintah juga perlu mengadakan penggalangan budaya daerah dan pelatihan secara berkala kepada guru mata pelajaran bahasa daerah masing-masing. Dengan demikian bahasa daerah sebagai salah satu budaya asli Indonesia setidaknya dapat diperhatikan kembali serta tidak semena-mena terlupakan begitu saja.
Jakarta, Kamis, 22 September 2011

Pancasila Tidak Cukup Dihafal


Permasalahan yang terjadi saat ini berpilar pada pendidikan karakter yang lemah. Hal tersebut sering dikaitkan dengan implementasi Pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila diartikan sebagai cita-cita dan pengharapan yang wajib dijunjung tinggi. Dibentuk dan dikembangkan dari kesepakatan bersama di atas segala macam perbedaan yang ada. Sayangnya, esensi dari Pancasila itu sendiri belum dimaknai di kalangan masyarakat.
Realita yang ada, Pancasila masih dipahami hanya berupa verbal. Kita masih sering disodorkan pada pelafalan kelima sila dalam Pancasila saat upacara bendera, misalnya. Tragisnya lagi ketika duduk di sekolah dasar maupun menengah kita dituntut untuk mengerti konsep-konsep yang abstrak dari Pancasila tanpa mengerti maksud implementasiannya. Pemahaman nilai-nilai Pancasila kurang sesuai perkembangan kognitif seseorang. Bentuk riil dari Pancasila belum sepenuhnya menyatu dalam kehidupan. Padahal memahami Pancasila tidak cukup dengan menghafalnya saja. Namun isi dari Pancasila itu sendirilah yang lebih penting untuk digali kembali.
               Berefleksi dari hal di atas, perlu adanya penafsiran-penafsiran baru untuk memaknai Pancasila. Mengintegrasikan esensi dari Pancasila di setiap unit masyarakat sesuai kontekstual dan juga membersihkannya dari dramatisasi politik merupakan hal yang perlu dilakukan. 
Jakarta,  Jumat, 27 Mei 2011

PERAN AKTIF JIWA MUDA


Pemuda adalah agen perubahan kehidupan. Dahulu tokoh muda berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Masing-masing daerah muncullah para pejuang yang bahu-membahu meneriakkan kata “Merdeka… merdeka”. Hal tersebut hanya untuk kelangsungan Bangsa Indonesia yang dapat kita rasakan hingga saat ini. Namun, ironisnya masih banyak pemuda yang belum sadar akan hal tersebut. Masa lalu telah menjadi sejarah yang telah terlupakan.
Tidak sepatutnya kita sebagai generasi penerus hanya bertopang dagu saja. Banyak hal bermanfaat yang dapat kita lakukan. Memperbaiki diri dan membantu dalam penanganan masalah yang telah menjadi kendala berkembangnya Indonesia. Tidak harus secara nasional tetapi ikut serta berkontribusi langsung di daerah masing-masing adalah langkah awal untuk perubahan.
Jika kita lihat fenomena kehidupan saat ini, banyak sekali munculnya komunitas-komunitas para pemuda. Komunitas tersebut bergerak untuk meningkatkan kemajuan daerahnya masing-masing. Rasa peduli terhadap daerah merupakan pemicu pengembangan komunitas-komunitas ini. Pandangan akan belum terlaksananya pemerataan kesejahteraan daerah juga memberi kesadaran kepada para pemuda. Rasa dan pandangan yang sama inilah yang akan menjadi kekuatan para pemuda untuk ikut serta dalam pembangunan daerah. Tindakan-tindakan inilah yang seyogyanya kita tingkatkan dan tularkan demi masa kini dan masa yang akan datang.
Begitu pula para pemuda dari berbagai karakteristik dan latar belakang yang berbeda berkumpul dalam komunitas dengan satu tujuan. Hal inilah yang biasanya disebut sebagai visi dan misi. Dengan tujuan-tujuan tersebut, akan menambah rasa saling memiliki dan peduli sesama di antara para pemuda. Persaudaraan dan tanggung jawab bersama memberi pondasi untuk membangun daerah masing-masing pula.
Tidak hanya itu, komunitas pemuda juga sebagai wadah diskusi permasalahan yang terjadi di daerah. Kita dapat saling bertukar pendapat, mencari solusi bagaimana cara penyelesaian yang dapat kita lakukan terhadap suatu masalah. Komunikasi dengan daerah lain juga sangat membantu dalam hal ini. Atau pula antar daerah dapat saling bekerja sama untuk solusi bersama akan memberi kemajuan untuk masing-masing daerah. Dengan demikian secara langsung kita dapat memaksimalkan kesejahteraan daerah masing-masing.
Dengan cara inilah, kita akan sedikit demi sedikit mengajak dan memberi contoh kepada para pemuda lain untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan positif. Juga tetap mengedepankan moral dan tenggang rasa di antara masing-masing individu serta daerah lain sehingga tidak terjadi perceraian. Secara tidak langsung, para pemuda daerah lain akan termotivasi untuk ikut serta dalam pembangunan daerah. Bayangkan saja jika para pemuda saling membangun daerah asalnya. Dapat dikatakan Indonesia akan terbantu karena masing-masing daerah telah mencapai target kesejahteraan. Dengan kata lain, para pemuda sangat berperan aktif untuk kelangsungan suatu bangsa. 

Jakarta, Selasa, 12 April 2011

Refleksi Profesi Guru


Guru adalah sosok yang memiliki peran penting demi kemajuan suatu bangsa. Sebagai seorang guru diperlukan keuletan dan ketelatenan. Tidak hanya mengajar menyampaikan materi pelajaran saja tetapi juga mendidik serta berperan aktif membentuk karakter seseorang.
Keberhasilan kehidupan seseorang sering dikaitkan dengan peran guru. Jika output seseorang baik maka guru sering dikatakan berhasil dalam pembentukkan karakter. Namun sebaliknya, jika output seseorang buruk maka guru sering dikatakan gagal dalam mendidik. Padahal seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh guru semata.
Begitu berat beban seorang guru. Sayangnya, profesi guru hanya dipandang sebelah mata. Motivasi dan jiwa pendidik di kalangan muda pun menjadi semakin berkurang. Ironisnya, pandangan-pandangan buruk tentang guru masih didukung oleh prespektif para orang tua yang masih melarang anaknya menjadi guru. Anggapan guru memiliki gaji kecil, kurang terpandang, hanya profesi rendah masih menyelimuti masyarakat. Padahal jika kita refleksi kembali, kita bisa lancar membaca, lancar menulis, mengetahui berbagai macam pengetahuan, sebagian besar atas bimbingan guru. Apakah pandangan buruk masih pantas diberlakukan untuk guru?

Seharusnya  kita sebagai generasi muda wajib mengembalikan citra baik guru di masyarakat. Sudah selayaknya penghargaan kita berikan kepada pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. 
 Jakarta,  Kamis, 12 Mei 2011