Sabtu, 31 Mei 2014

RME for Our Education

TLNLAG: Guest Lecturer

By: Dian Sulistiani / 2010110027 / Section A
Last class of TLNLAG was very interesting. We have learned about PMRI or “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia” or Realistic Mathematics Education (RME). We know about mathematics is very important in daily. All aspects of life used mathematics. For example, the physician can know the bacteria’s growth. Housewife also used mathematics to determine the proportion of cooking spices into her food. Mathematics does not only account numbers but also critical thinking and need logic. For example, the judge used logic in mathematics when was determining a prisoner in a case. So, we need mathematics in all aspects.
Actually in school, many students consider that mathematics is very difficult. Mathematics is not real life. What is benefit about integral or limit in real life if we only become housewife? Most students asked it to their teacher. Ironically, teacher only gives formula to solve problem. So, students think mathematics is abstract and so many formula, numbers, symbols. It makes that students are boring. Students become lazy and they hate mathematics. It is our problem in mathematics lesson in school.
Then to solve the problem, we can use RME that it is phenomenological of mathematics learning with real life education. So, students do not only get formula directly but also find it from daily. Students build the knowledge from their experiences. It is like a mountain in sea. We only see the top of mountain, but in under sea, we can see a big mountain. That statement means the top of mountain is formula in mathematics or formal notation and inside sea is an experience of students. The teacher is facilitator. Students have teamwork to solve problem. In here, we can get many answer and strategy of students because their opinion are very different each other. But it is very interesting because they get much experience to get answer of problem. In end session, teacher gives reinforcement to students about mathematics notation. It is very good strategy.
RME also makes students to think from some sides. It can increase the critical thinking of students. Then students can practice to see a problem from other solve. It is very important in our life. We as teacher also can see the pattern of student’s thinking so we can determine teaching and learning methods that suitable for them. It is nice. The abstract formula become concrete problems. Students become active in class and get experience as long term memory in their life. Mathematics is fun and not boring again. Student can enjoy in mathematics class.


My Class






Menengok Kembali Pancasila

Pancasila 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
“Banyak dari kita sebagai generasi muda yang terdidik dan sadar akan kesejahteraan rakyat tak mengacuhkan politik. Hal ini dapat berakibat lagi-lagi para politikus yang menduduki kursi kepemimpinan adalah orang-orang yang hanya bermental tempe dan ujung-ujungnya korupsi, memimpin tak becus, dan rakyat disengsarakan!”
            Tiba-tiba saja terlintas di benak saya membenarkan kata-kata itu. Sebuah diskusi di kelas Pancasila, entah itu pertemuan ke berapa, saya lupa, itu pun mengetuk hati. Jujur, selama ini saya paling anti politik. Bagi saya, politik adalah candu dan “tahi kucing”, maaf sebelumnya. Saya merasa muak dengan sistem politik yang tak bersih, jabatan pemerintahan yang masih nepotisme, dan janji-janji palsu dari para pemegang jabatan itu. Entahlah, selama ini saya golput dalam hak memilih saya sebagai rakyat Indonesia.
            Mungkin, Anda akan mengatakan, “Bagaimana mau menjadi warga yang baik, kalau lagi-lagi golput? Apakah sudah menyelesaikan kewajiban selain menuntut hak?” Ah, mungkin saya terlalu kolot untuk hal ini. Saya tak tertarik dalam pembahasan politik, apalagi harus memilih orang yang dicalonkan sebagai “wakil rakyat”; orang yang tak pernah saya kenal.
            Pepatah lama yang masih berlaku, mungkin, “Tak kenal maka tak sayang”. Ya, saya tak pernah berusaha mendekatkan diri, menguak pengetahuan tentang calon-calon wakil rakyat tersebut. Saya selalu hanya sekadar tahu saja, malah parahnya hampir saya kadang-kadang tak tahu nama calon legislatif itu. Tragis memang dan itu memang benar-benar kenyataan yang saya lalui.
            Malah, beberapa hari yang lalu, kata “politik” menggelitik pikiran saya. Suatu pagi, politik menjadi "guyonan" di pasar. Seorang penjual menjajakan dagangannya sambil merayu pelanggan, "Saya itu kalau jualan bersih Bu. Nggak kayak pemeritah yang korupsi. Di sini nggak masuk TV, jualan saya itu nggak korupsi. Lihat aja di KPK, direkam akibat banyak pejabat yang korupsi." Begitulah dengan logatnya yang dibuat-buat, santai.
Korupsi, rakyat sengsara, dan tatanan negara semrawut telah membekas di pikiran sebagian orang, begitu pula dengan saya. Ketidakpercayaan saya mungkin telah memberi pandangan bahwa politik terlalu pembohong. Saya sempat “galau” tentang politik pada arti yang sebenarnya. Apakah saya sudah tahu seluk-beluk dunia perpolitikan? Saya rasa masih belum. Sebenarnya, kita perlu mendalami politik tidak hanya dari satu pihak keburukan saja, tetapi kita juga perlu membaca dari sisi kebaikannya. Dan itu masih dalam proses perjalanan hidup saya.
            Kembali lagi tentang kalimat petikan refleksi awal di tulisan ini, hati kecil saya membenarkan hal tersebut. Lantas, apa yang akan saya lakukan untuk menanggapi pernyataan itu? Setelah kelas Pancasila beberapa pertemuan, seakan membuka mata hati saya untuk sedikitnya atau mungkin lebih cocoknya lebih banyak “tahu” tentang dunia politik. Alasannya adalah agar kita tak dibodohi oleh orang yang bodoh.
            Untuk saat ini, saya sempatkan diri untuk membaca sedikit demi sedikit dunia politik. Sebuah buku yang saya sukai adalah buku “Catatan Seorang Demonstran” – Soe Hok Gie. Membaca ulasan-ulasan Gie, membuat saya termangut-mangut. Sungguh besar semangat beliau untuk membela rakyat memang dari hati. Sangat berbeda dengan zaman sekarang. Jika dulu, para pemuda memang berjuang demi rakyat, sekarang saya masih menyangsikan “Apakah tujuan mulia itu masih ada?”. Entahlah. Beberapa celetukan seorang teman dalam sebuah obrolan ringan di tanggal 1 Mei 2013 kemarin, “Orang-orang berdemo di hari Buruh. Saat ini banyak sekali aksi demo yang hanya “dibayar” dan dikoordinir oleh beberapa orang.”
Kata “dibayar” masih membuat saya gamang. Apakah perjuangannya hanya sebatas untuk dibayar saya? Lagi-lagi masalah uang. Memang, siapa sih yang tak suka uang? Jika ada, mungkin orang itu sudah sedikit “gila”. Hidup ini mau tak mau harus ada uangnya, walaupun tak harus “gila uang”. Itu pendapat saya, jangan sampai kita diperbudak oleh uang.
Lalu, sebuah ungkapan yang pernah saya dengar atau baca, hanya saja saya lupa sumbernya, “Para pendemo lari tunggang-langgang bukan karena takut aparat negara, melainkan hanya karena serbuan hujan. Sebegitukah mental muda saat ini?”
Sebuah refleksi saya, sebenarnya saya tidak begitu setuju jika kita harus turun ke jalan-jalan dan merusak fasilitas negara dengan embel-embel “membela rakyat”. Jika ingat, Soekarno dan Soeharto turun dari kepresidenan diikuti oleh aksi tragis dari para mahasiswa. Lantas, apakah jika kita turun di jalan dan mengulang sejarah kelam, itu hal yang masih pantas? Saya rasa pejabat juga sudah waspada dan punya strategi untuk mengantisipasi pengulangan tersebut. Walau masih ada kemungkinan hal itu bisa terjadi, tapi saya tetap kurang setuju jika kita turun ke jalanan dan melakukan aksi heroik dan brutal seperti yang sudah-sudah. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang kena. Biaya negara untuk mengganti fasilitas itu pasti akan membludak dan uang yang seharusnya untuk rakyat terpaksa digunakan. Menyedihkan memang.
            Sebenarnya, paparan saya di atas sedikit berkaitan dengan peranan Pancasila dalam kehidupan saya. Apakah Pancasila penting bagi kehidupan saya? Refleksi saya, selama ini pelajaran Pancasila hanya diajarkan untuk dihafal. Bahkan saya pun lupa tentang butir-butir Pancasila. Ironis memang, tapi mau bagaimana lagi? Saya rasa peranan Pancasila kurang melekat di kehidupan saya, entah saya sadari maupun tidak.
Jika kita mengingat, sebenarnya Pancasila sebagai dasar negara seharusnya menjadi landasan atau kompas kehidupan kita. Segala sumber tertib negara, hukum, dan jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral Pancasila (Soegito, 2009, dalam Susanto, 2013). Sayangnya, tak banyak orang menyadari hal tersebut, termasuk saya.
Saya tidak tahu, apakah saya sudah termasuk orang yang ber-Pancasila atau bukan? Bagi saya, hidup ya berkelakuan baik saja. Saling menghargai sesama, lantas tidak keluar dari pedoman yang diikuti. Sebenarnya begitu menurut saya.
Jujur, saya “galau” kalau harus menjawab apakah tindakan saya sudah berdasarkan Pancasila? Refleksi, menurut saya, saya sudah melakukan yang terbaik. Hanya saja, sebagai manusia saya tak pernah luput dari kesalahan juga. Saya pernah melenceng dari aturan dan mungkin itu adalah titik di mana saya merasa jenuh, bosan jika harus baik-baik saja.
Saya akan bercerita tentang hal yang mungkin sederhana, tapi ini adalah pengakuan dosa. Tanggal 2 Mei 2013, adalah hari Pendidikan Nasional. Saya sadar bahwa di kampus akan diadakan upacara bendera. Dari tahun ke tahun, baru kali ini, yang saya ingat, saya tidak hadir dalam upacara tersebut. Entah apa yang membuat saya merasa bersalah karena hal tersebut.
Pagi itu, saya sudah bangun pagi dan berencana untuk masuk pagi, datang tepat waktu. Saya hendak berangkat, tapi saya mengingat sebuah paying di kamar saya. Payung itu milik teman saya dan harus saya kembalikan hari itu juga. Ketika saya lipat dan bereskan, tiba-tiba saya kilaf dan teledor. Sebuah besi penyangganya pun patah dan paying itu rusak. Saya merasa bersalah. Teman saya sudah baik kepada saya, tapi saya malah tak menjaga kepercayaannya dengan baik. Saya berusaha keras untuk membetulkan paying itu, tapi ternyata susah sekali. Saya berusaha keras, tapi malah ada besi lain yang patah. Saya panik dan akhirnya tak melihat waktu yang terus berjalan. Jam telah menunjukkan lebih dari jam delapan, itu berarti saya telat jika harus mengikuti upacara.
Satu hal yang ada di pikiran saya: ragu. Apakah saya harus ikut upacara, tapi kepercayaan teman saya itu? Saya bingung memutuskan, saya takut. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak mengikuti upacara.
Sebenarnya bukan gara-gara saya tak menghargai Indonesia. Saya bangga memiliki Indonesia. Ada sebuah celetukan dari teman, “Bangga jadi Indonesia ya? Tadi ikut upacara memang?”
Menaggapi hal tersebut, sebenarnya saya sedikit sebal. Apakah dengan cara ikut upacara saja berarti kebanggaan itu sudah dicapai? Saya rasa belum. Jika saya perhatikan, tak semua peserta pun merasa nyaman ketika ikut upacara. Apalagi kalau cuaca panas. Bagaimana sikap siap sempurna saat upacara pun mungkin telah sedikit terlupakan? Ah, saya tak mengikuti upacara kemarin, saya sangat menyesal rasanya. Benar-benar timbul rasa bersalah dalam hati.
Mengingat pengamatan saya, tak semua orang peka terhadap sikap-sikap saat upacara. Di sini tak pantas saya menjabarkan dan menilai sikap orang lain, jadi saya hanya menilai diri saya saja. Jujur, saya terkadang enggan untuk berdiri di tengah lapangan yang panas. Itu manusiawi, tapi entah mengapa saya menjadi mampu bertahan di kondisi yang seperti itu. Upacara bagi saya adalah hal yang sakral. Pengenangan masa lalu dan rasa memiliki pun muncul. Hal yang saya anggap pokok dari upacara adalah pengibaran bendera. Saya selalu was-was kalau menyaksikan pengibaran bendera tersebut. Saya takut kalau pengibaran tersebut tak berlangsung lancar.
Pengalaman saya sewaktu sekolah dasar mungkin menjadi traumatic tersendiri bagi saya. Dulu, saya pernah mendapat tugas mengibarkan bendera di sekolah. Sayangnya, saya lalai dalam tugas. Akibat kesalahan saya, pengibaran bendera menjadi berantakan. Saya sangat sedih waktu itu. Sampai saat ini, saya menjadi takut kalau bendera gagal berkibar gara-gara kesalahan yang sama dengan saya.
Hal menarik lainnya adalah pembacaan Pancasila. Di sini, saya menyayangkan, mengapa Pancasila hanya dihafal? Jujur, jika saya ditanya apakah Pancasila itu? Saya akan menjawab lima aturan. Memang benar bukan? Lantas saya akan mengingat lima sila dalam Pancasila, itu saja tanpa mendalami dan menggali lebih dalam penjabaran Pancasila itu sendiri.
Ah, membahas Pancasila mungkin tak akan berakhir secepat itu. Saya pernah membaca sebuah ulasan di facebook tentang pendapat seseorang mengenai Pancasila. Menurutnya, Pancasila dan UUD adalah sesat. Pancasila diagung-agungkan padahal Pancasila hanya sebuah lambang dan dibuat oleh manusia. Walaupun saya hanya sekilas tahu tentang Pancasila, tapi saya tetap tak setuju jika Pancasila dianggap sesat.
Bukankah Pancasila sebagai harapan bangsa? Coba saja lihat, Indonesia terlalu banyak macamnya. Mulai dari bahasa, latar belakang, kebiasaan, agama, ras, golongan, dan suku, sampai kepulauan yang berbeda-beda. Dari segala perbedaan tersebut, muncullah yang disebut Indonesia.
Masih ingat dengan semboyan yang tertera dalam cemngkraman burung garuda di simbol Pancasila? “Bhineka Tunggal Ika” : walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Hal inilah yang merupakan ciri khas Indonesia. Jika kita ingat saja, bagaimana sejarah masa lampau itu terjadi?
Saya mulai suka untuk mendalami sejarah dari hati, ketika saya mendapat kelas Pancasila. Entahlah, dulu saya di sekolah dasar dan menengah hanya dicekoki oleh hafalan yang luar biasa, tapi tak pernah merasa butuh sejarah. Sekarang saya benar-benar sadar, sikap saya yang dulu adalah salah. Saya butuh ilmu pengetahuan tentang sejarah saat ini untuk tahu alur dan jalan ke depan.
Mempelajari sejarah ternyata menyenangkan dan saya sangat senang. Ada seorang teman bertanya, “Apa sih enaknya membaca buku sejarah kayak Soe Hok Gie itu?” Saya pun membeberkan bahwa sejarah Indonesia itu sangat seru dan poin besar adalah untuk belajar dan memetik pandangan baik orang zaman dahulu. Saya belajar tentang perjuangan mereka, pemikiran kreatif, dan inilah wawasan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kepada kita.
Jujur, saya merasa kecil jika menyaksikan perjuangan para pahlawan dulu. Kritis, berjuang keras, pantang menyerah, dan berani. Sedangkan saat masa sekarang, saya belum mampu berkontribusi apa-apa untuk Indonesia ini. Membaca sejarah dapat mengajak saya ke masa lalu. Saya benar-benar seperti masuk dalam dunia penjajahan, zaman terdahulu. Saya berefleksi, jika ada sejarah zaman dahulu pasti beberapa tahun ke depan, tahun ini akan menjadi sejarah yang berarti untuk masa yang akan datang.
Oleh sebab itu, saya berusaha untuk mengukir sejarah hidup saya untuk masa depan. Saya suka menulis dan saya akan tetap menyimpan dan mempublikasikannya. Mungkin ini salah satu kontribusi untuk Indonesia. Buku-buku itu semoga bermanfaat suatu hari nanti. Saya senang bisa berbagi lewat tulisan. Ini adalah menyenangkan.
“Saya yakin, suatu hari nanti saya akan tetap dikenang karena prestasi saya bukan karena keburukan saya. Jika saya telah tiada, nama saya tetap ada bersama karya-karya saya.” Seperti Pancasila dan buku-buku sejarah, mungkin.
Secara tak langsung hal-hal tersebut di atas juga termasuk pengamalan sila-sila Pancasila. Setiap orang punya harapan untuk hidup nyaman, sentosa, adil, makmur, dan sejahtera pastinya. Sebenarnya, jika kita mau menilik kembali tentang nilai moral yang diajarkan dari kearifan lokal daerah kita, akan memiliki kemiripan dengan Pancasila. Mulai dari lingkungan keluarga saja, coba kita perhatikan. Kita harus patuh terhadap orang tua kita, bukan? Memiliki tuntunan agama, kebutuhan tercukupi, bersatu dengan anggota keluarga yang lain, hidup damai, sejahtera, berdiskusi untuk menyelesaikan masalah, dan menghargai orang lain. Sebenarnya, kita sudah diajarkan tentang kandungan Pancasila itu secara tak langsung. Hanya saja sebagian besar kita tak sadar bahwa kita telah melakukan Pancasila.
Saya rasa Pancasila sebenarnya telah kita lakukan di kehidupan sehari-hari, sayangnya kurang tergali lebih dalam. Jadi kesimpulan saya adalah pancasila bukan menjadi tuntunan, tapi sebagai harapan kita semua. Indonesia berharap jika rakyatnya semua telah melakukan hal-hal yang berhubungan dengan penjabaran Pancasila tersebut, Indonesia menjadi lebih baik. Seharusnya kita sendiri yang sadar akan hal tersebut, bukan malah menuntut negara untuk menjalankan Pancasila. Kita semua memiliki tugas untuk mencapai harapan dan cita-cita Indonesia yang termaktub dalam lambang Pancasila tersebut.
Indonesia memiliki begitu banyak masalah saat ini. Itu semua bukan akibat dari sistem pemerintah yang salah. Semua itu karena setiap individu belum mampu mengemban tugas: mencapai kemerdekaan untuk memikirkan masa depan Indonesia. Mungkin memang susah karena dalam kepala setiap orang berbeda-beda. Saya pun merasa belum mampu berkontribusi juga.
Bagi saya, tak harus sama apa yang kita lakukan untuk negeri ini. Tak harus ikut-ikutan berdemo menuntut pemerintah. Kalau hanya ikut-ikutan sama saja dengan kebohongan masal. Apa pun yang bisa lakukan untuk RI, hal yang bermanfaat, lakukan saja. Biarkan mengalir apa adanya. Tugas kita bukan lagi menuntut pemerintah, tapi mencapai harapan bangsa. Pancasila adalah harapan Indonesia, dan tugas kitalah untuk membantu mencapainya. Haruskah Indonesia hanya bisa berharap? Mari kita refleksikan dalam diri sendiri.
****

Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa. Dibaca pada tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#


Pancasila Mati Suri

Pancasila 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027 / Universitas Siswa Bangsa Internasional

Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua
nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya
**untuk semua puji namanya
untuk semua cinta sesama
untuk semua wadah menyatu
untuk semua bersambung rasa
untuk semua saling membagi
pada setiap insan
sama dapat sama rasa

oooh Indonesia
oooh Indonesia

Pancasila rumah kita, rumah untuk selamanya
Pancasila ada karena kita bhineka tumbuh bersama sebagai Indonesia
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya dalam puspa warna menjadi Indonesia
Nilainya bukan hanya debu sejarah
Hari ini ada di tangan kita jika Indonesia lupa dan hilang arah saatnya kembali, kembali kepadanya

-Pancasila Rumah Kita – Versi Kolosal #17an-
            Sebuah lagu inspiratif bagi saya. Pemilihan lagu yang sangat tepat untuk topik kali ini di mata kuliah Pancasila. Apalagi kami kedatangan dosen tamu yang menurut saya luar biasa. Benar-benar beda dari yang lain, nylentrik. Ya, beliau adalah Ulin Yusran. Buat saya, Mas Ulin, begitulah sapaannya menginspirasi saya. Gaya penampilan yang apa adanya dan santai membuat saya menikmati kuliah hari itu.
            Walaupun sebenarnya materi yang disampaikan cukup berat, tapi saya tertarik. Bahkan ada beberapa bagian yang membuat saya tercengang. Sebuah keberanian public itu membuat saya menganggukkan kepala berulang-ulang. Mengagumkan!
***
Pancasila terasa tumbang setelah orde baru tumbang.
            Begitulah ungkapan yang disampaikan Mas Ulin sebagai pembukaan. Saya berefleksi membenarkan ungkapan tersebut. Coba saja ingat, dahulu zaman kepemimpinan Pak Soeharto gencar-gencaran adanya Pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Setiap orang yang tak mematuhi P4 itu akan dianggap komunis. Mungkin ini adalah keputusan yang sepihak. Seakan-akan Pancasila hanya dimanfaatkan pemerintahan Orde Baru sebab menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal.
            Sayangnya, pengamalan Pancasila tersebut hanya semata-mata sebuah paksaan untuk mematuhinya akibat dari pemerintahan yang mewajibkan. Menurut saya, seharusnya setiap insan memiliki kesadaran penuh untuk mengamalkan butir-butir         Pancasila tersebut. Lantas, ke manakah kesadaran kita sebagai pemilik Pancasila itu? Dan akhirnya, rakyat merasa tidak puas dan tidak percaya dengan pemerintahan. Ini adalah salah satu akibat dari sikap paksaan dan bukan datang dari hati individu untuk mengetahui lebih dalam Pancasila.
            Satu ungkapan yang saya suka:
Setiap gulungan ombak yang terhempas di tepi pantai meninggalkan sampah.
-Syair Reformasi-
            Ya, Orde Baru pupus juga setelah aksi rakyat yang berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto. Indonesia mengalami kebobrokan system, karakter, dan pelaksanaan. Sayangnya, walaupun dalam wujud manusia, pemerintahan telah tumbang, tapi system tak tumbang. Inilah yang diwariskan kepada generasi selanjutnya, yang disebut reformasi.
            Padahal jika kita menengok kembali pada zaman sejarah, Pancasila lahir sebagai harapan bersama. Pancasila tumbuh akibat adanya kepercayaan dan keberagaman. Indonesia berharap akan menjadi Negara yang adil, makmur, sejahtera, aman, sentosa, dan Pancasila menjadi kepribadian bangsa.
            Ironisnya, Indonesia masih belum mampu sepenuhnya mencapai harapan dan mimpinya itu. Dewasa ini, Pancasila terasa semakin asing saja. Jika kesadaran berbagai bidang seakan semakin luntur. Pancasila terasa tak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan. Sempat berefleksi terhadap selentingan, “Tanpa Pancasila pun saya masih bisa hidup. Untuk apa mengenal Pancasila?” Sempat membenarkan kata-kata itu, hal ini membuat saya galau luar biasa. Jadi yang benar yang mana? Pancasila menjadi acuan berbangsa dan tanah air ataukah Pancasila adalah symbol dari tingkah laku baik kita? Masih belum mengena di hati saya. Jawaban masih mengambang di awang-awang.
            Refleksi saja, sekarang mahasiswa mungkin dianggap “mlempem”. Jika dulu para pemuda semangat dan gencar-gencaran membela tanah air. Sampai-sampai pemikiran kritis mampu menggulingkan beberapa masa pemerintahan. Sayangnya, itu hanya dulu. Sekarang, mungkin telah berganti menjadi “Mahasiswa Penakut”.
            Sebuah perkataan Mas Ulin yang sangat mengena di hati adalah “Kuliah ndak mlebu, IP ndak telu, demo ndak melu. Mbalek ae nang ibumu!”
            Sungguh singkat tapi nancap ke dasar-dasarnya hati. Entahlah, Pancasila seakan mati suri. Perlu pembenahan lagi untuk system yang amburadul seperti sekarang. Perlukah rakyat bertindak?

            Isi jawaban sendiri. J

Dia (Pancasila), yang Terlupakan

Pancasila 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
Kutatap langit Indonesiaku, kupijakkan kaki pada bumi pertiwiku. Bibirku tertawa kecil, lantas kuputar memori terdahulu hingga kini. Terekam segala peluh dan sejarah panjang masa lalu. Kupelikkan mimpi-mimpi nan surut lagi! Masihkah ada sisa? Indonesiaku ke manakah dirimu? Beta tengah lama tak berjumpa dan aku merinduimu!
Dulu,
Kaki-kaki kecil meniti, menelusuri jalan setapak, berlumur darah, dan noda. Bertahan pada benteng-benteng perjuangan tanpa nama. Mati bertaruh nyawa, tanpa tercantum dalam sejarah bangsa
Kaki-kaki kecil terseok, membawa kabar: Indonesia merdeka! Senyum kecil terpampang di wajah-wajah pilu. Sentosa? Mungkin! Pribadi masih berharap mimpi segera menghampiri raga
Kaki-kaki kecil menapak tanpa alas, pengumbar ide para pembela. Neraca waktu tetap berimbang, seadil-adilnya. Para kepala tak berbudak pada tuannya dan setia pada negara. Generasi muda berpengayom, rohaniah terpenuhi, lantas istilah makmur diperjuangkan
Kaki-kaki kecil berlari kencang. Mengulur benang, menggantungkan cita setinggi-tingginya. Membawa satu hal pribadi bangsa Indonesia:
Garuda berperisai dengan pilar-pilarnya. Pancasila disebutnya.
Cengkraman kaki kuat sebuah pita persatuan:
Bhineka Tunggal Ika. Itulah semboyannya.
Aih, mungkin itu dulu. Zaman tiap insan sadar dan berbaur pada alam. Kini, kaki-kaki kecil lelah, langkahnya hampir terhenti. Mata-mata penuh harap masih tersisa. Aku, kau, kita hampir meredup. Bagai lilin tanpa sumbu, lama-lama mengoyak tubuh sendiri lantas mati! Ah,  budi pekerti telah tergerus zaman. Yang dulu digembar-gemborkan pun tak lagi terdengar. Apa? Adil? Makmur? Sentosa?
Lihatlah lagi candu-candu kehidupan marak menjejali otak! Korupsi! Kelaparan! Mengemis! Bayi-bayi kecil meronta meminta susu, tapi malang! Menunggu nasib, gizi buruk tetap membebat lengan! Ah, kapan makmur? Harapan yang dulu diperjuangkan masihkah tersisa? Atau hanya sia-sia belaka, menunggu usia tua?
Ah, pribadi bangsa telah pudar, terikis oleh zaman yang disebut globalisasi. Zaman tua renta ini, kapan ada lagi Pancasila untuk negeri?
Jakarta, 2013
-Dian Sulistiani-
            Puisi tersebut sengaja saya tulis sebagai pembukaan tulisan ini. Beberapa kata dan kalimat, saya bold untuk menandakan pokok-pokok ide. Permasalahan yang terjadi saat ini berpilar pada pendidikan karakter lemah. Hal tersebut sering dikaitkan dengan implementasi Pancasila sebagai jati diri bangsa seakan luntur.
            Seperti yang telah sering kita perdengarkan sebuah lagu melegenda berjudul “Garuda Pancasila” pun turut bercerita tentang kegagahan Pancasila:
Ciptaan: Sudharnoto
Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju
            Lagu tersebut memberi semangat kepada para pelantunnya untuk tetap gigih memperjuangkan Pancasila sebagai kepribadian bangsa.
Jika kita tengok kembali sejarah masa silam, Pancasila diartikan sebagai cita-cita dan pengharapan yang wajib dijunjung tinggi oleh seluruh elemen di dalamnya. Pancasila juga sebagai dasar Negara Indonesia yang dibentuk dan dikembangkan berdasarkan kesepakatan bersama di atas segala macam perbedaan yang ada. Sebagai pondasi bangsa, Pancasila seyogyanya benar-benar menjadi dasar yang teguh dan bermoral. Sependapat dengan Dipoyudo (1984, Susanto, 2013), beliau menyebutkan penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa mengindikasikan bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara. Lalu, segala sumber tertib negara, hukum, dan jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral Pancasila (Soegito, 2009, dalam Susanto, 2013).
            Sayangnya, esensi dari Pancasila itu sendiri belum dimaknai di kalangan masyarakat. Realita yang ada, Pancasila masih dipahami hanya berupa verbal saja. Kita masih disodorkan pada pelafalan kelima sila dalam Pancasila saat upacara bendera, misalnya. Itu pun kalau masih hafal di luar kepala. Bahkan tragisnya lagi, ketika kita duduk di sekolah dasar maupun menengah, kita hanya dituntut untuk mengerti konsep yang abstrak dari Pancasila tanpa mengerti pengimplementasiannya.
Pemahaman nilai-nilai Pancasila kurang sesuai perkembangan kognitif seseorang. Sebagai contohnya, pelajaran yang berbasis pada Pancasila di sekolah dasar kurang tergali mendalam. Seperti yang sempat saya alami ketika masih duduk di sekolah dasar, kebanyakan materi tentang Pancasila harus dihafalkan. Alhasil, sampai sekarang banyak materi yang terlupakan begitu saja. Bentuk riil dari Pancasila belum sepenuhnya menyatu dalam kehidupan. Padahal, Pancasila seharusnya tak hanya dihafal tetapi juga diimplementasikan. Memahami tidak cukup menghafal saja, bukan? Sudah selayaknya Pancasila sebagai kompas pemersatu untuk menunjukkan arah menuju mimpi-mimpi Indonesia ini berjalan dengan baik.
            Pancasila bukanlah hal yang baru bagi kita, terutama bagi individu yang masih mengaku bangsa Indonesia. Sayangnya, dewasa ini Pancasila hanya dipandang sebelah mata. Arus globalisasi seakan membuat kita buta terhadap jati diri bangsa sendiri. Kearifan lokal masyarakat yang dulu dipupuk erat kini mulai luntur. Egoisme dan hedonisme masyarakat semakin tinggi.
            Mari kita refleksikan diri sendiri, sejauh mana kita mengenal Pancasila itu sendiri? Hanya dari sejarahkah? Hanya sebuah ukiran berbentuk burung garudakah? Atau malah sama sekali belum pernah melihat rupa simbol Pancasila?
            Pancasila hanyut dalam arus globalisasi. Banyak ciri khas dari kita, Indonesia, yang terlupakan begitu saja. Padahal Pancasila sebagai kepribadian bangsa seharusnya menjadi tameng dan filter segala hal dari luar. Sayangnya, penyaring itu telah lemah ditelan zaman. Seakan para pemiliknya tidak lagi memedulikan.
            Realita yang ada saat ini seharusnya bisa menyadarkan mata bangsa Indonesia. Beberapa pulau kecil tak terurus akhirnya “dicuri” bangsa lain. Karya anak bangsa, batik dan lagu “Rasa Sayange” pun turut andil menggegerkan bangsa akibat hampir “diambil alih” bangsa tetangga. Semua itu disebabkan oleh kekurangpekaan kita sebagai pemilik. Apakah tindak pembelaan selalu datang setelah direbut bangsa lain? Seharusnya tidak!
            Apakah mengelus dada saja cukup menyelesaikan permasalahan? Saya pikir hal itu bukanlah pemikiran kaum terdidik. Teringat oleh saya sebuah pernyataan salah satu dosen saya, “Jika belum bisa berkontribusi, setidaknya jangan ‘membebani’ orang lain.” Sebuah kalimat yang menohok dan tertancap di hati serta pikiran menurut saya. Ya, saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menjadi bahan refleksi diri.
            Lalu, apa hubungannya dengan Pancasila? Di sini kita berbicara bahwa Pancasila sebagai identitas bangsa. Pancasila menjadi ciri unik bangsa ini yang benar-benar milik sendiri. Bahkan perjuangan para pejuang terdahulu membutuhkan kucuran darah dan pemerasan tenaga serta pikiran. Berkontribusi adalah kewajiban kita sebagai penerus bangsa. Jikapun kita belum mampu, seharusnya kita sadar “tak menjadi beban” demi kemajuan bangsa. Sayangnya, lagi-lagi kita terlalu egois. Kita kurang peduli dan peka.
            Coba saja lihat dan cermati kondisi saat ini. Generasi bangsa lebih menggembargemborkan budaya bangsa lain. Gaya hidup dan style penampilan bangsa lain masih menjadi trend di kalangan masyarakat. Lalu, siapakah yang akan melestarikan budaya sendiri? Grup band Korea sebagai contohnya. Masyarakat lebih memilih untuk berjejalan di antara ribuan orang hanya untuk menonton pertunjukan grup idolanya daripada menyaksikan pertunjukan “Wayang”. Harga tiket tinggi pun tak dihiraukan masyarakat walau merogoh kantong lebih dalam demi kepuasan ego didapatkan. Begitu pula lagu “Gundul-Gundul Pacul” pun jarang dikumandangkan lagi. Berapa ribu bahasa ibu (daerah) yang punah tak ada jejak? Belum lagi gaya hidup orang barat lebih dipentingkan daripada kearifan lokal bangsa: gotong royong. Alhasil, khasanah bangsa semakin punah.
            Penyaringan budaya asing di Indonesia tidak lagi berdasarkan pada jati diri bangsa. Kesemrawutan sistem pemerintahan, belum tercapainya harapan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun masih menjadi pekerjaan rumah kita semua. Kondisi saat ini mengindikasikan bahwa Pancasila telah diabaikan begitu saja.
            Tidak hanya itu, bangsa ini pun seakan mengalami krisis moral. Beberapa permasalahan besar yakni: kurang kokohnya persatuan bangsa. Kita memang bermacam-macam suku, ras, agama, dan golongan, tapi tak selayaknya kita pecah dalam egoisme masing-masing. Sebagai contoh: konflik antarsuku di Papua, cek-cok antaragama, dan penegakan hokum yang dirasa sangat lemah. Pancasila bukan sebagai pemecah-belah, melainkan justru menjadi pemersatu. Sudah sepatutnya, kita sebagai generasi penerus menyadari dan melakukan strategi baru dari pemikiran-pemikiran baru pula. Jangan sampai kita didikte bangsa lain seperti zaman penjajahan terdahulu. Kisah masa lalu terulang kembali itu berarti kita tak dapat memperbaiki kesalahan. Jatuh pada lubang yang sama berarti “orang bodoh”.
            Berefleksi dari hal di atas, perlu adanya penafsiran-penafsiran baru untuk memaknai pancasila. Pengintegrasian esensi Pancasila itu sendiri di setiap unit masyarakat sesuai kontekstual pun sangat perlu dilakukan. Membersihkan Pancasila dari dramatisasi politik menjadi tugas kita. Mari kita benahi bangsa Indonesia berdasarkan ciri khas dan identitas bangsa: Pancasila. Memulai dari diri sendiri terlebih dahulu memaknai Pancasila secara benar. Bertindak sesuai Pancasila dan moral bangsa! Inilah tugas besar kita demi mewujudkan mimpi-mimpi yang diidamidamkan bangsa. Pendidikan berpancasila pun masih diperlukan. Hal ini dapat diwujudkan dari tangan-tangan pihak pemerintah dan rakyat yang berjalan selaras saling mendukung. Pemerintah tanpa rakyat cacat, rakyat tanpa pemerintah hancur! Semangat berjuang!
Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa. Dibaca pada tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#


Bebas Bukan Berarti Tanpa Batas

Pancasila 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar atau membaca kata “BEBAS”? Pasti akan begitu banyak definisi. Ya, seperti yang saya pikirkan saat ini. Jika terbesit kata “BEBAS” di otak, saya segera teringat dua kata “tidak terikat”. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Online, bebas dapat diartikan sebagai (1) lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dng leluasa; (2) lepas dr (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dsb; (3) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb); (4) tidak terikat atau terbatas oleh aturan dsb; (5) merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing); (6) tidak terdapat (didapati) lagi.
Seyogyanya setiap manusia memiliki keinginan untuk bebas. Ya, bebas, kalau dalam bahasa gaul “ya semau gue!”. Bahkan manusia akan cenderung tertekan jika dirasa kebebasannya direnggut oleh pihak lain. Sebagai contohnya pengalaman yang pernah saya alami. Suatu hari, saya memasuki lingkungan baru yang secara latar belakang dan perilaku sosial saya sebelumnya. Kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang saya temui saat itu sedikit mengurangi ruang gerak dan pendapat saya. Saya tidak dapat leluasa untuk mengungkapkan ide-ide saya. Setiap kali saya ingin berpendapat, selalu saja dipotong dan tak didengar. Ditambah lagi sikap beberapa orang yang cenderung sulit mengontrol egonya, itu pun menambah beban saya di lingkungan baru. Entah itu mereka tahu atau tidak kalau sebenarnya sikap mereka telah membuat orang lain merasa tertekan. Kadangkala manusia memang perlu sebuah penghargaan diri dan pengakuan dari masyarakat untuk menyatakan keberadaan dirinya. Mungkin ini sudut permasalahannya ada di model penyesuaian diri saya yang kurang maksimal. Namun seharusnya, kita sendirilah yang bisa mengontrol kebebasan kita.
Saya suka dengan ungkapan yang mungkin sering kita dengar “bebas bukan berarti tanpa batas”. Ya, saya setuju. Kita boleh bebas sesuka hati melakukan semua hal, tapi sejatinya kita harus ingat bahwasanya kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Salah satu fenomena yang bisa kita jadikan bahan refleksi yaitu kejadian lampu merah di jalanan. Jika dari setiap arah, orang-orang bebas sesuka hati menggunakan jalanan itu, lalu apa yang akan terjadi? Tanpa lampu merah, banyak kemungkinan yang akan terjadi bukan? Misalkan saja, semua pihak berebut untuk menyebrang duluan. Apa yang akan terjadi? Bisa dibayangkan, berapa puluhan korban lalu lintas? Kemungkinan lain, taka da satu pun yang berani menyebrang karena takut dihantam oleh pihak lain. Betapa sepinya jalanan itu jika ini terjadi? Ya, semua itu banyak kemungkinan lain pastinya. Nah, di sinilah terlihat bahwa sebenarnya kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Lantas, menyoal siapa yang seharusnya menegakkan kebebasan? Menurut saya, kita sendirilah yang seyogyanya bisa mengontrol kebebasan diri sendiri. Kita seharusnya menyadari bahwa kita hidup bersosial, kita tidak hidup seorang diri. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kita harus menyadari bahwa orang lain juga memiliki kebebasan sendiri. Coba bayangkan bila setiap manusia mementingkan egonya masing-masing. Ketika berbicara, setiap orang menggebu-gebu ingin pendapatnya didengarkan, tapi kenyataannya? Tak ada yang bersedia mendengarkan. Semua berebut dan memaksakan kehendak dan ide-idenya. Silakan ditebak apa yang terjadi?
Nah, di saat-saat seperti inilah, perlu diberlakukan sebuah peraturan. Di sini, peraturan bukan untuk semata-mata menekan kebebasan, melainkan untuk mengatur kebebasan untuk kepentingan bersama. Walaupun sebenarnya, ada beberapa pihak yang dirugikan kebebasannya. Ya, pastinya ini akan terjadi dan tak semua orang sesuai yang dinginkannya. Saya suka kalimat seorang guru saya, beliau berkata, “Kita tidak bisa membahagiakan setiap orang karena dunia memang seperti itu.” Nah, setiap orang pastinya ingin berjalan sesuai rencananya. Dengan demikian mereka akan merasa puas, tapi kita tak bisa seperti itu. Ya, karena kita bukanlah alat pemuas. Pasti ada hal-hal yang akan dikorbankan untuk kepentingan lain yang lebih diprioritaskan. Di sinilah seharusnya peraturan berperan untuk menyelaraskan kebebasan bersama.
Seperti yang telah diungkapkan oleh John S. Mill, kebebasan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan kekuasaan individu, dan kebebasan kekuasaan orang lain. Baiklah, untuk kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan ini bersumber pada hati nurani yaitu, kebebasan untuk berpikir dan merasakan. Kebebasan ini memberi kesempatan kepada setiap individu untuk berpendapat dan bermoral. Kemudian kedua adalah kebebasan kekuasaan individu. Kebebasan ini mengindikasikan bahwa setiap individu bebas membawa dirinya ke pilihannya sendiri. Hal ini berarti mengimplikasikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Lalu, ketiga adalah kebebasan kekuasaan orang lain. Dalam kasus ini, kita harus sadar bahwa kita sebagai makhluk sosial akan terus berinteraksi dengan orang lain yang juga memiliki kebebasan. Oleh karena itu, setiap individu juga memiliki pertanggungjawaban secara kolektif.
Dengan adanya kepentingan bersama ini, secara tidak langsung telah membatasi kebebasan setiap individu. Lantas, apa peranan peraturan untuk kepentingan bersama? Sebenarnya, peraturan dibuat bukan untuk dilanggar, melainkan untuk dijalankan. Mirisnya, kondisi saat ini berkebalikan. Malah ada celetukan bahwa “peraturan dibuat ya untuk dilanggar”. Inilah pernyataan yang salah kaprah. Seharusnya kita bisa menengok kembali apa tujuan pertama kali peraturan dibuat? Jika itu masih berlaku dan masih sesuai masanya, maka peraturan itu masih perlu dipertahankan untuk kepentingan bersama. Lantas, kalau peraturan itu ternyata sudah tak layak untuk digunakan, kita perlu merevisi sesuai keputusan bersama. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, seharusnya mereka bisa berpikir dan mengkaji ulang mana tindakan yang patut dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan?
Negara pun turut andil dalam mengatur kebebasan. Seperti yang termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Di sini, setiap individu diberikan jaminan konstitusional untuk berorganisasi dan mengajukan pendapat, bukan hanya warga Negara Indonesia saja, melainkan warga Negara asing yang tinggal di Indonesia juga.
Lalu, Negara juga telah mengatur kebebasan beragama, yaitu dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sayangnya, masih ada pihak-pihak yang tidak terima atas kebebasan beragama. Masih banyak kasus cekcok atas sebuah perbedaan agama. Jika kita bahas berbagai kasus yang terjadi, hal tersebut akan sangat panjang. Jadi untuk kesempatan kali ini, kita hanya berefleksi saja dalam hati masing-masing, bagaimanakah kita menghargai orang lain yang berbeda agama?
Oleh karena itulah, kita sebagai bagian dari masyarakat seharusnya dapat berefleksi bahwa sikap saling menghargai begitu penting di dalam masyarakat. Jika kita tidak mau menghargai, mengapa kita mendesak orang lain untuk menghargai kita? Ini tidak fair, kalau kita hanya menuntut hak namun kita melupakan kewajiban. Jika ingin dihargai, maka hargailah terlebih dahulu diri sendiri. Walaupun kita memiliki kebebasan, jangan lupa bahwa kebebasan kita pun dibatasi oleh kebebasan orang lain. Mari ikut serta mewujudkan sikap saling menghargai dan bersolidaritas. J

Referensi:


Belajar dari Praktik

Microteaching 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027 / Section B
Mathematics... is more than a collection of problem-solving procedures; it is in essence a system of relations, and it will become increasingly important for children to understand it as a system as their education progresses.” (Resnick, 1992)
            Ya, saya mendapatkannya ketika saya mempelajari matematika. Bagi saya, matematika sangat mengasyikkan dan seru. Apalagi kalau sudah materi geometri, itu hal yang saya suka. Nah, sebenarnya saya lebih menyukai geometri daripada aljabar. Namun, tak mungkin saya hanya memilih geometri saja bukan? Pastinya, harus mencoba menyukai hal yang tak disuka juga.
            Sebenarnya, sebelum memilih undian penentuan topik, saya berharapnya untuk mendapatkan materi geometri. Sayangnya, harapan itu tertunda sementara sebab saya mendapatkan topik aljabar. Ya, mungkin itu sebagai media pembelajaran saya. Walau saya lebih menguasai materi geometri daripada aljabar, mau tak mau saya harus belajar bagaimana saya mengajarkan aljabar itu sendiri? Ya, ini kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan tentang matematika. Tak mungkin pula, suatu hari nanti kalau sudah menjadi guru kita hanya memilih untuk mengajarkan materi yang kita kuasai bukan? Itu namanya statis. Tidak berkembang. Dan saya tak ingin seperti itu.
            Baiklah, Microteaching course telah memberi banyak pengajaran buat saya, khususnya untuk kemampuan mengajar. Pada kesempatan ini saya mengambil standar kompetensi: Memahami bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linear satu variable. Sedangkan kompetensi dasar: Melakukan operasi pada bentuk aljabar. Tiga puluh menit praktik mengajar di kelas, lalu diberi feedback. Itu hal sudah menjadi kebiasaan kami di kampus USBI-SSE. Saya sangat berterima kasih kepada para pemberi masukan yang membangun untuk saya. Itu sangat membantu. Beberapa yang saya ingat, ada beberapa masukan untuk pengajaran saya.
Pertama, masalah konten. Ya, saya menyadari konten aljabar saya lemah sehingga ketika mengajar, saya sempat bingung mencari cara untuk menyampaikan konten dengan baik. Alhasil, untuk materi ini, saya mengalami kesulitan untuk mengajarkan kepada siswa cara melakukan operasi pada bentuk aljabar.
Kedua, masalah praktis pengajaran. Ada beberapa masukan mengenai suara, classroom management, time management, lalu mengontrol siswa. Menurut saya, itu semua masih tahap belajar dan sebagai guru kita harus bersedia belajar dan terus belajar agar lebih kreatif lagi. Selain itu, guru juga harus bersedia dikritik untuk menjadi lebih baik lagi. Di sini, saya pun belajar untuk mengungkapkan pendapat dan menerima pendapat dengan lapang dada. J
Ada satu hal yang sempat mengejutkan saya mengenai sebuah komentar: kondisi kelas terlalu dibuat-buat. Sebenarnya, ini bukan hal baru lagi, tapi mungkin masih bisa dibahas. Jujur, kondisi kelas section B memang seperti itu, apa adanya. Mungkin bagi orang yang jarang masuk kelas kami, akan berkata, “Sedikit lebay, sangat ramai kelas ini.” Ya, saya menyadari kelas ini ramai, tapi saya mencoba ambil hal positifnya saja, sewaktu-waktu kita bisa mendapatkan kelas semacam ini. Jadi, kita bisa lebih persiapan lagi untuk mengatasinya karena kita sudah terbiasa. J
Dalam perkembangan kemampuan saya mengajar, satu hal yang masih menjadi ciri khas saya adalah jargon di kelas. Bagi saya, ini hal yang masih memungkinkan untuk dilakukan di kelas. Saya sangat berharap hal ini dapat membantu untuk meningkatkan motivasi dan semangat belajar siswa. Kemudian, kelemahan yang harus dihilangkan adalah kemampuan bahasa verbal yang belum lancar apalagi bahasa Inggris. Saya masih kesulitan untuk berbicara lancar, tapi saya tetap berjuang untuk hal ini menjadi lebih baik.

Jika dulu saya begitu takut untuk berbicara di depan kelas, kini sudah mulai ada pencerahan, ada kemajuan, saya berani tampil di depan kelas. Lalu, dengan cara mengambil topic yang belum begitu dikuasai akhirnya saya bisa belajar untuk bisa menguasainya lebih. Peru ada penekanan konsep kembali di bagian inti pembelajaran. Untuk opening dan closing sudah cukup bagus. J

Microteaching? OK!

Microteaching 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
“Yeyyy, kelas Microteaching hampir berakhir di semester ini. Itu berarti tanggung jawab di semester depan semakin besar. Semoga lebih matang lagi pembelajaran yang telah diterima.”
            Well, pembelajaran yang saya terima di SSE selama ini terasa sekali manfaatnya ketika menjalankan School Experience Program (SEP)  tahun ini. Jika dulu begitu awam tentang seluk-beluk guru, kini sudah mulai ada pencerahan. Ya, belajar di SSE pun menjadi sangat penting dan sangat perlu untuk digeluti dengan baik. Saya merasa sangat beruntung bisa mengolah pengetahuan di kampus ini dan semoga menghasilkan produk yang bernilai tinggi pula.
Khusus kelas Microteaching, bagi saya mata kuliah ini sangat bermanfaat. Setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukan pembelajaran di kelas dengan teman sendirilah yang menjadi siswa. Bagi saya, ini adalah tantangan. Mengapa tantangan? Bagaimana tidak? Kelas dengan siswa-siswanya adalah teman sendiri kadangkala membutuhkan ekstra kerja keras. Menganggap para siswa tersebut adalah murid SMP/SMA. Perlu imajinasi tinggi bukan?
Di sinilah, role play pembelajaran yang sering saya lakukan di kampus begitu berarti buat saya. Walaupun kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan kondisi di kelas kampus. Mengapa berbeda? Kalau di kelas kampus, kadangkala kita sudah menganggap siswa-siswa, di sini teman-teman menjadi siswa, sudah mengerti konsep dan bahkan lihai. Hal ini sering terlupakan bahwa kelas sebenarnya, kita akan dihadapkan pada siswa-siswa yang sedang belajar atau bahkan belum mengerti sama sekali. Sedangkan kita sebagai guru dituntut untuk membuat siswa paham dan menguasai konsep. Inilah yang terkadang membuat tumpang-tindih pembelajaran.
            Menyoal kondisi kelas yang sedemikian rupa, saya sangat terbantu dengan kondisi natural section B. Mungkin banyak pihak yang menyatakan bahwa kelas kami super-duper ramai, “jungle”, atau kelas paling rebut sampai terusir-usir, tapi bagi saya, kelas ini adalah spesial. Saya belajar bagaimana mengatur siswa yang ramai seperti itu. Mereka juga saling mendukung.
            Sebuah refleksi saya, ketika saya melakukan role play dan saat itu salah seorang dosen berkomentar bahwa kelas kami terasa dibuat-buat dan tidak natural, mungkin itu hanya sekadar judgement. Sulit dijelaskan memang, mungkin kami terlalu menikmati hal tersebut apa adanya.
            Proses kelas Microteaching, setiap minggunya bergantian untuk mengajar, ini sangat bermanfaat. Saya bisa memperbaiki kekurangan dan bisa belajar dari teman lain. Selain menambah pengetahuan, kita juga bisa mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu kita mendapat kondisi yang sama atau materi yang sama. Kita sudah ada gambaran singkat untuk hal tersebut.
            Proses penilaian adanya dosen tetap, dosen lain, dan teman-teman observer. Ini sangat membantu. Kita bisa mendapat banyak komentar, masukan, dan refleksi untuk perbaikan dari berbagai sumber. Saya sangat beruntung bisa tampil pertama, tapi ada beberapa hal yang membuat saya kurang puas terhadap cara dosen memberi komentar. Jujur, dan saya mohon maaf, saya harus menuliskan hal ini di refleksi saya yaitu tentang keobjektifan dosen memberi komentar. Jujur, saya sempat down, ketika seorang dosen yang mungkin “kurang mengenal saya”, menurunkan semangat saya saat pemberian komentar. Sedangkan untuk mahasiswa lain yang cukup dikenalnya, beliau menyanjung-nyanjung berlebihan dan mungkin kurang cocok untuk dikatakan di kelas. Jujur saya sedikit shock, ketika dosen tersebut memberi komentar kepada saya dan memanggil saya dengan sebutan “anda”. Sedangkan dengan teman-teman yang lain memanggil dengan nama atau “kamu”. Dalam persepsi saya, kata “anda” terasa ada jarak yang sangat jauh. Padahal mungkin hubungan kami antara orang tua dan anak didik. Hal tersebut sedikit kurang bisa saya terima.
            Bukannya iri atau sakit hati, tapi seyogyanya pendidik juga bisa mengondisikan diri sebagai penilai. Sebenarnya, ini refleksi saya pribadi. Mungkin nanti kalau seandainya saya menjadi guru, hal-hal yang tak saya sukai dan tak bisa saya terima, jangan sampai saya lakukan kepada murid-murid saya.

            Kalaupun saya saat ini tak begitu bagus di mata para pengamat, tapi saya akan buktikan suatu saat nanti saya lebih baik dari masa lalu. Biarpun komentar itu terasa pahit saat ini, tapi inilah belajar. Kita harus bisa menerima kritikan yang mungkin sangat menyakitkan demi kebaikan kita sendiri dan untuk masa depan. Banyak batu kerikil di sini dan siapa yang mampu bertahan dalam kompetisi, dialah pemenangnya. Dan saya akan terus belajar, belajar, dan belajar.