Jumat, 29 November 2013

My Diary : Part I _ Capstone


26 November 2013.
Hari ini, hari Selasa. Mataku enggan membuka lantaran badanku terlalu capek beberapa hari ini. Jam enam pagi! Sontak tubuhku terperangah, sayangnya nuansa tempat tidur masih lebih nyaman daripada perjalanan menuju kamar mandi. Ya, lagi-lagi aku memejam lagi, malas bangun!

Beberapa menit kemudian, keinginanku untuk bangkit tak terelakkan lagi setelah mendapat SMS dari teman seperjuangan, penelitian di salah satu SMA di Jakarta. Ya, walaupun kantuk menyerang, tapi niat baik untuk melanjutkan perjuangan ke sekolah tak mungkin diundur lagi. Aku datang kamar mandi!!! Hahhaa.

Yups, hanya beberapa menit untukku bergegas menyelesaikan segala keperluan dan mempersiapkan diri ke sekolah. Beberapa catatan kupersiapkan dengan baik. Ya, walaupun penelitian ini sangat melelahkan tapi pasti nanti buah manis akan segera didapati. Begitulah, pikirku.

Akhirnya, aku pergi juga! Kaki-kakiku melangkah menelusuri gang menuju jalan raya. Suasana langit tak secerah biasanya. Ini adalah hari mendung di bulan November!

Aku menyeberang melewati jembatan penyeberangan. Pemandangan pagi yang menjadi rutinitas pun seperti biasa. Seorang nenek tengah duduk di tepian jembatan. Ada sebuah kaleng terbuka berisi recehan. Aku hanya memandanginya iba. Beberapa orang yang melewatinya pun memberi beberapa koin untuk mengisi kaleng plastik nenek itu. Ah, Indonesia!

Lalu, beberapa meter dari nenek itu, ada seorang bapak-bapak sedang duduk bersendepuh di tepian. Mirip nenek itu lagi! Wajahnya menunduk, iba, meminta belas kasihan orang lewat. Ah, mengapa harus seperti ini? Ah!!!

Kulupakan sejenak rasa itu. Berbagai pertanyaan pun menjejali pikiranku. Mana Negara ini? Ahhh, mengapa rakyatnya begitu mengiba? Tak adakah keluarga dan pekerjaan yang layak untuknya? Menyedihkan! Tapi bagaimana lagi? Ini adalah hidup! Ini sebuah rutinitas!

Aku mencoba melupakan kejadian rutin itu. Beberapa kendaraan melintas di hadapanku. Aku hanya memandang lepas. Rasanya, dunia ini begitu rebut dengan urusan diri sendiri. Ya mungkin aku juga ikut serta dalam hal itu. Ah, perjuangan ini! Kucoba untuk semangat!!! Aku pasti bisaaaaa!!!
***
Bus angkutan umum bertanda 55 pun berhenti di depanku. Aku segera naik dan mencari tempat duduk. Tak sulit untuk menemukannya. Pagi ini tak begitu ramai, jadi banyak bangku yang belum terisi. Kupandangi sekitar. Ini bus terlihat masih baru dan terawat! Ya, body bus masih bagus dan terlihat catnya masih baru dan rapi. Bangkunya juga masih layak, sangat layak dipakai malah.

Satu hal yang menggelitik pikiranku adalah sopir bus ini. Sepertinya masih muda. Bapak itu menyetir dengan pelan dan hati-hati. Tak seperti sopir angkot biasanya yang mengebut dan menyalip seenaknya, tanpa memperhatikan keselamatan penumpang. Yah, maklum, aku sebagai salah satu pelanggan angkutan umum. Itu pun kalau lokasi jauh, tapi kalau lokasi dekat mah, saya memilih untuk naik sepeda saja. Hehehe. Sepeda maniak. Hahhaa. Bukan kok. Hanya sekadar hobi. Hahaa

Nah, aku menikmati perjalanan pagi ini. Aku begitu kagum dengan pengemudi ini. Begitu pelan-pelan dan sabar menunggu penumpangnya naik maupun turun. Bahkan, sopirnya selalu melihat kaca spion ketika mau menurunkan atau menaikkan penumpang. Pelan-pelan, wahhhh, sopir ini baik yaaaaaa. >.<

Lalu, waktu sampai di UKI, aku pun turun. Bus bergerak sangat lambat. Aku juga turun dengan hati-hati. Terasa sekali kenyamanannya. J Suka naik bus ini. Hehhee

Nah, ada sebuah kesempatan untuk memonumenkan nomor mobil ini. Hahaha. Aku pun sampai hafal. “B7896…” hahhaa. Kalau kamu naik bus ini, coba sendiri rasa perjalananmu. Hahhaa. Ya, setidaknya nggak berasa bau apek dan bau solar yang super duper bikin neg. hHahaha. Puasss!!!

Lalu, naik deh aku di angkot mini 19 jurusan Bekasi. Nah, di sini lagi-lagi membuat aku mengamati lagi dan lagi. Aduh bahasaku sudah campur aduk. Hahha. Apa coba tebak? Pasti kamu nggak akan percaya. Apa yang aku amati mungkin jarang dipikirkan orang. Hahha. Nah, jrengggg jrenggg jrengggg. Di dalam mobil ini, semua orang pegang Hape. >.< Hahaha. Ya, nggak apa-apa sih, Cuma mikir aja, ternyata hape sudah dimiliki hampir semua orang. Hahhaa. Bahkan semua hape nya sudah canggih-canggih, yang selebar telapak tangan gitu. HHuahhh, hapenya gede-gede. Kayaknya Cuma aku saja yang punya hape mungil. Hahha. Maklum, aku lebih suka yang simple. Yang penting buat SMS dan telpon sudah cukup. Hahhaa.

Nah, di mobil itu, baru nyadar kalau semua orang sedang pegang hape masing-masing. Ya iyalah, masak pegang hape tetangga. Hahaha. Ini nih, ternyata teknologi telah merasuk ke dunia kita begitu penting ya??? Hahhaa. Terus, di sepanjang perjalanan aku hanya mengamati mereka. Lucu! Macet lagi macet lagi. Ya itulah Jakarta!!! Tapi aku senang tinggal di Jakarta, gimana donk?? Hahaha.
***
Cuaca mendung! Aku masuk ke sekolah. Ya, di sana banyak ilmu yang aku dapatkan. Bertemu dengan anak-anak muda, semangat muda, biar tertular semangat mudanya. Hehhee. Perjuangan dimulai lagi. Yeyyyy!!!

Hari ini beberapa pembahasan pun terselesaikan. Sayangnya, langit tak bersahabat. Hujan turun deras. Aku pun menunggu hujan reda. Vika, teman seperjuanganku sudah pulang duluan. Katanya, banjir di gang depan sekolahan. Dia pun menunggu hujan di tempat fotokopian. Sedangkan aku masih berkutat pada hal yang sama: tugas siswa. Aku senang melakukannya. Aku juga nggak mau hujan-hujanan.

Seusai semua tugas terselesaikan dengan baik, aku pun pamit pulang. Hujan sudah reda dan aku pun berjalan menuju jalanan. Satu hal yang membuat aku sedikit shock! Jalanan sudah penuh dengan air. Banjirrr!!! Terakhir kali aku menerjang banjir ketika di Mampang. Itu pun tiga tahun yang lalu. Sekarang??? Aku benar-benar menemukan apa itu yang namanya banjir! Jika dulu di Mampang hanya sebetis, ini mengalami kenaikan selutut. Oh My God! Aku harus melewati banjir itu… Huhuhuhu. Ada rasa sedih, tapi juga penasaran. Air itu sangat kotor, berwarna kuning, lumpur! Ahhh….

Beberapa anak sekolah pun menrejang juga. Para warga sedang duduk di teras masing-masing sambil menyaksikan halaman depan rumah mereka terkena banjir selutut. Aku berjalan hati-hati, takut-takut ada sesuatu di kaki. >.<

Satu hal yang aku takutkan kalau banjir begini dan aku nggak tahu arah jalanan, bagaimana kondisi jalanan di bawah air banjir itu. Yaaa, kita tak pernah tahu. >.< Ahhh, aku takut kalau aku salah jalan. Maksudnya, salah menenjakkan kaki. Takut masuk got!!! Ahhh, aku tak suka masuk got!!! Jiahhh, hahhaha. Ya mungkin karena trauma masa kecil masuk got kali yaaa. Hahha. Ya begitulah.

Ya, penelitian kali ini, memberi pengalaman yang begitu luar biasa. Menerjang banjirrrr!!!! Wahhh, pengalaman yang luar biasa buat aku. J

Begini ya rasanya terkena banjir itu. >.< Huhuhuhu. Banjirrrrr…. Ya, kita harus bersyukur. J
Oh iya, satu lagi. Adegan di bus mayangsari 45 jurusan Blok M. Aduh-aduh, ada ibu-ibu muda bertiga dan masing-masing bawa satu anak balita. Ramai banget di kursinya, duduk berdampingan dengan aku. Dan kamu tahu apa yang terjadi? Salah satunya, pun memberi ASI di depan umum, nggak ditutupin lagi. Ya ampun, nggak malu ya? Pikirku. Apalagi di depannya ada bapak-bapak lagi. Si Bapak itu, aku perhatikan dia langsung membalikkan muka melihat kejadian itu. Mungkin malu.

Miris! Ya, mungkin mereka sudah terbiasa kali ya? Aduh, bener-bener kalau mau jadi seorang ibu itu harus lebih disiapkan lagi. Semangatttt… J
Semoga penelitian ini beres dan cepet selesai. J

Aamiin. J

Rabu, 14 Agustus 2013

Reflection (CLS_UAS_Semester 6)



        This application is for the daily examination. The topic is 2D shapes for 5th grade. The prior knowledge of students is student know about characteristic of each 2D shapes (square, rectangle, kite, rhombus, parallelogram, etc.). I want to assess the understanding of students on concept and application of 2D shapes. I also want to know the students evaluation and creation.
In the conducting this assessment, I consider about the prior knowledge, the daily life of students, and students’ interest. I use a blank comic on first question because I imagine that my students like the pictorial book. I think it is interesting. They can choose some 2D shapes that they understood. Then, they make their comic by self. I can assess the students’ understanding of concept. They can explore their capability or skills. It does not only increase the students’ concept but also the students’ creativity.
Number two, I use the comparing question. It means that the students do not only know the material and identify the shape, but also they can explore the shapes deeply.
Number three, those are True or False questions. I relate it with the real life example because I want students to evaluate the shape in their life. They learn something that it is on daily life. So, it can make a motivation for students. They learn the material that is important.
Number four, I think the students can create something from the pattern. They can explore it by self. They can choose shapes suitable with their interest. I think it is high order thinking because they create the new shapes. The addition question on number 4 is open ended question. From the answer of students, I want to know their strategies to solve the problem that they choose. It can be a reflection of students.
I think all of this worksheets, I use Costa’s Level of Questioning. Number one until number four is increasing level. From low order thinking (identifying, mentioning, remembering, etc.) until high order thinking (evaluating and creating) are found in the worksheet. This question also consists of close ended question.
The special of the worksheet does not only assess the students’ concept, but also learn about affective skill. I give bold on the affective skill in each question. I also add the picture, colorful worksheet, because this is still elementary school and I consider about the students’ characteristic.
Then, I make the simple instruction on each question. I also make it be word problem. It can help students to increase the critical skills. I add hint on some questions, it can help students to solve the questions. It is simple but easy to understand.
The last, I find this idea from my research of Seminar about the comic. Then, the meeting in CLS course, we ever learn about worksheet “the blank comic”. I think that is very interesting. So, I hope, this worksheet can used in the real classroom. I am so happy in this course.   

Jumat, 19 Juli 2013

Dear My Great Lecturer

Differential Equation Class


Mungkin ini yang bisa lakukan. Hmm, mengingat beberapa minggu yang lalu saat kuis DE, entah mengapa saya hanya bisa membaca soalnya saja. Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus dijawab. Di otak saya tak ada yang bisa digali lagi. Rumus-rumus dan teori-teori semua kabur entah di mana? Saya benar-benar pasrah hari itu. Walaupun beberapa menit pertama saya mencoba mengerjakan kuis itu sebisanya. Angka-angka itu pun putus di tengah jalan sebelum menemukan hasil terbaiknya. Saya hanya bisa memandangi teman-teman saya yang sedang sibuk mencari jawaban benarnya. Hmm, saya terhenti menulis, lantas termenung sambil memandangi soal-soal itu.

Entah apa penyebabnya? Saya tak tahu. Alhasil, jari-jari saya tersentak dan mencoba untuk menulis. Bukannya menulis jawaban soal kuis, eh, saya malah menulis beberapa kalimat. Ya, saya malah keasyikan menulis surat untuk dosen saya. Jika teman-teman saya mungkin menuliskan jawaban kuis di halaman kertas penuh, saya malah menulis surat hingga satu halaman itu penuh dengan tulisan. Lagi-lagi saya tak pernah tahu apa penyebabnya?

Seingat saya, tulisan itu berupa pengakuan saya kalau saya tak bisa mengerjakan kuis itu.  Tulisan itu juga mengalir saja sesuai hal yang ada di otak. Dalam hal ini, saya merasa bersalah. Dosen saya begitu baik dengan saya. Apalagi hal yang saya sangat terkejut, di balik cara pengajaran di kelas, ternyata hasil kuis sebelumnya benar-benar dikoreksi hingga detail. Saya begitu kaget, ternyata metode pengoreksiannya benar-benar seperti yang saya inginkan. Entah mengapa saya kagum dengan cara dosen yang memberi feedback hasil kerjaan mahasiswanya sampai detail seperti ini. Bahkan hingga penulisan variabel y atau x yang terbalik pun diberi tanda dan ini sangat membantu mahasiswa untuk mengoreksi ulang jawabannya. Mahasiswa menjadi tahu kesalahannya di mana, sehingga lain waktu jika ada hal yang sama semoga tak terulang lagi kesalahan tersebut.

Entahlah, dosen saya juga tak hanya mengajarkan materi saja, tetapi beliau juga sering bercerita pengalamannya. Bagaimana kehidupan beliau, lalu hal-hal lain yang menginspirasi. Bahkan saya selalu duduk di urutan paling depan, bukan untuk 'mencari cicak' pastinya. Selalu membuat ricuh kelas gara-gara saya selalu memindahkan tempat duduk ke mana saja dosen saya menulis di papan tulis. Selain karena jarak pandang saya yang terbatas, satu hal yang ingin saya pelajari adalah saya mencoba untuk mengerti penjelasan dosen. Maklum, saya bukan 'fast learner', jadi butuh waktu yang cukup lama untuk mengerti materi.

Jujur, sampai menit pengerjaan kuis selesai, saya masih tetap menulis surat tersebut. Saya berpikir, saya sudah benar-benar 'kepentok' tidak bisa melanjutkan menjawab soal-soal tersebut. Di akhir surat, saya masih ingat sebuah janji bahwa "saya harus lebih baik di ujian nanti". Saya benar-benar harus berjuang.

Kau tahu, apa yang terjadi ketika nilai kuis dibagikan? Ya, point saya sangat kecil. Hmm, saya hanya mendapat point angka kembar: 11. Angka itu, pastinya sangat di bawah rata-rata. Ya, saya harus remedial. Angka tersebut bukanlah hal yang memalukan untuk saya, melainkan sebagai lecutan untuk lebih baik lagi. Dengan adanya angka 11 itu, muncul kembalilah semangat saya untuk benar-benar belajar.

Alhasil, saya belajar keras untuk mendapatkan target itu. Dalam hati kecil saya, tak ingin saya mengecewakan dosen saya tersebut. Beliau benar-benar mengajarkan kepada saya, tapi mengapa saya hanya main-main? Saya tak ingin kesalahan itu terulang lagi. Dan ternyata perjuang saya tak sia-sia. Hingga sebuah kasus terbongkar dan saya adalah tersangka pertamanya. Semoga belum terlambat. Hal ini akibat ketidaktahuan saya, lalu kesalahtangkapan saya terhadap pernyataan "Satu mahasiswa meng-kotak jawaban pakai ballpoint merah, satu lagi meng-kotak jawaban pakai spidol orange."

Saya mengingat hari remedial kuis itu, saya memberi tanda kotak pada jawaban dengan menggunakan stabilo pink, bukan orange. T_T Saya hanya salah tangkap dengan pernyataan tersebut. Saya tidak tahu apakah benar itu jawaban saya atau tidak - tanpa nama di lembar jawabannya?  *Keteledoran saya. 

Satu hal yang ingin saya utarakan: terima kasih, Bapak telah menyadarkan kembali kepada saya tentang tujuan saya berada di kelas ini.


*Maaf sepertinya, saya telah melakukan kesalahan tentang jarkom kelas gara-gara mencari "pelaku" yang tak segera mengaku. *Efek salah tangkap. Saya telah membuktikan janji saya sebelumnya.  

Jumat, 05 Juli 2013

Pancasila Mati Suri

Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027 / Universitas Siswa Bangsa Internasional

Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua
nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya
**untuk semua puji namanya
untuk semua cinta sesama
untuk semua wadah menyatu
untuk semua bersambung rasa
untuk semua saling membagi
pada setiap insan
sama dapat sama rasa

oooh Indonesia
oooh Indonesia

Pancasila rumah kita, rumah untuk selamanya
Pancasila ada karena kita bhineka tumbuh bersama sebagai Indonesia
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya dalam puspa warna menjadi Indonesia
Nilainya bukan hanya debu sejarah
Hari ini ada di tangan kita jika Indonesia lupa dan hilang arah saatnya kembali, kembali kepadanya

-Pancasila Rumah Kita – Versi Kolosal #17an-

Sebuah lagu inspiratif bagi saya. Pemilihan lagu yang sangat tepat untuk topik kali ini di mata kuliah Pancasila. Apalagi kami kedatangan dosen tamu yang menurut saya luar biasa. Benar-benar beda dari yang lain, nylentrik. Ya, beliau adalah Ulin Yusran. Buat saya, Mas Ulin, begitulah sapaannya menginspirasi saya. Gaya penampilan yang apa adanya dan santai membuat saya menikmati kuliah hari itu.

Walaupun sebenarnya materi yang disampaikan cukup berat, tapi saya tertarik. Bahkan ada beberapa bagian yang membuat saya tercengang. Sebuah keberanian public itu membuat saya menganggukkan kepala berulang-ulang. Mengagumkan!

***

Pancasila terasa tumbang setelah orde baru tumbang.

Begitulah ungkapan yang disampaikan Mas Ulin sebagai pembukaan. Saya berefleksi membenarkan ungkapan tersebut. Coba saja ingat, dahulu zaman kepemimpinan Pak Soeharto gencar-gencaran adanya Pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Setiap orang yang tak mematuhi P4 itu akan dianggap komunis. Mungkin ini adalah keputusan yang sepihak. Seakan-akan Pancasila hanya dimanfaatkan pemerintahan Orde Baru sebab menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal. 

Sayangnya, pengamalan Pancasila tersebut hanya semata-mata sebuah paksaan untuk mematuhinya akibat dari pemerintahan yang mewajibkan. Menurut saya, seharusnya setiap insan memiliki kesadaran penuh untuk mengamalkan butir-butir Pancasila tersebut. Lantas, ke manakah kesadaran kita sebagai pemilik Pancasila itu? Dan akhirnya, rakyat merasa tidak puas dan tidak percaya dengan pemerintahan. Ini adalah salah satu akibat dari sikap paksaan dan bukan datang dari hati individu untuk mengetahui lebih dalam Pancasila.

Satu ungkapan yang saya suka:
Setiap gulungan ombak yang terhempas di tepi pantai meninggalkan sampah.
-Syair Reformasi-

Ya, Orde Baru pupus juga setelah aksi rakyat yang berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto. Indonesia mengalami kebobrokan system, karakter, dan pelaksanaan. Sayangnya, walaupun dalam wujud manusia, pemerintahan telah tumbang, tapi system tak tumbang. Inilah yang diwariskan kepada generasi selanjutnya, yang disebut reformasi. 

Padahal jika kita menengok kembali pada zaman sejarah, Pancasila lahir sebagai harapan bersama. Pancasila tumbuh akibat adanya kepercayaan dan keberagaman. Indonesia berharap akan menjadi Negara yang adil, makmur, sejahtera, aman, sentosa, dan Pancasila menjadi kepribadian bangsa. 

Ironisnya, Indonesia masih belum mampu sepenuhnya mencapai harapan dan mimpinya itu. Dewasa ini, Pancasila terasa semakin asing saja. Jika kesadaran berbagai bidang seakan semakin luntur. Pancasila terasa tak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan. Sempat berefleksi terhadap selentingan, “Tanpa Pancasila pun saya masih bisa hidup. Untuk apa mengenal Pancasila?” Sempat membenarkan kata-kata itu, hal ini membuat saya galau luar biasa. Jadi yang benar yang mana? Pancasila menjadi acuan berbangsa dan tanah air ataukah Pancasila adalah symbol dari tingkah laku baik kita? Masih belum mengena di hati saya. Jawaban masih mengambang di awang-awang. 

Refleksi saja, sekarang mahasiswa mungkin dianggap “mlempem”. Jika dulu para pemuda semangat dan gencar-gencaran membela tanah air. Sampai-sampai pemikiran kritis mampu menggulingkan beberapa masa pemerintahan. Sayangnya, itu hanya dulu. Sekarang, mungkin telah berganti menjadi “Mahasiswa Penakut”.

Sebuah perkataan Mas Ulin yang sangat mengena di hati adalah “Kuliah ndak mlebu, IP ndak telu, demo ndak melu. Mbalek ae nang ibumu!”

Sungguh singkat tapi nancap ke dasar-dasarnya hati. Entahlah, Pancasila seakan mati suri. Perlu pembenahan lagi untuk system yang amburadul seperti sekarang. Perlukah rakyat bertindak?

Isi jawaban sendiri.  

Microteaching? OK!

Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027

“Yeyyy, kelas Microteaching hampir berakhir di semester ini. Itu berarti tanggung jawab di semester depan semakin besar. Semoga lebih matang lagi pembelajaran yang telah diterima.”

Well, pembelajaran yang saya terima di SSE selama ini terasa sekali manfaatnya ketika menjalankan School Experience Program (SEP)  tahun ini. Jika dulu begitu awam tentang seluk-beluk guru, kini sudah mulai ada pencerahan. Ya, belajar di SSE pun menjadi sangat penting dan sangat perlu untuk digeluti dengan baik. Saya merasa sangat beruntung bisa mengolah pengetahuan di kampus ini dan semoga menghasilkan produk yang bernilai tinggi pula. 

Khusus kelas Microteaching, bagi saya mata kuliah ini sangat bermanfaat. Setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukan pembelajaran di kelas dengan teman sendirilah yang menjadi siswa. Bagi saya, ini adalah tantangan. Mengapa tantangan? Bagaimana tidak? Kelas dengan siswa-siswanya adalah teman sendiri kadangkala membutuhkan ekstra kerja keras. Menganggap para siswa tersebut adalah murid SMP/SMA. Perlu imajinasi tinggi bukan? 

Di sinilah, role play pembelajaran yang sering saya lakukan di kampus begitu berarti buat saya. Walaupun kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan kondisi di kelas kampus. Mengapa berbeda? Kalau di kelas kampus, kadangkala kita sudah menganggap siswa-siswa, di sini teman-teman menjadi siswa, sudah mengerti konsep dan bahkan lihai. Hal ini sering terlupakan bahwa kelas sebenarnya, kita akan dihadapkan pada siswa-siswa yang sedang belajar atau bahkan belum mengerti sama sekali. Sedangkan kita sebagai guru dituntut untuk membuat siswa paham dan menguasai konsep. Inilah yang terkadang membuat tumpang-tindih pembelajaran. 

Menyoal kondisi kelas yang sedemikian rupa, saya sangat terbantu dengan kondisi natural section B. Mungkin banyak pihak yang menyatakan bahwa kelas kami super-duper ramai, “jungle”, atau kelas paling rebut sampai terusir-usir, tapi bagi saya, kelas ini adalah spesial. Saya belajar bagaimana mengatur siswa yang ramai seperti itu. Mereka juga saling mendukung. 

Sebuah refleksi saya, ketika saya melakukan role play dan saat itu salah seorang dosen berkomentar bahwa kelas kami terasa dibuat-buat dan tidak natural, mungkin itu hanya sekadar judgement. Sulit dijelaskan memang, mungkin kami terlalu menikmati hal tersebut apa adanya. 

Proses kelas Microteaching, setiap minggunya bergantian untuk mengajar, ini sangat bermanfaat. Saya bisa memperbaiki kekurangan dan bisa belajar dari teman lain. Selain menambah pengetahuan, kita juga bisa mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu kita mendapat kondisi yang sama atau materi yang sama. Kita sudah ada gambaran singkat untuk hal tersebut.

Proses penilaian adanya dosen tetap, dosen lain, dan teman-teman observer. Ini sangat membantu. Kita bisa mendapat banyak komentar, masukan, dan refleksi untuk perbaikan dari berbagai sumber. Saya sangat beruntung bisa tampil pertama, tapi ada beberapa hal yang membuat saya kurang puas terhadap cara dosen memberi komentar. Jujur, dan saya mohon maaf, saya harus menuliskan hal ini di refleksi saya yaitu tentang keobjektifan dosen memberi komentar. Jujur, saya sempat down, ketika seorang dosen yang mungkin “kurang mengenal saya”, menurunkan semangat saya saat pemberian komentar. Sedangkan untuk mahasiswa lain yang cukup dikenalnya, beliau menyanjung-nyanjung berlebihan dan mungkin kurang cocok untuk dikatakan di kelas. Jujur saya sedikit shock, ketika dosen tersebut memberi komentar kepada saya dan memanggil saya dengan sebutan “anda”. Sedangkan dengan teman-teman yang lain memanggil dengan nama atau “kamu”. Dalam persepsi saya, kata “anda” terasa ada jarak yang sangat jauh. Padahal mungkin hubungan kami antara orang tua dan anak didik. Hal tersebut sedikit kurang bisa saya terima. 

Bukannya iri atau sakit hati, tapi seyogyanya pendidik juga bisa mengondisikan diri sebagai penilai. Sebenarnya, ini refleksi saya pribadi. Mungkin nanti kalau seandainya saya menjadi guru, hal-hal yang tak saya sukai dan tak bisa saya terima, jangan sampai saya lakukan kepada murid-murid saya. 

Kalaupun saya saat ini tak begitu bagus di mata para pengamat, tapi saya akan buktikan suatu saat nanti saya lebih baik dari masa lalu. Biarpun komentar itu terasa pahit saat ini, tapi inilah belajar. Kita harus bisa menerima kritikan yang mungkin sangat menyakitkan demi kebaikan kita sendiri dan untuk masa depan. Banyak batu kerikil di sini dan siapa yang mampu bertahan dalam kompetisi, dialah pemenangnya. Dan saya akan terus belajar, belajar, dan belajar.

Belajar dari Praktik

Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027 / Section B

Mathematics... is more than a collection of problem-solving procedures; it is in essence a system of relations, and it will become increasingly important for children to understand it as a system as their education progresses.” (Resnick, 1992)

Ya, saya mendapatkannya ketika saya mempelajari matematika. Bagi saya, matematika sangat mengasyikkan dan seru. Apalagi kalau sudah materi geometri, itu hal yang saya suka. Nah, sebenarnya saya lebih menyukai geometri daripada aljabar. Namun, tak mungkin saya hanya memilih geometri saja bukan? Pastinya, harus mencoba menyukai hal yang tak disuka juga.

Sebenarnya, sebelum memilih undian penentuan topik, saya berharapnya untuk mendapatkan materi geometri. Sayangnya, harapan itu tertunda sementara sebab saya mendapatkan topik aljabar. Ya, mungkin itu sebagai media pembelajaran saya. Walau saya lebih menguasai materi geometri daripada aljabar, mau tak mau saya harus belajar bagaimana saya mengajarkan aljabar itu sendiri? Ya, ini kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan tentang matematika. Tak mungkin pula, suatu hari nanti kalau sudah menjadi guru kita hanya memilih untuk mengajarkan materi yang kita kuasai bukan? Itu namanya statis. Tidak berkembang. Dan saya tak ingin seperti itu.

Baiklah, Microteaching course telah memberi banyak pengajaran buat saya, khususnya untuk kemampuan mengajar. Pada kesempatan ini saya mengambil standar kompetensi: Memahami bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linear satu variable. Sedangkan kompetensi dasar: Melakukan operasi pada bentuk aljabar. Tiga puluh menit praktik mengajar di kelas, lalu diberi feedback. Itu hal sudah menjadi kebiasaan kami di kampus USBI-SSE. Saya sangat berterima kasih kepada para pemberi masukan yang membangun untuk saya. Itu sangat membantu. Beberapa yang saya ingat, ada beberapa masukan untuk pengajaran saya. 

         Pertama, masalah konten. Ya, saya menyadari konten aljabar saya lemah sehingga ketika mengajar, saya sempat bingung mencari cara untuk menyampaikan konten dengan baik. Alhasil, untuk materi ini, saya mengalami kesulitan untuk mengajarkan kepada siswa cara melakukan operasi pada bentuk aljabar. 
Kedua, masalah praktis pengajaran. Ada beberapa masukan mengenai suara, classroom management, time management, lalu mengontrol siswa. Menurut saya, itu semua masih tahap belajar dan sebagai guru kita harus bersedia belajar dan terus belajar agar lebih kreatif lagi. Selain itu, guru juga harus bersedia dikritik untuk menjadi lebih baik lagi. Di sini, saya pun belajar untuk mengungkapkan pendapat dan menerima pendapat dengan lapang dada. 

            Ada satu hal yang sempat mengejutkan saya mengenai sebuah komentar: kondisi kelas terlalu dibuat-buat. Sebenarnya, ini bukan hal baru lagi, tapi mungkin masih bisa dibahas. Jujur, kondisi kelas section B memang seperti itu, apa adanya. Mungkin bagi orang yang jarang masuk kelas kami, akan berkata, “Sedikit lebay, sangat ramai kelas ini.” Ya, saya menyadari kelas ini ramai, tapi saya mencoba ambil hal positifnya saja, sewaktu-waktu kita bisa mendapatkan kelas semacam ini. Jadi, kita bisa lebih persiapan lagi untuk mengatasinya karena kita sudah terbiasa. 

              Dalam perkembangan kemampuan saya mengajar, satu hal yang masih menjadi ciri khas saya adalah jargon di kelas. Bagi saya, ini hal yang masih memungkinkan untuk dilakukan di kelas. Saya sangat berharap hal ini dapat membantu untuk meningkatkan motivasi dan semangat belajar siswa. Kemudian, kelemahan yang harus dihilangkan adalah kemampuan bahasa verbal yang belum lancar apalagi bahasa Inggris. Saya masih kesulitan untuk berbicara lancar, tapi saya tetap berjuang untuk hal ini menjadi lebih baik.
Jika dulu saya begitu takut untuk berbicara di depan kelas, kini sudah mulai ada pencerahan, ada kemajuan, saya berani tampil di depan kelas. Lalu, dengan cara mengambil topic yang belum begitu dikuasai akhirnya saya bisa belajar untuk bisa menguasainya lebih. Peru ada penekanan konsep kembali di bagian inti pembelajaran. Untuk opening dan closing sudah cukup bagus. 

Minggu, 26 Mei 2013

Dear My Little Brother II



Hari ini, kau bercerita tentang hal yang membuat kau bahagia dan hal yang membuat kau takut. Kau telah memutuskan masa depanmu. Ke manakah langkah jejak kakimu akan kautelusuri? Aku percaya, kau mampu!

Tahun 2010 adalah gebrakan bagiku dan pastinya hal baru untuk keluarga kecilku. Mungkin kau juga merasakannya saat ini.

Aku tahu sekali bagaimana rasanya lulus dari Sekolah Menengah Atas? Ya seperti tahun 2009 itu! Sebuah sejarah panjang dalam hidupku. Beradu nasib! Mungkin kesempatanku tak seperti teman-teman lain, yang begitu didukung keluarga-dan pastinya mereka dari golongan berada. Kuliah, tinggal pilih jurusan dan perguruan tinggi yang menjadi idam-idamannya. Sebenarnya, aku sempat iri dengan kondisi demikian. Aku iri, mengapa hidupku tak seberuntung mereka? Ah, begitu bodoh aku kala itu. Tak pernah bersyukur!

Sebagai anak perempuan yang dituakan, aku punya tanggung jawab besar terhadap adik-adikku. Satu hal yang kupikirkan, "Jika aku tak kuliah, maka aku hanya akan menjadi beban keluarga." Bagaimana kelanjutan adik-adikku kelak? Entahlah, mungkin aku seperti lilin yang mati dalam gelas hampa udara. Tak bisa jadi penerang, tapi malah terkungkung.

Aku lahir dari sebuah desa dan tahulah bagaimana adat desa yang begitu kental untuk anak perempuan. Lulus sekolah, kalau tak kerja pastinya menunggu lamaran dari seorang lelaki. Itu mungkin sudah menjadi tradisi turun-temurun. Dan aku tak menginginkan hidupku hanya sebatas itu saja. Aku perlu pengalaman dan pendidikan untuk masa depanku kelak. Bukan malah pasrah dengan keadaan yang bisa mencekik leher para pemilik jiwa yang enggan berubah. 

Ya, impianku masih banyak untuk kuraih. Jalanku masih panjang. Dan satu-satunya hal yang bisa mengubah keadaan adalah pendidikan, begitu bagiku. Lulus sekolah telah membuat kegalauan. "Ke mana ya setelah aku lulus nanti? Kuliah atau kerja?" Pilihan yang sulit!

Dalam hati sebenarnya, aku ingin bisa kuliah-mengenyam bangku pendidikan. Pikirku, jika aku bisa melanjutkan pendidikan maka peluang dan kesempatan kerja lebih luas. Pertanyaan selanjutnya, "Biaya sekolah mahal! Mampukah orang tuamu membiayai kuliahmu?" Pertanyaan itu segera kandas di tengah jalan. Kubuang jauh-jauh merengek ke orang tua untuk bisa kuliah. Aku sudah membebani beliau, tak mungkin menambah berat lagi beban itu. 

Kuliah memang menjadi pilihan ke sekian dalam silsilah keluarga, tapi aku terlalu keukeuh dengan keinginanku, impianku! Ya, aku perjuangkan!

Pernah salah satu teman berkata, "Setelah lulus mau ke mana?"
Lalu kujawab, "Aku ingin kuliah!"
Dengan nada bercandanya, "Kalau bermimpi itu jangan tinggi-tinggi, nanti kalau jatuh sakit!"

Ah, itu hanya pikiran orang yang pesimistis. Aku hanya diam. "Oke, akan kubuktikan. Aku tak main-main untuk mimpi-mimpiku!" pikirku.

Faktor ekonomi, mungkin telah menjadi permasalahan sebagian besar orang. Tak terkecuali untukku. Apakah di dunia ini ada yang gratis? Kupikir perlu dipertimbangkan lagi. 

Satu-satunya jalan yang kupikirkan adalah mencoba jalur beasiswa. Dalam kasus ini, beasiswa UGM tahun 2009, mungkin belum jalur yang tepat. Ya, kegagalan menghampiriku. Jurusan matematika murni yang kuinginkan tak membuahkan hasil. Kota Jogja yang sempat menjadi kota impianku harus kukatakan, "Good bye!" Cukup sampai di situ saja. 

Kegagalanku telah memperburuk keluarga. Ayahku sakit parah, mungkin terlalu memikirkan aku. Sedangkan aku terlalu keras kepala untuk urusan kuliah. Betapa bego aku ini waktu itu. Ya, kesalahanku mungkin terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.

Melihat kondisi yang tak memungkinkan, aku pun memutuskan untuk membekukan mimpiku itu dalam beberapa waktu. Entah sampai kapan, aku tak yakin. Aku harus bekerja!

Di dunia kerjaku pun begitu keras. Kekolotan pemikiran tetap menjadi kendala paling sulit untuk diselesaikan. Modalku hanya satu: jujur. Dan kuyakin, orang-orang yang berdiri menusukku dari belakang tak akan bertahan lama. Ini adalah sebuah pertandingan dan aku butuh perjuangan untuk menjadi seorang pemenang. 

Di sela-sela kesibukanku, selalu ada impianku. Aku sengaja menuliskan mimpi-mimpiku itu dalam buku pribadiku. Mungkin itu hal konyol yang pernah kulakukan. Daftar ketiga adalah aku ingin kuliah tanpa memberatkan orang tua. Ya, malah catatan itu masih ada hingga saat ini. Sengaja kusimpan sebagai tanda sejarah yang pernah kutuliskan. Biarkan abadi bersama perjuanganku. Aku percaya, suatu hari nanti akan kuraih satu per satu.

Kuniatkan diri lagi untuk gencar-gencaran mendaftar beasiswa. Langkah keduaku adalah Beasiswa ITB 2009. Diam-diam aku mendaftarkan diri dengan jurusan ... Hayati. Entah apa lengkapnya, aku sudah lupa. Jurusan itu sengaja kupilih karena aku lebih menyukai MIPA daripada ilmu sosial. Kupikir, kemampuanku bisa membantu untuk mendapatkan beasiswa itu. Namun, apa yang terjadi? Gagal lagi!

Bahkan aku benar-benar tak tahu apakah mimpiku itu terlalu muluk atau hal yang tak mungkin. Aku terhenti melangkah. Aku terjatuh dan takut untuk melangkah lagi. Sudah kuputuskan, kukubur hidup-hidup mimpiku itu. Sudah cukup!

***

Satu tahun bekerja memberi pengalaman yang cukup menjadi gebrakan baru diriku. Walaupun gaji tak seberapa, tapi setidaknya lumayan cukup. Ya, tujuh puluh ribu seminggu dengan 8 jam per hari, mungkin gaji yang sungguh di bawah UMR. 

Tak mempersoalkan gaji, aku bersyukur bisa bekerja. Walaupun masih terasa jauh masa depanku, kuliahku, dan mimpi-mimpiku yang lain. Terlebih lagi, adik-adikku. Ya, beginilah beratnya jadi anak yang dituakan. Harus punya benteng pertahanan semangat yang tinggi. Kalau pondasi saja tak kuat, akan jadi apa bangunan di atasnya nanti?

Bekerja memang butuh keuletan dan kegigihan. Dan aku telah berusaha semampuku. Aku percaya, aku mampu menyelesaikan tugas-tugasku itu. Hidup adalah perjuangan dan pilihan. Jalan mana yang akan ditempuh untuk meneruskan perjalanan itu?

***

Jakarta, 2010

Pertama kali kuinjakkan kaki di Jakarta ini. Apakah impianku memiliki jalan? Kuliah? Tak sia-sia. Kuingat kata-kataku dulu, "Aku akan kerja setahun, lalu kuliah di tahun berikutnya."

Ini benar-benar nyata. Alhamdulillah, aku lolos seleksi masuk ke Sampoerna School of Education. Di sanalah, di kampus mungil itu perjuanganku dimulai kembali. Keluarga kecil yang memberi semangat dan jalan untuk masa depanku.

Daftar ketigaku dalam list mimpi-mimpiku telah tercoret saat ini. Menunggu catatan lain untuk segera diluapkan karena telah kuraih pula.

***

Jakarta, 2013

Terima kasih Bapak, Ibu, kedua adikku, dan orang yang mendukungku, aku telah sampai di sini. Semester 6 ini, harus tetap semangat. Biarkan catatan ini menjadi penyemangatku ketika aku hendak terhenti untuk meraih mimpi. 

"Berjuanglah sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya." 
-Nyai Ontosoroh, dalam buku "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer-

#Teruntuk orang yang aku sayangi dan yang menyayangiku.
Dian yang sekarang bukanlah Dian yang terkungkung dalam penyesalan seperti dulu, tapi Dian sekarang adalah Dian yang tegar dan terus berjuang!

*Catatan ini sengaja kutulis kembali sebagai sejarah hidupku sampai kapan pun.
25 Mei 2013

Dear My Little Brother I



Ah, sebagai lelaki, kau sungguh rapuh. Kau begitu cepat meneteskan airmatamu di depanku. Aku tahu, kau terlalu bahagia mendengarkan kabar yang kau tunggu-tunggu: kau lulus. Dan siang ini, kau meneleponku dengan bangga. Ah, betapa aku rindu kebersamaan itu. Jika kau tahu, aku sungguh ingin memelukmu erat. Kita bercerita tentang jalan yang kita tempuh, kisah duka dan suka yang telah kita lalui. Aku akan diam mendengarkan kau bercerita banyak hal di bawah rindangnya Mahoni depan rumah. Lalu, bagaimana bahagia hatiku melihat senyuman yang merekah di bibir merah jambumu? Aku bahagia.


Kau tahu, di saat kau berteriak kecil memanggil namaku, tanpa kusadari airmata ini pun menetes tak terhalangkan. Walau ada jeda waktu dan ruang, kurasa kita telah bertatap muka langsung. Entah mengapa, aku terbawa suasana untuk menjadi rapuh. Mungkin rinduku telah memaksa diri ini untuk menggugat emosi. 


Ah, kuingin kau tumbuh menjadi pribadi yang tegar, tahan banting. Hari ini kau lulus, ini adalah awal masa depanmu. Kau harus lebih menang daripada aku. Jangan cengeng! Kuharap jalanmu lebih baik. Kau lelaki! Bermimpilah tinggi, kejar mimpi-mimpi itu sekuat tenaga. You are great! I miss you! 

Tetap berjuang!


Lovely,

Your Sister
*Dari pojok kos, Jakarta.
24 Mei 2013

Minggu, 19 Mei 2013

Menengok Kembali Pancasila



Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027

“Banyak dari kita sebagai generasi muda yang terdidik dan sadar akan kesejahteraan rakyat tak mengacuhkan politik. Hal ini dapat berakibat lagi-lagi para politikus yang menduduki kursi kepemimpinan adalah orang-orang yang hanya bermental tempe dan ujung-ujungnya korupsi, memimpin tak becus, dan rakyat disengsarakan!”

            Tiba-tiba saja terlintas di benak saya membenarkan kata-kata itu. Sebuah diskusi di kelas Pancasila, entah itu pertemuan ke berapa, saya lupa, itu pun mengetuk hati. Jujur, selama ini saya paling anti politik. Bagi saya, politik adalah candu dan “tahi kucing”, maaf sebelumnya. Saya merasa muak dengan sistem politik yang tak bersih, jabatan pemerintahan yang masih nepotisme, dan janji-janji palsu dari para pemegang jabatan itu. Entahlah, selama ini saya golput dalam hak memilih saya sebagai rakyat Indonesia.

            Mungkin, Anda akan mengatakan, “Bagaimana mau menjadi warga yang baik, kalau lagi-lagi golput? Apakah sudah menyelesaikan kewajiban selain menuntut hak?” Ah, mungkin saya terlalu kolot untuk hal ini. Saya tak tertarik dalam pembahasan politik, apalagi harus memilih orang yang dicalonkan sebagai “wakil rakyat”; orang yang tak pernah saya kenal.

            Pepatah lama yang masih berlaku, mungkin, “Tak kenal maka tak sayang”. Ya, saya tak pernah berusaha mendekatkan diri, menguak pengetahuan tentang calon-calon wakil rakyat tersebut. Saya selalu hanya sekadar tahu saja, malah parahnya hampir saya kadang-kadang tak tahu nama calon legislatif itu. Tragis memang dan itu memang benar-benar kenyataan yang saya lalui.

            Malah, beberapa hari yang lalu, kata “politik” menggelitik pikiran saya. Suatu pagi, politik menjadi "guyonan" di pasar. Seorang penjual menjajakan dagangannya sambil merayu pelanggan, "Saya itu kalau jualan bersih Bu. Nggak kayak pemeritah yang korupsi. Di sini nggak masuk TV, jualan saya itu nggak korupsi. Lihat aja di KPK, direkam akibat banyak pejabat yang korupsi." Begitulah dengan logatnya yang dibuat-buat, santai.

Korupsi, rakyat sengsara, dan tatanan negara semrawut telah membekas di pikiran sebagian orang, begitu pula dengan saya. Ketidakpercayaan saya mungkin telah memberi pandangan bahwa politik terlalu pembohong. Saya sempat “galau” tentang politik pada arti yang sebenarnya. Apakah saya sudah tahu seluk-beluk dunia perpolitikan? Saya rasa masih belum. Sebenarnya, kita perlu mendalami politik tidak hanya dari satu pihak keburukan saja, tetapi kita juga perlu membaca dari sisi kebaikannya. Dan itu masih dalam proses perjalanan hidup saya.

            Kembali lagi tentang kalimat petikan refleksi awal di tulisan ini, hati kecil saya membenarkan hal tersebut. Lantas, apa yang akan saya lakukan untuk menanggapi pernyataan itu? Setelah kelas Pancasila beberapa pertemuan, seakan membuka mata hati saya untuk sedikitnya atau mungkin lebih cocoknya lebih banyak “tahu” tentang dunia politik. Alasannya adalah agar kita tak dibodohi oleh orang yang bodoh.

            Untuk saat ini, saya sempatkan diri untuk membaca sedikit demi sedikit dunia politik. Sebuah buku yang saya sukai adalah buku “Catatan Seorang Demonstran” – Soe Hok Gie. Membaca ulasan-ulasan Gie, membuat saya termangut-mangut. Sungguh besar semangat beliau untuk membela rakyat memang dari hati. Sangat berbeda dengan zaman sekarang. Jika dulu, para pemuda memang berjuang demi rakyat, sekarang saya masih menyangsikan “Apakah tujuan mulia itu masih ada?”. Entahlah. Beberapa celetukan seorang teman dalam sebuah obrolan ringan di tanggal 1 Mei 2013 kemarin, “Orang-orang berdemo di hari Buruh. Saat ini banyak sekali aksi demo yang hanya “dibayar” dan dikoordinir oleh beberapa orang.”

Kata “dibayar” masih membuat saya gamang. Apakah perjuangannya hanya sebatas untuk dibayar saya? Lagi-lagi masalah uang. Memang, siapa sih yang tak suka uang? Jika ada, mungkin orang itu sudah sedikit “gila”. Hidup ini mau tak mau harus ada uangnya, walaupun tak harus “gila uang”. Itu pendapat saya, jangan sampai kita diperbudak oleh uang.

Lalu, sebuah ungkapan yang pernah saya dengar atau baca, hanya saja saya lupa sumbernya, “Para pendemo lari tunggang-langgang bukan karena takut aparat negara, melainkan hanya karena serbuan hujan. Sebegitukah mental muda saat ini?”

Sebuah refleksi saya, sebenarnya saya tidak begitu setuju jika kita harus turun ke jalan-jalan dan merusak fasilitas negara dengan embel-embel “membela rakyat”. Jika ingat, Soekarno dan Soeharto turun dari kepresidenan diikuti oleh aksi tragis dari para mahasiswa. Lantas, apakah jika kita turun di jalan dan mengulang sejarah kelam, itu hal yang masih pantas? Saya rasa pejabat juga sudah waspada dan punya strategi untuk mengantisipasi pengulangan tersebut. Walau masih ada kemungkinan hal itu bisa terjadi, tapi saya tetap kurang setuju jika kita turun ke jalanan dan melakukan aksi heroik dan brutal seperti yang sudah-sudah. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang kena. Biaya negara untuk mengganti fasilitas itu pasti akan membludak dan uang yang seharusnya untuk rakyat terpaksa digunakan. Menyedihkan memang.

            Sebenarnya, paparan saya di atas sedikit berkaitan dengan peranan Pancasila dalam kehidupan saya. Apakah Pancasila penting bagi kehidupan saya? Refleksi saya, selama ini pelajaran Pancasila hanya diajarkan untuk dihafal. Bahkan saya pun lupa tentang butir-butir Pancasila. Ironis memang, tapi mau bagaimana lagi? Saya rasa peranan Pancasila kurang melekat di kehidupan saya, entah saya sadari maupun tidak.

Jika kita mengingat, sebenarnya Pancasila sebagai dasar negara seharusnya menjadi landasan atau kompas kehidupan kita. Segala sumber tertib negara, hukum, dan jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral Pancasila (Soegito, 2009, dalam Susanto, 2013). Sayangnya, tak banyak orang menyadari hal tersebut, termasuk saya.

Saya tidak tahu, apakah saya sudah termasuk orang yang ber-Pancasila atau bukan? Bagi saya, hidup ya berkelakuan baik saja. Saling menghargai sesama, lantas tidak keluar dari pedoman yang diikuti. Sebenarnya begitu menurut saya.

Jujur, saya “galau” kalau harus menjawab apakah tindakan saya sudah berdasarkan Pancasila? Refleksi, menurut saya, saya sudah melakukan yang terbaik. Hanya saja, sebagai manusia saya tak pernah luput dari kesalahan juga. Saya pernah melenceng dari aturan dan mungkin itu adalah titik di mana saya merasa jenuh, bosan jika harus baik-baik saja.

Saya akan bercerita tentang hal yang mungkin sederhana, tapi ini adalah pengakuan dosa. Tanggal 2 Mei 2013, adalah hari Pendidikan Nasional. Saya sadar bahwa di kampus akan diadakan upacara bendera. Dari tahun ke tahun, baru kali ini, yang saya ingat, saya tidak hadir dalam upacara tersebut. Entah apa yang membuat saya merasa bersalah karena hal tersebut.

Pagi itu, saya sudah bangun pagi dan berencana untuk masuk pagi, datang tepat waktu. Saya hendak berangkat, tapi saya mengingat sebuah paying di kamar saya. Payung itu milik teman saya dan harus saya kembalikan hari itu juga. Ketika saya lipat dan bereskan, tiba-tiba saya kilaf dan teledor. Sebuah besi penyangganya pun patah dan paying itu rusak. Saya merasa bersalah. Teman saya sudah baik kepada saya, tapi saya malah tak menjaga kepercayaannya dengan baik. Saya berusaha keras untuk membetulkan paying itu, tapi ternyata susah sekali. Saya berusaha keras, tapi malah ada besi lain yang patah. Saya panik dan akhirnya tak melihat waktu yang terus berjalan. Jam telah menunjukkan lebih dari jam delapan, itu berarti saya telat jika harus mengikuti upacara.

Satu hal yang ada di pikiran saya: ragu. Apakah saya harus ikut upacara, tapi kepercayaan teman saya itu? Saya bingung memutuskan, saya takut. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak mengikuti upacara.

Sebenarnya bukan gara-gara saya tak menghargai Indonesia. Saya bangga memiliki Indonesia. Ada sebuah celetukan dari teman, “Bangga jadi Indonesia ya? Tadi ikut upacara memang?”

Menaggapi hal tersebut, sebenarnya saya sedikit sebal. Apakah dengan cara ikut upacara saja berarti kebanggaan itu sudah dicapai? Saya rasa belum. Jika saya perhatikan, tak semua peserta pun merasa nyaman ketika ikut upacara. Apalagi kalau cuaca panas. Bagaimana sikap siap sempurna saat upacara pun mungkin telah sedikit terlupakan? Ah, saya tak mengikuti upacara kemarin, saya sangat menyesal rasanya. Benar-benar timbul rasa bersalah dalam hati.

Mengingat pengamatan saya, tak semua orang peka terhadap sikap-sikap saat upacara. Di sini tak pantas saya menjabarkan dan menilai sikap orang lain, jadi saya hanya menilai diri saya saja. Jujur, saya terkadang enggan untuk berdiri di tengah lapangan yang panas. Itu manusiawi, tapi entah mengapa saya menjadi mampu bertahan di kondisi yang seperti itu. Upacara bagi saya adalah hal yang sakral. Pengenangan masa lalu dan rasa memiliki pun muncul. Hal yang saya anggap pokok dari upacara adalah pengibaran bendera. Saya selalu was-was kalau menyaksikan pengibaran bendera tersebut. Saya takut kalau pengibaran tersebut tak berlangsung lancar.

Pengalaman saya sewaktu sekolah dasar mungkin menjadi traumatic tersendiri bagi saya. Dulu, saya pernah mendapat tugas mengibarkan bendera di sekolah. Sayangnya, saya lalai dalam tugas. Akibat kesalahan saya, pengibaran bendera menjadi berantakan. Saya sangat sedih waktu itu. Sampai saat ini, saya menjadi takut kalau bendera gagal berkibar gara-gara kesalahan yang sama dengan saya.

Hal menarik lainnya adalah pembacaan Pancasila. Di sini, saya menyayangkan, mengapa Pancasila hanya dihafal? Jujur, jika saya ditanya apakah Pancasila itu? Saya akan menjawab lima aturan. Memang benar bukan? Lantas saya akan mengingat lima sila dalam Pancasila, itu saja tanpa mendalami dan menggali lebih dalam penjabaran Pancasila itu sendiri.

Ah, membahas Pancasila mungkin tak akan berakhir secepat itu. Saya pernah membaca sebuah ulasan di facebook tentang pendapat seseorang mengenai Pancasila. Menurutnya, Pancasila dan UUD adalah sesat. Pancasila diagung-agungkan padahal Pancasila hanya sebuah lambang dan dibuat oleh manusia. Walaupun saya hanya sekilas tahu tentang Pancasila, tapi saya tetap tak setuju jika Pancasila dianggap sesat.

Bukankah Pancasila sebagai harapan bangsa? Coba saja lihat, Indonesia terlalu banyak macamnya. Mulai dari bahasa, latar belakang, kebiasaan, agama, ras, golongan, dan suku, sampai kepulauan yang berbeda-beda. Dari segala perbedaan tersebut, muncullah yang disebut Indonesia.

Masih ingat dengan semboyan yang tertera dalam cemngkraman burung garuda di simbol Pancasila? “Bhineka Tunggal Ika” : walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Hal inilah yang merupakan ciri khas Indonesia. Jika kita ingat saja, bagaimana sejarah masa lampau itu terjadi?

Saya mulai suka untuk mendalami sejarah dari hati, ketika saya mendapat kelas Pancasila. Entahlah, dulu saya di sekolah dasar dan menengah hanya dicekoki oleh hafalan yang luar biasa, tapi tak pernah merasa butuh sejarah. Sekarang saya benar-benar sadar, sikap saya yang dulu adalah salah. Saya butuh ilmu pengetahuan tentang sejarah saat ini untuk tahu alur dan jalan ke depan.

Mempelajari sejarah ternyata menyenangkan dan saya sangat senang. Ada seorang teman bertanya, “Apa sih enaknya membaca buku sejarah kayak Soe Hok Gie itu?” Saya pun membeberkan bahwa sejarah Indonesia itu sangat seru dan poin besar adalah untuk belajar dan memetik pandangan baik orang zaman dahulu. Saya belajar tentang perjuangan mereka, pemikiran kreatif, dan inilah wawasan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kepada kita.

Jujur, saya merasa kecil jika menyaksikan perjuangan para pahlawan dulu. Kritis, berjuang keras, pantang menyerah, dan berani. Sedangkan saat masa sekarang, saya belum mampu berkontribusi apa-apa untuk Indonesia ini. Membaca sejarah dapat mengajak saya ke masa lalu. Saya benar-benar seperti masuk dalam dunia penjajahan, zaman terdahulu. Saya berefleksi, jika ada sejarah zaman dahulu pasti beberapa tahun ke depan, tahun ini akan menjadi sejarah yang berarti untuk masa yang akan datang.

Oleh sebab itu, saya berusaha untuk mengukir sejarah hidup saya untuk masa depan. Saya suka menulis dan saya akan tetap menyimpan dan mempublikasikannya. Mungkin ini salah satu kontribusi untuk Indonesia. Buku-buku itu semoga bermanfaat suatu hari nanti. Saya senang bisa berbagi lewat tulisan. Ini adalah menyenangkan.

“Saya yakin, suatu hari nanti saya akan tetap dikenang karena prestasi saya bukan karena keburukan saya. Jika saya telah tiada, nama saya tetap ada bersama karya-karya saya.” Seperti Pancasila dan buku-buku sejarah, mungkin.

Secara tak langsung hal-hal tersebut di atas juga termasuk pengamalan sila-sila Pancasila. Setiap orang punya harapan untuk hidup nyaman, sentosa, adil, makmur, dan sejahtera pastinya. Sebenarnya, jika kita mau menilik kembali tentang nilai moral yang diajarkan dari kearifan lokal daerah kita, akan memiliki kemiripan dengan Pancasila. Mulai dari lingkungan keluarga saja, coba kita perhatikan. Kita harus patuh terhadap orang tua kita, bukan? Memiliki tuntunan agama, kebutuhan tercukupi, bersatu dengan anggota keluarga yang lain, hidup damai, sejahtera, berdiskusi untuk menyelesaikan masalah, dan menghargai orang lain. Sebenarnya, kita sudah diajarkan tentang kandungan Pancasila itu secara tak langsung. Hanya saja sebagian besar kita tak sadar bahwa kita telah melakukan Pancasila.

Saya rasa Pancasila sebenarnya telah kita lakukan di kehidupan sehari-hari, sayangnya kurang tergali lebih dalam. Jadi kesimpulan saya adalah pancasila bukan menjadi tuntunan, tapi sebagai harapan kita semua. Indonesia berharap jika rakyatnya semua telah melakukan hal-hal yang berhubungan dengan penjabaran Pancasila tersebut, Indonesia menjadi lebih baik. Seharusnya kita sendiri yang sadar akan hal tersebut, bukan malah menuntut negara untuk menjalankan Pancasila. Kita semua memiliki tugas untuk mencapai harapan dan cita-cita Indonesia yang termaktub dalam lambang Pancasila tersebut.

Indonesia memiliki begitu banyak masalah saat ini. Itu semua bukan akibat dari sistem pemerintah yang salah. Semua itu karena setiap individu belum mampu mengemban tugas: mencapai kemerdekaan untuk memikirkan masa depan Indonesia. Mungkin memang susah karena dalam kepala setiap orang berbeda-beda. Saya pun merasa belum mampu berkontribusi juga.

Bagi saya, tak harus sama apa yang kita lakukan untuk negeri ini. Tak harus ikut-ikutan berdemo menuntut pemerintah. Kalau hanya ikut-ikutan sama saja dengan kebohongan masal. Apa pun yang bisa lakukan untuk RI, hal yang bermanfaat, lakukan saja. Biarkan mengalir apa adanya. Tugas kita bukan lagi menuntut pemerintah, tapi mencapai harapan bangsa. Pancasila adalah harapan Indonesia, dan tugas kitalah untuk membantu mencapainya. Haruskah Indonesia hanya bisa berharap? Mari kita refleksikan dalam diri sendiri.

****

Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa. Dibaca pada tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#