Rabu, 02 November 2011

Perbedaan Identitas bukanlah Penghalang Persatuan


Oleh: Dian Sulistiani
2010110027/Section A

“Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta…”
--Soe Hok Gie--
Begitulah serangkai kata yang memberi secercah harapan dan penguatan dalam diri saya tentang sebuah perbedaan. Saya yakin setiap individu pasti tidak ada yang sama persis dengan individu lainnya. Walaupun banyak persamaannya namun hal tersebut pasti ada beberapa segi  yang berbeda. Hal ini telah menjadi anugrah Sang Pencipta kepada kita semua. Sayangnya tidak semua individu berhasil untuk berefleksi dan memahami sebuah perbedaan tersebut.
Berbagai macam perbedaan itu sangatlah nyata di kehidupan sehari-hari. Jika kita tengok kembali di sekeliling, kita akan menemukan berbagai keistimewaan tersendiri. Keanekaragaman telah melekat kuat di jiwa bangsa Indonesia. Banyak suku, agama, ras, adat, warna kulit, dan kebudayaan yang pastinya berbeda dari masing-masing individu maupun kelompok masyarakat. Semua itu bergabung dan menjadi ciri khas dari sebuah identitas seseorang dalam masyarakat.
Berbicara soal identitas, saya memiliki perspektif pandang dan definisi sendiri tentang hal itu. Identitas seseorang kebanyakan dilihat dari suku, agama, dan status sosial. Misalnya saja, saya lahir di daerah Jawa dan dari orang tua berkebudayaan Jawa juga. Maka dapat dikatakan bahwa identitas saya sebagai orang Jawa. Lalu bagaimana dengan teman kita yang ayahnya dari Batak, ibunya dari Sunda, tetapi dia lahir di daerah yang berkebudayaan Jawa. Bagaimana dengan identitasnya? Apakah dia termasuk orang Batak atau orang Sunda, atau bahkan orang Jawa? Menurut saya, untuk menentukan identitas suku seseorang sebaiknya kita perlu memilih dan memutuskan sendiri mana yang sekiranya kita nyaman berada di dalamnya. Kalau kita memang telah nyaman menjadi orang Jawa maka lebih optimalkan dan lebih selami lagi apa itu Jawa. Namun lantas kita jangan bertindak egois dengan keberadaan yang lain. Kita harus menghargai dan menerima keadaan serta pilihan orang lain di sekitar kita.
Kemudian, identitas seseorang saat ini sering dikaitkan dengan identitas keagamaan. Berefleksi setelah membaca Kompas (26/2) yang membahas tentang persoalan nasib minoritas. Di dalamnya ada pernyataan bahwa sentimen kebangsaan telah dikalahkan oleh sentimen keagamaan. Hal tersebut sering terjadi di kehidupan kita. Berbagai masalah misalkan saja penghalangan hak para pemeluk agama minoritas oleh pemeluk agama mayoritas mengenai tempat peribadatan. Secara pribadi saya menolak hal tersebut walaupun posisi saya sebagai pemeluk agama mayoritas di lingkungan saya berada. Identitas seseorang hanya dilihat dari segi agama saja. Bisa saja suatu waktu kita akan menjadi kaum minoritas di daerah lain. Apakah kita masih akan berlaku seperti itu? Mari kita renungkan jika kita alam posisi kaum minoritas. Saya setuju bahwa sifat kebangsaan dan kesatuan kita seakan-akan telah luntur oleh sikap egois dan hanya memandang orang lain dari salah satu segi saja.
Kebanyakan orang belum bisa memandang sesuatu dari semua segi tidak terkecuali saya. Banyak orang yang beranggapan orang Jawa itu lemah lembut. Namun apa yang akan Anda katakana saat bertemu dengan saya? Saya lebih suka dipanggil sebagai orang Jawa karena saya telah nyaman dengan Jawa. Namun saya tidak lemah lembut seperti yang orang katakan bahwa Jawa pasti lemah lembut. Apakah karena tidak lemah lembut lantas saya bukan orang Jawa?
Terkadang saya berpikir tentang pandangan-pandangan yang hanya dari satu pihak saja seperti stereotype, telah meracuni pemikiran kita. Pandangan tersebut seolah telah terpatri dalam memori. Bahkan saya masih sering terhasud oleh stereotype itu. Misalkan saja ketika saya mendengar kata Madura, yang terlintas di benak saya adalah orang Madura itu keras dan galak. Padahal dalam kenyataannya tidak semua orang Madura keras dan galak. Itulah mindset kita yang kadangkala membuat kita ragu untuk bergelut dan mendalami orang lain yang sebenarnya.
Langkah awal kita agar persatuan tetap ada di lingkungan yang beragam sebaiknya kita saling toleran dan peduli dengan sesama. Lebih mengenal identitas diri sendiri dahulu sebelum mengenal orang lain. Kalau kita saja tidak mengenal diri sendiri kapan orang lain mau mengenal kita? Jika ditanya apakah kita harus toleran dan peduli dengan orang lain yang tidak tolran dan tidak peduli terhadap kita? Saya menjawab harus sebab sebelum kita meminta dipedulikan dan dihargai orang lain, kita harus bersikap peduli dan menghargai orang lain terlebih dahulu. Dengan sendirinya timbal balik antara apa yang kita beri dan apa yang kita terima pasti ada. Oleh karena itu, tunjukkan bahwa diri kita dihadapan orang lain itu baik dan berarti bagi lingkungan sekitar.
Setiap perbedaan pasti saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Keberagaman di kehidupan kita merupakan khasanah yang sangat berharga dan wajib kita lestarikan sebagai jati diri bangsa. Keanekaragaman untuk menguatkan persatuan dan kesatuan, saling memiliki satu dengan yang lainnya, bukan malah pemecah belah.