Jumat, 08 Juli 2016

Ikhlaskan Hati Biar Tangan Tuhan yang Mengatur!

Jika kau takut, pejamkan matamu! Komunikasikan ketakutanmu itu dengan hati! Maka hati lebih tahu kemana kau akan melangkah!

Saya terbangun sekitar jam dua pagi. Banyak hal yang mengusik pikiran. Tetiba saja terpikirkan bulan November nanti. Ah rasanya ingin segera pergi jauh. Kabur dari kenyataan bahwa memang saya tak menginginkannya.

Bulan ini adalah bulan Juli 2016. Lebaran kali ini membuat saya ragu untuk pulang sebenarnya. Namun, kejadian dua tahun silam begitu membuat saya takut. Ya takut kehilangan. Tepat saat beberapa hari sebelum lebaran 2014, saya hendak pulang kampung naik bus. Semua persiapan sudah di tangan, tinggal tiket yang belum beli. Saya berangkat dengan begitu ragu. Entah mengapa hati begitu tak mau berkompromi. Hati benar-benar tak ingin pulang. Saya pun mampir ke ATM untuk mengambil uang sebagai pelengkap mudik. Uang sudah ditangan, tapi ada hal yang entah sebenarnya apa mengusik pikiran. Saya menuruni anak tangga gedung ATM, entah detik ke berapa saya tetiba oleng dan terjatuh. Satu hal yang ada dipikiran ‘saya tak apa-apa’. Saya melanjutkan perjalanan ke Pulogadung dengan kaki sedikit pincang.

Menunggu bus 57 jurusan Pulogadung adalah hal yang menjemukan. Sungguh lama! Seperti biasa, tukang ojek di dekat penyeberangan jalan pun selalu menyapa saya. Mengisi kejenuhan sampai bus yang saya nantikan pun muncul. Saya pun naik dengan pelan-pelan agar kaki saya tak begitu sakit. Bus pun penuh dan saya berdiri hingga tempat tujuan. Sekitar 45 menit perjalanan usai, Pulogadung telah ramai.

Keraguan saya pun terjawab saat saya sampai di PO Garuda Mas. Tiket hari itu telah habis. Pupus harapan saya pulang hari itu. Saya ingin memesan tiket untuk besok, sayangnya tak bisa karena tiket hanya dijual di hari H. Belakangan saya baru tahu, tiket hanya dijual di hari H itu untuk urusan marketing. Siapa cepat dia dapat dan tiket pun melambung tinggi harganya. Saya hanya bisa duduk diam bersandar di tembok. Bagaimana cara saya untuk menenangkan orang rumah kalau saya kehabisan tiket? Entahlah.

Saya pun memutuskan untuk tak pulang. Saya melawan keraguraguan yang dari awal membuat saya tak yakin. Saya menelepon ayah dan mengabarkan kenyataan pahit itu. Tak bisa pulang kampung sebenarnya pilihan saya sejak awal tapi saya tak ada alasan untuk itu. Akhirnya dengan berat hati, ayah saya pun mengizinkan namun masih menanyakan kapan saya pulang. Ya, inilah pertama kali saya tak pulang saat lebaran. Saya pikir akan lebih baik, tapi belakangan saya baru tahu ayah saya tak doyan makan selama seminggu memikirkan kondisi anaknya. Ayah saya tak pernah bilang tentang itu. Ayah saya hanya diam dan selalu menelepon saya tiap hari menanyakan apakah kaki saya sudah sembuh, sudah diurut, sudah makan, sudah bisa jalan? Ah, saya terlalu egois. Saya acuhkan kekhawatiran ayah. Apakah pernah saya menanyakan kondisi beliau saat itu? Sepertinya tak pernah. Saya sangat egois dan tak peka!

Di tahun itu pula, saya seharusnya ikut pesta wisuda bersama teman-teman angkatan. Namun, saya tak bisa. Skripsi saya tak kunjung selesai akibat kelalaian dan kebegoan saya. Padahal, ayah saya selalu menceritakan akan datang saat saya wisuda nanti. Ayah saya akan mengenakan pakaian terbaiknya dan berfoto bersama mendampingi anak sulungnya wisuda. Ya, itu impian ayah saya. Sayangnya, saya tak bisa mewujudkan di tahun 2014. Entahlah, keegoisan saya selalu menjadi pemenang dalam pertarungan melawan hati.

Bulan November 2014. Pikiran saya sangat terusik. Saya ingin mengajak ayah dan ibu untuk menyaksikan pementasan teater saya. Beberapa niatan itu terbesit di pikiran saya, tapi akhirnya kenyataan tak mampu mewujudkannya. Saya ingin sekali mengajak orang tua saya ke Jakarta. Mengajak jalan-jalan dengan bahagia. Sayangnya, saya belum bisa mewujudkan impian-impian itu. Sebenarnya, lagi-lagi saya terlalu egois. Saya masih trauma kejadian awal tahun 2014 ini.

Bulan Februari 2014, ayah, ibu, dan adik saya berkunjung ke Jakarta. Berniat untuk jalan-jalan. Lantas, tetangga yang anaknya juga di Jakarta pun ikut bebarengan pergi. Perjalanan panjang sekitar 11-14 jam pun dilalui hanya untuk bertemu anaknya. Subuh-subuh, ayah saya pun menelepon kalau sudah sampai di Pulogadung. Saya pun hendak menjemput, bus 57 tak kunjung datang dan sepertinya memang belum beroperasi pagi-pagi buta. Jakarta hujan cukup deras. Saya membawa payung, berdiri di tepi jalan arah UKI. Tapi nihil. Saya mencoba menghubungi teman saya untuk bersama-sama menjemput keluarganya juga. Tapi telepon saya tak dijawab, SMS saya juga tak dibalas. Saya benar-benar sebal, padahal dia sudah bilang bersedia menjemput orang tuanya juga yang bersama keluarga saya ke Jakarta. Saat itu saya masih berpikir positif mungkin dia memang belum bangun. Saya mencari cara agar bisa menjemput ayah saya. Hujan angin deras, saya kembali ke kosan. Saya sangat khawatir. Apakah orang tua saya baik-baik saja? Apakah ada tempat untuk meneduh dikala hujan deras tadi pagi? Ah, saya sangat dilema. Akhirnya, orang tua saya memutuskan untuk pergi naik Trans Jakarta (TJ) agar lebih gampang. Saya pun dengan merasa bersalah mengizinkan orang tua saya naik TJ. Pasti perjalanan panjang. Kasihan! Tapi saya begitu bego! Hanya diam! Saya memberi alamat untuk turun di halte BKPM Tebet. Saya meminta ayah saya untuk bertanya petugas. Ternyata halte tujuan terlewat. Ayah saya menelepon kalau sudah sampai di Kuningan. Ternyata memang terlewat. Akhirnya, saya meminta ayah saya untuk ambil arah sebaliknya dan turun di Tebet BKPM lagi. Mungkin ini adalah pengalaman pertama keluarga saya menaiki TJ di Jakarta tanpa dampingan dari saya. Ah, sampai saat ini saya masih merasa bersalah! Sangat!

Saya menjemput di halte Tebet. Kusaksikan mereka turun dari TJ. Ayah saya tersenyum untuk pertama kali di Jakarta. Saya membantu membawakan barang bawaan mereka. Lalu melanjutkan perjalanan ke kosan. Sampai di kos, keluarga saya dan keluarga teman saya langsung duduk di teras. Ah, saya sangat sedih jika ingat. Mengapa saya memberikan tempat yang tak layak untuk mereka? Kosan saya kosan perempuan, oleh karenanya ayah saya tak bisa tinggal di kosan. Lagipula saya kos berdua dengan teman. Saya juga tak enak jika membiarkan orang tua saya tinggal di kosan yang sempit. Setelah melepas lelah, akhirnya saya menghubungi teman saya dan mengabarkan bahwa orang tuanya sudah sampai di kosan. Teman saya lantas menjawab ya akan menjemput. Ibu dan ayahnya sudah sangat kangen dengannya. Tapi apa yang terjadi? Anaknya tak kunjung datang! Padahal saya tahu, mereka sangat merindukan anak pertamanya itu. Ah, saya sangat marah!

Ibu teman saya sudah tak sabar meminta saya untuk mengantarkan mereka ke kontrakan anaknya. Akhirnya, saya pun mengantarkan mereka. Sampai di depan kontrakannya, anak itu malah mengatakan ke orang tuanya untuk apa ke Jakarta juga. Ah, saya tambah marah! Jujur, saya sangat kecewa dengan tindakan teman saya itu. Bahkan sampai sekarang kalau saya ingat kejadian itu, saya seperti tak bisa memaafkannya. Saya tak membenci orangnya, tapi saya membenci sikapnya itu. Saya pun akhirnya kembali ke kosan. Saya berpikir kalau ayah dan adik laki-laki saya bisa ikut tidur di tempat teman saya itu. Namun, ternyata adik saya tak betah di sana. Saya memutuskan untuk mencarikan kosan untuk keluarga saya di sekitar kosan. Ternyata masih ada orang baik di jakarta yang bersedia menyewakan kamar kos untuk kami. Saya pun membawa keluarga saya di kosan itu dan ternyata itu adalah kosan Jefri, kawan sekelas saya yang baik hati. Jefri pun bersedia meminjamkan kasur dan kipas angin untuk kami. Ibu kosnya pun menjamu kami dengan teh dan roti untuk sarapan. Ah, ada orang-orang baik di Jakarta.

Saya pun mengajak orang tua saya untuk jalan-jalan. Ternyata orang tua teman saya ingin ikut. Saya mengajak teman saya untuk ikut juga, tapi katanya dia tak bisa. Ah, saya benar-benar tak tahu jalan pikirannya. Sepanjang perjalanan, saya tak bisa menikmati perjalanan. Masih ada rasa marah terhadap teman saya yang tega terhadap orang tuanya. Mungkin, dia punya alasan lain, tapi kenapa dia egois? Orang tuanya sudah datang jauh-jauh dari kampung untuk menjenguk anaknya, tapi mengapa dikecewakan? Jujur, saya bahkan tak bisa memaafkan kesalahannya itu.

Perjalanan kami ke Monas pun sudah terlalu siang. Panas, tapi semoga bisa membuat orang tua saya bahagia. Saya tak bisa menutupi kekesalan saya sepanjang jalan. Ayah saya pun sangat tahu kepribadian saya. Ayah saya mencoba untuk tersenyum menyembunyikan kelelahannya sepanjang perjalanan. Bahkan, saat pulang kami memutuskan untuk pergi naik TJ di dekat gambir. Ternyata itu harus putar dulu. Kami transit di Matraman. Antrean sungguh ramai. Kami berdesak-desakan. Saya tak tega menyaksikan orang tua saya ikut berdesak-desakan. Mereka pasti sudah lelah. Tapi lagi-lagi ayah saya hanya bilang ‘tak apa-apa, ayah bahagia’. Itu hanya buat mendamaikan saya yang sedang menyembunyikan tangis. Berjam-jam menunggu TJ, tapi tak kunjung datang. Saya benar-benar tak tega membawa orang tua saya dalam keadaan seperti itu. Ditambah lagi adik saya ngambek, entah kenapa. Belum lagi orang tua teman saya yang lumayan ‘rewel’. Ah, saya sangat membenci hari itu! Saya pun memutar otak untuk naik kopaja saja biar cepat. Sopir kopaja terlalu kencang dalam mengendarai. Bisa dibilang seperti sedang mabok, sangat seram. Saya hanya berdoa semoga kami selamat sampai tujuan.

Kami turun di depan Mulya Bussines park (MBP) komplek kampus saya. Saya pun mengenalkan kepada ayah saya tentang kampus kebanggaan saya itu. Saya tahu, ayah saya sangat bangga terhadap anaknya. Saya bercerita di sepanjang perjalanan saya di MBP. Lalu kami menelusuri lorong Cikoko, berharap ada penjual bakso. Namun, saya harus mengantarkan orang tua teman saya itu ke kontrakannya dulu dan kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari warung bakso. Kami makan di warung bakso surga makanan. Ada menu bakso dan mie ayam. Ini pertama kalinya, kami makan bersama di Jakarta.

Lalu, kami pindah ke kosan dekat Jefri. Untungnya Jefri baik sekali. Kami pun bersama tidur di ruangan kos yang cukup untuk kami berempat. Kami bercerita tentang banyak hal yang kami lalui bersama. Saat malam telah larut, saya mendengah ayah mendengkur. Saya tahu ayah sangat lelah. Ah, maafkan saya tak bisa memberi pelayanan yang terbaik. Lalu, saya berpikir sebelum saya punya rumah sendiri, sebaiknya jangan pergi ke Jakarta dulu agar tak seperti ini. Sepertinya saya salah mengungkapkannya kepada orang tua saya. Ah, sebenarnya, saya tak ingin mereka terlunta-lunta seperti itu. Saya tak ingin mereka kelelahan seperti itu lagi. Tapi ayah saya tetap menampakkan wajah bahagia. Saya tahu, sebenarnya ayah saya sungguh lelah. Rencana mau tinggal beberapa hari, harus pupus alasannya ingin kembali bekerja di kampung. Saya tahu, ayah saya tak ingin membebani anaknya. Tak ingin membuat saya khawatir. Saya tahu, ayah saya mabok darat akibat ulah sopir kopaja yang ugal-ugalan. Saya tahu, ayah saya kepanasan saat berjejalan menunggu datangnya TJ. Saya tahu, ayah saya mencoba untuk tetap tersenyum. Saya tahu itu semua. Ah, maafkan saya.

Akhirnya, orang tua saya kembali keesokan harinya. Saya mengantar ke Pulogadung lagi. Saya berpikir, teman saya sudah berubah pikiran untuk mengantarkan orang tuanya pulang, tapi ternyata tebakan saya salah. Dia tetap membiarkan orang tuanya pulang sendiri. Ah, saya berpikir jangan sampai saya seperti itu. Jam 12 siang bus jurusan Blora pun berangkat, saya hanya bisa berdoa mereka sampai tujuan dengan selamat. Kejadian ini sangat membuat saya tak bisa memaafkan diri sendiri. Saya berjanji akan sukses nanti dan membahagiakan orang tua saya. Terakhir saya tahu, ayah saya sakit dua hari karena kelelahan. Tapi ayah saya tak pernah menceritakannya. Saya tahu dari ibu.

Desember 2014. Tak ada kabar yang lebih menyakitkan dari kabar kematian. Siang itu saya bekerja, tiba-tiba adik saya menelepon mengabarkan kalau ayah masuk rumah sakit. Saya tak bisa pulang hari itu juga dan saya memutuskan untuk pulang keesokan harinya. Ayah saya koma secara tiba-tiba. Katanya pendarahan otak tengah, saya sangat khawatir! Airmata tak bisa dihentikan, tapi saya mencoba untuk tegar. Jam 12 siang keesokan harinya saya berangkat dari Jakarta menuju Blora. Sepanjang perjalanan saya berharap ayah saya baik-baik saya, hanya tertidur dan akan bangun saat anak perempuannya kembali. Adik saya mengabarkan bahwa ayah baik-baik saja di rumah sakit. Tujuhbelas jam pun terlampaui. Saya sudah kuatkan diri untuk tak menunjukkan rasa sedih yang mendalam saat tiba nanti. Saya bohong pada diri sendiri. Saya membohongi semua orang kalau saya terlihat kuat, padahal sebenarnya hati saya hancur. Saya lemah dan saya rapuh!

Sesampai di Blora, saya dijemput adik ayah saya, tante. Sepanjang jalan, tante saya menunjukkan ekspresi seperti biasa. Tapi saya tahu ada yang ditutupi saat itu. Saya menguatkan hati. Saat di perempatan desa saya, mobil melaju menuju arah rumah, padahal yang saya tahu, ayah saya masih di rumah sakit. Saya pun menanyakan hal tersebut. Tante saya masih tak mau mengaku. Dengan hati-hati, tante saya pun mengatakan sejujurnya bahwa ayah saya sudah tiada. Saya terpukul, tapi saya mencoba untuk tak menangis. Tak mau menunjukkan kesedihan pun kepada semua orang. Sakit! Rasanya sesak di dada! Sesak sampai sekarang bahkan jika saya ingat, dada saya penuh dengan sesak! Saya tak ingin ibu saya bertambah sedih jika saya sedih.

Saat saya turun dari mobil, saya sudah menyaksikan rumah saya terbuka lebar. Di sana, ada dipan dengan sebuah lilin di atas meja. Ayah saya di sana! Terbujur kaku. Saya mendekatinya tanpa setetes air mata. Bukan berarti saya senang, saya sangat terpukul sampai-sampai saya tak bisa mengatakan apa-apa. Saya bingung berekspresi apa. Saya tersenyum pada ayah. Saya usap wajahnya. Wajah yang selama 22 tahun telah menjaga saya. Saya katakan pada ayah saya, “Ini adalah yang terbaik, terima kasih sudah menunggu kedatangan saya. Saya sangat sayang ayah!” Nenek saya mendekati saya dan meng’arem-arem’ saya takut-takut kalau saya menangis keras. Tapi saya tak pernah menangis di depan mereka.

Ibu saya sudah menangis sejadi-jadinya. Adik saya pertama sangat tegar, mengurus semuanya sendirian. Mulai dari perlengkapan pemakaman sampai seusai pemakaman, adik saya yang mengurusnya. Saya tak mau menambah kesedihan untuknya. Adik saya kecil masih SMA, pasti dia sangat terpukul. Dia bukan tipe anak yang menunjukkan kesedihan, tapi saya tahu dikala dia sendirian itulah dia menangis. Sosok lelaki yang menangis! Ya, saya tahu itu semua. Saya mengerti. Bahkan saya mencoba untuk tersenyum kepada tetangga yang ta’ziah. Saya kuat ikut memandikan ayah saya. Menyaksikan ayah saya untuk yang terakhir kalinya sebelum dimakamkan. Saya ikut ke kuburan mengantarkan ayah sampai ke rumah terakhirnya di dunia ini. Saya yakin, ayah saya berada di sisi Allah. Ah, ayah yang terbaik di dunia! Ayah nomor satu yang pernah saya punya! Ayah yang mengajarkan kepada anak-anaknya untuk selalu rukun dan tegar! Saya sangat sayang ayah!

Maaf saya tak bisa berfoto bersama keluarga saat saya wisuda. Tapi saya tahu, kau datang menyelinap di barisan untuk menyaksikan anakmu ini wisuda! 9 September 2015, saya wisuda! Itu kado untuk ulang tahunmu 13 September tahun lalu! Maaf, aku terlambat memberikan kado wisuda untukmu. Tapi aku yakin kau tahu itu! Kau turut bahagia di alam sana!

Hampir 2 tahun ayah tiada. Ibu juga sudah menikah lagi beberapa bulan yang lalu untuk mengisi kekosongan. Ya, saya tahu, ibu masih butuh pendamping hidup. Apalagi saya tinggal jauh dari Ibu. Saya sudah serahkan keputusan pada adik tertua saya. Apa pun keputusan adik saya, saya ikut karena saya tahu dia yang lebih tahu segalanya yang terjadi di kampung. Dia juga menggantikan posisi ayah sebagai tulang punggung keluarga. Ah, seorang anak yang belasan tahun lalu tampak tak pandai matematika, selalu mendapat peringkat terbawah, dan selalu menangis saat saya ajari mata pelajaran sekolah, siapa sangka dia jauh lebih pandai dati sebelumnya. Bahkan dia sangat cerdas dalam bertindak! Dia mampu membagi waktu antara bekerja dan kuliah. Pemikirannya jauh di luar apa yang saya bayangkan dulu. Saya tahu, dia tumbuh berkembang berdasarkan pengalaman hidup. Pengalaman yang selama ini mampi mendidik dia sampai secerdas itu. Dia punya pemikiran jauh lebih dewasa dari usianya. Ah, dia adalah lelaki terkuat kedua setelah ayah!

Bulan November 2016, dia akan menikah! Ya, adik laki-laki saya yang hebat itu memutuskan untuk menikah. Sebenarnya, saya ragu. Satu sisi, saya sedih dan kebencian saya terhadap calon istrinya masih belum bisa reda semenjak tragedi pemukulan siang itu. Saya pulang kampung dan adik saya sedang bertengkar dengan calon istrinya. Ayah saya sewaktu masih hidup pun mengetahui karena aduan dari si perempuan. Ayah marah dan memukul adik saya sampai terjatuh. Menginjak kepala adik saya hingga adik saya hampir tak sadar diri. Saya tahu, amukan ayah saya itu akibat ketakutannya kalau adik saya hanya main-main dengan calon istrinya itu. Ayah saya mendidik adik saya untuk tak seperti itu. Kalau serius ya serius, intinya jangan sampai memainkan anak orang. Sepertinya terjadi kesalahpahaman. Semenjak itu, saya rasanya tak ingin melihat perempuan itu di keluarga saya. Sampai tadi malam pun saya masih tak yakin untuk datang ke pernikahan itu atau tidak. Saya ragu!

Perbincangan semalam membuka hati saya untuk memberi restu pernikahan adik saya itu. Setelah mendengar segala cerita selama saya tak ada di kampung. Saya terbuka pandangan baru. Dan memang saya harus mengikhlaskan keputusan adik saya itu. Dia memutuskan untuk segera menikah agar meringankan beban ibu. Setidaknya, kalau dia menikah maka ibu tak perlu memikirkannya lagi. Lalu, jika dia menikah maka akan ada anggota baru yang akan membantu ibu. “Biar ibu tak terlalu terbebani,” katanya. Cara dia menemukan solusi dalam setiap permasalahan keluarga di kampung pun sungguh membuat saya meneteskan air mata. Sejak kapan dia belajar tentang rumitnya kehidupan ini? Bahkan dia tumbuh terlampau cepat. Saya kembali berpikir dan mencerna cara pandangnya itu. Saya membenarkannya. Saya akan berusaha untuk menyambung silaturahmi lagi dan ikhlas jika ada anggota baru memasuki keluarga kami. Walau cukup sulit, tapi saya pasti berjuang. Semoga lebih baik adanya. Aamiin. Semoga November tahun ini indah! Saya akan datang di pernikahanmu Dik! Sukses selalu!


Dan saat ini, saya masih berjuang untuk hal lain. Kadang kita selalu memandang kehidupan orang lain lebih baik dari kita. Kadang kita selalu menganggap orang lain lebih beruntung dari kita. Ah, belajar bersyukur itu memang tak mudah. Ikhlas pun banyak tantangannya. Masih belajar untuk ikhlas dan bersyukur. Akan ada cara berbeda untuk meraih sebuah kesuksesan.

8/7/16


Jumat, 01 Juli 2016

Good Point!

Artikel yang menginspirasi.

"Menurut saya yang benar adalah kamu itu selalu bekerja untuk dirimu sendiri." 

http://edwardsuhadi.com/2016/05/walaupun-bos-kamu-brengsek-dan-gaji-kamu-kecil/


Sangat setuju!