Rabu, 13 Desember 2017

Genggaman


Sejak kecil saya dilatih untuk mandiri, tidak merengek saat meminta sesuatu. Kadang satu dua kali, Bapak memang sengaja membelikan hadiah saat saya mendapat prestasi. Namun, untuk menyoal segala permintaan harus ada hal yang dapat ditukar dengan keinginan itu. Tak serta merta langsung dibelikan. Ya, didikan orang tua mengajarkan saat ini kepada saya untuk terus berusaha sendiri tanpa menyusahkan orang tua. Mungkin dulu saya tak pernah berpikir, saya akan menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin dulu hanya terlintas di benak saya bahwa Bapak akan tetap hidup hingga semua anak-anaknya menjadi “orang” – dalam artian berkeluarga. Ya, masih ditemani Bapak hingga punya rumah sendiri, punya cucu, dan akan berkumpul bersama setiap kali lebaran. Sayangnya, itu hanya impian sewaktu kecil. Tuhan berkata lain. Bapak dipanggil lebih dulu di tahun 2014, sebelum saya mewujudkan cita-cita beliau, lulus wisuda tepat waktu. Satu hal terberat dan sebuah penyesalan saya kala itu. Ah, mungkin Allah punya cara tersendiri untuk hamba-Nya. Biarkan waktu berlalu lebih cepat untuk memperbaiki diri di kemudian.

***

Menjadi anak perempuan sekaligus anak pertama membuat saya lebih kuat. Dulu saya paling tak suka menjadi anak pertama. Selain tugas utama lebih berat dari adik-adiknya, anak pertama memang harus menjadi contoh yang baik. Menjadi peringkat kelas terus? Tak cukup! Hidup tak hanya sampai sekolah menengah atas. Bahkan sampai di usia 25 tahun, saya masih memiliki tugas untuk menjadi contoh yang baik untuk adik-adik saya.

Sepeninggalan Bapak, banyak hal tak terduga yang hadir di kehidupan saya. Ibu menikah lagi, adik menikah muda, dan adik saya yang kecil belum ingin bekerja. Ada beberapa tanggungan yang harus saya tanggung untuk beberapa tahun yang akan datang. Kadang saya ingin sekali mengeluh, tapi saya sadar mengeluh saja tak akan menyelesaikan permasalahan. Saya harus berjuang keras. Berjuang untuk menyelesaikan apa yang harus terselesaikan tepat waktu. Jujur, saya adalah tipe orang yang tak enakan. Bahkan untuk meminta sesuatu, saya tak ingin membebani orang lain. Selama saya masih mampu, saya pikir, mengorbankan diri adalah jalan satu-satunya. Tapi saya memang harus kuat, harus bisa hidup sendiri dan menghidupi ibu serta adik-adik saya.

Kadang jika saya sedih sendirian, saya bertanya, apakah mereka juga peduli? Apakah mereka juga memikirkan bahwa saya sedang apa-apa atau tidak apa-apa? Apakah adik-adik saya juga berpikiran yang sama dan punya keinginan untuk membantu orang tua? Apakah ketika adik-adik saya sudah menikah, mereka tetap memikirkan Ibu? Banyak pertanyaan yang terlintas tapi saya sulit menemukan jawaban. Apakah adik-adik saya juga memikirkan tentang tanggungan-tanggungan yang saya tanggung saat ini? Bahkan saya tak berani menanyakannya.


Entah mengapa saya kadang jenuh dengan pertanyaan Pak Dhe saya yang selalu seperti meratapi nasib keponakanannya yang tak kunjung menikah di usia 25 tahunnya. Setiap kali dibahas, saya selalu terasa teriris, tiba-tiba saya rapuh. Bukan karena saya belum memiliki pasangan, tapi karena saya selalu teringat Bapak saya. Saya tak tahu, kenapa paman saya sebegitu teganya selalu menanyakan hal yang sama dan terasa menyudutkan bahwa saya tak memikirkan jodoh! Jika boleh saya jelaskan, saya tak tahu apakah orang-orang seperti itu mampu mengerti atau tidak. Mereka hanya tahu, saya sudah bekerja di Jakarta, punya uang banyak, dan belum menikah! Hanya itu! Apakah mereka pernah bertanya tentang banyak hal yang saya alami sepeninggalan Bapak? Apakah mereka pernah ingin tahu tentang apa saja yang telah saya lakukan untuk lebih baik? Menjadi tulang punggung keluarga bukanlah hal mudah membalikkan kedua telapak tangan, tapi di sinilah begitu perjuangan, ikut merasakan bahwa menjadi orang tua tak mudah.

***

Ada beberapa pilihan menjadi anak yang dituakan: menghindar pura-pura tak tahu atau memperjuangkan. Sempat saya berdiskusi dengan beberapa teman yang senasib seperjuangan. Sepeninggalan Bapak, dituntut untuk menjadi sosok yang tegar menopang hidup keluarga. Tak hanya anak pertama, tetapi juga anak tengah ternyata mengalami hal yang sama. Kami dituntut untuk bisa menyelesaikan seorang diri. Sempat berpikir untuk menunda kesenangan diri sendiri untuk seorang Ibu. Kami setuju bahwa kehidupan sudah diatur sedemikian rupa, juga hal-hal yang kita alami sudah jadi garis tangan masing-masing. Hanya saja, satu hal yang kami sayangkan, mengapa saudara-saudara kami tak berusaha ikut membantu, malah mengambil kesempatan dalam dunia materi? Ah, satu hal yang saya sayangkan pula. Jika seseorang telah menikah dan berkeluarga, apakah tujuan dan tanggung jawabnya pupus kepada orang tua? Lalu, seakan kami yang belum berkeluarga menjadi pasokan utama dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Apakah setelah menikah, saudara telah menjadi benar-benar orang lain? Hingga mengesampingkan ego bahwa kita pernah hidup bersama-sama di waktu kecil. Apakah seorang kakak masih menggantungkan hidupnya ke adik – yang telah menjadi tulang punggung keluarga?

Jika ditanya emang nggak mau nikah? Kapan nikah? Nikah? Maulah! Siapa sih yang tak punya keinginan untuk menikah? Pastilah ada. Namun, untuk saat ini, target bukan untuk diri sendiri. Ada target yang harus diselesaikan terlebih dahulu, kebutuhan di atas kebutuhan pribadi. Bukankah bisa dibicarakan kalau sudah menikah? Siapa yang berani tanggung jawab tentang urusan kita setelah kita menikah terhadap target-target kita? Saya masih berusaha memperbaiki diri. Memperbaiki kehidupan Ibu dengan suami barunya. Memperbaiki kehidupan adik dengan keluarga barunya. Kehidupan adik yang masih mencari jati dirinya. Semua itu masih saya tanggung. Saya masih belum bisa melepaskan semua itu. Saya tahu, Tuhan akan membukakan jalan dan mungkin ketika kita menikah, suami kita akan membantu mencarikan solusi bersama. Hanya saja, saya masih belum yakin dan percaya kepada orang lain. Saya masih takut kalau semua tak seindah yang kita bayangkan.

Ada orang yang memang bekerja untuk dirinya sendiri, tanpa tanggungan. Mungkin mereka akan merasa ingin cepat menikah di usia 25 tahun. Semua itu pilihan dan saya juga punya pilihan. Saya lebih setuju ke pendapat dua teman saya yang menurut saya seperjuangan. Bapak kami sama-sama sudah dipanggil oleh Tuhan duluan. Kondisi keluarga kami masih tahap perbaikan baik dari segi ekonomi maupun tanggung jawab seorang tulang punggung keluarga. Dari beberapa saudara kami, mungkin bisa dikatakan bahwa kamilah yang harus menopang hidup mereka. Bekerja jauh dari orang tua, mencoba untuk menutup segala kekurangan. Ada beberapa target yang ingin kami gapai walau pada akhirnya kebahagiaan kami yang harus dinomorsekiankan. Mungkin karir adalah hal penting yang harus kami perjuangkan untuk saat ini. Karena mau tak mau, hidup membutuhkan uang daripada hanya cinta. Kalau ditanya soal percintaan, mungkin fase kegalauan kami sudah berakhir. Ada tugas yang jauh lebih harus diselesaikan daripada menyoal galau jodoh. Saya percaya kalau kita sudah pantas, Allah akan memberi jodoh kepada kita. Mungkin ini tahap memantaskan diri! Karena berkeluarga bukan atas sebuah pelarian, melainkan tugas ke depan akan semakin berat! Kita tak pernah tahu jalan hidup seseorang. So, hargailah perjuangan seseorang dalam menjalani hidupnya!

Rabu, 15 November 2017

Serambi (Oleh: Ibs)

“Apalagi yang ingin kamu kejar?”

***

“Apalagi yang ingin kamu kejar?” tanyaku, campuran antara penasaran terhadap seseorang yang tengah bekerja di Jakarta, ujung cerita perantauan sejak tamat SMA yang mengenalkannya lebih dulu pada ibukota ini, kemudian nasib dan kerja keras membawanya mendapatkan gelar master dalam bidang keuangan di Coventry Inggris, dan keingintahuan bagaimana seseorang seperti dirinya berjalan meraih mimpi.

“Selain menikah tentunya” Aku segera melanjutkan kalimat tanyaku. Mencegah dirinya menjawab dengan jawaban yang telah kuduga. Melihat usia kita yang tak jauh beda, tak ada harapan lain lagi yang paling membahagiakan selain membina sebuah keluarga. Aku merasakan kesedihan dalam dirinya. Umur 27 tahun bagi seorang perempuan adalah masa penuh harap akan kedatangan seseorang yang akan menjadi pendamping dirinya hingga akhir hayat. Tak masalah bagi para wanita yang menjunjung tinggi kesempatan berkarier, tengok saja banyak wanita karier di ibukota yang tak mempedulikan pernikahannya meski usianya beranjak 30 tahun, mereka hanya tahu bagaimana melaksanakan tiap tugas perusahaannya dengan sempurna dan berakhir dengan pujian bahkan berakibat promosi sesuai cita-cita remaja mereka menjadi seorang manajer muda. Namun baginya yang berasal dari suatu daerah di ujung negeri sana dan kebiasaan dari adat Islam, Aceh dan Melayu, 27 menjadi angka yang memberikannya kalimat penekanan Sudahlah menyerah saja, serahkan semua pada orang tuamu sebagaimana kebiasaan di kampungmu sana.

“Pulang ke Kampungku” jawabnya singkat.

“Minggu lalu aku pulang untuk tes CPNS dosen, tapi gagal haha” lanjutnya.

“Sudah disuruh pulang lagi?”

Seingatku setahun lalu dia bercerita bahwa jika tahun depan tak ada seorang pun yang menikahinya maka dia akan pulang kemudian mengabdi di kampung halamannya. Kupikir itu bukan bagian dari rencananya, namun lebih ke konsekuensi akibat dari gagalnya mendapatkan suami dalam perantauannya. Jika orang itu dalam sebuah romansa kemungkinan alurnya adalah tamat SMA – merantau ke ibukota meraih gelar sarjana – melanjutkan sekolah dan sedikit berpetualang di benua biru – bekerja di kantor pusat sebuah perusahaan – kemudian bertemu seseorang yang sama-sama pulang dari petualangan cita-citanya – pulang untuk meminta restu kemudian menikah – lalu melanjutkan kerja dan menetap di Jakarta. Tapi seperti yang kulihat sekarang ini, tuhan sedikit memberi klimaks pada bagian rangkaian cerita indahnya (dalam perjalanannya mungkin tak indah dalam arti sempurna, tapi karena berhasil mewujudkan cita-citanya).

“Aku ingin pulang, tinggal di rumah bersama Umi dan Abu.”

“Aku gak mau di Jakarta...”

Kalimat terakhir itu seolah dia tahu apa yang sedang kupikirkan kecemasan tentang rencana pulangnya itu. Padahal inti dari pertanyaanku itu bukan hanya membicarakan sekadar wacana pulang. Tapi bertanya-tanya orang macam dia dengan teman dan circle pertemanan jauh lebih banyak dariku tak satu pun dari mereka tertarik lalu mengajaknya menikah. Semakin penasaran karena kuingat ceritanya tahun lalu jika dia sedang menunggu seseorang yang sedang melanjutkan studi di Amerika, pernyataan yang membuatku dijatuhkan akibat rasa minder dan sadar diri akan adanya hukum strata sosial. Lebih jauh lagi, pertanyaanku berlatar belakang subjektif, adakah seorang laki-laki yang sedang bersamamu kini?

***

Ada posisi yang lebih tinggi dari kaum perempuan. Mereka telah ditempatkan tiga kali lebih tinggi dibanding laki-laki. Begitulah kiranya kehebatan dari perempuan yang kemudian hari menjelma menjadi para ibu yang akan kembali mengajarkan apa yang telah mereka dapat semasa hidupnya. Perempuan adalah tiang negara, jikalau baik perempuan, maka baiklah suatu negara, dan jikalau rusak perempuan, maka rusaklah negara. Isi suatu surat yang kubaca di suatu museum telah menggambarkan bagaimana pentingnya seorang perempuan. Jauh sebelum itu, Islam telah menggambarkan bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Kalimat hiperbola namun cukup untuk menggambarkan bagaimana peran perempuan bagi kelangsungan hidup manusia, terutama anak-anaknya.

Seseorang pernah menasihati, jika suatu saat kau menginginkan sesuatu, tak ada yang lebih mujarab dibanding dengan doa ibumu. Seorang mahasiswa yang hendak melakukan ujian akhir, tak ada yang lebih menenangkan dan menguatkan selain suara doa dan petuah ibunya. Seorang yang sedang berusaha kerja keras, maka pulang dan mencium tangannya adalah penghapus peluh dan nutrisi paling mengenyangkan untuk esok kesulitan yang berikutnya. Lalu pelukan dan sujud tangisnya tiap malam yang tak tentu diketahui kapan ia terbangun merupakan ungkapan paling melapangkan kesabaran bagi seorang yang sedang menantikan pertemuan dengan pasangan hidupnya.

“Maksudmu aku tak dapat lagi maju karena ibuku sudah tak ada?” Aku bertanya pada beberapa orang secara acak.

Tak dapat dipungkiri, ketiadaan ibu masih sangat emosional. Masih belum percaya bahwa beliau sudah tak lagi dapat bertatap muka dengan senyum teduhnya kala pulang ke rumah, kemudian masih sempat menawarkan makan walau kutahu tak ada yang dapat dimasak dan hari sudah terlalu larut. Maka pada siapa lagi aku akan mengeluh saat sarat butuh kesabaran berlebih. Kepada siapa akan bercerita hal-hal yang tak pernah kuceritakan. Kepada siapa kiranya aku meminta dipilihkan sesuatu hal yang tak dapat kupilih seorang diri.

Begitulah otakku berusaha menjawab alasan terbaik perempuan itu tentang keinginan pulang ke kampung halamannya. Beberapa orang menganut place sebagai tempat untuk pulang. Seperti orang Minang yang masih menganggap tanah leluhur adalah kampung halaman tempatnya pulang, dan tempat lain di luar kampung halamannya hingga ke pelosok bumi adalah perantauannya. Sebagian lagi membuat suatu space, tujuan dimana ia pulang setelah sekian waktu dalam perjalanan. Seorang bos memberikan space bagi mantan karyawannya yang ingin balik kerja di dalam perusahaannya, agama memberi space bagi seseorang yang telah lama pergi dari pedomannya kemudian kembali pada jalan kebenaran lalu melanjutkan hidup secara damai, dan orang tua memberikan space kasih sayang terbesar, rumah yang tak kenal sudut, tak terbatas pintu, menghangatkan lebih dari matahari pagi yang menyelinap lewat jendela menembus kepulan asap dapur yang sedang mengepul, beratap paling meneduhkan seakan tak memberikan sedikit pun hujan keburukan apapun yang suatu waktu menghujam buah keyakinannya, dan pintu terlapang bagi yang ingin berjalan ke penjuru dunia manapun.

Tatap ibumu terasa teduh sekali. Sudah lama aku ingin mengatakan itu. Tak ada raut wajah pemarah, tak ada tatap mata merendahkan, tak ada sudut bibir pencela, aku telah melihat rupa ibunya di foto yang dia unggah di media sosial. Kupahami bahwa tak ada alasan lain baginya untuk berada dekat kembali dan berbakti kepada orang tuanya. Ummi dan Abu, begitulah dia memanggil mereka, space kasih sayang terbaik yang masih dia miliki. Rumah yang selalu terbuka saat dia pulang, dengan kehangatan dan dapur yang tetap mengepul.

***Bersambung***

Selasa, 19 September 2017

Setiap Anak Istimewa

Setiap anak terlahir istimewa. Saya sangat yakin, tak ada anak yang bodoh! Adanya anak yang tak berkesempatan untuk mendapat pengajaran yang baik. Saya selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar saya bisa memberi yang terbaik untuk murid-murid saya. Apapun hasilnya, lakukan yang terbaik!
***
Minggu ini saya begitu bahagia mendengar beberapa kabar membanggakan dari beberapa murid yang pernah atau masih saya ajar. Mungkin ini tak seberapa bagi orang lain, namun cerita ini memberi energi positif bagi saya sebagai seorang yang pernah mengenalnya.

Ya, cukup sederhana. Ikut bahagia! Pertama, saya mendengar kabar bahwa Vania melanjutkan kuliah di Jepang. Bulan September ini dia berangkat ke Jepang untuk memulai hidup baru jadi anak kuliahan. Saya ingat betul saat Vania mulai patah semangat menyelesaikan beberapa soal probability. Saya mencoba untuk mengajarkan dengan cara sederhana agar dia tak cepat bosan maupun menyerah. Saya dukung pelan-pelan. Sampai akhirnya, grade 12, dia berkata, “Ms, I love probability! Ms inget kan gimana dulu aku benci banget probability.” Tapi ternyata dia mampu melewati segala kesulitannya di Senior High School dan akhirnya bisa melanjutkan meraih mimpi-mimpinya. Semangat ya Vania!

Kedua, kabar bahagia dari Kayla. Semester lalu, dia selalu mengatakan kepada saya “I Hate Maths, Ms!”. Semester lalu, dia sangat sedih dan takut nilainya selalu jelek. Saya selalu mencoba untuk mendukungnya sebisa saya. Berapa pun nilainya, selalu saya memberi penghargaan walau kecil. Setiap kali ada peningkatan nilai, saya beri pujian dan semangat untuk meningkatkannya lagi. Jika nilainya turun, saya tetap menghargai usaha kerasnya belajar. Di akhir semester kemarin, saya beri reward untuknya karena telah menyelesaikan dengan baik. Bahkan di hari penerimaan rapor, dia bercerita bahwa orang tuanya happy dan bangga kepadanya karena ada peningkatan. Inilah yang saya selalu share ke orang tuanya, “Sebuah Penghargaan”. Semester ini pun, saya takjub dan bangga pada Kayla. Dia mendapat perfect score untuk Maths Quiz-nya. Pertama kali melihat nilainya mengalami kenaikan drastis, saya sangat terharu. Pelan-pelan dia telah menemukan jalannya. Bahkan, ibunya pun mengatakan bahwa beliau sangat senang melihat perubahan lebih baik dari muridnya. Saya juga bangga Bu! Mari dukung Kayla lagi! Semangat!

Ketiga, hari-hari belakangan ini saya habiskan di coffee shop. Bukan apa-apa, tapi memang seminggu full saya selalu mendatangi tempat itu. Pagi, siang, malam, ya seperti pindahan tempat tinggal. Mas-mas yang kerja di sana sudah hafal. Selalu mempersilakan saya di tempat duduk dan meja yang sama. Mereka juga tahu minuman favorit saya di sana: Lychee tea dan Green tea latte! Dua minuman favorit itu telah menjadi saksi atas pengorbanan dan kerja keras murid-murid saya. Kami belajar grup. Entah berdua, bertiga, berempat, atau bahkan berlima. Pindah dari satu kafe ke kafe lain. Pernah juga, diusir-usir karena jam 9 sudah tutup padahal kami masih ingin belajar. Pernah juga, terganggu sama ibu-ibu yang sedang asyik karaokean sambil tertawa-tawa riuh, sedangkan kami butuh kesunyian untuk belajar. Sampai-sampai kami pindah di luar. Tetap saja, speaker keras sekali terdengar ditambah serbuan nyamuk tak terhelakkan. Kami kabur! Sampai akhirnya, kami menemukan lokasi yang cukup mendukung belajar hanya saja cukup remang-remang. Saya pun mencari lampu portable dan taraaaa sangat berguna! Akhirnya, salah satu coffee shop menjadi pilihan terakhir kami yang paling nyaman untuk belajar. Saya namai Gengs Kopi! Semester ini kurva nilai naik turun. Ada yang kayak kurva sinus, kurva quadratics, kurva cosine, kurva apalagi ya? Banyak! Tapi ada hal yang membuat saya bangga minggu ini. Nilai mereka ada kenaikan di Long test semester ini. Ada kebanggaan tersendiri. Saya tahu bagaimana perjuangan mereka. Capek-capek tetap belajar. Mungkin yang semester lalu masih bermalas-malasan, semester ini mereka menunjukkan semangat belajar. Ya, belajar sambil makan, minum, curhat, dan selalu membuat saya happy mengajar mereka. Tetap semangat ya Gengs! Semangat Midterm test!

Terakhir, saya bahagia mendengar salah satu murid saya dulu. Saya mengajarnya kelas 4, hanya beberapa kali. Ternyata dia telah tumbuh menjadi seseorang di luar dugaan saya dulu. Anak yang dulu pernah bercerita dan bertanya apa saja di kelas ternyata menjadi pemain utama di Musikal Petualangan Sherina! Dia menjadi Sadam. Walau hanya sebentar mengajar dia, tapi saya ikut bangga saya pernah mengenalnya. Semangat ya Elang! Akhirnya menemukan bakatmu selama ini! Semangat ya untuk prestasi-prestasi selanjutnya!


Semoga ada kabar bahagia lagi! Aamiin. Lakukan yang terbaik! Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Sebelum berpisah, mari bahagia dahulu! Semangat!

Sabtu, 25 Februari 2017

Pentingnya Komunikasi!

Pada akhirnya, semua permasalahan itu berawal dari kurangnya komunikasi. Ya, semua karena komunikasi yang buruk.

Saya tinggal ngekos di Jakarta. Merantau dan tinggal dengan berbagai macam karakter orang. Di tempat kos saya, ada 14 kamar. Kami tinggal bersama dalam satu bangunan atap dan satu gerbang. Tetangga kos pun silih berganti dan saya adalah orang dua tersisa sebagai penghuni kos terlama. Ya, 6 tahun di Jakarta membuat barang-barang saya semakin banyak dan saya malas untuk berpindah tempat tinggal. Alhasil, saya tetap tinggal dan bertahan.

Seperti kehidupan anak kosan biasanya. Saya punya kamar sendiri, kamar mandi bersama, ruang tamu bersama, dan dapur bersama. Semua fasilitas bersama seharusnya dijaga bersama. Ya, itu etikanya. Tinggal bersama banyak orang, kadangkala ada hal yang tak sejalan. Ada hal yang mungkin malah membuat kita tak nyaman, bertolak belakang dengan diri kita. Ya, begitulah, tapi semua itu buat kita belajar. Dan saya belajar untuk memahami orang-orang di sekitar saya.

Entah sejak kapan, suasana kosan menjadi tak nyaman. Yang pasti, semenjak ada orang baru dan mereka berkubu, saya menyebutnya. Mengapa berkubu? Ya, mereka satu tempat kerja dan saya kira mereka satu latar belakang. Awalnya, saya hanya diam. Saya biarkan saja hal-hal yang membuat saya tak nyaman. Mereka berteriak-teriak di kosan, saya biarkan. Mereka tertawa di ruang tengah tengah malam, saya biarkan. Mereka masak sambil ngobrol tengah malam, saya biarkan. Mereka menumpuk piring kotor di dapur, saya biarkan. Saya memilih diam, walaupun saya terganggu. Saya memilih tak menegur, saya memilih cuek, dan saya memilih untuk berperang dengan mereka. Kesan pertama yang membuat saya tak nyaman, ternyata membuat hati saya tertutup untuk memahami mereka. Saya benar-benar menaruh nama mereka di daftar blacklist saya.

Banyak orang diam walaupun mereka benar daripada berdebat yang ujung-ujungnya mereka disalahkan. Salah satunya adalah saya. Begitulah yang terjadi di kosan semenjak ada orang-orang baru “tak beretika” tersebut. Sedang orang-orang baru yang lain tetap diam walaupun terganggu olehnya. Saya sebagai penghuni lama hampir 4 tahun pun terusik keberadaan orang-orang baru “tak beretika” tersebut. Awalnya, saya mencoba untuk bertahan. Saya mencoba untuk mengerti mereka. Saya mencoba untuk “respect” dengan mereka. Tapi saya gagal. Hati saya benar-benar tak menerima mereka. Bukan berarti saya membenci mereka, tapi saya tak menyukai “etika” mereka.

Pertama, tentang menjaga ketenangan kos. Suatu kejadian, saya sedang berada di dalam toilet. Tiba-tiba terdengar suara keributan dari luar. Suara teriakan histeris! Saya kaget! Bayangkan saja! Saya kira ada perampok yang mencoba membunuh penghuni kos! Atau kebakaran yang terjadi naas! Ah, sungguh keterlaluan sekali. Jatung saya hampir saja copot, untungnya tak sampai jantungan! Kaki saya saja sampai gemetaran. Entahlah apa yang dipikirkan mereka saat itu. Yang pasti sangat mengganggu! Seusai saya keluar dari toilet, saya menegur dengan baik, dengan nada sopan, tentang kejadian itu. Saya bilang kalau di kosan sebaiknya tidak teriak-teriak seperti tadi. Saya juga bilang kalau saya sampai gemetaran. Sayangnya, perkataan saya tersebut tidak diindahkan oleh mereka. Malah jadi bahan bercandaan saat mereka teriak-teriak tak jelas. Ya sudah, saya sudah menegur sekali, kalau tak diindahkan, ya saya tak mau tau urusan mereka!

Kedua, tentang kebersihan kos, terutama dapur. Okelah, kita hidup bersama dalam satu rumah. Kotor ya kita bersihkan bersama, kita jaga bersama. Sayangnya, kebersihan kos selalu menjadi bahan pertama tiap bulan di grup. Ada pihak yang capek-capek membersihkan dan ada pula yang cuek mengotori lagi. Mereka segrup kalau lagi rajin, sangat rajin. Bahkan sampai dapur, kulkas, toilet semua bersih. Selalu mengingatkan kami para penghuni kos untuk menjaga kebersihan, membuat keramaian grup, menganggap orang-orang yang tak ikut bersih-bersih hari itu adalah si pengotor! Sayangn ya, kerajinan mereka tak bertahan sehari. Hari berikutnya, mereka sendirilah yang mengotori dapur, kulkas. Bahkan saya sampai tak ingin menaruh apapun di kulkas. Tak ada space, ya memang males berhubungan sama mereka. Sebenarnya, saya mengikuti aturan main mereka. Selesai masak langsung bersihkan, selesai makan piring tak ditumpuk di wastafel. Bahkan, jika saya malas mencuci piring, saya taruh piring di kamar agar tak mengganggu yang lain, penghuni kos yang mau pakai wastafel. Tapi apa yang terjadi? Mereka selalu menumpuk piring kotor di wastafel sampai berhari-hari. Memakai alat masak tak dicuci. Masak tengah malam, yang asapnya mengganggu orang tidur. Berisik saat masak! Ah, saya hanya diam. Bukan berarti saya tak terganggu, saya hanya lelah menegur kalau ujung-ujungnya cuma jadi bahan candaan.

Saya pernah mengambil bukti, foto dapur kotor, piring numpuk. Tapi saat saya bilang mengungkap kebenaran, mereka menyanggahnya. Mereka bilang kalau piring kotor mereka sudah dibereskan ditaruh di bawah wastafel bukan di atas. Saya hanya tertawa saja. Padahal kenyataannya, sayalah orang yang selalu menaruh piring-piring mereka dari atas wastafel saya pindahkan ke bawah wastafel. Mereka menyanggahnya lagi saat bukti saya keluarkan. Saya tak tahu, cara pikir mereka. Ah, saya malah diserang! Mereka berkelompok mencoba menyalahkan saya. Memojokkan saya! Sayang nya saya tak takut karena saya sudah melakukan sesuai prosedur. Bahkan saya mengikuti peraturan yang mereka buat “selesai masak, bersihkan dapur!” Saya selalu pel setelah saya masak. Tapi ujung-ujungnya merekalah yang tak menjalankan peraturan. Mereka mengaku kalau peraturan yang mereka buat tak disepakati bersama, jadi tak mereka jalankan! Lahhh, kok lucu! Baru kali ini saya bertemu sekelompok orang yang memiliki pikiran sempit. Padahal saya kagum dengan cara mereka bersih-bersih. Bahkan saya dukung peraturan mereka, tapi kok tiba-tiba mereka bilang tak disepakati. Duh!!! Entahlah, saya lelah.

Lantas, ketiga tentang kunci ruangan tengah dan gerbang. Saya sudah pernah bertanya di grup tentang kunci. Tapi yang jawab hanya satu, anak baru. Hari itu juga saya langsung duplikat kunci buat dia. Demi keamanan bersama, sudah sering diingatkan kunci harus punya semua, gerbang harus selalu dikunci saat selesai masuk atau keluar. Tapi tetap saja ada yang “mbandel” gak dikunci. Lah, kalau ada penjahat or pencuri gimana? Siapa yang berani bertanggung jawab? Tak ada yang berani! Entahlah, saya tak tahu lagi harus berbuat apa. Siang itu memang kondisi kos sepi. Saya mau pergi dan pintu tengah pun saya kunci. Berhubung tak ada yang menjawab lagi tentang kunci selain anak baru, saya pun berpikir semua orang sudah punya kunci tengah. Saya tahu kalau ada orang (salah satu anggota mereka) di kamar luar berada di kosan. Tapi tetap saya kunci karena saya tak tahu, dia akan pergi atau nggak. Saya juga malas berbasa-basi dengan mereka. Saya hanya “ngebatin”, nanti pasti ada masalah yang terjadi jika ada orang yang ternyata tak punya kunci! Lah, benar saja. Baru saja saya sampai tempat tujuan, tetiba digrup ricuh tentang pintu dikunci. Saya jawab saja alasan saya dan saya tetap dipojokkan dan disalahkan oleh mereka. Mereka bersekongkol! Whatever!

Pada akhirnya, keributan di grup pun berujung pada pertemuan bersama seisi kosan. Saya mengungkapkan segala keluh-kesah saya. Nyatanya yang berani bicara dan menyanggah hanya satu orang! Ya, si biang kelompok mereka! Yang lain diam! Saya pasti mengakui kesalahan dan meminta maaf kok jika memang saya terbukti salah. Saya juga menerima kritik dan masukan kok. Nyatanya, saya disalahkan karena tak menegur saat itu juga, saat mereka ribut di malam hari. Padahal saya sudah mencoba mengingatkan, tapi mereka saja yang menutup telinga! Yasudah... Jika memang beretika, pasti tahu waktu-waktu dimana boleh ribut atau menjaga ketenangan!

Ah, Nyatanya mereka bicara tak merani menatap mata saya, padahal saya kuat-kuat menatap mereka. Nyatanya, mereka berbicara dengan mata melirik ke kiri. Saya hanya mengamati cara mereka. Nyatanya kesepakatan dihasilkan untuk menjaga kenyamanan bersama. Selesai masak dicuci, tak ribut or teriak-teriak di kosan, jadwal bersih-bersih kulkas, dan menjaga keamanan bersama.

Lantas, apa yang terjadi hari-hari berikutnya? Hari berikutnya berjalan mulus di hari pertama. Semua menaati kesepakatan bersama. Hari kedua masih berjalan baik-baik saja. Hari berikutnya, sudah mulai pelanggaran-pelanggaran baru. Mulailah keributan tengah malam. Ngobrol keras di salah satu kamar. Yup, nggaak di lobby, kamar pun jadi. Pindah tempat! Aduhai, tak tahulah lagi cara mengingatkannya lagi. Hari berikutnya, disusul dengan dapur yang mulai menumpukkan piring dan alat masak lagi. Aduhai, baru tiga hari saja, gagal total. Sudahlah, saya tak tahu dan tak mau tahu lagi. Sudah diingatkan, tapi sepertinya memang tipe-tipe orang yang susah diberitahu. Saya akan mencoba untuk bersabar mengahadapi orang-orang seperti ini. Ya, mungkin di lingkungan masyarakat, kita akan menemukan mungkin seribu orang seperti ini. Ya, take it easy lah sekarang. Buat pembelajaran saja kalau kita hidup tak bisa membahagiakan semua orang! Let’s do the best one! Kita lihat saja ada berapa orang yang masih peduli! Pada dasarnya semua itu dikarenakan kurangnya komunikasi yang baik.

Sabtu, 11 Februari 2017

Sahabat Pena

Kotak, Telah Kembali!


Apa yang akan kau lakukan jika menemukan sebuah buku penuh kenangan masa lalu? Kami menemukannya kembali. Pertemuan yang tak disangka-sangka, bahkan hampir saja terlupakan.
Hampir 6 tahun yang lalu, kami menamainya, “Kotak”. Entah apa yang membuat kami menyebutkan kata itu. Kami lupa. Mungkin karena covernya kotak-kotak, atau apalah. Kami benar-benar lupa.

Saat menemukan buku ini kembali, rasanya seperti kembali ke masa lalu. Ya, saat dimana kami berinisiatif untuk menjadi “Sahabat Pena”. Buku inilah saksinya. Saya membeli buku ini, lantas menggunakannya untuk menulis. Hobi menulis saya pun memunculkan ide untuk menulis surat. Alhasil, saya dan murid saya sepakat untuk berbalasan surat. Cara yang mungkin “sia-sia” di zaman ternologi yang semakin canggih ini. Ada handphone dengan berbagai aplikasi canggihnya. Gampang! Tapi, bagi saya menulis surat dengan tulisan tangan adalah hal spesial yang tak dapat diucapkan dengan rangkaian kata.

Kami bergantian membawa buku ini. Satu pertemuan saya menulis surat untuk murid saya. Lalu, murid saya harus mengembalikan buku itu dengan surat balasan di dalamnya pada pertemuan selanjutnya. Begitu seterusnya. Jika saya baca ulang buku ini, tulisan kami merupakan cerita sehari-hari, curhatan ringan, kemalasan belajar, semangat turun, capek, dan mungkin uneg-uneg kami. Surat pertama saya tulis tentang hari yang saya lalui di kampus. Membacanya, membuat kami tertawa sendiri. Duh, tulisan kami kayak cakar ayam ya dulu. Lama-kelamaan kami pun menikmatinya.

Buku ini jadi saksi perjalanan kami. Dari murid saya SD, SMP, sampai sekarang SMA. Waktu yang tak lama. Buku ini mengingatkan saya pada perjuangan saya dulu. Naik sepeda onthel saat ngajar hingga saat ini saya punya motor sendiri untuk pergi kemana saja yang saya mau. Ah, semua itu tampak lucu dan saya telah saya lalui.

Kadangkala, kenangan masa lalu tak harus dihapuskan begitu saja. Ya, kenangan mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur.

Kami akan memulainya lagi. Memulai episode baru dalam buku ini. Mari menulis! Ah, hobi lama yang hampir saja mati suri itu, kini tergerak lagi untuk menghidupkan kembali. Terima kasih sudah menjaga buku ini dengan baik. J

#KotakKembali #JustWrite

Senin, 16 Januari 2017

Candu Positif!

Inilah candu positif!
Saya masih ingat pertama kalinya saya jatuh cinta dengan Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau (KIJP) ini. Usai batch 2, rasanya masih ada rindu yang terselip di lubuk hati terdalam. Bertemu orang-orang keren di dalamnya dari berbagai profesi dan usia. Keramahan dan pikiran positif yang ditularkan membuat saya yakin dengan pilihan saya untuk terjun di KIJP.
Batch 2, saya ditugaskan di Pulau Kelapa, SDN Pulau Kelapa 01. Banyak hal pengalaman, suka duka, inspirasi, dan pembelajaran unik yang saya dapatkan. Hingga saya memutuskan "Inilah tempat saya!" Ya, semangat itu tumbuh mengalir begitu saja dan mencuri sebagian hidup dan hati saya. Inilah langkah awal!
Batch 3 dibuka, tapi saya mengundurkan diri dikarenakan ada kepentingan yang tak bisa ditinggalkan.
Batch 4, saya kembali bergabung. Saya bertugas di SDN Pulau Tidung 04, Pulau Payung. Ada 8 relawan dan tim saya. Di sekolah ini, hanya ada 17 murid dalam satu sekolah. Entah mengapa, jatuh cinta saya semakin kuat dengan KIJP.
Batch 5, saya kembali ditugaskan di Pulau Payung. Ada rasa haru yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sesampai di pulau, seorang anak teriak, "Kak Sulis!" What! Saya sangat terharu. Sudah berganti tahun mereka masih mengenal saya. Masih ingat muka saya. Bahkan masih menyimpan segala sesuatu yang kami berikan saat batch sebelumnya. Hati ini luluh begitu saja. Air mata mili tak tertahankan. Apalagi, saat kami beranjak ke dermaga ingin pulang menuju daratan Jakarta Kota. Mereka berjejer, melambaikan tangan, melepas kepergian kami. Saya selalu menangis saat melewati moment ini. Ada rasa rindu! Apakah saya bisa datang lagi? Ah, aku jatuh hati pada mereka! Anak-anak pulau yang selalu menginspirasi saya untuk berbuat lebih baik lagi.
12-14 Januari 2017. Camp Anak Pulau KIJP akhirnya bisa terlaksana. Jika biasanya kami yang mengunjungi mereka di pulau, kini saatnya mereka diundang ke daratan Jakarta. Anak-anak pulau yang dulunya, kami temui di Pulau, menunggu kedatangan kami hingga mengantarkan kami ke dermaga untuk kepulangan kami. Kini, kami punya kesempatan untuk menjemput mereka di dermaga, lalu berkegiatan di Kota Jakarta, lalu mengantarkan ke dermaga untuk kepulangan ke pulau. Ah, saya sangat terharu! Mungkin ini ya yang mereka rasakan saat mengantar kami pulang? Ahhh, bahagia, kangen, suka duka dilalui bersama. Speechless!
Ini adalah candu! Candu positif! Ah, semakin jatuh hati sama KIJP, sama relawan-relawannya, sama donatur-donaturnya, sama anak-anak pulaunya, sama warga-warga pulaunya, sama semuanya. Sampai jumpa di kegiatan selanjutnya! Terima kasih para donatur yang telah membantu hingga Camp Anak Pulau bisa terlaksana dengan baik. Terima kasih tim dan panitia KIJP seluruhnya. Thanks semangatnya!
#KIJP #CampAnakPulau









Sumber Foto: Tim Dokumentator Camp Anak Pulau KIJP 2017

Kamis, 05 Januari 2017

Kita Punya Pilihan Masing-Masing

Pada akhirnya, kami menentukan pilihan masing-masing. Pilihan yang tak pernah kami pikirkan sebelumnya. Pilihan yang tak ada di dalam daftar impian masa kecil kami. Ya, pilihan-pilihan itu adalah jalan Tuhan yang diberikan untuk kami dengan cara yang terbaik. Ah, inilah hidup!

Saya, anak pertama dari tiga bersaudara. Menjadi anak pertama, perempuan, bukanlah hal yang mudah. Bahkan, jika nanti saya diberi anak, saya berharap anak pertama adalah laki-laki. Saya pikir, sekuat-kuatnya perempuan, ia tak setangguh lelaki. Terlahir sebagai anak perempuan dan anak pertama membuat saya belajar banyak hal. Anak pertama adalah panutan! Tak bisa memungkiri bagaimana perjuangan saya untuk bisa membangun mimpi-mimpi saya. Bersekolah hingga perguruan tinggi dan menjadi harapan keluarga. Pertama kali dalam silsilah keluarga ayah dan ibu: sayalah cucu serta anak yang pertama kali mengenyam bangku kuliah. Semua itu butuh perjuangan! Pengorbanan hingga akhirnya, ayah saya berpikir bahwa anak-anaknya harus kuliah. Ya, itu pun berlanjut pada adik laki-laki pertama saya melanjutkan kuliah di kota kelahiran saya. Ah, inilah hidup!

Saya pun mengambil keputusan untuk tetap di Jakarta. Merantau jauh dari kota kelahiran, jauh dari keluarga. Anak perempuan satu-satunya memutuskan untuk berjuang di ibukota! Semua itu tak pernah saya bayangkan sewaktu kecil. Semua berjalan begitu cepatnya. Tak terasa 6 tahun lebih, saya berada di kota ini. Kota Jakarta yang telah menjadi saksi perjuangan. Ya, Allah Maha Adil.

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk mengambil kerja freelance. Saya belum tertarik dengan kehidupan kantor. Saya masih menikmati pekerjaan saya. Bekerja untuk diri sendiri, bukan untuk bos, bukan untuk orang lain. Walaupun keputusan saya itu berisiko, entah mengapa saya masih bertahan. Entah sampai kapan saya bertahan di Jakarta ini. Biarkan waktu yang menjawabnya. Ikuti kata hati dan lakukan sepenuh hati.
***
Sudah saya katakan, saya tiga bersaudara. Saya satu-satunya perempuan dan anak pertama. Kedua adik saya laki-laki. Adik pertama saya memutuskan menikah muda di usia 22 tahun. Ya, itu telah menjadi keputusannya. Saya hanya bisa mendoakan semoga dia sukses dengan keputusannya itu. Apa saya harus marah? Tidak! Walaupun sebelumnya, saya pernah merasa ingin kabur dari kenyataan itu. Namun, saya sadar, kita hidup punya pilihan masing-masing. Dan saya harus menghargai keputusan adik saya itu. Saya yakin, dia memutuskannya pun karena alasan yang kuat.

Saya yakin adik saya itu tangguh seperti namanya: Teguh! Dia akan selalu teguh dan kuat menghadapi segala perjalanan hidup ini. Saya salut dengannya. Setelah kepergian ayah saya, dia adalah satu-satunya lelaki yang menjadi tulang punggung keluarga. Dia bekerja meneruskan bengkel ayah di kampung. Saya tahu, penghasilannya pun tak tentu. Kadang ramai kadang sepi. Saya tahu, dia punya tanggungan biaya kuliah sendiri, mengurus ibu dan adik saya di kampung. Bahkan, sekarang dia pun punya kehidupan baru, keluarga dan rumah tangga baru. Kita punya pilihan masing-masing dan itu adalah pilihan adik saya. Saya selalu berdoa semoga dia selalu berada di jalan yang terbaik oleh Allah.
***
Adik laki-laki bungsu saya memutuskan untuk bekerja di tahun 2017 ini. Saya benar-benar terharu. Saya yakin, akan ada masa dimana dia terketuk hati untuk bekerja. Walau sebenarnya, saya masih berat hati, impiannya untuk menjadi seorang pemain sepak bola harus diurungkan sejenak. Di sisi lain, saya yakin, dia pasti akan menemukan pengalaman lain yang akan mengajarkan banyak hal lebih. Dan pastinya, dia telah berani melawan rasa takut, keluar dari zona nyaman. Kecintaannya pada ibulah yang membuat dirinya semakin kuat dan kokoh. Tetaplah menapak dan bertumpu pada kakimu sendiri Dik! Doaku selalu bersamamu.

Saya yakin, akan ada pintu baru terbaik yang Allah pilihkan untuk kita.
***
Sepeninggalan bapak, ibu memilih untuk menikah lagi. Saya tahu, ibu belum bisa hidup sendiri. Ibu masih memerlukan seorang pendamping. Keputusan itu sebenarnya sangat berat untuk saya. Tapi saya pun tak boleh egois membiarkan ibu dalam kesedihan. Keputusan ibu mungkin adalah jalan terbaik Allah. Ya, agar kami belajar lebih tentang hidup ini. Agar kami tetap saling mengasihi. Dan ibu memiliki kehidupan baru. Kehidupan yang memiliki cerita dan episode baru. Kami pun ikut berperan di dalamnya.
***
Ah, inilah hidup! Saya berjanji pada diri saya sendiri, saya tak boleh rapuh, saya tak boleh tumbang, saya harus kuat, menopang pada kaki sendiri, anak pertama haruslah lebih tahan banting! Ah, inilah hidup! Jalani sepenuh hati. Semoga Allah beri jalan yang terbaik! Aamiin.

Jakarta

Jan 4, 2017