Selasa, 28 April 2015

Rinduku padamu Bapak

27 April 2015

Hari ini sepulang kerja, aku langsung pulang. Tak seperti biasa memang, kadang aku mampir dulu ke teater dan pulang lebih malam lagi. Malam ini, aku sampai di kos jam setengah 10. Gerbang kos belum dikunci. Lebih awal, bisa dibilang begitu.

Dalam perjalanan pulang, tetiba aku teringat sosok yang kusayangi, Bapak. Sudah 4 bulan ini, hidupku tanpa kehadiran beliau. Air mata pun tak bisa dielakkan. Aku telah rindu... teramat sangat. Maafkan aku Bapak. :’(

Rabu besok 29 April 2015 aku sidang. Kuliahku yang tertunda setahun tentunya akan segera beres jika aku lulus. Setidaknya beban kelulusan sudah tinggal toefl. Aku akan berjuang. Maafkan aku, aku tak bisa membahagiakanmu dengan lulus tepat waktu tahun lalu. Bahkan aku tak bisa pulang kampung tahun lalu. Maafkan aku tak hati-hati dalam berjalan sehingga kakiku terkilir dan tak kuat untuk menapak.

Ada kesedihan pula, aku hendak pulang kampung, tapi tak kuasa. Kakiku benar-benar harus diurut dan tak kuat jalan jauh. Aku tahu betul, itu membuat Bapak sangat khawatir. Kata Ibu, kau tak doyan makan gara-gara itu. Aku tahu betul, kau sangat merindukan anakmu ini Pak. Aku pun sama. Maafkan aku, aku terlalu egois, sampai-sampai aku jarang menghubungimu. Maafkan anakmu ini. Bukan maksudku, tak sayang, aku hanya tak ingin kau khawatir. Ingin rasanya, terus telpon dan bilang kalau kangen, tapi jujur, aku tak mampu berbuat itu. Aku tak ingin kau terlalu sedih dan khawatir.

Aku tak pernah menyangka, kau cepat pergi Pak. Kuingat sewaktu aku mengabarkan bahwa aku lulus tahun 2015 saja, kau begitu kecewa, tapi kau tutupi dengan kata “terserah kamu saja Nak”. Namun, aku tahu betul, kau sangat memikirkan hal itu. Padahal kau selalu menelepon dan menanyakan kapan wisuda, tapi aku tak pernah menepati janji. Kau senagaja menabung untuk biaya ke Jakarta sekeluarga saat aku wisuda. Tapi lagi-lagi aku tak kunjung lulus. Maafkan aku Pak.

Sampai akhirnya, kau menghembuskan nafas terakhir, aku tak berada di sampingmu. Kau tidur selama 24 jam hanya untuk menunggu aku pulang. Ketika sempat kau tersadar, kau masih saja tetap memanggil namaku. Sayangnya aku masih di perjalanan Jakarta-Blora. Kata Ibu, kau sebenarnya sudah pergi jam 11 siang di saat aku baru saja berangkat dari Jakarta. Dokter dan kau pun berjuang agar kau tetap bertahan menunggu aku pulang. Alhasil, kau berhasil hidup kembali. Allah begitu baik padaku. Allah masih mengizinkan kau untuk menungguku beberapa jam. Hingga akhirnya, kau benar-benar pergi jam 11 malam. Jika kau benar-benar pergi jam 11 siang, pasti aku tak akan lagi bertemu denganmu Pak. Terima kasih, engkau telah menunggu kedatanganku.

Bapak, aku bahagia bisa berjumpa denganmu lagi, walau kau telah tidur untuk selama-lamanya. Sesampai di rumah jam 5 pagi, kau tahu Pak? Aku tak ingin menangis. Kutahan air mataku agar tak menetes di hadapanmu. Aku tak mau membuat sedih Ibu, Candra, dan Teguh. Aku mencoba untuk tegar menghadapi semua itu. Dan aku bisa melakukannya, walau itu rasanya sakit. Benar-benar sakit. Orang mana yang ditinggal orang yang disayangi tak menangis? Pasti ada rasa sedih, itu manusiawi. Aku pun begitu. Ingin aku menangis meraung tapi aku tak mau itu terjadi. Aku mencoba untuk ikhlas. Aku bangga bisa jadi anakmu Pak. Punya Bapak yang bertanggung jawab dan sangat sayang keluarga.

Bapak, aku kangen Bapak. Aku tulis rasa rindu ini untukmu Pak. Biarkan air mataku mengalir ke pipi untuk saat ini. Bukan berarti aku sedih, tapi karena aku bangga bisa menjadi bagian dalam hidupmu. Aku sangat bangga.

Aku akan berjuang Pak. Hari Rabu besok tanggal 29 April 2015 ini, aku berjuang dalam sidang skripsi. Untuk membahagiakanmu Pak. Mohon restumu Pak. Walau Bapak sudah tiada, tapi Bapak tetap ada. Tetap bersamaku. Bersama aliran darahku dan hembusan nafasku. Aku menyayangimu Pak....