Sabtu, 25 Februari 2017

Pentingnya Komunikasi!

Pada akhirnya, semua permasalahan itu berawal dari kurangnya komunikasi. Ya, semua karena komunikasi yang buruk.

Saya tinggal ngekos di Jakarta. Merantau dan tinggal dengan berbagai macam karakter orang. Di tempat kos saya, ada 14 kamar. Kami tinggal bersama dalam satu bangunan atap dan satu gerbang. Tetangga kos pun silih berganti dan saya adalah orang dua tersisa sebagai penghuni kos terlama. Ya, 6 tahun di Jakarta membuat barang-barang saya semakin banyak dan saya malas untuk berpindah tempat tinggal. Alhasil, saya tetap tinggal dan bertahan.

Seperti kehidupan anak kosan biasanya. Saya punya kamar sendiri, kamar mandi bersama, ruang tamu bersama, dan dapur bersama. Semua fasilitas bersama seharusnya dijaga bersama. Ya, itu etikanya. Tinggal bersama banyak orang, kadangkala ada hal yang tak sejalan. Ada hal yang mungkin malah membuat kita tak nyaman, bertolak belakang dengan diri kita. Ya, begitulah, tapi semua itu buat kita belajar. Dan saya belajar untuk memahami orang-orang di sekitar saya.

Entah sejak kapan, suasana kosan menjadi tak nyaman. Yang pasti, semenjak ada orang baru dan mereka berkubu, saya menyebutnya. Mengapa berkubu? Ya, mereka satu tempat kerja dan saya kira mereka satu latar belakang. Awalnya, saya hanya diam. Saya biarkan saja hal-hal yang membuat saya tak nyaman. Mereka berteriak-teriak di kosan, saya biarkan. Mereka tertawa di ruang tengah tengah malam, saya biarkan. Mereka masak sambil ngobrol tengah malam, saya biarkan. Mereka menumpuk piring kotor di dapur, saya biarkan. Saya memilih diam, walaupun saya terganggu. Saya memilih tak menegur, saya memilih cuek, dan saya memilih untuk berperang dengan mereka. Kesan pertama yang membuat saya tak nyaman, ternyata membuat hati saya tertutup untuk memahami mereka. Saya benar-benar menaruh nama mereka di daftar blacklist saya.

Banyak orang diam walaupun mereka benar daripada berdebat yang ujung-ujungnya mereka disalahkan. Salah satunya adalah saya. Begitulah yang terjadi di kosan semenjak ada orang-orang baru “tak beretika” tersebut. Sedang orang-orang baru yang lain tetap diam walaupun terganggu olehnya. Saya sebagai penghuni lama hampir 4 tahun pun terusik keberadaan orang-orang baru “tak beretika” tersebut. Awalnya, saya mencoba untuk bertahan. Saya mencoba untuk mengerti mereka. Saya mencoba untuk “respect” dengan mereka. Tapi saya gagal. Hati saya benar-benar tak menerima mereka. Bukan berarti saya membenci mereka, tapi saya tak menyukai “etika” mereka.

Pertama, tentang menjaga ketenangan kos. Suatu kejadian, saya sedang berada di dalam toilet. Tiba-tiba terdengar suara keributan dari luar. Suara teriakan histeris! Saya kaget! Bayangkan saja! Saya kira ada perampok yang mencoba membunuh penghuni kos! Atau kebakaran yang terjadi naas! Ah, sungguh keterlaluan sekali. Jatung saya hampir saja copot, untungnya tak sampai jantungan! Kaki saya saja sampai gemetaran. Entahlah apa yang dipikirkan mereka saat itu. Yang pasti sangat mengganggu! Seusai saya keluar dari toilet, saya menegur dengan baik, dengan nada sopan, tentang kejadian itu. Saya bilang kalau di kosan sebaiknya tidak teriak-teriak seperti tadi. Saya juga bilang kalau saya sampai gemetaran. Sayangnya, perkataan saya tersebut tidak diindahkan oleh mereka. Malah jadi bahan bercandaan saat mereka teriak-teriak tak jelas. Ya sudah, saya sudah menegur sekali, kalau tak diindahkan, ya saya tak mau tau urusan mereka!

Kedua, tentang kebersihan kos, terutama dapur. Okelah, kita hidup bersama dalam satu rumah. Kotor ya kita bersihkan bersama, kita jaga bersama. Sayangnya, kebersihan kos selalu menjadi bahan pertama tiap bulan di grup. Ada pihak yang capek-capek membersihkan dan ada pula yang cuek mengotori lagi. Mereka segrup kalau lagi rajin, sangat rajin. Bahkan sampai dapur, kulkas, toilet semua bersih. Selalu mengingatkan kami para penghuni kos untuk menjaga kebersihan, membuat keramaian grup, menganggap orang-orang yang tak ikut bersih-bersih hari itu adalah si pengotor! Sayangn ya, kerajinan mereka tak bertahan sehari. Hari berikutnya, mereka sendirilah yang mengotori dapur, kulkas. Bahkan saya sampai tak ingin menaruh apapun di kulkas. Tak ada space, ya memang males berhubungan sama mereka. Sebenarnya, saya mengikuti aturan main mereka. Selesai masak langsung bersihkan, selesai makan piring tak ditumpuk di wastafel. Bahkan, jika saya malas mencuci piring, saya taruh piring di kamar agar tak mengganggu yang lain, penghuni kos yang mau pakai wastafel. Tapi apa yang terjadi? Mereka selalu menumpuk piring kotor di wastafel sampai berhari-hari. Memakai alat masak tak dicuci. Masak tengah malam, yang asapnya mengganggu orang tidur. Berisik saat masak! Ah, saya hanya diam. Bukan berarti saya tak terganggu, saya hanya lelah menegur kalau ujung-ujungnya cuma jadi bahan candaan.

Saya pernah mengambil bukti, foto dapur kotor, piring numpuk. Tapi saat saya bilang mengungkap kebenaran, mereka menyanggahnya. Mereka bilang kalau piring kotor mereka sudah dibereskan ditaruh di bawah wastafel bukan di atas. Saya hanya tertawa saja. Padahal kenyataannya, sayalah orang yang selalu menaruh piring-piring mereka dari atas wastafel saya pindahkan ke bawah wastafel. Mereka menyanggahnya lagi saat bukti saya keluarkan. Saya tak tahu, cara pikir mereka. Ah, saya malah diserang! Mereka berkelompok mencoba menyalahkan saya. Memojokkan saya! Sayang nya saya tak takut karena saya sudah melakukan sesuai prosedur. Bahkan saya mengikuti peraturan yang mereka buat “selesai masak, bersihkan dapur!” Saya selalu pel setelah saya masak. Tapi ujung-ujungnya merekalah yang tak menjalankan peraturan. Mereka mengaku kalau peraturan yang mereka buat tak disepakati bersama, jadi tak mereka jalankan! Lahhh, kok lucu! Baru kali ini saya bertemu sekelompok orang yang memiliki pikiran sempit. Padahal saya kagum dengan cara mereka bersih-bersih. Bahkan saya dukung peraturan mereka, tapi kok tiba-tiba mereka bilang tak disepakati. Duh!!! Entahlah, saya lelah.

Lantas, ketiga tentang kunci ruangan tengah dan gerbang. Saya sudah pernah bertanya di grup tentang kunci. Tapi yang jawab hanya satu, anak baru. Hari itu juga saya langsung duplikat kunci buat dia. Demi keamanan bersama, sudah sering diingatkan kunci harus punya semua, gerbang harus selalu dikunci saat selesai masuk atau keluar. Tapi tetap saja ada yang “mbandel” gak dikunci. Lah, kalau ada penjahat or pencuri gimana? Siapa yang berani bertanggung jawab? Tak ada yang berani! Entahlah, saya tak tahu lagi harus berbuat apa. Siang itu memang kondisi kos sepi. Saya mau pergi dan pintu tengah pun saya kunci. Berhubung tak ada yang menjawab lagi tentang kunci selain anak baru, saya pun berpikir semua orang sudah punya kunci tengah. Saya tahu kalau ada orang (salah satu anggota mereka) di kamar luar berada di kosan. Tapi tetap saya kunci karena saya tak tahu, dia akan pergi atau nggak. Saya juga malas berbasa-basi dengan mereka. Saya hanya “ngebatin”, nanti pasti ada masalah yang terjadi jika ada orang yang ternyata tak punya kunci! Lah, benar saja. Baru saja saya sampai tempat tujuan, tetiba digrup ricuh tentang pintu dikunci. Saya jawab saja alasan saya dan saya tetap dipojokkan dan disalahkan oleh mereka. Mereka bersekongkol! Whatever!

Pada akhirnya, keributan di grup pun berujung pada pertemuan bersama seisi kosan. Saya mengungkapkan segala keluh-kesah saya. Nyatanya yang berani bicara dan menyanggah hanya satu orang! Ya, si biang kelompok mereka! Yang lain diam! Saya pasti mengakui kesalahan dan meminta maaf kok jika memang saya terbukti salah. Saya juga menerima kritik dan masukan kok. Nyatanya, saya disalahkan karena tak menegur saat itu juga, saat mereka ribut di malam hari. Padahal saya sudah mencoba mengingatkan, tapi mereka saja yang menutup telinga! Yasudah... Jika memang beretika, pasti tahu waktu-waktu dimana boleh ribut atau menjaga ketenangan!

Ah, Nyatanya mereka bicara tak merani menatap mata saya, padahal saya kuat-kuat menatap mereka. Nyatanya, mereka berbicara dengan mata melirik ke kiri. Saya hanya mengamati cara mereka. Nyatanya kesepakatan dihasilkan untuk menjaga kenyamanan bersama. Selesai masak dicuci, tak ribut or teriak-teriak di kosan, jadwal bersih-bersih kulkas, dan menjaga keamanan bersama.

Lantas, apa yang terjadi hari-hari berikutnya? Hari berikutnya berjalan mulus di hari pertama. Semua menaati kesepakatan bersama. Hari kedua masih berjalan baik-baik saja. Hari berikutnya, sudah mulai pelanggaran-pelanggaran baru. Mulailah keributan tengah malam. Ngobrol keras di salah satu kamar. Yup, nggaak di lobby, kamar pun jadi. Pindah tempat! Aduhai, tak tahulah lagi cara mengingatkannya lagi. Hari berikutnya, disusul dengan dapur yang mulai menumpukkan piring dan alat masak lagi. Aduhai, baru tiga hari saja, gagal total. Sudahlah, saya tak tahu dan tak mau tahu lagi. Sudah diingatkan, tapi sepertinya memang tipe-tipe orang yang susah diberitahu. Saya akan mencoba untuk bersabar mengahadapi orang-orang seperti ini. Ya, mungkin di lingkungan masyarakat, kita akan menemukan mungkin seribu orang seperti ini. Ya, take it easy lah sekarang. Buat pembelajaran saja kalau kita hidup tak bisa membahagiakan semua orang! Let’s do the best one! Kita lihat saja ada berapa orang yang masih peduli! Pada dasarnya semua itu dikarenakan kurangnya komunikasi yang baik.

Sabtu, 11 Februari 2017

Sahabat Pena

Kotak, Telah Kembali!


Apa yang akan kau lakukan jika menemukan sebuah buku penuh kenangan masa lalu? Kami menemukannya kembali. Pertemuan yang tak disangka-sangka, bahkan hampir saja terlupakan.
Hampir 6 tahun yang lalu, kami menamainya, “Kotak”. Entah apa yang membuat kami menyebutkan kata itu. Kami lupa. Mungkin karena covernya kotak-kotak, atau apalah. Kami benar-benar lupa.

Saat menemukan buku ini kembali, rasanya seperti kembali ke masa lalu. Ya, saat dimana kami berinisiatif untuk menjadi “Sahabat Pena”. Buku inilah saksinya. Saya membeli buku ini, lantas menggunakannya untuk menulis. Hobi menulis saya pun memunculkan ide untuk menulis surat. Alhasil, saya dan murid saya sepakat untuk berbalasan surat. Cara yang mungkin “sia-sia” di zaman ternologi yang semakin canggih ini. Ada handphone dengan berbagai aplikasi canggihnya. Gampang! Tapi, bagi saya menulis surat dengan tulisan tangan adalah hal spesial yang tak dapat diucapkan dengan rangkaian kata.

Kami bergantian membawa buku ini. Satu pertemuan saya menulis surat untuk murid saya. Lalu, murid saya harus mengembalikan buku itu dengan surat balasan di dalamnya pada pertemuan selanjutnya. Begitu seterusnya. Jika saya baca ulang buku ini, tulisan kami merupakan cerita sehari-hari, curhatan ringan, kemalasan belajar, semangat turun, capek, dan mungkin uneg-uneg kami. Surat pertama saya tulis tentang hari yang saya lalui di kampus. Membacanya, membuat kami tertawa sendiri. Duh, tulisan kami kayak cakar ayam ya dulu. Lama-kelamaan kami pun menikmatinya.

Buku ini jadi saksi perjalanan kami. Dari murid saya SD, SMP, sampai sekarang SMA. Waktu yang tak lama. Buku ini mengingatkan saya pada perjuangan saya dulu. Naik sepeda onthel saat ngajar hingga saat ini saya punya motor sendiri untuk pergi kemana saja yang saya mau. Ah, semua itu tampak lucu dan saya telah saya lalui.

Kadangkala, kenangan masa lalu tak harus dihapuskan begitu saja. Ya, kenangan mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur.

Kami akan memulainya lagi. Memulai episode baru dalam buku ini. Mari menulis! Ah, hobi lama yang hampir saja mati suri itu, kini tergerak lagi untuk menghidupkan kembali. Terima kasih sudah menjaga buku ini dengan baik. J

#KotakKembali #JustWrite