Rabu, 15 November 2017

Serambi (Oleh: Ibs)

“Apalagi yang ingin kamu kejar?”

***

“Apalagi yang ingin kamu kejar?” tanyaku, campuran antara penasaran terhadap seseorang yang tengah bekerja di Jakarta, ujung cerita perantauan sejak tamat SMA yang mengenalkannya lebih dulu pada ibukota ini, kemudian nasib dan kerja keras membawanya mendapatkan gelar master dalam bidang keuangan di Coventry Inggris, dan keingintahuan bagaimana seseorang seperti dirinya berjalan meraih mimpi.

“Selain menikah tentunya” Aku segera melanjutkan kalimat tanyaku. Mencegah dirinya menjawab dengan jawaban yang telah kuduga. Melihat usia kita yang tak jauh beda, tak ada harapan lain lagi yang paling membahagiakan selain membina sebuah keluarga. Aku merasakan kesedihan dalam dirinya. Umur 27 tahun bagi seorang perempuan adalah masa penuh harap akan kedatangan seseorang yang akan menjadi pendamping dirinya hingga akhir hayat. Tak masalah bagi para wanita yang menjunjung tinggi kesempatan berkarier, tengok saja banyak wanita karier di ibukota yang tak mempedulikan pernikahannya meski usianya beranjak 30 tahun, mereka hanya tahu bagaimana melaksanakan tiap tugas perusahaannya dengan sempurna dan berakhir dengan pujian bahkan berakibat promosi sesuai cita-cita remaja mereka menjadi seorang manajer muda. Namun baginya yang berasal dari suatu daerah di ujung negeri sana dan kebiasaan dari adat Islam, Aceh dan Melayu, 27 menjadi angka yang memberikannya kalimat penekanan Sudahlah menyerah saja, serahkan semua pada orang tuamu sebagaimana kebiasaan di kampungmu sana.

“Pulang ke Kampungku” jawabnya singkat.

“Minggu lalu aku pulang untuk tes CPNS dosen, tapi gagal haha” lanjutnya.

“Sudah disuruh pulang lagi?”

Seingatku setahun lalu dia bercerita bahwa jika tahun depan tak ada seorang pun yang menikahinya maka dia akan pulang kemudian mengabdi di kampung halamannya. Kupikir itu bukan bagian dari rencananya, namun lebih ke konsekuensi akibat dari gagalnya mendapatkan suami dalam perantauannya. Jika orang itu dalam sebuah romansa kemungkinan alurnya adalah tamat SMA – merantau ke ibukota meraih gelar sarjana – melanjutkan sekolah dan sedikit berpetualang di benua biru – bekerja di kantor pusat sebuah perusahaan – kemudian bertemu seseorang yang sama-sama pulang dari petualangan cita-citanya – pulang untuk meminta restu kemudian menikah – lalu melanjutkan kerja dan menetap di Jakarta. Tapi seperti yang kulihat sekarang ini, tuhan sedikit memberi klimaks pada bagian rangkaian cerita indahnya (dalam perjalanannya mungkin tak indah dalam arti sempurna, tapi karena berhasil mewujudkan cita-citanya).

“Aku ingin pulang, tinggal di rumah bersama Umi dan Abu.”

“Aku gak mau di Jakarta...”

Kalimat terakhir itu seolah dia tahu apa yang sedang kupikirkan kecemasan tentang rencana pulangnya itu. Padahal inti dari pertanyaanku itu bukan hanya membicarakan sekadar wacana pulang. Tapi bertanya-tanya orang macam dia dengan teman dan circle pertemanan jauh lebih banyak dariku tak satu pun dari mereka tertarik lalu mengajaknya menikah. Semakin penasaran karena kuingat ceritanya tahun lalu jika dia sedang menunggu seseorang yang sedang melanjutkan studi di Amerika, pernyataan yang membuatku dijatuhkan akibat rasa minder dan sadar diri akan adanya hukum strata sosial. Lebih jauh lagi, pertanyaanku berlatar belakang subjektif, adakah seorang laki-laki yang sedang bersamamu kini?

***

Ada posisi yang lebih tinggi dari kaum perempuan. Mereka telah ditempatkan tiga kali lebih tinggi dibanding laki-laki. Begitulah kiranya kehebatan dari perempuan yang kemudian hari menjelma menjadi para ibu yang akan kembali mengajarkan apa yang telah mereka dapat semasa hidupnya. Perempuan adalah tiang negara, jikalau baik perempuan, maka baiklah suatu negara, dan jikalau rusak perempuan, maka rusaklah negara. Isi suatu surat yang kubaca di suatu museum telah menggambarkan bagaimana pentingnya seorang perempuan. Jauh sebelum itu, Islam telah menggambarkan bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Kalimat hiperbola namun cukup untuk menggambarkan bagaimana peran perempuan bagi kelangsungan hidup manusia, terutama anak-anaknya.

Seseorang pernah menasihati, jika suatu saat kau menginginkan sesuatu, tak ada yang lebih mujarab dibanding dengan doa ibumu. Seorang mahasiswa yang hendak melakukan ujian akhir, tak ada yang lebih menenangkan dan menguatkan selain suara doa dan petuah ibunya. Seorang yang sedang berusaha kerja keras, maka pulang dan mencium tangannya adalah penghapus peluh dan nutrisi paling mengenyangkan untuk esok kesulitan yang berikutnya. Lalu pelukan dan sujud tangisnya tiap malam yang tak tentu diketahui kapan ia terbangun merupakan ungkapan paling melapangkan kesabaran bagi seorang yang sedang menantikan pertemuan dengan pasangan hidupnya.

“Maksudmu aku tak dapat lagi maju karena ibuku sudah tak ada?” Aku bertanya pada beberapa orang secara acak.

Tak dapat dipungkiri, ketiadaan ibu masih sangat emosional. Masih belum percaya bahwa beliau sudah tak lagi dapat bertatap muka dengan senyum teduhnya kala pulang ke rumah, kemudian masih sempat menawarkan makan walau kutahu tak ada yang dapat dimasak dan hari sudah terlalu larut. Maka pada siapa lagi aku akan mengeluh saat sarat butuh kesabaran berlebih. Kepada siapa akan bercerita hal-hal yang tak pernah kuceritakan. Kepada siapa kiranya aku meminta dipilihkan sesuatu hal yang tak dapat kupilih seorang diri.

Begitulah otakku berusaha menjawab alasan terbaik perempuan itu tentang keinginan pulang ke kampung halamannya. Beberapa orang menganut place sebagai tempat untuk pulang. Seperti orang Minang yang masih menganggap tanah leluhur adalah kampung halaman tempatnya pulang, dan tempat lain di luar kampung halamannya hingga ke pelosok bumi adalah perantauannya. Sebagian lagi membuat suatu space, tujuan dimana ia pulang setelah sekian waktu dalam perjalanan. Seorang bos memberikan space bagi mantan karyawannya yang ingin balik kerja di dalam perusahaannya, agama memberi space bagi seseorang yang telah lama pergi dari pedomannya kemudian kembali pada jalan kebenaran lalu melanjutkan hidup secara damai, dan orang tua memberikan space kasih sayang terbesar, rumah yang tak kenal sudut, tak terbatas pintu, menghangatkan lebih dari matahari pagi yang menyelinap lewat jendela menembus kepulan asap dapur yang sedang mengepul, beratap paling meneduhkan seakan tak memberikan sedikit pun hujan keburukan apapun yang suatu waktu menghujam buah keyakinannya, dan pintu terlapang bagi yang ingin berjalan ke penjuru dunia manapun.

Tatap ibumu terasa teduh sekali. Sudah lama aku ingin mengatakan itu. Tak ada raut wajah pemarah, tak ada tatap mata merendahkan, tak ada sudut bibir pencela, aku telah melihat rupa ibunya di foto yang dia unggah di media sosial. Kupahami bahwa tak ada alasan lain baginya untuk berada dekat kembali dan berbakti kepada orang tuanya. Ummi dan Abu, begitulah dia memanggil mereka, space kasih sayang terbaik yang masih dia miliki. Rumah yang selalu terbuka saat dia pulang, dengan kehangatan dan dapur yang tetap mengepul.

***Bersambung***