Jumat, 08 Juli 2016

Ikhlaskan Hati Biar Tangan Tuhan yang Mengatur!

Jika kau takut, pejamkan matamu! Komunikasikan ketakutanmu itu dengan hati! Maka hati lebih tahu kemana kau akan melangkah!

Saya terbangun sekitar jam dua pagi. Banyak hal yang mengusik pikiran. Tetiba saja terpikirkan bulan November nanti. Ah rasanya ingin segera pergi jauh. Kabur dari kenyataan bahwa memang saya tak menginginkannya.

Bulan ini adalah bulan Juli 2016. Lebaran kali ini membuat saya ragu untuk pulang sebenarnya. Namun, kejadian dua tahun silam begitu membuat saya takut. Ya takut kehilangan. Tepat saat beberapa hari sebelum lebaran 2014, saya hendak pulang kampung naik bus. Semua persiapan sudah di tangan, tinggal tiket yang belum beli. Saya berangkat dengan begitu ragu. Entah mengapa hati begitu tak mau berkompromi. Hati benar-benar tak ingin pulang. Saya pun mampir ke ATM untuk mengambil uang sebagai pelengkap mudik. Uang sudah ditangan, tapi ada hal yang entah sebenarnya apa mengusik pikiran. Saya menuruni anak tangga gedung ATM, entah detik ke berapa saya tetiba oleng dan terjatuh. Satu hal yang ada dipikiran ‘saya tak apa-apa’. Saya melanjutkan perjalanan ke Pulogadung dengan kaki sedikit pincang.

Menunggu bus 57 jurusan Pulogadung adalah hal yang menjemukan. Sungguh lama! Seperti biasa, tukang ojek di dekat penyeberangan jalan pun selalu menyapa saya. Mengisi kejenuhan sampai bus yang saya nantikan pun muncul. Saya pun naik dengan pelan-pelan agar kaki saya tak begitu sakit. Bus pun penuh dan saya berdiri hingga tempat tujuan. Sekitar 45 menit perjalanan usai, Pulogadung telah ramai.

Keraguan saya pun terjawab saat saya sampai di PO Garuda Mas. Tiket hari itu telah habis. Pupus harapan saya pulang hari itu. Saya ingin memesan tiket untuk besok, sayangnya tak bisa karena tiket hanya dijual di hari H. Belakangan saya baru tahu, tiket hanya dijual di hari H itu untuk urusan marketing. Siapa cepat dia dapat dan tiket pun melambung tinggi harganya. Saya hanya bisa duduk diam bersandar di tembok. Bagaimana cara saya untuk menenangkan orang rumah kalau saya kehabisan tiket? Entahlah.

Saya pun memutuskan untuk tak pulang. Saya melawan keraguraguan yang dari awal membuat saya tak yakin. Saya menelepon ayah dan mengabarkan kenyataan pahit itu. Tak bisa pulang kampung sebenarnya pilihan saya sejak awal tapi saya tak ada alasan untuk itu. Akhirnya dengan berat hati, ayah saya pun mengizinkan namun masih menanyakan kapan saya pulang. Ya, inilah pertama kali saya tak pulang saat lebaran. Saya pikir akan lebih baik, tapi belakangan saya baru tahu ayah saya tak doyan makan selama seminggu memikirkan kondisi anaknya. Ayah saya tak pernah bilang tentang itu. Ayah saya hanya diam dan selalu menelepon saya tiap hari menanyakan apakah kaki saya sudah sembuh, sudah diurut, sudah makan, sudah bisa jalan? Ah, saya terlalu egois. Saya acuhkan kekhawatiran ayah. Apakah pernah saya menanyakan kondisi beliau saat itu? Sepertinya tak pernah. Saya sangat egois dan tak peka!

Di tahun itu pula, saya seharusnya ikut pesta wisuda bersama teman-teman angkatan. Namun, saya tak bisa. Skripsi saya tak kunjung selesai akibat kelalaian dan kebegoan saya. Padahal, ayah saya selalu menceritakan akan datang saat saya wisuda nanti. Ayah saya akan mengenakan pakaian terbaiknya dan berfoto bersama mendampingi anak sulungnya wisuda. Ya, itu impian ayah saya. Sayangnya, saya tak bisa mewujudkan di tahun 2014. Entahlah, keegoisan saya selalu menjadi pemenang dalam pertarungan melawan hati.

Bulan November 2014. Pikiran saya sangat terusik. Saya ingin mengajak ayah dan ibu untuk menyaksikan pementasan teater saya. Beberapa niatan itu terbesit di pikiran saya, tapi akhirnya kenyataan tak mampu mewujudkannya. Saya ingin sekali mengajak orang tua saya ke Jakarta. Mengajak jalan-jalan dengan bahagia. Sayangnya, saya belum bisa mewujudkan impian-impian itu. Sebenarnya, lagi-lagi saya terlalu egois. Saya masih trauma kejadian awal tahun 2014 ini.

Bulan Februari 2014, ayah, ibu, dan adik saya berkunjung ke Jakarta. Berniat untuk jalan-jalan. Lantas, tetangga yang anaknya juga di Jakarta pun ikut bebarengan pergi. Perjalanan panjang sekitar 11-14 jam pun dilalui hanya untuk bertemu anaknya. Subuh-subuh, ayah saya pun menelepon kalau sudah sampai di Pulogadung. Saya pun hendak menjemput, bus 57 tak kunjung datang dan sepertinya memang belum beroperasi pagi-pagi buta. Jakarta hujan cukup deras. Saya membawa payung, berdiri di tepi jalan arah UKI. Tapi nihil. Saya mencoba menghubungi teman saya untuk bersama-sama menjemput keluarganya juga. Tapi telepon saya tak dijawab, SMS saya juga tak dibalas. Saya benar-benar sebal, padahal dia sudah bilang bersedia menjemput orang tuanya juga yang bersama keluarga saya ke Jakarta. Saat itu saya masih berpikir positif mungkin dia memang belum bangun. Saya mencari cara agar bisa menjemput ayah saya. Hujan angin deras, saya kembali ke kosan. Saya sangat khawatir. Apakah orang tua saya baik-baik saja? Apakah ada tempat untuk meneduh dikala hujan deras tadi pagi? Ah, saya sangat dilema. Akhirnya, orang tua saya memutuskan untuk pergi naik Trans Jakarta (TJ) agar lebih gampang. Saya pun dengan merasa bersalah mengizinkan orang tua saya naik TJ. Pasti perjalanan panjang. Kasihan! Tapi saya begitu bego! Hanya diam! Saya memberi alamat untuk turun di halte BKPM Tebet. Saya meminta ayah saya untuk bertanya petugas. Ternyata halte tujuan terlewat. Ayah saya menelepon kalau sudah sampai di Kuningan. Ternyata memang terlewat. Akhirnya, saya meminta ayah saya untuk ambil arah sebaliknya dan turun di Tebet BKPM lagi. Mungkin ini adalah pengalaman pertama keluarga saya menaiki TJ di Jakarta tanpa dampingan dari saya. Ah, sampai saat ini saya masih merasa bersalah! Sangat!

Saya menjemput di halte Tebet. Kusaksikan mereka turun dari TJ. Ayah saya tersenyum untuk pertama kali di Jakarta. Saya membantu membawakan barang bawaan mereka. Lalu melanjutkan perjalanan ke kosan. Sampai di kos, keluarga saya dan keluarga teman saya langsung duduk di teras. Ah, saya sangat sedih jika ingat. Mengapa saya memberikan tempat yang tak layak untuk mereka? Kosan saya kosan perempuan, oleh karenanya ayah saya tak bisa tinggal di kosan. Lagipula saya kos berdua dengan teman. Saya juga tak enak jika membiarkan orang tua saya tinggal di kosan yang sempit. Setelah melepas lelah, akhirnya saya menghubungi teman saya dan mengabarkan bahwa orang tuanya sudah sampai di kosan. Teman saya lantas menjawab ya akan menjemput. Ibu dan ayahnya sudah sangat kangen dengannya. Tapi apa yang terjadi? Anaknya tak kunjung datang! Padahal saya tahu, mereka sangat merindukan anak pertamanya itu. Ah, saya sangat marah!

Ibu teman saya sudah tak sabar meminta saya untuk mengantarkan mereka ke kontrakan anaknya. Akhirnya, saya pun mengantarkan mereka. Sampai di depan kontrakannya, anak itu malah mengatakan ke orang tuanya untuk apa ke Jakarta juga. Ah, saya tambah marah! Jujur, saya sangat kecewa dengan tindakan teman saya itu. Bahkan sampai sekarang kalau saya ingat kejadian itu, saya seperti tak bisa memaafkannya. Saya tak membenci orangnya, tapi saya membenci sikapnya itu. Saya pun akhirnya kembali ke kosan. Saya berpikir kalau ayah dan adik laki-laki saya bisa ikut tidur di tempat teman saya itu. Namun, ternyata adik saya tak betah di sana. Saya memutuskan untuk mencarikan kosan untuk keluarga saya di sekitar kosan. Ternyata masih ada orang baik di jakarta yang bersedia menyewakan kamar kos untuk kami. Saya pun membawa keluarga saya di kosan itu dan ternyata itu adalah kosan Jefri, kawan sekelas saya yang baik hati. Jefri pun bersedia meminjamkan kasur dan kipas angin untuk kami. Ibu kosnya pun menjamu kami dengan teh dan roti untuk sarapan. Ah, ada orang-orang baik di Jakarta.

Saya pun mengajak orang tua saya untuk jalan-jalan. Ternyata orang tua teman saya ingin ikut. Saya mengajak teman saya untuk ikut juga, tapi katanya dia tak bisa. Ah, saya benar-benar tak tahu jalan pikirannya. Sepanjang perjalanan, saya tak bisa menikmati perjalanan. Masih ada rasa marah terhadap teman saya yang tega terhadap orang tuanya. Mungkin, dia punya alasan lain, tapi kenapa dia egois? Orang tuanya sudah datang jauh-jauh dari kampung untuk menjenguk anaknya, tapi mengapa dikecewakan? Jujur, saya bahkan tak bisa memaafkan kesalahannya itu.

Perjalanan kami ke Monas pun sudah terlalu siang. Panas, tapi semoga bisa membuat orang tua saya bahagia. Saya tak bisa menutupi kekesalan saya sepanjang jalan. Ayah saya pun sangat tahu kepribadian saya. Ayah saya mencoba untuk tersenyum menyembunyikan kelelahannya sepanjang perjalanan. Bahkan, saat pulang kami memutuskan untuk pergi naik TJ di dekat gambir. Ternyata itu harus putar dulu. Kami transit di Matraman. Antrean sungguh ramai. Kami berdesak-desakan. Saya tak tega menyaksikan orang tua saya ikut berdesak-desakan. Mereka pasti sudah lelah. Tapi lagi-lagi ayah saya hanya bilang ‘tak apa-apa, ayah bahagia’. Itu hanya buat mendamaikan saya yang sedang menyembunyikan tangis. Berjam-jam menunggu TJ, tapi tak kunjung datang. Saya benar-benar tak tega membawa orang tua saya dalam keadaan seperti itu. Ditambah lagi adik saya ngambek, entah kenapa. Belum lagi orang tua teman saya yang lumayan ‘rewel’. Ah, saya sangat membenci hari itu! Saya pun memutar otak untuk naik kopaja saja biar cepat. Sopir kopaja terlalu kencang dalam mengendarai. Bisa dibilang seperti sedang mabok, sangat seram. Saya hanya berdoa semoga kami selamat sampai tujuan.

Kami turun di depan Mulya Bussines park (MBP) komplek kampus saya. Saya pun mengenalkan kepada ayah saya tentang kampus kebanggaan saya itu. Saya tahu, ayah saya sangat bangga terhadap anaknya. Saya bercerita di sepanjang perjalanan saya di MBP. Lalu kami menelusuri lorong Cikoko, berharap ada penjual bakso. Namun, saya harus mengantarkan orang tua teman saya itu ke kontrakannya dulu dan kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari warung bakso. Kami makan di warung bakso surga makanan. Ada menu bakso dan mie ayam. Ini pertama kalinya, kami makan bersama di Jakarta.

Lalu, kami pindah ke kosan dekat Jefri. Untungnya Jefri baik sekali. Kami pun bersama tidur di ruangan kos yang cukup untuk kami berempat. Kami bercerita tentang banyak hal yang kami lalui bersama. Saat malam telah larut, saya mendengah ayah mendengkur. Saya tahu ayah sangat lelah. Ah, maafkan saya tak bisa memberi pelayanan yang terbaik. Lalu, saya berpikir sebelum saya punya rumah sendiri, sebaiknya jangan pergi ke Jakarta dulu agar tak seperti ini. Sepertinya saya salah mengungkapkannya kepada orang tua saya. Ah, sebenarnya, saya tak ingin mereka terlunta-lunta seperti itu. Saya tak ingin mereka kelelahan seperti itu lagi. Tapi ayah saya tetap menampakkan wajah bahagia. Saya tahu, sebenarnya ayah saya sungguh lelah. Rencana mau tinggal beberapa hari, harus pupus alasannya ingin kembali bekerja di kampung. Saya tahu, ayah saya tak ingin membebani anaknya. Tak ingin membuat saya khawatir. Saya tahu, ayah saya mabok darat akibat ulah sopir kopaja yang ugal-ugalan. Saya tahu, ayah saya kepanasan saat berjejalan menunggu datangnya TJ. Saya tahu, ayah saya mencoba untuk tetap tersenyum. Saya tahu itu semua. Ah, maafkan saya.

Akhirnya, orang tua saya kembali keesokan harinya. Saya mengantar ke Pulogadung lagi. Saya berpikir, teman saya sudah berubah pikiran untuk mengantarkan orang tuanya pulang, tapi ternyata tebakan saya salah. Dia tetap membiarkan orang tuanya pulang sendiri. Ah, saya berpikir jangan sampai saya seperti itu. Jam 12 siang bus jurusan Blora pun berangkat, saya hanya bisa berdoa mereka sampai tujuan dengan selamat. Kejadian ini sangat membuat saya tak bisa memaafkan diri sendiri. Saya berjanji akan sukses nanti dan membahagiakan orang tua saya. Terakhir saya tahu, ayah saya sakit dua hari karena kelelahan. Tapi ayah saya tak pernah menceritakannya. Saya tahu dari ibu.

Desember 2014. Tak ada kabar yang lebih menyakitkan dari kabar kematian. Siang itu saya bekerja, tiba-tiba adik saya menelepon mengabarkan kalau ayah masuk rumah sakit. Saya tak bisa pulang hari itu juga dan saya memutuskan untuk pulang keesokan harinya. Ayah saya koma secara tiba-tiba. Katanya pendarahan otak tengah, saya sangat khawatir! Airmata tak bisa dihentikan, tapi saya mencoba untuk tegar. Jam 12 siang keesokan harinya saya berangkat dari Jakarta menuju Blora. Sepanjang perjalanan saya berharap ayah saya baik-baik saya, hanya tertidur dan akan bangun saat anak perempuannya kembali. Adik saya mengabarkan bahwa ayah baik-baik saja di rumah sakit. Tujuhbelas jam pun terlampaui. Saya sudah kuatkan diri untuk tak menunjukkan rasa sedih yang mendalam saat tiba nanti. Saya bohong pada diri sendiri. Saya membohongi semua orang kalau saya terlihat kuat, padahal sebenarnya hati saya hancur. Saya lemah dan saya rapuh!

Sesampai di Blora, saya dijemput adik ayah saya, tante. Sepanjang jalan, tante saya menunjukkan ekspresi seperti biasa. Tapi saya tahu ada yang ditutupi saat itu. Saya menguatkan hati. Saat di perempatan desa saya, mobil melaju menuju arah rumah, padahal yang saya tahu, ayah saya masih di rumah sakit. Saya pun menanyakan hal tersebut. Tante saya masih tak mau mengaku. Dengan hati-hati, tante saya pun mengatakan sejujurnya bahwa ayah saya sudah tiada. Saya terpukul, tapi saya mencoba untuk tak menangis. Tak mau menunjukkan kesedihan pun kepada semua orang. Sakit! Rasanya sesak di dada! Sesak sampai sekarang bahkan jika saya ingat, dada saya penuh dengan sesak! Saya tak ingin ibu saya bertambah sedih jika saya sedih.

Saat saya turun dari mobil, saya sudah menyaksikan rumah saya terbuka lebar. Di sana, ada dipan dengan sebuah lilin di atas meja. Ayah saya di sana! Terbujur kaku. Saya mendekatinya tanpa setetes air mata. Bukan berarti saya senang, saya sangat terpukul sampai-sampai saya tak bisa mengatakan apa-apa. Saya bingung berekspresi apa. Saya tersenyum pada ayah. Saya usap wajahnya. Wajah yang selama 22 tahun telah menjaga saya. Saya katakan pada ayah saya, “Ini adalah yang terbaik, terima kasih sudah menunggu kedatangan saya. Saya sangat sayang ayah!” Nenek saya mendekati saya dan meng’arem-arem’ saya takut-takut kalau saya menangis keras. Tapi saya tak pernah menangis di depan mereka.

Ibu saya sudah menangis sejadi-jadinya. Adik saya pertama sangat tegar, mengurus semuanya sendirian. Mulai dari perlengkapan pemakaman sampai seusai pemakaman, adik saya yang mengurusnya. Saya tak mau menambah kesedihan untuknya. Adik saya kecil masih SMA, pasti dia sangat terpukul. Dia bukan tipe anak yang menunjukkan kesedihan, tapi saya tahu dikala dia sendirian itulah dia menangis. Sosok lelaki yang menangis! Ya, saya tahu itu semua. Saya mengerti. Bahkan saya mencoba untuk tersenyum kepada tetangga yang ta’ziah. Saya kuat ikut memandikan ayah saya. Menyaksikan ayah saya untuk yang terakhir kalinya sebelum dimakamkan. Saya ikut ke kuburan mengantarkan ayah sampai ke rumah terakhirnya di dunia ini. Saya yakin, ayah saya berada di sisi Allah. Ah, ayah yang terbaik di dunia! Ayah nomor satu yang pernah saya punya! Ayah yang mengajarkan kepada anak-anaknya untuk selalu rukun dan tegar! Saya sangat sayang ayah!

Maaf saya tak bisa berfoto bersama keluarga saat saya wisuda. Tapi saya tahu, kau datang menyelinap di barisan untuk menyaksikan anakmu ini wisuda! 9 September 2015, saya wisuda! Itu kado untuk ulang tahunmu 13 September tahun lalu! Maaf, aku terlambat memberikan kado wisuda untukmu. Tapi aku yakin kau tahu itu! Kau turut bahagia di alam sana!

Hampir 2 tahun ayah tiada. Ibu juga sudah menikah lagi beberapa bulan yang lalu untuk mengisi kekosongan. Ya, saya tahu, ibu masih butuh pendamping hidup. Apalagi saya tinggal jauh dari Ibu. Saya sudah serahkan keputusan pada adik tertua saya. Apa pun keputusan adik saya, saya ikut karena saya tahu dia yang lebih tahu segalanya yang terjadi di kampung. Dia juga menggantikan posisi ayah sebagai tulang punggung keluarga. Ah, seorang anak yang belasan tahun lalu tampak tak pandai matematika, selalu mendapat peringkat terbawah, dan selalu menangis saat saya ajari mata pelajaran sekolah, siapa sangka dia jauh lebih pandai dati sebelumnya. Bahkan dia sangat cerdas dalam bertindak! Dia mampu membagi waktu antara bekerja dan kuliah. Pemikirannya jauh di luar apa yang saya bayangkan dulu. Saya tahu, dia tumbuh berkembang berdasarkan pengalaman hidup. Pengalaman yang selama ini mampi mendidik dia sampai secerdas itu. Dia punya pemikiran jauh lebih dewasa dari usianya. Ah, dia adalah lelaki terkuat kedua setelah ayah!

Bulan November 2016, dia akan menikah! Ya, adik laki-laki saya yang hebat itu memutuskan untuk menikah. Sebenarnya, saya ragu. Satu sisi, saya sedih dan kebencian saya terhadap calon istrinya masih belum bisa reda semenjak tragedi pemukulan siang itu. Saya pulang kampung dan adik saya sedang bertengkar dengan calon istrinya. Ayah saya sewaktu masih hidup pun mengetahui karena aduan dari si perempuan. Ayah marah dan memukul adik saya sampai terjatuh. Menginjak kepala adik saya hingga adik saya hampir tak sadar diri. Saya tahu, amukan ayah saya itu akibat ketakutannya kalau adik saya hanya main-main dengan calon istrinya itu. Ayah saya mendidik adik saya untuk tak seperti itu. Kalau serius ya serius, intinya jangan sampai memainkan anak orang. Sepertinya terjadi kesalahpahaman. Semenjak itu, saya rasanya tak ingin melihat perempuan itu di keluarga saya. Sampai tadi malam pun saya masih tak yakin untuk datang ke pernikahan itu atau tidak. Saya ragu!

Perbincangan semalam membuka hati saya untuk memberi restu pernikahan adik saya itu. Setelah mendengar segala cerita selama saya tak ada di kampung. Saya terbuka pandangan baru. Dan memang saya harus mengikhlaskan keputusan adik saya itu. Dia memutuskan untuk segera menikah agar meringankan beban ibu. Setidaknya, kalau dia menikah maka ibu tak perlu memikirkannya lagi. Lalu, jika dia menikah maka akan ada anggota baru yang akan membantu ibu. “Biar ibu tak terlalu terbebani,” katanya. Cara dia menemukan solusi dalam setiap permasalahan keluarga di kampung pun sungguh membuat saya meneteskan air mata. Sejak kapan dia belajar tentang rumitnya kehidupan ini? Bahkan dia tumbuh terlampau cepat. Saya kembali berpikir dan mencerna cara pandangnya itu. Saya membenarkannya. Saya akan berusaha untuk menyambung silaturahmi lagi dan ikhlas jika ada anggota baru memasuki keluarga kami. Walau cukup sulit, tapi saya pasti berjuang. Semoga lebih baik adanya. Aamiin. Semoga November tahun ini indah! Saya akan datang di pernikahanmu Dik! Sukses selalu!


Dan saat ini, saya masih berjuang untuk hal lain. Kadang kita selalu memandang kehidupan orang lain lebih baik dari kita. Kadang kita selalu menganggap orang lain lebih beruntung dari kita. Ah, belajar bersyukur itu memang tak mudah. Ikhlas pun banyak tantangannya. Masih belajar untuk ikhlas dan bersyukur. Akan ada cara berbeda untuk meraih sebuah kesuksesan.

8/7/16


Jumat, 01 Juli 2016

Good Point!

Artikel yang menginspirasi.

"Menurut saya yang benar adalah kamu itu selalu bekerja untuk dirimu sendiri." 

http://edwardsuhadi.com/2016/05/walaupun-bos-kamu-brengsek-dan-gaji-kamu-kecil/


Sangat setuju!

Senin, 20 Juni 2016

Sampai bertemu lagi Asih!

Jadi inget saat pertama kali ke Jakarta hampir enam tahun yang lalu. 


Anak kampus yang pertama kali menjemput dan menyambutku adalah Asih, kawan dari Bali yang sama-sama nyasar ke Jakarta, keluarga seperjuangan seleksi di Jogja hingga akhirnya bertemu kembali di Jakarta, sama-sama anak kampung yaaaa. :') 


Kau menyambut kedatanganku di masjid Mampang yang lokasinya berseberangan dengan makam. Kau mengizinkan aku untuk melepas lelah di kosanmu. Lalu, kita sama-sama nyari kos, menyusuri lorong-lorong Mampang dengan penuh perjuangan. Dari siang sampe sore, akhirnya nemu kosan 400ribu di lantai 2. Kos pertama yang kutempati di Mampang, di Jakarta. 


Kita suka belanja bulanan bareng di Giant seberang pasar Mampang. Kita suka berangkat bareng di kampus mungil SSE kebanggaan kita.

Belajar bareng, main bareng *kadang2 sih, sekelas terus dari semester 1 sampai KKN juga bareng.

Kini kau kembali ke kampung halaman untuk mengemban tugas baru! Meraih mimpi dan jalan masing-masing. Biar cerita kita tak berakhir. Hati-hati di jalan. Sukses selalu! 


Aku akan main ke Bali ntar.... Thanks Asih... 19/6/2016





Indahnya Perbedaan

Perbedaan itu membuat kami saling mengerti dan mengasihi.

Hari ini saya belajar banyak tentang sebuah perbedaan. Siang tadi, saya berkunjung ke kosan kawan seperjuangan saat kuliah. Namun, ternyata dia ada jadwal ke Pura sebelum berangkat ke Bali. Kawan saya beragama Hindu. Saya memutuskan untuk menghampirinya di Pura tempat dia sembahyang. Tepatnya di Pura Rawamangun.

Saya berangkat jam setengah duabelas dari Pancoran naik Trans Jakarta (TJ) ke arah UKI. Penumpang TJ yang saya naiki lumayan sepi. Hanya beberapa bangku yang terisi, mungkin kalau mau bisa pindah-pindah tempat duduk kali ya.... Mungkin karena hari Minggu juga, tak terlalu ramai. Dari halte UKI, saya transit arah Tanjung Priok. Nah, dari sinilah kerasnya Jakarta dimulai. Antrian cukup panjang dan bejubel di pintu arah Tanjung Priok. Benar kata kawan saya, jam siang entah hari libur atau hari kerja, TJ arah Tanjung Priok itu selalu penuh. Nggak bohong ternyata. J Haha.

Setelah lima belas menit menunggu, TJ pun datang dan orang-orang pun berebut masuk. Petugas TJ mengingatkan penumpang untuk berhati-hati dan mengingatkan kembali arah tujuan Tanjung Priok. Saya pun memasuki TJ dengan hati-hati sambil mencari pegangan. Ini nih yang kadang membuat saya tak suka naik kendaraan umum. Kalau berdiri, pegangannya cukup tinggi sehingga membuat tangan saya menggapainya dengan cukup usaha keras. Maklum, saya tak cukup tinggi untuk itu. Alhasil saya memegang tiang agar lebih efektif. TJ pun penuh. Saya mengamati sekitar. Tiba-tiba petugas mengingatkan penumpang laki-laki yang berada di area wanita untuk pindah ke area belakang. Bahkan ada peringatan kalau masih ada penumpang laki-laki yang masih di area wanita, bus tidak akan jalan. Ada peningkatan pelayanan ternyata, sudah lama tak naik TJ. J

Selang beberapa menit TJ dijalankan, tiba-tiba ada penumpang menanyakan apakah melewati ---- *saya lupa nama tempatnya, kepada petugas. Sontak petugas menjawab dan mempertegas kalau tadi dia sudah bilang ini arah Tanjung Priok, artinya si penumpang tadi salah naik. Menurut saya, jawaban spontan petugas tersebut cukup tak mengenakkan dengan menyebutkan kalau ini arah Tanjung Priok dengan nada yang bisa dibilang kesel. Lah, saya sering kayak si penumpang ini, tak tahu jalan, lokasi, dan kawan-kawannya, apakah TJ ini melewati tempat tujuan atau nggak, kurang paham. Mungkin si penumpang juga kelewat sih, nanya setelah sudah naik. Ya salah naik, harap maklum. Tapi, satu hal yang membuat saya salut dengan petugas ini adalah usai berkata itu, dia menjelaskan dan memberi arahan dengan baik kepada si penumpang untuk tempat tujuannya. Petugas ini juga memperhatikan penumpangnya. Sesekali dia mengamati dan menengok penumpang dari depan ke belakang, mungkin untuk memastikan kami – si penumpang dalam kondisi baik-baik saja. Lalu, saat ada ibu-ibu naik bersama anak-anak mereka, petugas ini langsung sigap mengumumkan ke penumpang yang duduk untuk memberikan tempat duduknya kepada ibu-ibu tadi. Lagi-lagi petugas ini memberi kenyamanan untuk para penumpang.

Sepanjang perjalanan TJ, satu hal yang terbesit di kepala saya adalah tentang “komunikasi”. Ya, dengan komunikasi yang baik akan terjadi interaksi yang baik pula. Contoh sederhananya, saat kita menginginkan sesuatu, namun kita hanya diam dan tak mengomunikasikan dengan yang lain, mungkin orang lain juga akan diam karena tak tahu apa yang sedang kita inginkan. Begitu pula sebaliknya. Komunikasi yang baik diperlukan untuk menbuat hidup lebih selaras dan damai.

Sebenarnya, ketika saya berada di angkutan umum, saya suka mengamati dan di saat inilah otak sepertinya produktif sekali. Harus segera ditulis, kalau tidak pasti hilang. Tapi hari ini, memori saya menyimpannya dengan baik sehingga saya bisa kembali menulis. Haha. Oke, balik lagi ke TJ. Banyak hal yang dipikirkan, jadi muter-muter nulisnya. Akhirnya, saya sampai di halte Kayu Utan. Saya langsung menghubungi kawan saya. Ternyata dia masih lumayan lama dan baru mau sembahyang di Pura. Ini pertama kali saya berkunjung ke Pura Rawamangun. Lokasinya pun saya kurang tahu. Kawan saya ini memberi arahan dan dia akan menjemput di deket pom bensin. Selang beberapa menit, dia melambaikan tangan dan kami bertemu kembali setelah awal Juni lalu kami bertemu di bakmi GM. Kami berjalan menyusuri tepi jalan yang cukup ramai. Ternyata lokasinya tak jauh dari jalan raya. Dan sampailah kami di Pura Rawamangun.

Ya, pertama kali saya mengunjungi Pura Rawamangun. Di sana ramai pemeluk Hindu sedang beribadah. Ada juga kantin dan pedagang menjajakan makanannya, dari mulai jajanan kue cubit, gorengan, aneka minuman, sampai makanan berat, dan ada juga souvenir. Well, hari ini puasa. Kawan saya sudah berkali-kali minta maaf kepada saya karena mengajak saya yang sedang berpuasa ke area banyak makanan dan orang makan. Saya bilang tak apa-apa. Ya, memang tak apa-apa, saya tak akan terpengaruh kok. J Akhirnya, saya bertemu dengan tiga teman baru. Teman kawan saya, sama-sama anak perantauan dari Bali. Lalu kami mengambil beberapa foto bersama dan mereka bersiap-siap untuk sembahyang. Saya pun izin untuk sembahyang, tapi beda lokasi. Hehe. Di sebelah Pura Rawamangun, dibangun masjid kokoh kalau tidak salah namanya masjid kampus At Taqwa, kalau tak salah ingat. Di saat mereka sembahyang di Pura, saya pun bergegas pergi ke masjid untuk sembahyang.

Satu hal yang saya pelajari lagi. Hidup berdampingan dengan segala perbedaan tapi mendamaikan. Masjid dan Pura berdampingan, masjid dan gereja berdampingan, dan hidup damai. Walau kami berbeda agama, kami tetap hidup berdampingan dengan damai. Ah, damai itu indah ya! Seusai kami sembahyang sesuai kepercayaan masing-masing, kami melanjutkan perjalanan ke kos kawan saya, hanya tinggal saya, kawan saya, dan satu temannya. Sepanjang jalan, kami berbagi cerita ringan. Cerita tentang Bali, sapi, Pura, beras di dahi seusai sembahyang, masjid dan adzan di Bali, makanan, rumah, berbagai hal tentang Bali. Tak terasa waktu yang hanya kurang dari setengah jam itu memiliki banyak cerita. J

Sesampainya di kosan kawan saya, lanjut beres-beres. Cek semua barang bawaan dan terpenting kosongi kamar kos dari sampah-sampah. Ternyata cukup ribet ya kalau pindahan gini. Banyak barang bawaan. Padahal sudah ada yang dikirim lewat paket, tapi tetep banyak sisanya. Hahaha. Ya iyalah, kawan saya ini kan sudah nggak kos lagi di Jakarta, mau balik lagi ke Bali. Kapan-kapan saya main ke Bali ya.... >.< Yah, apalagi saya kalau pindahan? Hampir enam tahun barang kepemilikan makin menumpuk. Well, kami melanjutkan perjalanan menuju bandara Soeta.

Yuhu, jalan tol lancar jaya. Saking lancarnya dan jalanan lurus, sopir Grab car-nya sampai bilang mengantuk. Bapak sopirnya mengaku belum tidur dari kemarin. Lah, sama Pak, saya juga semalem nggak tidur. >.< #Ngeronda, boong ding. Haha. Sepanjang perjalanan saya dan kawan saya ini pun mulai mengenang kembali masa kuliah dan masa merantau di Jakarta. Indah ya masa-masa dulu, tapi lebih indah saat ini karena kita telah melewati masa-masa indah itu. Tak terasa perjalanan hanya setengah jam. J Kami tiba di bandara Soekarno-Hatta.

Ini pertama kali saya ke bandara Soeta terminal 3 domestik. Haha, maklum nggak pernah mudik atau pergi-pergi naik pesawat. Kadang pengen sih sesekali ke Soeta hanya untuk mengamati penerbangan domestik. Ya, siapa tahu kapan-kapan ke luar pulau naik pesawat. Duh, kampungan banget ya? Ya maklum, memang anak kampung. Naik pesawat adalah hal yang mewah. Saya pun mengikuti kawan saya pergi. Pokoknya ikut dulu. Haha. J Nggak papa kan ya anak kampung belajar naik pesawat. >.< Buat sekadar tahu dulu saja, kapan-kapan ilmunya kepakai. J

Akhirnya, kami menunggu di ruang tunggu. Berhubung kami datang lebih awal, kami pun mengisi waktu dengan bercakap-cakap ringan, mengamati sekitar, atau cek baterai Hp, sesekali tetep narsis, berfoto. Saya belajar tentang saling menghargai. Di saat waktu sholat, kawan-kawan saya ini memberi izin dan membantu mencarikan mushola. Dan perlu diketahui, saya hampir nyasar nyari musholanya. Saya sudah mengikuti petunjuk arah, tapi tiba-tiba saya kehilangan petunjuk arah yang lain. Saya tak menemukan mushola! Well, spasial saya buruk sekali. Untung ada petugas, saya pun bertanya letak mushola. Dengan kocaknya, si petugas menyuruh saya berbalik badan untuk tahu arah mushola. Awalnya, saya benar-benar heran maksud petugas ini. Saya mencari petunjuk arah, tapi saya hanya menemukan orang-orang sedang duduk di kursi tepi tembok, lalu lift kecil, tanpa ada tanda-tanda mushola. Dengan sotoy, saya mendekati saya, sok-sok sudah tahu letak mushola. Setelah lebih dekat, ternyata tulisan Mushola berada di pojok dan membuat saya heran. Lah, pintu masuk musholanya lewat mana? Itu pertanyaan baru yang muncul di pikiran saya. Semakin saya mendekati, semakin saya heran, ya jelas saya bingung, tak ada tanda-tanda pintu. Kalau dari jauh, posisi pintu seperti sudut ruangan mentok tembok. Serius! Apa minus saya nambah? Duh, benar-benar membuat saya terlihat sangat tak berpengalaman. >.< Tak apalah, namanya juga pertama kali. Buat pengalaman, lain kali saya lebih mengerti lagi.

Seusai sholat, saya kembali ke tempat tunggu. Saya tahu, pasti kawan-kawan saya ini sudah lapar belum makan. Tapi berhubung saya puasa, mereka menghargainya. Padahal kalaupun mereka makan tak apa-apa. >.< Akhirnya, mereka ikut menunggu sampai buka puasa. Lima menit sebelum buka, kami pun memesan tempat di lagi-lagi bakmi GM. Haha. Kayaknya bersejarah banget ya Bakmi GM itu. >.< Saya rasa ini indah. Hidup damai berdampingan dalam perbedaan.

Setelah makan, kawan saya bersiap untuk check in bagasi. Saya izin lagi buat sholat. Tak nyasar lagi, yup, berasa cerdas kali ini. Hahaha. Nah, ini ada kejadian lagi kocak plus-plus sih. Setelah sholat, saya ingin cuci tangan di tempat wudhu. Nah, karena tak hati-hati ternyata karpet yang saya injak licin. Terpelesetlah saya, jatuh hampir rebahan. Untung hanya basah sedikit. Lumayan tas saya basah luarnya. Untung saja ada dua orang di ruang wudhu membantu saya bangun. Saya kaget sih, lumayan gemeteran, tapi kocak juga. Ya, bersyukur nggak parah jatuhnya. Indah ya, kalau setiap orang punya rasa peduli, rasa kasih sayang, rasa menghormati, rasa kebersamaan, rasa saling menjaga walau hal-hal yang kecil. Itulah pembelajaran kejadian ini, berhati-hati dan saling menjaga kenyamanan tempat umum.

Lanjut lagi ya, ternyata sudah empat halaman saja. Tak terasa nulisnya. Kembalilah saya ke tempat tunggu. Kawan saya tinggal menunggu check in. Saya mengantarnya sampai di antrian loket. Barang bawaan aman. Kami berpelukan, peluk bahagia karena kami yakin kami akan berjumpa kembali membuat cerita indah lebih dari hari-hari sebelumnya. Saya melihatnya dari kejauhan hingga tak terlihat lagi. Saya kembali menemui kawan satu lagi di ruang tunggu. Kami tak bergegas pulang. Kami masih duduk di tempat yang sama. Kami pun membuka perbincangan ringan tentang kehidupan di Jakarta, sama-sama anak rantau. Mulai dari pekerjaan, makanan, pergaulan, konser Bentara Budaya, sampai perbincangan yang seru tentang dunia malam dan dunia nikah kontrak di Jakarta. Well, sepertinya saya harus banyak baca lagi biar update informasi. Dia baru tiga tahun di Jakarta sudah luas pengetahuannya tentang Jakarta, sedang saya sudah hampir enam tahun kurang update. Hahaha. Ini salah satu manfaat juga tentang komunikasi yang baik. Tak ketinggalan informasi. J

Kami pun pulang ke kos masing-masing naik Damri. Ini pertama kalinya saya naik Damri. Serius. Hahaha. Yang penting pernahlah ya sekarang. Saya ambil Damri arah Pasar Minggu turun di Pancoran. Nah kocak lagi jalan hidup saya, saya salah turun. Saya turun di flyover Pancoran, padahal kalau mau lebih dekat turun di Perdatam, tapi ya sudah. Pasti ada hikmahnya dan memang benar. Lama sekali saya tak jalan kaki jarak jauh semenjak ada si PY. Saya menyeberang jalan lewat zebracross. Nah, kalau dari arah manggarai ke arah Pasar Minggu di bawah tugu Pancoran kan nggak ada zebracross. Ya sudah saya nyebrang setelah lampu arah Pasar Minggu hijau. Ini nih jalanan. Saya berada di tengah-tengah pengendara motor yang melintas. Saya mencoba jalur yang lebih tepi, ya begitu susah nyeberangnya. Pengendara motor seram uey. Jadi mikir, apa saya juga gitu saat mengendarai motor? Wah, refleksi diri! Lanjut, lampu merah dekat halte TJ. Lampu lalu lintas arah Mampang pun merah tandanya kendaraan berhenti. Berarti arah Pasar Minggu bisa jalan. Saya menyeberangi zebracross. Baru kali ini merasa nyaman saat menyeberang karena semua kendaraan berada di belakang garis marka jalan. Hanya ada satu mobil sih tadi yang mungkin kelewat dikit atau tak sempat mengerem, tapi sudah diurus sama polisi. Pasti menyenangkan kalau setiap orang peduli dengan peraturan lalu lintas.

Perjalanan kaki saya belum selesai sampai di sana, saya melewati jalur favorit saya MBP. Ya, karena itu jalur terpendek yang bisa saya lalui. Selain itu, ada banyak kenangan di sana, kampus saya berdiri. Menelusuri jalanan itu membuat saya kembali ke masa kuliah. Setiap sudut bangunan ada kenangan dan pembelajaran. Jadi ingat Gazebo tempat kami sering diskusi di sana. Diskusi apa saja, makan siang bareng, bikin project bareng, atau hanya sekadar melepas lelah di sana. Tempat-tempat di kampus adalah favorit saya semasa kuliah, tapi kadang kalau bosen pindahlah tempat favorit saya adalah kosan. Hahaha. Sekarang kawan-kawan seperjuangan telah mencari jalannya masing-masing. Begitu pula dengan saya, saya meniti jalan yang saya yakini jalan benar. J

Keluar pintu belakang MBP, kita akan menemukan jalan rumah-rumah penduduk. Saya sengaja lewat gang kecil, sepanjang jalan itu saya seperti kembali ke masa tiga tahun masa kuliah setelah pindah dari Mampang. Mengapa begitu? Jelas alasannya, saat saya melihat sekeliling, pasti ada saja cerita tentang entah kontrakan atau kos-kosan teman, kuburan depan kosan, tempat nongkrong, ibu-ibu langganan martabak buat dijual di kampus, sampai jalanan tempat kami berpisah seusai pulang bareng. Bahkan kalau kalian jalan sekitar Pancoran Cikoko, pasti kalian akan sekali dua kali bertemu dengan anak-anak kampus saya. Anak-anak SSE pun masih banyak berkeliaran termasuk saya di daerah ini. Dunia terasa sempit. Seperti tadi, saya bertemu adik angkatan yang kebetulan lewat. Hahaha. Sepertinya, saya susah move on ya? Bisa move on kok, saya hanya mengingat kembali saya masa lalu agar masa saat ini dan masa depan jadi orang yang mampu bersyukur. Ya, saya sangat bersyukur karena ada cerita masa lalu sehingga saya menjadi pribadi saat ini. Semua akan indah tepat pada waktunya. J

Lima halaman pun tak terasa. >.<

#19/6/2016

#JustWrite


Rabu, 01 Juni 2016

Lakukan Apa yang Kau Suka


Hari ini entah mengapa saya tergelitik untuk menulis. Pikiran saya dipenuhi oleh uneg-uneg edisi lebaran seorang teman. Ya, tentang perbincangan yang paling ditunggu-tunggu kedatangannya: THR. Tak kaget jika THR menjadi sasaran empuk meme-meme editan atau sekadar lelucon yang disebar di media sosial. Sepertinya, THR seperti harta karun ya?

Sebagai seorang pekerja tak tetap seperti saya, THR bukanlah hal yang menjanjikan. Entah, status saya apa dalam pekerjaan saya. Dibilang guru, saya bukanlah guru sekolahan. Saya hanya guru tanpa status di tempat les-lesan atau bisa dibilang bimbel. Jadi THR pun menjadi hal nomor sekian yang tidak terlalu dispesialkan. Dikasih ya diterima, tak dikasih ya belum rezeki. Saya yakin Allah telah mencukupkan rezeki untuk ciptaannya. Belajar bersyukur!

Tetiba saya ingat sosok seorang ayah yang telah menemani saya selama hampir 23 tahun. Selama itu pula, ayah saya bekerja sebagai reparasi sepeda di kampung. Penghasilannya jauh tidak tetap daripada pekerjaan saya saat ini. Kalau ramai, sehari bisa dapat ratusan ribu, kalau sepi ya dapat dua puluh ribu sudah senang. Ayah saya selalu menghargai yang ia dapat. Buktinya, ayah saya bisa menghidupi seorang istri dan tiga orang anak. Dari rumah yang hanya sepetak dengan tempat tidur daun pintu yang dilepas hingga membangun rumah tembok yang nyaman dihuni, ayah saya tetap jalani pekerjaan tersebut. Ayah saya juga tak pernah mendapatkan THR setengah gaji ataupun satu gaji penuh per lebaran. Ayah saya tak pernah mengeluh dan mempermasalahkan THR yang tak pernah ia terima. Semua disyukuri dengan kegigihan bekerja keras. Allah pasti menolong hamba-Nya yang mau berusaha. Ya, ayah saya adalah ayah nomor satu di dunia ini. Mengajarkan kepada saya untuk selalu berusaha keras dan bersyukur.

Ah, sepertinya saya tak pandai bersyukur. Dulu, setelah lulus SMA dengan usia saya yang belum genap 17 tahun, mencari pekerjaan adalah hal yang sangat susah. Penuh perjuangan! Sampai saya relakan ijazah SMP saya dengan nilai UN matematika 100 kebanggaan saya itu rusak. Ya, rusak karena ambisi seorang ayah agar anaknya bisa bekerja untuk tidak menjadi benalu keluarga. Itu dulu saat kondisi keluarga saya dalam masa sangat sulit. Tahun lahir saya 1992 pun diubah dengan spidol menjadi 1990. Saya dituakan demi bisa masuk pabrik rokok daerah tempat tinggal saya. Alhasil, akal jahat itu tak pernah berhasil karena ijazah asli harus ditunjukkan saat pendaftaran. Gagallah jalan saya untuk bekerja. Sakit hati? Ya pastilah! Saat itu saya sangat membenci ayah saya, tapi keadaan memaksa semua itu terjadi. Sebuah pertaruhan! Tapi saya sadar, ayah saya sedang berjuang untuk masa depan saya. Saya sadar, saya harus membantu ayah saya bangkit! Dan saya tak pandai berbuat sesuatu....

Saya pernah diantar ibu melamar di toko emas tengah pasar, tapi ditolak.  Kata si empunya, saya akan dihubungi, tapi sampai sekarang tak pernah ada nomor toko emas yang masuk di HP saya. Artinya, saya ditolak. Menjadi pengangguran adalah hal yang membosankan! Ada rasa sesak di dada saat menyaksikan kedua orang tua bekerja membanting tulang, sedang kita hanya duduk diam, pengacara-pengangguran banyak acara. Saya menjadi anak yang tak tahu malu! Benalu keluarga!

Untungnya, ada tetangga baik hati yang mengajak saya bekerja di sebuah toko roti. Kurnia Bakery di dekat Pasar Blora sekitar alun-alun kota. Toko roti ini cukup terkenal dan turun-temurun dari Om Penco lalu dilanjutkan oleh anaknya, Pak Ridwan. Keluarga ini Chinese. Kadang mereka sangat baik kadang mereka sangat mengekang. Inilah kehidupan dunia kerja untuk pertama kalinya. Welcome to The Busy Life! Pekerjaan serabutan!

Mengapa saya katakan serabutan kerja di toko roti? Ya, saya menginap di mes. Saya merasakan pertama kalinya jauh dari keluarga dan tinggal di tempat orang. Kalau tak rajin, kau akan dicap “pemalas”! Jadi, pagi-pagi saya harus bangun pagi, nyapu halaman, ngosek selokan, dan nyuci piring. Jangan salah, selokan bekas limbah pabrik ini sungguh berlumut. Kalau tak dikosek sehari saja, selokan bisa meluber ke halaman dan bau busuk. Pernah suatu ketika, saya kosek selokan yang mampet. Ternyata banyak sampah limbah di sana. Tak jarang tangan saya langsung nyebur ke selokan untuk memastikan sampah tak ada lagi dan aliran tak tersumbat. Saya juga terbiasa nyapu halaman dengan dedaunan kering kebun dan pohon jambu. Seusai nyapu dan ngosek selokan, saya beralih ke ruang makan. Tumpukan piring menghampiri, lantas saya membersihkan tangan dan nyuci piring. Saya tak pernah meminta orang lain untuk memuji. Saya hanya melakukan tugas dan kewajiban saya ikut orang. Ya, namanya ikut orang, ya harus tahu diri. Saya yakin keikhlasan akan selalu membawa berkah.

Orang pertama yang bangun pagi adalah Tante, istri Om Penco. Bagi saya, tante adalah orang baik yang pernah saya temui di tempat kerja ini. Dia bos paling baik. Tante tak banyak bicara, tapi dia seorang pemerhati. Tak sesekali kalau ada makanan yang tak dimakan, Tante memberikannya untuk saya sarapan seusai nyuci piring di dapur. Jika saya salah melakukan pekerjaan, Tante menegur saya dengan cara yang baik dan memberi tahu cara yang benar. Tante tak serta-merta marah. Jika ada perdebatan saya dengan Om Penco, Tante selalu menjadi penengah, menyelidiki masalah dengan kepala dingin. Tante juga menasihati saya untuk selalu hati-hati. Ah, saya rindu kebaikan Tante.

Lantas, jangan salah! Kerja di toko roti ini tak seperti toko roti Dapur Coklat atau Holland Bakery seperti di Jakarta dengan karyawan yang cantik-cantik dan bersih. Di toko tempat saya kerja, tak hanya menjual roti atau makanan, tetapi juga menjual bahan makanan kiloan. Bisa dibayangkan bukan? Bayangkan saja, bekerja di toko margarin kiloan, tepung kiloan, dan berbagai jajanan kiloan juga. Celemotan walaupun tak sesekali Bu Nita, istri Pak Ridwan selalu mengawasi penampilan para pelayan. Harus pakai lipstick, kalau nggak potong gaji lima ribu. >.<

Saya bekerja serabutan mengikuti keinginan pelanggan. Kadang ada pelanggan yang baik sekali. Mereka membeli dengan sopan dan memanusiakan para pelayan toko. Saya pernah mendapatkan pelanggan yang sangat baik. Namanya Pak Ngawen. Bapak ini selalu tersenyum. Usianya kira-kira 50 an, tapi masih jalan kemana-mana. Jika menelepon, Pak Ngawen selalu mencari saya dengan pesanannya roti cream rasa bluebery dan coklat. Pak Ngawen juga sangat sabar, kadang mengajari kami bahasa China, mengeja mata uang, dan hitungan dalam bahasa, yang saya baru tahu setelah saya di Jakarta kalau itu adalah bahasa Mandarin. Ah, semoga Allah selalu memberi kesehatan kepada Pak Ngawen. Aamiin. Tak hanya itu, tak sekali saya juga mendapat pembeli yang sangat buru-buru. Saya pernah kena semprot, dimarahi pelanggan gara-gara dinilai lelet. Padahal kalau kau tahu, saya sudah berjuang mati-matian untuk memberi pelayanan yang terbaik. Tapi mungkin memang sedang bad mood, jadi hawanya kena omelan terus. Ah, semua itu menjadi pengalaman tersendiri bagi saya.

Jika ingat gaji pertama yang saya dapatkan bekerja di toko roti ini adalah enam puluh ribu selama 7 hari dengan jam kerja 9-10 jam tiap  hari. Bisa dibayangkan bukan? Hari minggu adalah hari paling bahagia. Ya, karena terima gaji. Bagi saya di tahun 2009, gaji Rp60.000 seminggu sudah sangat besar. Tak jarang, gaji itu terpotong uang sabun cuci sepuluh ribu dan jajan keripik singkong lima ribu, sepuluh ribu untuk anggaran jaga-jaga beli tahu isi Rp900 per biji setiap harinya. Sisanya, ditabung untuk anggaran pulang. Bagi saya, gaji Rp240.000 tiap bulan sudah pencapaian luar biasa untuk kehidupan di desa. Intinya, daripada saya nganggur lebih baik saya bekerja, apa pun itu yang penting halal.

Perjalanan panjang untuk saya selama 6 tahun di Jakarta. Tak terasa ternyata sudah lama. Kecintaan saya dalam mengejar impian-impian saya pun mengantarkan saya di Jakarta. Saya lulus kuliah setelah 4 tahun menjalani pembelajaran formal dan satu tahun saya cuti hingga akhirnya saya menyelesaikan skripsi saya setelah ayah saya telah tiada. Rasa penyesalan itu pun ada! Saya sangat menyesal, tapi itu sudah jalan Allah agar saya tetap ikhlas dan berjuang keras pantang menyerah. Saya pun berjuang hingga sekarang, merantau di ibukota yang kata orang kejam, sampah bayar, toilet pun bayar, bahkan parkir ditungguin saja kau harus bayar dua ribu. Ternyata jalan hidup saya memang harus sampai di tanah perantauan.


Saya bekerja di sebuah bimbingan belajar. Saya memang memutuskan untuk tak mendaftar di kantoran atau sekolah formal, ada target lain yang ingin saya capai. Walau saya bukan pekerja kantoran, tapi saya belajar banyak. Saya hanya bertahan 2 tahun bekerja ikut orang. Banyak hal yang saya pelajari tentang negosiasi dan keprofesionalan. Saya belajar bagaimana cara mengapresiasi kinerja orang lain. Saya belajar cara membahagiakan karyawan. Saya belajar untuk membedakan antara bisnis dan sosial. Ya, saya belajar itu semua. Hingga akhirnya, saya memutuskan untuk resign dan mencari kehidupan lain. Walau saya tahu, keputusan yang saya ambil berisiko. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya sukai, tanpa paksaan. Saya tak bisa terus-terusan membohongi diri sendiri untuk berpura-pura tegar, padahal rapuh dan koyak. Saya ingin menemukan jalan hidup saya sendiri. Dunia kerja semakin kejam, Guys! Kita harus tingkatkan kemampuan kita. Kalau tidak, kita akan kalah bersaing! Target selanjutnya adalah untuk ibu dan adik! Bekerja untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain!

Jakarta
Jun 1, 2016

Kamis, 21 April 2016

My Great Student!

Namanya Namira! Dia kelas X di salah satu sekolah Inter di Jakarta. Pertama kali bertemu di kelas yang berisikan lebih dari 2 murid. Kami belajar function. Di kelas itu ada Dan, seorang anak yang lebih tahu materi ini dari yang lain, lalu ada Raf, seorang anak yang rajin masuk kelas, entah dapat materi atau nggak saat les, yang penting masuk, kemudian Sabrina, seorang anak yang pendiam di awal masuk les dan saat sendiri, tapi ternyata suka ngobrol saat bertemu kawannya, saya pun sampai kualahan, dan  yang paling baru adalah Namira. Sebenarnya, Namira sudah daftar les jauh-jauh hari, tapi entah mengapa baru sekali masuk di kelas saya. 

Kesan pertama saya bertemu Namira adalah ini anak susah fokus untuk belajar. Setiap kali saya menjelaskan materi ke murid lain, dia pun asyik dalam dunianya. Dunia yang mungkin saya tak mampu jangkau. Hal yang masih saya ingat adalah dia adalah satu-satunya anak yang memaksa saya untuk menerangkan dari awal, padahal murid yang lain sudah hampir pertengahan semua subbab. Saya tak mungkin pilih salah satu, tapi dia tetap keukeuh dengan paksaannya yang lumayan 'sesuatu'. Dengan segala hal persiapan, saya pun mengulang materi dari awal dan lagi-lagi, dia gagal fokus. Mudah ter-distract! 



Bersambung....