Kamis, 11 Juni 2015

Sidang Skripsi Tahun Ini

#29 April 2015
Well, alhasil hari ini saya sidang jugaaa... >.< Walaupun pengumuman lulusnya ditunda hingga revisi. Yaa... yang pasti saya sudah lega... >.< Akhirnya nambah dosen pembimbing lagi. >.< Sebenarnya dari dulu pengen seperti itu, tapi tak tahu harus memulai dari mana. >.< Semoga jalannya... >.<

Hari ini, sangat berkesan. Mungkin awal dan ada pencerahan untuk kelulusan tahun ini. Mau mulai cerita dari mana ya? Hmm, baiklah akan aku mulai dari semalam. Begini ya rasanya mau sidang skripsi?? Malam pun tidur tak nyenyak. Kepikiran dan sampai kebawa mimpi.

Malam hari bangun, langsung pegang laptop. Revisi PPT lagi. Lantas, cek ulang lampiran. Pengen rasanya nambah hari, tapi nggak mungkin. Ya harus dilakukan dan dihadapi!
Berjuang sehormat-hormatnya.” – Nyi Ontosoroh, Bumi Manusia.
Alhasil kucoba untuk tenang dan menyelesaikan satu per satu. Done! Berangkat ke kampus dengan semangat juang!!!

Hari ini sidang di ruangan D2.08L. Ruangan sidang masih sepi karena aku berangkat lebih awal 45 menit. Lampu masih gelap, ruang sebelah ternyata ada sidang juga anak 2011. Entah kenapa, tak ada rasa takut. Hanya sedikit deg-degan saja, entah itu deg-degan biasa atau rasa takut. Kusiapkan lagi segala materi yang ada. PPT, daftar lampiran yang harus aku susulkan. Aku juga merasa sangat-sangat kurang skripsi yang aku kumpulkan tanggal 30 Maret itu. Lampiran tak ada, typo masih banyak, dan aku masih berjuang untuk memperbaikinya di semalam sebelum sidang. Aku tak tahu harus cerita ke siapa tentang masalah ini.

Dosen penguji yang pertama kutemui adalah Pak Hatim. Ya, dari luar aku mendengar suara anak-anak 2011 yang sedang menunggui hasil sidang ruang sebelah. Di lorong depan ruangan terdengar, “Pak Hatim kok pakai baju rapi?” Dari percakapan itulah, aku yakin beliau adalah dosen pengujiku.

Jadwal yang seharusnya tepat waktu, beberapa menit tertunda. Padahal jadwal seharusnya jam setengah 3 atau 14.30, tapi sampai pukul 14.43, ruangan masih sepi. Barulah pukul 14.45 beberapa dosen baru tiba di ruangan. Ya, aku masih mengira itu adalah hal yang wajar. Berhubung, dua dosen yang hadir dalam sidangku baru saja selesai di sidang sebelumnya. Aku menyiapkan presentasi, tapi laptopku bermasalah tak bisa dihubungkan dengan proyektor. Alhamdulillah ada staf ASO yang membantu sehingga saya bisa menyiapkan presentasi.

Beberapa menit selanjutnya, aku diminta untuk meninggalkan ruangan. Mungkin para dosen siap-siap untuk keberlangsungan sidang. Well, saya dipanggil Ms Puti untuk masuk ke ruang sidang. Sudah ada Pak Hatim, Bu Mima, Pak Wit, dan Ms Puti. Kali Ms Puti jadi notulen, sedangkan Bu Mima jadi penguji pertama dan Pak hatim jadi penguji kedua. Aku dipersilakan memulai presentasi.

Gugup campur aduk jadi satu. Aku mencoba untuk menghela napas panjang untuk meyakinkan diri aku sidang hari ini. Suasana presentasi hening. Hanya suaraku yang terbata-bata. Kuharap hari ini segera selesai. Aku menyelesaikan presentasi dengan tambahan satu menit untuk kesimpulan dan saran. Ahh, benar-benar menegangkan. Tapi akhirnya kututup presentasi dengan terima kasih.
***
Tibalah sesi tanya jawab. Pak Wit mempersilakan Bu Mima sebagai penguji pertama. Aku sudah deg-degan, tapi mencoba untuk tenang. Kusiapkan segala jurus pamungkas.

“Dian, kamu sedang sakit atau bagaimana kondisi kamu saat ini?” tanya Bu Mima.
“Hmm, sehat Bu. Hanya sedikit sakit batuk,” jawabku yang memang saat itu aku sedang batuk tak sembuh-sembuh.
“Kamu siap jika nanti kamu harus banyak revisi total skripsi kamu?” tanya Bu Mima lagi memastikan.
“Siap Bu. Harus siap dengan segala hasilnya,” jawabku yakin.
Beberapa kali Bu Mima membolakbalikkan halaman skripsiku. Beberapa pertanyaan dilontarkan kepadaku. Aku mengeluarkan beberapa berkas yang memang merupakan lampiran skripsiku. Ya, aku tak sempat melampirkannya di skripsi yang aku ajukan dalam sidang. Sempat Ms Puti mengingatkan kepadaku dan malah mungkin bertanya alasan mengapa aku tak melengkapi dan melampirkan dokumen-dokumen pendukung itu. Aku hanya bisa menjawab, kemarin tak sempat. Ah, mungkin itu jawaban konyolku. Ya sangat konyol!

Lalu, aku hanya bisa menyusulkan dokumen itu satu per satu. Betapa konyolnya aku, setiap pertanyaan Bu Mima aku jawab dengan dokumen lampiran yang baru aku susulkan di hari sidang!
“Kamu nyicil skripsi ya?” celetuk Pak Hatim.
Aku hanya senyum untuk mengurangi rasa grogi. Padahal dalam hati, aku benar-benar grogi dan takut. Lantas, berulang-ulang hal yang sama kulakukan: menyusulkan lampiran skripsi! Aku yakin, seluruh yang datang pasti kesel dan lelah melihat ulahku yang ‘konyol’ itu. Pasti Bu Mima sangat jengkel melihat ulahku yang demikian. Bahkan Bu Mima pun sampai update status di media sosial kurang lebih “Ini bukan uji skripsi, tapi uji kesabaran.” Maafkan aku Bu.

Mungkin, ini adalah hal yang tak lazim. Bu Mima pun sampai berkata, “Skripsi kamu ini kayak novel tapi tiap bab tokohnya berbeda. Tak ada benang merahnya, kurang sistematis.”
Aku hanya mengiyakan sembari refleksi diri. Aku mungkin merasa drop, tapi ya harus dilalui! Tak boleh menyerah. Terima kasih Bu Mima, masukan dan kritik dari Bu Mima sangat membuka pikiranku untuk menyelesaikan semuanya dengan lebih baik lagi. Setidaknya aku tak stuck di hal yang sama: bingung melangkah dan mana yang harus kuperbaiki. Sepertinya kutelah jenuh memikirkan skripsi ini.

Selanjutnya tibalah penguji kedua: Pak Hatim.
Tak ada kata yang dapat kukatakan lagi. Hatiku berkecamuk campur aduk. Mungkin Pak Hatim hanya sekadar curhat tentang diriku sekarang dengan diriku yang dulu. Mungkin sosok yang Pak Hatim temukan jauh berbeda dengan yang dulu. Untuk urusan tulisan, pasti Pak Hatim sangat kecewa membaca skripsi aku yang hancur-hancuran.

Dilema itu terjadi saat Pak Hatim mulai bercerita tentang kebiasaan kami berdiskusi, menulis, dan bercerita. Kosan Woro dengan acara surprise dan rujakan bersama teman-teman section B pun jadi menu utama. Aku bisa melihat, bagaimana emosinya Pak Hatim dalam sidangku. Mungkin semua yang hadir dalam sidangku tak tahu menahu soal yang kami bicarakan, tapi yang pasti itu membuat aku kalah telak, skak mat!!!

Bagaimana keluarga disangkutpautkan. Bagaimana aku tak menangis? Ini menyoal ibu, bapak, kedua adikku yang juga disebutkan. Bagaimana aku yang jarang bimbingan dan tiba-tiba update status pergi ke Jepang! Ahh, ini sangat menyesakkan batin. Satu pertanyaan Pak Hatim yang aku pun susah menjawabnya, “Bagaimana caramu menjelaskan ke Bapakmu, Ibumu kamu tak lulus tahun kemarin?”

Jujur, aku ingin banyak cerita panjang, tapi aku bingung harus memulai dari mana. Aku hanya bisa nangis sesenggukan membenarkan kata-kata Pak hatim. Satu kalimat yang mungkin itu adalah puncak kekecewaan Pak Hatim, “SAYA CUMA MAU, KAMU JANJI SAMA SAYA, KAMU BISA BAHAGIAIN IBU KAMU, BAPAK KAMU YANG ADA DI SURGA, ADIK-ADIK KAMU!”
Jleb... Nusuk ke jantung! Aku makin nangis sesak. Ah, aku tak bisa berkutik apa-apa.
“Pak, sebenarnya saya memang susah untuk nulis nonfiksi!” ucapku lirih.
“Kamu bisa Dian! Kamu sebenarnya bisa! Kamu Cuma kurang fokus! Kurang komitmen! Kalau kamu fokus, saya jamin tulisan kamu pasti bisa selesai dalam 1 bulan malah sangat bagus!” kata Pak Hatim meyakinkan.
“Kamu tahu, tulisan kamu yang ada di kompas kampus, itu nonfiksi dan kamu bisa! Tulisan-tulisan kamu masih saya simpan sampai sekarang!” tambah Pak Hatim.

Aku makin nangis. Berusaha mengingat tahun-tahun lalu kami menyukai dunia tulis-menulis dan berlomba untuk bisa masuk kompas kampus. Ahhh, memang semua sudah ada jalannya yang mengatur. Aku pun hanya terdiam sambil menangis penuh airmata. Aku yakin ini adalah yang terbaik.

Aku keluar ruangan sidang. Kulihat Woro dan Jennie sudah menunggu. Aku bilang ke Woro, apapun hasilnya aku akan terima. Setidaknya aku telah berjuang sehormat-hormatnya dan sekuat-kuatnya seperti Nyi Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Aku masih berisak dan lembam. Pasti ada jalan.
***
Cukup memakan waktu. Pasti ada perdebatan di antara dosen penguji di ruang sidang. Aku tetap menunggu hingga dipanggil oleh Ms Puti. Pak Wit memulai pembicaraan yang mengatakan bahwa hasil sidang tidak bisa diumumkan sekarang alias ditunda sampai revisianku selesai. Aku hanya diberi waktu 2 minggu. Aku mencoba menyelesaikan dengan baik. Inilah jalan terbaik yang aku harus tempuh.
Seusai sidang aku langsung menemui Pak Hatim. Hari esoknya kami bertemu di kampus.
***
30 April 2015. Pagi ini aku bertemu Pak Hatim. Aku cerita banyak hal sampai aku menjawab pertanyaan tentang caraku tahun lalu berbicara ke orang tua tentang alasan tak lulus. Di akhir, Pak Hatim memberi masukan untuk aku fokus selama dua minggu ini. “Malam baca, pagi habis subuh nulis! Harus komitmen!” begitulah pesan Pak Hatim.

“Pak Hatim, dua minggu ini saya fokus seperti yang Bapak usulkan untuk saya. Betapa saya susah tidur dan saya berjuang untuk bisa lulus tahun ini sangat terasa. Terima kasih atas pengalaman di ruang sidang. Mungkin saya memang perlu energi positif untuk bisa menyelesaikan skripsi saya tahun ini. Terima kasih telah membuat sidang skripsi saya sangat spesial dan penuh luapan emosi. Saya bangga bisa bertemu dosen menginspirasi seperti Bapak. Terima kasih banyak!” tulisku dalam blog ini. Lewat tulisan ini, kutitipkan pesan “Tetaplah menjadi dosen yang selalu menginspirasi siapa pun di dalamnya, Pak! Saya janji untuk membahagiakan Ibu, Bapak, dan kedua adik saya. Terima kasih.”
Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar