Sabtu, 31 Mei 2014

Microteaching? OK!

Microteaching 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
“Yeyyy, kelas Microteaching hampir berakhir di semester ini. Itu berarti tanggung jawab di semester depan semakin besar. Semoga lebih matang lagi pembelajaran yang telah diterima.”
            Well, pembelajaran yang saya terima di SSE selama ini terasa sekali manfaatnya ketika menjalankan School Experience Program (SEP)  tahun ini. Jika dulu begitu awam tentang seluk-beluk guru, kini sudah mulai ada pencerahan. Ya, belajar di SSE pun menjadi sangat penting dan sangat perlu untuk digeluti dengan baik. Saya merasa sangat beruntung bisa mengolah pengetahuan di kampus ini dan semoga menghasilkan produk yang bernilai tinggi pula.
Khusus kelas Microteaching, bagi saya mata kuliah ini sangat bermanfaat. Setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukan pembelajaran di kelas dengan teman sendirilah yang menjadi siswa. Bagi saya, ini adalah tantangan. Mengapa tantangan? Bagaimana tidak? Kelas dengan siswa-siswanya adalah teman sendiri kadangkala membutuhkan ekstra kerja keras. Menganggap para siswa tersebut adalah murid SMP/SMA. Perlu imajinasi tinggi bukan?
Di sinilah, role play pembelajaran yang sering saya lakukan di kampus begitu berarti buat saya. Walaupun kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan kondisi di kelas kampus. Mengapa berbeda? Kalau di kelas kampus, kadangkala kita sudah menganggap siswa-siswa, di sini teman-teman menjadi siswa, sudah mengerti konsep dan bahkan lihai. Hal ini sering terlupakan bahwa kelas sebenarnya, kita akan dihadapkan pada siswa-siswa yang sedang belajar atau bahkan belum mengerti sama sekali. Sedangkan kita sebagai guru dituntut untuk membuat siswa paham dan menguasai konsep. Inilah yang terkadang membuat tumpang-tindih pembelajaran.
            Menyoal kondisi kelas yang sedemikian rupa, saya sangat terbantu dengan kondisi natural section B. Mungkin banyak pihak yang menyatakan bahwa kelas kami super-duper ramai, “jungle”, atau kelas paling rebut sampai terusir-usir, tapi bagi saya, kelas ini adalah spesial. Saya belajar bagaimana mengatur siswa yang ramai seperti itu. Mereka juga saling mendukung.
            Sebuah refleksi saya, ketika saya melakukan role play dan saat itu salah seorang dosen berkomentar bahwa kelas kami terasa dibuat-buat dan tidak natural, mungkin itu hanya sekadar judgement. Sulit dijelaskan memang, mungkin kami terlalu menikmati hal tersebut apa adanya.
            Proses kelas Microteaching, setiap minggunya bergantian untuk mengajar, ini sangat bermanfaat. Saya bisa memperbaiki kekurangan dan bisa belajar dari teman lain. Selain menambah pengetahuan, kita juga bisa mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu kita mendapat kondisi yang sama atau materi yang sama. Kita sudah ada gambaran singkat untuk hal tersebut.
            Proses penilaian adanya dosen tetap, dosen lain, dan teman-teman observer. Ini sangat membantu. Kita bisa mendapat banyak komentar, masukan, dan refleksi untuk perbaikan dari berbagai sumber. Saya sangat beruntung bisa tampil pertama, tapi ada beberapa hal yang membuat saya kurang puas terhadap cara dosen memberi komentar. Jujur, dan saya mohon maaf, saya harus menuliskan hal ini di refleksi saya yaitu tentang keobjektifan dosen memberi komentar. Jujur, saya sempat down, ketika seorang dosen yang mungkin “kurang mengenal saya”, menurunkan semangat saya saat pemberian komentar. Sedangkan untuk mahasiswa lain yang cukup dikenalnya, beliau menyanjung-nyanjung berlebihan dan mungkin kurang cocok untuk dikatakan di kelas. Jujur saya sedikit shock, ketika dosen tersebut memberi komentar kepada saya dan memanggil saya dengan sebutan “anda”. Sedangkan dengan teman-teman yang lain memanggil dengan nama atau “kamu”. Dalam persepsi saya, kata “anda” terasa ada jarak yang sangat jauh. Padahal mungkin hubungan kami antara orang tua dan anak didik. Hal tersebut sedikit kurang bisa saya terima.
            Bukannya iri atau sakit hati, tapi seyogyanya pendidik juga bisa mengondisikan diri sebagai penilai. Sebenarnya, ini refleksi saya pribadi. Mungkin nanti kalau seandainya saya menjadi guru, hal-hal yang tak saya sukai dan tak bisa saya terima, jangan sampai saya lakukan kepada murid-murid saya.

            Kalaupun saya saat ini tak begitu bagus di mata para pengamat, tapi saya akan buktikan suatu saat nanti saya lebih baik dari masa lalu. Biarpun komentar itu terasa pahit saat ini, tapi inilah belajar. Kita harus bisa menerima kritikan yang mungkin sangat menyakitkan demi kebaikan kita sendiri dan untuk masa depan. Banyak batu kerikil di sini dan siapa yang mampu bertahan dalam kompetisi, dialah pemenangnya. Dan saya akan terus belajar, belajar, dan belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar