Sabtu, 31 Mei 2014

Bebas Bukan Berarti Tanpa Batas

Pancasila 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar atau membaca kata “BEBAS”? Pasti akan begitu banyak definisi. Ya, seperti yang saya pikirkan saat ini. Jika terbesit kata “BEBAS” di otak, saya segera teringat dua kata “tidak terikat”. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Online, bebas dapat diartikan sebagai (1) lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dng leluasa; (2) lepas dr (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dsb; (3) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb); (4) tidak terikat atau terbatas oleh aturan dsb; (5) merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing); (6) tidak terdapat (didapati) lagi.
Seyogyanya setiap manusia memiliki keinginan untuk bebas. Ya, bebas, kalau dalam bahasa gaul “ya semau gue!”. Bahkan manusia akan cenderung tertekan jika dirasa kebebasannya direnggut oleh pihak lain. Sebagai contohnya pengalaman yang pernah saya alami. Suatu hari, saya memasuki lingkungan baru yang secara latar belakang dan perilaku sosial saya sebelumnya. Kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang saya temui saat itu sedikit mengurangi ruang gerak dan pendapat saya. Saya tidak dapat leluasa untuk mengungkapkan ide-ide saya. Setiap kali saya ingin berpendapat, selalu saja dipotong dan tak didengar. Ditambah lagi sikap beberapa orang yang cenderung sulit mengontrol egonya, itu pun menambah beban saya di lingkungan baru. Entah itu mereka tahu atau tidak kalau sebenarnya sikap mereka telah membuat orang lain merasa tertekan. Kadangkala manusia memang perlu sebuah penghargaan diri dan pengakuan dari masyarakat untuk menyatakan keberadaan dirinya. Mungkin ini sudut permasalahannya ada di model penyesuaian diri saya yang kurang maksimal. Namun seharusnya, kita sendirilah yang bisa mengontrol kebebasan kita.
Saya suka dengan ungkapan yang mungkin sering kita dengar “bebas bukan berarti tanpa batas”. Ya, saya setuju. Kita boleh bebas sesuka hati melakukan semua hal, tapi sejatinya kita harus ingat bahwasanya kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Salah satu fenomena yang bisa kita jadikan bahan refleksi yaitu kejadian lampu merah di jalanan. Jika dari setiap arah, orang-orang bebas sesuka hati menggunakan jalanan itu, lalu apa yang akan terjadi? Tanpa lampu merah, banyak kemungkinan yang akan terjadi bukan? Misalkan saja, semua pihak berebut untuk menyebrang duluan. Apa yang akan terjadi? Bisa dibayangkan, berapa puluhan korban lalu lintas? Kemungkinan lain, taka da satu pun yang berani menyebrang karena takut dihantam oleh pihak lain. Betapa sepinya jalanan itu jika ini terjadi? Ya, semua itu banyak kemungkinan lain pastinya. Nah, di sinilah terlihat bahwa sebenarnya kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Lantas, menyoal siapa yang seharusnya menegakkan kebebasan? Menurut saya, kita sendirilah yang seyogyanya bisa mengontrol kebebasan diri sendiri. Kita seharusnya menyadari bahwa kita hidup bersosial, kita tidak hidup seorang diri. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kita harus menyadari bahwa orang lain juga memiliki kebebasan sendiri. Coba bayangkan bila setiap manusia mementingkan egonya masing-masing. Ketika berbicara, setiap orang menggebu-gebu ingin pendapatnya didengarkan, tapi kenyataannya? Tak ada yang bersedia mendengarkan. Semua berebut dan memaksakan kehendak dan ide-idenya. Silakan ditebak apa yang terjadi?
Nah, di saat-saat seperti inilah, perlu diberlakukan sebuah peraturan. Di sini, peraturan bukan untuk semata-mata menekan kebebasan, melainkan untuk mengatur kebebasan untuk kepentingan bersama. Walaupun sebenarnya, ada beberapa pihak yang dirugikan kebebasannya. Ya, pastinya ini akan terjadi dan tak semua orang sesuai yang dinginkannya. Saya suka kalimat seorang guru saya, beliau berkata, “Kita tidak bisa membahagiakan setiap orang karena dunia memang seperti itu.” Nah, setiap orang pastinya ingin berjalan sesuai rencananya. Dengan demikian mereka akan merasa puas, tapi kita tak bisa seperti itu. Ya, karena kita bukanlah alat pemuas. Pasti ada hal-hal yang akan dikorbankan untuk kepentingan lain yang lebih diprioritaskan. Di sinilah seharusnya peraturan berperan untuk menyelaraskan kebebasan bersama.
Seperti yang telah diungkapkan oleh John S. Mill, kebebasan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan kekuasaan individu, dan kebebasan kekuasaan orang lain. Baiklah, untuk kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan ini bersumber pada hati nurani yaitu, kebebasan untuk berpikir dan merasakan. Kebebasan ini memberi kesempatan kepada setiap individu untuk berpendapat dan bermoral. Kemudian kedua adalah kebebasan kekuasaan individu. Kebebasan ini mengindikasikan bahwa setiap individu bebas membawa dirinya ke pilihannya sendiri. Hal ini berarti mengimplikasikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Lalu, ketiga adalah kebebasan kekuasaan orang lain. Dalam kasus ini, kita harus sadar bahwa kita sebagai makhluk sosial akan terus berinteraksi dengan orang lain yang juga memiliki kebebasan. Oleh karena itu, setiap individu juga memiliki pertanggungjawaban secara kolektif.
Dengan adanya kepentingan bersama ini, secara tidak langsung telah membatasi kebebasan setiap individu. Lantas, apa peranan peraturan untuk kepentingan bersama? Sebenarnya, peraturan dibuat bukan untuk dilanggar, melainkan untuk dijalankan. Mirisnya, kondisi saat ini berkebalikan. Malah ada celetukan bahwa “peraturan dibuat ya untuk dilanggar”. Inilah pernyataan yang salah kaprah. Seharusnya kita bisa menengok kembali apa tujuan pertama kali peraturan dibuat? Jika itu masih berlaku dan masih sesuai masanya, maka peraturan itu masih perlu dipertahankan untuk kepentingan bersama. Lantas, kalau peraturan itu ternyata sudah tak layak untuk digunakan, kita perlu merevisi sesuai keputusan bersama. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, seharusnya mereka bisa berpikir dan mengkaji ulang mana tindakan yang patut dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan?
Negara pun turut andil dalam mengatur kebebasan. Seperti yang termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Di sini, setiap individu diberikan jaminan konstitusional untuk berorganisasi dan mengajukan pendapat, bukan hanya warga Negara Indonesia saja, melainkan warga Negara asing yang tinggal di Indonesia juga.
Lalu, Negara juga telah mengatur kebebasan beragama, yaitu dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sayangnya, masih ada pihak-pihak yang tidak terima atas kebebasan beragama. Masih banyak kasus cekcok atas sebuah perbedaan agama. Jika kita bahas berbagai kasus yang terjadi, hal tersebut akan sangat panjang. Jadi untuk kesempatan kali ini, kita hanya berefleksi saja dalam hati masing-masing, bagaimanakah kita menghargai orang lain yang berbeda agama?
Oleh karena itulah, kita sebagai bagian dari masyarakat seharusnya dapat berefleksi bahwa sikap saling menghargai begitu penting di dalam masyarakat. Jika kita tidak mau menghargai, mengapa kita mendesak orang lain untuk menghargai kita? Ini tidak fair, kalau kita hanya menuntut hak namun kita melupakan kewajiban. Jika ingin dihargai, maka hargailah terlebih dahulu diri sendiri. Walaupun kita memiliki kebebasan, jangan lupa bahwa kebebasan kita pun dibatasi oleh kebebasan orang lain. Mari ikut serta mewujudkan sikap saling menghargai dan bersolidaritas. J

Referensi:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar