Jumat, 30 September 2011

Miris “Bahasa Ibu”


Punahnya bahasa daerah sungguh tidak dapat dimungkiri. Semakin langka generasi muda yang cakap dalam menggunakan bahasa ibu. Terasa luntur nilai-nilai kesopanan yang dulu dijunjung tinggi dalam setiap tata bahasanya. Ironisnya, khasanah budaya asli bangsa Indonesia tersebut hanya dipandang sebelah mata.
Kini masyarakat terutama kaum muda telah banyak termakan oleh bahasa asing. Apalagi bahasa yang dikatakan “gaul” telah mengubah paradigma terhadap bahasa masing-masing daerah. Padahal, jika kita tengok kembali, bahasa daerah memiliki keunikan tersendiri. Sebagai salah satu contohnya adalah bahasa Jawa. Bahasa ini memiliki tingkatan penggunaan yaitu Krama Inggil, Krama, dan Ngoko. Penggunaan tingkatan itu sesuai dengan kepada siapa kita berbicara. Hal tersebut sebagai nilai kesopanan terhadap orang yang kita hadapi. Sayangnya, keunikan dan nilai-nilai bahasa daerah telah dipandang kuno. Dalam arti lain ketinggalan zaman.
Penanaman pendidikan bahasa daerah sejak dini memang masih dikesampingkan.  Pendidikan dasar kebanyakan didapat hanya di lingkungan keluarga. Itu pun kalau lingkungan keluarga mendukung. Lalu apa yang terjadi jika keluarga kurang memperhatikan bahasa daerah? Bisa jadi pendidikan kurang diterima dengan baik dan tidak dapat tersampaikan sesuai aturan tata bahasa yang benar. Penanaman moral dan nilai kesopanannya pun hanya sebatas tahu sekilas saja.
Di samping itu, bahasa daerah hanya sebagai mata pelajaran tambahan saja. Banyak guru yang kurang sesuai kemampuan harus mengajar bahasa tersebut. Seyogyanya pendidiknya pun juga harus mampu dan menguasai bahasa itu sendiri. Namun saat ini, guru yang seperti itu masih jarang sekali. Padahal didikan bahasa daerah sangat perlu untuk menanamkan nilai kesopanan dan tata krama kepada generasi selanjutnya. Tidak lupa juga untuk melestarikan budaya bangsa.


Kenyataan yang sungguh pahit bagi Bangsa Indonesia. Bahasa ibu telah dibiarkan begitu saja. Tidak sudi hidup kuno masa abad-abad silam. Menjaga dan melestarikan hanya akan menjadi pekerjaan rumah buat semua masyarakat Indonesia.
Tidak menyalahkan fakta yang terjadi saat ini. Tetapi pandangan diri kita akan bahasa-bahasa daerah perlu dibenahi. Pendidikan-pendidikan formal seperti sekolah negeri maupun swasta perlu menindaklanjuti pembelajaran tentang bahasa ibu itu sendiri. Misalnya saja dengan memasukkan bahasa daerah dalam kurikulum sekolah. Seperti pengadaan hari berbahasa daerah setiap seminggu sekali. Selain meningkatkan kemampuan berbahasa, hal tersebut juga akan membantu generasi muda untuk selalu mengingat budaya daerah yang menjadi kepribadian bangsa.
Kemudian masalah minimnya guru yang berkompeten dalam pendalaman bahasa ibu, pemerintah juga perlu mengadakan penggalangan budaya daerah dan pelatihan secara berkala kepada guru mata pelajaran bahasa daerah masing-masing. Dengan demikian bahasa daerah sebagai salah satu budaya asli Indonesia setidaknya dapat diperhatikan kembali serta tidak semena-mena terlupakan begitu saja.
Jakarta, Kamis, 22 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar