Minggu, 26 Mei 2013

Dear My Little Brother II



Hari ini, kau bercerita tentang hal yang membuat kau bahagia dan hal yang membuat kau takut. Kau telah memutuskan masa depanmu. Ke manakah langkah jejak kakimu akan kautelusuri? Aku percaya, kau mampu!

Tahun 2010 adalah gebrakan bagiku dan pastinya hal baru untuk keluarga kecilku. Mungkin kau juga merasakannya saat ini.

Aku tahu sekali bagaimana rasanya lulus dari Sekolah Menengah Atas? Ya seperti tahun 2009 itu! Sebuah sejarah panjang dalam hidupku. Beradu nasib! Mungkin kesempatanku tak seperti teman-teman lain, yang begitu didukung keluarga-dan pastinya mereka dari golongan berada. Kuliah, tinggal pilih jurusan dan perguruan tinggi yang menjadi idam-idamannya. Sebenarnya, aku sempat iri dengan kondisi demikian. Aku iri, mengapa hidupku tak seberuntung mereka? Ah, begitu bodoh aku kala itu. Tak pernah bersyukur!

Sebagai anak perempuan yang dituakan, aku punya tanggung jawab besar terhadap adik-adikku. Satu hal yang kupikirkan, "Jika aku tak kuliah, maka aku hanya akan menjadi beban keluarga." Bagaimana kelanjutan adik-adikku kelak? Entahlah, mungkin aku seperti lilin yang mati dalam gelas hampa udara. Tak bisa jadi penerang, tapi malah terkungkung.

Aku lahir dari sebuah desa dan tahulah bagaimana adat desa yang begitu kental untuk anak perempuan. Lulus sekolah, kalau tak kerja pastinya menunggu lamaran dari seorang lelaki. Itu mungkin sudah menjadi tradisi turun-temurun. Dan aku tak menginginkan hidupku hanya sebatas itu saja. Aku perlu pengalaman dan pendidikan untuk masa depanku kelak. Bukan malah pasrah dengan keadaan yang bisa mencekik leher para pemilik jiwa yang enggan berubah. 

Ya, impianku masih banyak untuk kuraih. Jalanku masih panjang. Dan satu-satunya hal yang bisa mengubah keadaan adalah pendidikan, begitu bagiku. Lulus sekolah telah membuat kegalauan. "Ke mana ya setelah aku lulus nanti? Kuliah atau kerja?" Pilihan yang sulit!

Dalam hati sebenarnya, aku ingin bisa kuliah-mengenyam bangku pendidikan. Pikirku, jika aku bisa melanjutkan pendidikan maka peluang dan kesempatan kerja lebih luas. Pertanyaan selanjutnya, "Biaya sekolah mahal! Mampukah orang tuamu membiayai kuliahmu?" Pertanyaan itu segera kandas di tengah jalan. Kubuang jauh-jauh merengek ke orang tua untuk bisa kuliah. Aku sudah membebani beliau, tak mungkin menambah berat lagi beban itu. 

Kuliah memang menjadi pilihan ke sekian dalam silsilah keluarga, tapi aku terlalu keukeuh dengan keinginanku, impianku! Ya, aku perjuangkan!

Pernah salah satu teman berkata, "Setelah lulus mau ke mana?"
Lalu kujawab, "Aku ingin kuliah!"
Dengan nada bercandanya, "Kalau bermimpi itu jangan tinggi-tinggi, nanti kalau jatuh sakit!"

Ah, itu hanya pikiran orang yang pesimistis. Aku hanya diam. "Oke, akan kubuktikan. Aku tak main-main untuk mimpi-mimpiku!" pikirku.

Faktor ekonomi, mungkin telah menjadi permasalahan sebagian besar orang. Tak terkecuali untukku. Apakah di dunia ini ada yang gratis? Kupikir perlu dipertimbangkan lagi. 

Satu-satunya jalan yang kupikirkan adalah mencoba jalur beasiswa. Dalam kasus ini, beasiswa UGM tahun 2009, mungkin belum jalur yang tepat. Ya, kegagalan menghampiriku. Jurusan matematika murni yang kuinginkan tak membuahkan hasil. Kota Jogja yang sempat menjadi kota impianku harus kukatakan, "Good bye!" Cukup sampai di situ saja. 

Kegagalanku telah memperburuk keluarga. Ayahku sakit parah, mungkin terlalu memikirkan aku. Sedangkan aku terlalu keras kepala untuk urusan kuliah. Betapa bego aku ini waktu itu. Ya, kesalahanku mungkin terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.

Melihat kondisi yang tak memungkinkan, aku pun memutuskan untuk membekukan mimpiku itu dalam beberapa waktu. Entah sampai kapan, aku tak yakin. Aku harus bekerja!

Di dunia kerjaku pun begitu keras. Kekolotan pemikiran tetap menjadi kendala paling sulit untuk diselesaikan. Modalku hanya satu: jujur. Dan kuyakin, orang-orang yang berdiri menusukku dari belakang tak akan bertahan lama. Ini adalah sebuah pertandingan dan aku butuh perjuangan untuk menjadi seorang pemenang. 

Di sela-sela kesibukanku, selalu ada impianku. Aku sengaja menuliskan mimpi-mimpiku itu dalam buku pribadiku. Mungkin itu hal konyol yang pernah kulakukan. Daftar ketiga adalah aku ingin kuliah tanpa memberatkan orang tua. Ya, malah catatan itu masih ada hingga saat ini. Sengaja kusimpan sebagai tanda sejarah yang pernah kutuliskan. Biarkan abadi bersama perjuanganku. Aku percaya, suatu hari nanti akan kuraih satu per satu.

Kuniatkan diri lagi untuk gencar-gencaran mendaftar beasiswa. Langkah keduaku adalah Beasiswa ITB 2009. Diam-diam aku mendaftarkan diri dengan jurusan ... Hayati. Entah apa lengkapnya, aku sudah lupa. Jurusan itu sengaja kupilih karena aku lebih menyukai MIPA daripada ilmu sosial. Kupikir, kemampuanku bisa membantu untuk mendapatkan beasiswa itu. Namun, apa yang terjadi? Gagal lagi!

Bahkan aku benar-benar tak tahu apakah mimpiku itu terlalu muluk atau hal yang tak mungkin. Aku terhenti melangkah. Aku terjatuh dan takut untuk melangkah lagi. Sudah kuputuskan, kukubur hidup-hidup mimpiku itu. Sudah cukup!

***

Satu tahun bekerja memberi pengalaman yang cukup menjadi gebrakan baru diriku. Walaupun gaji tak seberapa, tapi setidaknya lumayan cukup. Ya, tujuh puluh ribu seminggu dengan 8 jam per hari, mungkin gaji yang sungguh di bawah UMR. 

Tak mempersoalkan gaji, aku bersyukur bisa bekerja. Walaupun masih terasa jauh masa depanku, kuliahku, dan mimpi-mimpiku yang lain. Terlebih lagi, adik-adikku. Ya, beginilah beratnya jadi anak yang dituakan. Harus punya benteng pertahanan semangat yang tinggi. Kalau pondasi saja tak kuat, akan jadi apa bangunan di atasnya nanti?

Bekerja memang butuh keuletan dan kegigihan. Dan aku telah berusaha semampuku. Aku percaya, aku mampu menyelesaikan tugas-tugasku itu. Hidup adalah perjuangan dan pilihan. Jalan mana yang akan ditempuh untuk meneruskan perjalanan itu?

***

Jakarta, 2010

Pertama kali kuinjakkan kaki di Jakarta ini. Apakah impianku memiliki jalan? Kuliah? Tak sia-sia. Kuingat kata-kataku dulu, "Aku akan kerja setahun, lalu kuliah di tahun berikutnya."

Ini benar-benar nyata. Alhamdulillah, aku lolos seleksi masuk ke Sampoerna School of Education. Di sanalah, di kampus mungil itu perjuanganku dimulai kembali. Keluarga kecil yang memberi semangat dan jalan untuk masa depanku.

Daftar ketigaku dalam list mimpi-mimpiku telah tercoret saat ini. Menunggu catatan lain untuk segera diluapkan karena telah kuraih pula.

***

Jakarta, 2013

Terima kasih Bapak, Ibu, kedua adikku, dan orang yang mendukungku, aku telah sampai di sini. Semester 6 ini, harus tetap semangat. Biarkan catatan ini menjadi penyemangatku ketika aku hendak terhenti untuk meraih mimpi. 

"Berjuanglah sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya." 
-Nyai Ontosoroh, dalam buku "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer-

#Teruntuk orang yang aku sayangi dan yang menyayangiku.
Dian yang sekarang bukanlah Dian yang terkungkung dalam penyesalan seperti dulu, tapi Dian sekarang adalah Dian yang tegar dan terus berjuang!

*Catatan ini sengaja kutulis kembali sebagai sejarah hidupku sampai kapan pun.
25 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar