Rabu, 01 Juni 2016

Lakukan Apa yang Kau Suka


Hari ini entah mengapa saya tergelitik untuk menulis. Pikiran saya dipenuhi oleh uneg-uneg edisi lebaran seorang teman. Ya, tentang perbincangan yang paling ditunggu-tunggu kedatangannya: THR. Tak kaget jika THR menjadi sasaran empuk meme-meme editan atau sekadar lelucon yang disebar di media sosial. Sepertinya, THR seperti harta karun ya?

Sebagai seorang pekerja tak tetap seperti saya, THR bukanlah hal yang menjanjikan. Entah, status saya apa dalam pekerjaan saya. Dibilang guru, saya bukanlah guru sekolahan. Saya hanya guru tanpa status di tempat les-lesan atau bisa dibilang bimbel. Jadi THR pun menjadi hal nomor sekian yang tidak terlalu dispesialkan. Dikasih ya diterima, tak dikasih ya belum rezeki. Saya yakin Allah telah mencukupkan rezeki untuk ciptaannya. Belajar bersyukur!

Tetiba saya ingat sosok seorang ayah yang telah menemani saya selama hampir 23 tahun. Selama itu pula, ayah saya bekerja sebagai reparasi sepeda di kampung. Penghasilannya jauh tidak tetap daripada pekerjaan saya saat ini. Kalau ramai, sehari bisa dapat ratusan ribu, kalau sepi ya dapat dua puluh ribu sudah senang. Ayah saya selalu menghargai yang ia dapat. Buktinya, ayah saya bisa menghidupi seorang istri dan tiga orang anak. Dari rumah yang hanya sepetak dengan tempat tidur daun pintu yang dilepas hingga membangun rumah tembok yang nyaman dihuni, ayah saya tetap jalani pekerjaan tersebut. Ayah saya juga tak pernah mendapatkan THR setengah gaji ataupun satu gaji penuh per lebaran. Ayah saya tak pernah mengeluh dan mempermasalahkan THR yang tak pernah ia terima. Semua disyukuri dengan kegigihan bekerja keras. Allah pasti menolong hamba-Nya yang mau berusaha. Ya, ayah saya adalah ayah nomor satu di dunia ini. Mengajarkan kepada saya untuk selalu berusaha keras dan bersyukur.

Ah, sepertinya saya tak pandai bersyukur. Dulu, setelah lulus SMA dengan usia saya yang belum genap 17 tahun, mencari pekerjaan adalah hal yang sangat susah. Penuh perjuangan! Sampai saya relakan ijazah SMP saya dengan nilai UN matematika 100 kebanggaan saya itu rusak. Ya, rusak karena ambisi seorang ayah agar anaknya bisa bekerja untuk tidak menjadi benalu keluarga. Itu dulu saat kondisi keluarga saya dalam masa sangat sulit. Tahun lahir saya 1992 pun diubah dengan spidol menjadi 1990. Saya dituakan demi bisa masuk pabrik rokok daerah tempat tinggal saya. Alhasil, akal jahat itu tak pernah berhasil karena ijazah asli harus ditunjukkan saat pendaftaran. Gagallah jalan saya untuk bekerja. Sakit hati? Ya pastilah! Saat itu saya sangat membenci ayah saya, tapi keadaan memaksa semua itu terjadi. Sebuah pertaruhan! Tapi saya sadar, ayah saya sedang berjuang untuk masa depan saya. Saya sadar, saya harus membantu ayah saya bangkit! Dan saya tak pandai berbuat sesuatu....

Saya pernah diantar ibu melamar di toko emas tengah pasar, tapi ditolak.  Kata si empunya, saya akan dihubungi, tapi sampai sekarang tak pernah ada nomor toko emas yang masuk di HP saya. Artinya, saya ditolak. Menjadi pengangguran adalah hal yang membosankan! Ada rasa sesak di dada saat menyaksikan kedua orang tua bekerja membanting tulang, sedang kita hanya duduk diam, pengacara-pengangguran banyak acara. Saya menjadi anak yang tak tahu malu! Benalu keluarga!

Untungnya, ada tetangga baik hati yang mengajak saya bekerja di sebuah toko roti. Kurnia Bakery di dekat Pasar Blora sekitar alun-alun kota. Toko roti ini cukup terkenal dan turun-temurun dari Om Penco lalu dilanjutkan oleh anaknya, Pak Ridwan. Keluarga ini Chinese. Kadang mereka sangat baik kadang mereka sangat mengekang. Inilah kehidupan dunia kerja untuk pertama kalinya. Welcome to The Busy Life! Pekerjaan serabutan!

Mengapa saya katakan serabutan kerja di toko roti? Ya, saya menginap di mes. Saya merasakan pertama kalinya jauh dari keluarga dan tinggal di tempat orang. Kalau tak rajin, kau akan dicap “pemalas”! Jadi, pagi-pagi saya harus bangun pagi, nyapu halaman, ngosek selokan, dan nyuci piring. Jangan salah, selokan bekas limbah pabrik ini sungguh berlumut. Kalau tak dikosek sehari saja, selokan bisa meluber ke halaman dan bau busuk. Pernah suatu ketika, saya kosek selokan yang mampet. Ternyata banyak sampah limbah di sana. Tak jarang tangan saya langsung nyebur ke selokan untuk memastikan sampah tak ada lagi dan aliran tak tersumbat. Saya juga terbiasa nyapu halaman dengan dedaunan kering kebun dan pohon jambu. Seusai nyapu dan ngosek selokan, saya beralih ke ruang makan. Tumpukan piring menghampiri, lantas saya membersihkan tangan dan nyuci piring. Saya tak pernah meminta orang lain untuk memuji. Saya hanya melakukan tugas dan kewajiban saya ikut orang. Ya, namanya ikut orang, ya harus tahu diri. Saya yakin keikhlasan akan selalu membawa berkah.

Orang pertama yang bangun pagi adalah Tante, istri Om Penco. Bagi saya, tante adalah orang baik yang pernah saya temui di tempat kerja ini. Dia bos paling baik. Tante tak banyak bicara, tapi dia seorang pemerhati. Tak sesekali kalau ada makanan yang tak dimakan, Tante memberikannya untuk saya sarapan seusai nyuci piring di dapur. Jika saya salah melakukan pekerjaan, Tante menegur saya dengan cara yang baik dan memberi tahu cara yang benar. Tante tak serta-merta marah. Jika ada perdebatan saya dengan Om Penco, Tante selalu menjadi penengah, menyelidiki masalah dengan kepala dingin. Tante juga menasihati saya untuk selalu hati-hati. Ah, saya rindu kebaikan Tante.

Lantas, jangan salah! Kerja di toko roti ini tak seperti toko roti Dapur Coklat atau Holland Bakery seperti di Jakarta dengan karyawan yang cantik-cantik dan bersih. Di toko tempat saya kerja, tak hanya menjual roti atau makanan, tetapi juga menjual bahan makanan kiloan. Bisa dibayangkan bukan? Bayangkan saja, bekerja di toko margarin kiloan, tepung kiloan, dan berbagai jajanan kiloan juga. Celemotan walaupun tak sesekali Bu Nita, istri Pak Ridwan selalu mengawasi penampilan para pelayan. Harus pakai lipstick, kalau nggak potong gaji lima ribu. >.<

Saya bekerja serabutan mengikuti keinginan pelanggan. Kadang ada pelanggan yang baik sekali. Mereka membeli dengan sopan dan memanusiakan para pelayan toko. Saya pernah mendapatkan pelanggan yang sangat baik. Namanya Pak Ngawen. Bapak ini selalu tersenyum. Usianya kira-kira 50 an, tapi masih jalan kemana-mana. Jika menelepon, Pak Ngawen selalu mencari saya dengan pesanannya roti cream rasa bluebery dan coklat. Pak Ngawen juga sangat sabar, kadang mengajari kami bahasa China, mengeja mata uang, dan hitungan dalam bahasa, yang saya baru tahu setelah saya di Jakarta kalau itu adalah bahasa Mandarin. Ah, semoga Allah selalu memberi kesehatan kepada Pak Ngawen. Aamiin. Tak hanya itu, tak sekali saya juga mendapat pembeli yang sangat buru-buru. Saya pernah kena semprot, dimarahi pelanggan gara-gara dinilai lelet. Padahal kalau kau tahu, saya sudah berjuang mati-matian untuk memberi pelayanan yang terbaik. Tapi mungkin memang sedang bad mood, jadi hawanya kena omelan terus. Ah, semua itu menjadi pengalaman tersendiri bagi saya.

Jika ingat gaji pertama yang saya dapatkan bekerja di toko roti ini adalah enam puluh ribu selama 7 hari dengan jam kerja 9-10 jam tiap  hari. Bisa dibayangkan bukan? Hari minggu adalah hari paling bahagia. Ya, karena terima gaji. Bagi saya di tahun 2009, gaji Rp60.000 seminggu sudah sangat besar. Tak jarang, gaji itu terpotong uang sabun cuci sepuluh ribu dan jajan keripik singkong lima ribu, sepuluh ribu untuk anggaran jaga-jaga beli tahu isi Rp900 per biji setiap harinya. Sisanya, ditabung untuk anggaran pulang. Bagi saya, gaji Rp240.000 tiap bulan sudah pencapaian luar biasa untuk kehidupan di desa. Intinya, daripada saya nganggur lebih baik saya bekerja, apa pun itu yang penting halal.

Perjalanan panjang untuk saya selama 6 tahun di Jakarta. Tak terasa ternyata sudah lama. Kecintaan saya dalam mengejar impian-impian saya pun mengantarkan saya di Jakarta. Saya lulus kuliah setelah 4 tahun menjalani pembelajaran formal dan satu tahun saya cuti hingga akhirnya saya menyelesaikan skripsi saya setelah ayah saya telah tiada. Rasa penyesalan itu pun ada! Saya sangat menyesal, tapi itu sudah jalan Allah agar saya tetap ikhlas dan berjuang keras pantang menyerah. Saya pun berjuang hingga sekarang, merantau di ibukota yang kata orang kejam, sampah bayar, toilet pun bayar, bahkan parkir ditungguin saja kau harus bayar dua ribu. Ternyata jalan hidup saya memang harus sampai di tanah perantauan.


Saya bekerja di sebuah bimbingan belajar. Saya memang memutuskan untuk tak mendaftar di kantoran atau sekolah formal, ada target lain yang ingin saya capai. Walau saya bukan pekerja kantoran, tapi saya belajar banyak. Saya hanya bertahan 2 tahun bekerja ikut orang. Banyak hal yang saya pelajari tentang negosiasi dan keprofesionalan. Saya belajar bagaimana cara mengapresiasi kinerja orang lain. Saya belajar cara membahagiakan karyawan. Saya belajar untuk membedakan antara bisnis dan sosial. Ya, saya belajar itu semua. Hingga akhirnya, saya memutuskan untuk resign dan mencari kehidupan lain. Walau saya tahu, keputusan yang saya ambil berisiko. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya sukai, tanpa paksaan. Saya tak bisa terus-terusan membohongi diri sendiri untuk berpura-pura tegar, padahal rapuh dan koyak. Saya ingin menemukan jalan hidup saya sendiri. Dunia kerja semakin kejam, Guys! Kita harus tingkatkan kemampuan kita. Kalau tidak, kita akan kalah bersaing! Target selanjutnya adalah untuk ibu dan adik! Bekerja untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain!

Jakarta
Jun 1, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar