Minggu, 14 Maret 2021

#14 Kedamaian di Tengah Perbedaan

 Ini kali pertama saya ke Ganjuran. Itu pun diajak Kak Rosa karena awalnya aku ingin juga ke sana dan kebetulan Kak Rosa juga ingin ke sana. Ya sudah ikut!

Kami berangkat setengah tujuh malam. Kak Rosa menjemput saya di kosan walaupun ada agenda nyasar nyari alamat saya. Memang kos saya di daerah perkampungan yang masuk gang, tak sedikit teman yang nyasar ke kos saya. Baiklah, kami berangkat dengan vespa milik Kak Rosa yang walaupun 2 tahun tak dipakai, habis servis, mesinnya pun tetap bagus.

Jadi ingat vespa milik keluarga saya sewaktu saya masih kecil. Dulu bapak pernah punya vespa warna biru. Vespa itu masih melekat erat dalam ingatan saya, ya mungkin karena berkesan di hati, apalagi sama bapak, pastilah masih terekam baik di kepala saya. Ya, masih ingat, dulu bapak sering mengantar ke sekolah naik vespa. Bahkan saya masih ingat sewaktu TK, saya nangis gak mau sekolah karena tidak dinaikkan ke kelas satu dengan alasan belum cukup umur diantar naik vespa itu. Lalu aku teringat lagi memori hampir jatuh di selokan jembatan kecil hanya muat satu motor, itu pun licin, saat pulang dari rumah nenek, digonceng ibu. Ya maklum, motor vespa kan gede bentuknya, sedangkan ibu nyetir dengan membawa 3 anak, 2 di depan, dan saya di belakang. Hal yang saya ingat waktu menyeberang jalan kecil itu, ibu oleng karena tikungannya memang cukup curam ditambah habis hujan. Tapi saya tidak ingat jatuhnya ditolongin orang atau nggak, yang pasti belum sampai jatuh ke selokan. Itu jembatan kecil bikin saya trauma. Ingat betul tiap lewat jalan itu, saya selalu pejamkan mata, takut jatuh. Terus juga saya ingat kenangan sewaktu kecil tentang vespa. Vespa bapak juga pernah dipakai jalan jauh Blora-Purwodadi ke rumah Pak Dhe. Keluarga saya berlima, bisa dibayangkan seperti apa itu vespa dipakai buat berlima. Saya dan adik saya di depan, terus bapak, terus ibu sambil gendong adik saya paling kecil. :) Setelah saya pikir-pikir, ternyata kuat juga itu vespa. Terus lagi, vespa juga mengingatkan saya belajar menyebutkan huruf "R". Setiap kali pulang dari rumah embah, sepanjang jalan saya disuruh berlatih menyebutkan huruf "R" oleh Bapak. :) Banyak kenangan ternyata sama vespa. :)

Saya tak ingat kenapa vespa Bapak dijual. Mungkin perawatannya mahal kali ya.... Entahlah.... Dan ini, setelah hampir 25 tahun, saya baru kali kemarin naik vespa lagi. Walaupun kaki saya tidak nyampe buat taruh di sandaran kaki. Ngakak sepanjang jalan, menertawakan diri sendiri karena kaki gak sampe itu. 😅😅😅

Nah, akhirnya kami sampai juga di Gereja & Candi Ganjuran. Hari Minggu malam ramai karena orang-orang pulang Misa. Hawanya enak sekali, mungkin perlu dicoba ke Ganjuran tapi bukan hari Minggu, sepertinya lebih tenang. Kami masuk dengan berbagai pengecekan suhu badan dan cuci tangan. Kak Rosa mengajak saya ke salah satu mata air yang dibuat pancuran. Katanya, airnya memiliki kandungan zat-zat menyehatkan. Makanya, tiap ke tempat ini, Kak Rosa dan beberapa pengunjung bawa botol minum. Airnya segar, saya minum juga dari kerannya langsung. Cuci muka dan basuh tangan kaki.

Lalu dilanjutkan kami berdiam diri di salah satu tempat tenang di salah satu pojok bangunan. Entah mengapa saya langsung teringat kunjungan saya ke salah satu candi di Sri Lanka. Aroma dupa dan lilin-lilin yang menyala di dua tempatnya. Lalu, saya mulai berdoa dan berefleksi diri. Cukup dengan berdiam diri saja, entah mengapa saya menitikkan air mata. Lagi-lagi saya sedih karena sebagian dari kita saling mencerca agama lain. Padahal, menurut saya tiap agama selalu mengajarkan kedamaian. Ahhh, semoga dunia tetap menebar kedamaian. Aamiin. Rasa itu muncul lagi persis seperti saat saya menangis di salah satu gereja di Satar Lenda. Rasa yang sulit dideskripsikan, hanya saja berada di tengah-tengah perbedaan rasanya begitu damai!

Bukankah perbedaan seharusnya saling melengkapi? Kapan-kapan aku mau ke Ganjuran lagi!

Sabtu, 13 Maret 2021

#13 Sabun Organik (Resep Menyusul)

Sebenarnya pembuatan sabun organik ini sudah lama direncanakan oleh Kak Rosa, Kak Juni, dan saya sebelum mengantar Endi kembali ke Papua. Namun, rencana itu terkendala karena tempat belajar sabun membatasi peserta kelas karena masa covid, yang hanya diperbolehkan hanya satu peserta. Alhasil, kami memutuskan untuk Kak Rosa belajar duluan membuat sabun sebelum kembali ke Asmat. Setidaknya lebih urgent lah daripada kami yang tinggal di Jawa, lebih mudah untuk ikut kelas selanjutnya.

Nah, ternyata kerandoman kami pun mulai haus akan ilmu baru. Jadilah Kak Rosa menginisiasi kelas baru tongkrongan yang udah macem ibu-ibu PKK. Awalnya, rencana cuma bertiga, tapi nambah personel ada Metri, Alfi (saudara Metri), Jane (yang katanya saudara Kak Juni, iyaaa, sodara sebangsa dan setanah air dari Sabang sampai Merauke :)))) Nah, ternyata lingkup pertemanan kami seputaran daun kelor. Pas saling ketemu, ehhh, ternyata saling punya mutual friend-an. Ya, begitulah Tuhan menakdirkan kita untuk sebuah pertemuan.

Kehebohan kami sore itu seputar minyak kelapa, olive oil, soda api, dan rujak. Jadilah kami buat sabun dipandu oleh Ibu Guru Rosa dengan murid-muridnya yang kayak kami semua.... Hahaha. Heboh dalam segala macam hal.

Nah, kami pun membuat sabun dengan 5 jenis variasi, ada kopi, rujak (aneka buah rujak), pepaya, kunyit, dan lidah buaya. Semuanya kami buat bersama-sama, ada yang blender buah, ada yang blender adonan, ada yang cairin soda api, ada yang nimbang minyak, semua berkat tim kerja yang solid, sudah siap direkrut kerja pokoknya. :) :) :)

Resep nanti menyusul ya, saya lupa taruh catatan dimana. :) Harus hitung ulang soalnya. Saya kasih fotonya saja ya.... :)

Tampilan sabun di cetakan dengan 5 varian: rujak, kopi, kunyit, pepaya, lidah buaya


Varian rujak yang sudah dipotong-potong


Sabun dengan varian rujak yang baru saja keluar dari cetakan


Tim kerja-kerja-kerja PKK 123 Random Club


Tim kerja-kerja-kerja PKK 123 Random Club dengan segala keribetannya


Entah ini sabun bagian yang ke sekian dibuat


Adonan sabun kopi siap masuk ke cetakan


Video full team PKK 123 Random Club

Full Team & Hasil Karya



Full Team dari Belakang: Kak Juni, Kak Rosa, Jane, Saya, Alfi, Metri


Terima kasih Kak Rosa, sudah mengajari kami dengan sangat sabar... Semangat belajar!

Foto: Kak Rosa & Metri





#12 Belajar dari Sebuah Pertemuan

Siapa sangka kepindahan ke Jogja mempertemukan saya dengan beberapa kawan baru. Ada Kak Rosa, Yesman, Endi, Mas Edy, Kak Juni, Mbak Prapti, Mas Rangga, Kak Chendy dan keluarga, Kak Sari, dan Hilda. Pertemuan yang sungguhlah tak pernah kami rencanakan sebelumnya. Kami dipertemukan oleh Tuhan untuk saling belajar. Ya, belajar banyak hal tentang hidup dan masa depan. Sebenarnya, tak semudah itu saya berkenalan dengan orang baru. Tapi entah mengapa mengenal mereka, saya menjadi diri saya sendiri, apa adanya, tak perlu menjadi diri orang lain.

Lucu ya! Kita selalu dipertemukan dengan berbagai macam orang dan karakter. Dan kadang pertemuan itu tidak disangka-sangka akan membuka banyak kesempatan baru untuk kita. Ya, tak ada salahnya kita memperbanyak kenalan. Ya, siapa tahu pertolongan datang dari mana saja di saat kita kesulitan. Satu hal yang pasti, Tuhan telah menjodohkan kita kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya untuk bertemu satu sama lain agar kita belajar suatu hal. 

Pernah nggak sih kadang kita bertemu teman baru bisa langsung klik, kadang juga kita bertemu teman baru seperti ada jarak tembok yang membatasi? Ya, seperti hati menerima langsung atau bisa juga hati menolak untuk mengenal lebih jauh. Dan biasanya ini yang saya rasakan saat bertemu orang-orang baru. Pikiran bekerja untuk mengumpulkan informasi-informasi mengenai objek dan nantinya akan memunculkan anggapan baik atau buruk seseorang terhadap objek itu sendiri. Kadang pula kita tak tahu alasan mengapa kita tak bisa dekat dengan si A atau si B atau pun sebaliknya. Nah, saat-saat ini saya mencoba mengurangi pikiran-pikiran negatif kepada orang-orang baru yang saya temui. Ya, kadang pikiran kita lah yang membatasi diri untuk membuka diri menerima kehadiran orang baru. Ya, walaupun tak serta-merta terlalu baik dengan semua orang, perlu juga waspada. Jika kita kira kok sepertinya berada di lingkungan pertemanan yang membawa dampak buruk, ya pelan-pelan pergi. Kalau sekiranya pertemanan berada di jalan yang baik, ya lanjutkan. Pastinya, Tuhan punya rencana untuk kita semua belajar "sesuatu".


Kamis, 11 Maret 2021

#11 Katakan, "You are GREAT!"

Beberapa hari yang lalu saya sempat menulis tentang perasaan sedih karena merasa tidak sekeren teman-teman yang lainnya. Kekecewaan terhadap diri sendiri karena bekerja bukan di kantor atau di sekolah internasional seperti kawan-kawan lain yang meniti karir. Kesedihan yang seharusnya saya tak perlu pedulikan karena telah memilih jalan sendiri dan memutuskan melewatkan kesempatan berkarir di gedung megah untuk memilih kehidupan yang beratap langit. Ya, seharusnya! Tapi kadang pikiran-pikiran dan keegoisan itu muncul dan menekan kata hati yang mungkin tak bisa dibohongi. Ah, apa yang saya cari hingga sampai titik ini? Mengapa membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain?

Ya, kadang kita selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Membandingkan kebahagiaan orang lain terhadap kebahagiaan diri sendiri! Sungguhlah kejam diri kita ini. Bahkan melewatkan memuji diri sendiri dan selalu mencaci bahwa diri ini tak layak untuk bahagia. Kadang kita kurang berterima kasih pada diri sendiri setelah berjuang selama ini. Ya, orang bilang itu "insecure", kegelisahan pada diri sendiri terhadap orang lain. Kejam ya!

Nah, tahun ini saya mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri. Mendata semua hal yang pernah saya lakukan dalam bentuk CV.  Sebenarnya sudah dari tahun lalu saya memperbaharui CV saya. Itu pun setelah beberapa tahun saya menyandang tak punya CV karena tak punya kantor. Apa itu melamar kerja? Saya sudah lupa. Cerita yang paling saya ingat saat tahun 2014, saya mengirimkan CV saya yang ala kadarnya untuk mendaftar di beberapa lembaga pengajaran. Tapi tak ada satu pun yang nyangkut. Ohhh, saya ingat ada satu lembaga yang nyangkut ding, tapi dari sisi fee tidak sesuai harapan. Lalu, akhirnya saya bekerja di sebuah tempat bimbel selama 2 tahun. Usai dari sana, saya pun memutuskan untuk tidak terikat dengan lembaga mana pun. Kalaupun ada, ya nggak 'ngoyo' banget.

Berbicara soal CV, ketika saya susun daftarnya kembali, ternyata banyak juga hal-hal yang sudah pernah saya lakukan. Bahkan dengan beberapa pengalaman tersebut tanpa saya sadari memberi kesempatan lebih banyak kepada saya daripada saya menjalani rutinitas bekerja kantoran. Ya, walaupun pada akhirnya saya mengorbankan jenjang karir saya seperti ketika saya menetap menjadi orang kantoran. Ada jalan lain yang saya ambil dan putuskan untuk perjalanan hidup saya. Ada kebahagiaan yang kita tukar dengan kebahagiaan lain. Dan itu jalur yang sudah saya pilih. Sungguh!

Hal menarik yang saya dapatkan ketika saya mencoba mendaftar 'sesuatu' yang telah menjadi impian saya sejak dulu di tahun ini, saya kembali menemukan diri saya yang hampir hilang. Ya, rasa percaya diri itu kembali! Seseorang di sana mengapresiasi apa yang telah saya kirim lewat email beberapa hari yang lalu. Ternyata apa yang saya takutkan selama ini salah bahwa saya tak punya apa-apa, saya tak seperti teman-teman saya yang memiliki karir bagus, rasa minder dan lain sebagainya. Ternyata saya layak untuk mencintai diri sendiri dan layak untuk bahagia!

Mungkin saya lupa bahwa diri kita ini sebenarnya memiliki kekuatan yang luar biasa, kemampuan yang berbeda dari yang lain, hanya saja kadang kita terlalu melihat diri orang lain tanpa melihat diri sendiri. Ya, saya jadi ingat materi leadership kapan tahun yang pernah saya ikuti, jangan lupa lakukan ini, tepuk bahu sendiri lalu katakan, "You are GREAT!"

Rabu, 10 Maret 2021

#10 Pendidikan Daerah Terpencil

Masalah pendidikan di Indonesia, terutama di daerah terpencil, masih menjadi momok bagi pemerataan pendidikan di Indonesia. Ada 3 aspek permasalahan mendasar, yaitu masalah sumber daya manusia, masalah akses sarana prasarana, dan masalah lingkungan masyarakat. Ketiga permasalahan tersebut bisa diatasi dengan kerjasama berbagai pihak, baik individu, komunitas, dan juga pemerintah.

Pertama, masalah sumber daya manusia terutama para guru di daerah terpencil memiliki kapasitas yang terbatas. Hal ini dikarenakan kurangnya kesempatan para guru untuk mengikuti training dan pengembangan diri. Di kenyataannya, para guru yang mendapat kesempatan pelatihan pun kurang mendapatkan pembinaan sebagai upaya tindak lanjut maupun evaluasi penerapan hasil pelatihan tersebut. Alhasil, pelatihan kepada guru-guru hanya sampai kepada materi saja, belum sampai ke evaluasi implementasi di lapangan. Padahal, jika kita tengok kembali, pelatihan terhadap guru-guru tersebut seharusnya tepat sasaran dan berguna untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar di kelas sehingga secara tidak langsung, pelatihan memiliki dampak positif kepada anak didik.

Kedua, masalah krusial pendidikan di daerah terpencil adalah tidak tercukupinya literatur atau media pembelajaran. Kurangnya buku-buku kontekstual di berbagai daerah pun masih menjadi faktor utama kurangnya literatur yang sesuai untuk daerah terpencil. Kadangkala adanya penyeragaman literatur maupun buku cetak seluruh Indonesia, padahal tidak memenuhi kesesuaian konteks masing-masing daerah. Seperti contohnya, daerah pulau terpencil diberi buku paket yang isinya membahas tentang kereta, ya tidak sesuai konteks, belum tentu anak-anak tahu bentuk dan seperti apa kereta api itu. Materi bahan ajar yang tidak disesuaikan konteks atau kehidupan sehari-hari, apa yang bisa dilihat, ditemukan, maupun yang dekat dengan anak-anak inilah yang akan mempersulit tersampaikannya materi dengan baik. Selain itu, media pembelajaran atau literatur yang tidak cocok dengan konteks kehidupan sekitar juga akan memberi jarak apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang dipelajari di sekitar.

Ketiga, dukungan orang tua terhadap kemajuan pendidikan anaknya kurang. Dalam kenyataannya di daerah terpencil, pendidikan formal masih belum mampu memenuhi tuntutan komunitas itu sendiri. Tak jarang jika anak-anak di daerah pedalaman lebih memilih bekerja membantu orang tua daripada sekolah dari pagi sampai sore setiap hari. Orang tua pun pada akhirnya memilih tidak menyekolahkan anak-anak mereka karena tanpa sekolah pun mereka bisa "bahagia" dengan cara mereka sendiri.

Dari ketiga permasalahan tersebut, pendidikan alternatif hadir untuk menjadi salah satu solusi pendidikan di daerah pedalaman. Apa itu pendidikan alternatif? Mari kita bahas di tulisan selanjutnya ya!

Selasa, 09 Maret 2021

#9 Semua Akan Hilang Pada Waktunya!

Sejak kecil saya suka sekali mengamati lingkungan sekitar. Tak jarang daya ingat saya cukup kuat menyoal hal-hal yang berkesan untuk saya. Secara tak sadar, memori itu terekam dengan baik dan sewaktu-waktu bisa saja muncul begitu saja bahkan saat saya tak bermaksud mengingatnya. Seperti saja contohnya, saya akan mudah ingat dengan tanggal lahir orang-orang yang berkesan atau orang-orang yang memiliki memori dengan saya. Bahkan, saya mudah ingat momen-momen jam, kondisi, situasi, keramaian, atau keheningan yang terjadi lengkap dengan printilan dan detail kejadiannya. Seperti ada gudang dalam otak saya untuk menyimpan banyak hal dan kadangkala membuat saya susah melupakan hal-hal buruk yang terjadi pada saya yang berakibat sulitnya memaafkan seseorang jika saya rasa itu sangat menyakiti saya. Sebenarnya ini hal buruk yang sampai saat ini saya masih berusaha untuk memperbaikinya.

Ditambah lagi, saya merupakan tipe orang yang sayang dengan barang-barang yang memorable. Bahkan, sewaktu kuliah, teman saya pernah nyeletuk tentang barang yang sudah lama tak dipakai hasil karya kelas kami, "Coba saja tanya Dian, pasti dia simpan itu barang dari tahun kapan!" Ya, benar saja! Sewaktu kuliah saya selalu menjadi orang yang mengumpulkan barang-barang hasil karya kelas. Apalagi kalau barang-barang itu adalah barang berharga versi saya, penuh kenangan. Misalnya saja, butuh waktu semalaman mengerjakannya secara berkelompok, tentu saja saya tak tega membuang hasilnya karena saya pikir ketika kita menyimpannya kita akan menghargai kerja keras kita itu. Lantas, apa yang terjadi? Setelah 10 tahun, kosan saya bak gudang dengan perkakas yang hampir saja tanpa space untuk duduk.

Suatu ketika, kosan saya kebanjiran karena selokan mampet. Berhubung kos saya di lantai satu, alhasil barang-barang saya banyak yang basah dan mau gak mau saya merelakan untuk buang sebagian dan sebagian lagi tetap saya simpan. Sebenarnya, barang-barang itu tak serta merta saya gunakan setiap hari. Saya hanya menyimpannya dan menjaga setiap memorinya. Ternyata saya salah! Barang-barang itu banyak yang semakin lembab setelah tetap saya simpan setahun setelah banjir itu datang dan malah merusak barang lain yang sebenarnya masih bisa digunakan kembali. Semenjak itu, saya akhirnya pindah ke kosan baru, banyak barang-barang saat kuliah yang terpaksa saya buang, tapi tetap saja masih ada 30an container 70 literan. Bayangkan! 30an box ya! Pindahannya pun 30 hari sebelum penempatan kosan baru. Beruntungnya, mas kosan baik diperbolehkan menghuni kamar satu bulan setelah itu setelah loading barang. Inilah yang membuat saya tidak suka pindahan! Ya, karena barang-barang saya banyak!

Pernas suatu hari saat kami pulang dari kampus, seorang teman nyeletuk, "Tuh, Put, Mbak Dian nih barang-barang di kosannya banyak. Semua disimpan sama dia!" Lantas, aku balas, "Ya, aku hanya mau menjaga kenangan dan barang-barang itu penuh memori!" Belum selesai, salah satu kawan pun berkata, "Gak mungkin Lo simpan terus itu barang. Pasti suatu saat Lo akan buang itu!" "Tidak mungkin!" jawabku dengan berbagai idealisme tinggi.

Benar saja, saya pikir saya akan bisa tetap menampung semua hal yang bisa saya jaga, termasuk barang-barang itu. Mungkin saya perlu buka gedung museum kali ya untuk merealisasikan hal itu. Sayangnya, saya salah memilih menjadi orang yang menyimpan setiap kenangan. Saya salah terlalu enggan untuk meninggalkan masa lalu. Saya salah menjadi orang yang terlalu pemikir dan takut kehilangan. Ya, padahal sebenarnya kita bisa mendapat hal lain yang lebih bermanfaat untuk masa kini dan masa depan selain memikirkan masa lalu. Ya, saya masih belajar untuk hal ini. Untuk menghargai setiap momen waktu dan merelakan setiap momen itu tersimpan pada tempatnya, tapi tak ingin memaksanya tersimpan, hanya biarkan saja apa adanya. Dan benar saja, saya tak bisa terus menyimpan setiap kenangan yang ada, cukup nikmati saja dan ikuti saja perasaan apa yang muncul saat itu juga. Itu saja cukup. Nikmati saja selagi bisa, tidak perlu membebani diri sendiri dengan masa lalu, karena kita hidup bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa kini dan masa depan.

Biarkan rencana Tuhan yang bertindak! Kita akan belajar banyak hal. :) :) :)

Senin, 08 Maret 2021

#8 Jika Gagal, Mari Kita Coba Lagi!

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan info dari Kak Rosa ada sebuah yayasan yang mencari guru untuk anak-anak Papua. Sebenarnya ini cukup membuat saya senang bercampur takut. Saya senang karena ada kesempatan lagi untuk mencoba daftar menjadi guru di Papua, tapi sekaligus takut, takut kalau saya gagal lagi.

Tapi akhirnya saya memutuskan untuk mencobanya. Jika gagal pun setidaknya saya menjadi tahu kapasitas saya sebenarnya sejauh mana. Dan mari kita coba lagi. Ya, kalau lolos, berarti Tuhan memang sudah menakdirkan jalan saya seperti itu. Ikuti saja Tuhan punya jalan....

8 Maret 2021. Pagi itu saya ngebut buat application letter, beberapa hari yang lalu saya belum ada ide untuk menulis dan bingung mau menulis apa. Alhasil, pembuatan application letter saya tunda hingga waktu yang belum jelas kapan menyempatkan diri untuk menulis. Dan entah apa yang membuat saya bersemangat hari itu. Saya benar-benar fokuskan diri untuk mempersiapkannya. Saya butuh berjam-jam hanya untuk menulis application letter 1 halaman. Benar saja! Ini sungguhlah menguras raga dan pikiran. Benar sekali, seperti saat saya mau daftar beasiswa, ya walaupun akhirnya tak lolos, tapi bisa melewatinya itu adalah sebuah tantangan dan sekaligus keberhasilan: mengalahkan diri sendiri. Dan ini yang kadangkala kita lupakan.

Sering sekali kita berusaha mengupayakan segala macam untuk mendapatkan impian kita, tapi kadang kita lupa sebenarnya tujuan kita itu bukanlah benar-benar tujuan yang kita inginkan. Kadang pula kita kecewa karena hasilnya tidak sesuai harapan. Jadi, setelah merenung beberapa hari, saya kembali memantapkan hati dan kembali mempertanyakan tujuan saya untuk apa memilih Papua sebagai jalan berikutnya. Dan biarkan jalan Tuhan yang bertindak, kirim, berdoa, lalu lupakan sejenak. Bukankah itu yang saya selalu gunakan saat saya menulis untuk media maupun lomba? Kirim, lalu lupakan!

Saya bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mendukung mimpi-mimpi saya. Salah satunya adalah Fitri, kawan yang telah berbagi pengalaman dengan saya selama 10 tahun terakhir. Ya, Fitri mendukung impian saya menjadi guru di pedalaman Papua. Bahkan dia juga membantu mengecek application letter saya. Entah mengapa ketika saya berdiskusi dengannya, selalu saja banyak hal yang bisa kami dapatkan. Ada saja ilmu yang bisa dipelajari dalam hidup masing-masing. Benar saja, di saat kita bermain di dekat penjual minyak wangi, kita akan mendapat wanginya, ketika kita dekat-dekat dengan api, maka kita akan kena apinya. Ya, begitulah, ketika kita berteman dengan orang-orang yang berpikir positif, kita akan ikut berpikir positif, dan ketika kita berdekatan dengan orang-orang yang suka mengeluh, maka kita akan ikut mengeluh. Terima kasih Fitri sudah selalu menyemangati untuk impian kita masing-masing. Sehat-sehat selalu ya!

Dan jika memang berjodoh dengan tanah Papua, kita akan bertemu, Papua!

Minggu, 07 Maret 2021

#7 Manusia dan Identitasnya

Manusia lahir dengan berbagai macam identitas yang disandangnya. Mulai dari gender, suku, ras, agama, dan sebenarnya sebagai manusia sendiri itu adalah sebuah identitas kita dari makhluk lain. Saya pernah berdiskusi kembali dengan salah satu kawan, Fitri, tentang ini, sebuah identitas seseorang. Fitri mengingatkan saya bahwa tentang identitas seseorang pernah kami bahas di salah satu mata kuliah yang diajarkan oleh Ibu Nisa sebagai dosen kami. Sejak lahir, kita telah menyandang berbagai macam identitas. Apakah identitas itu sendiri? Menurut KBBI Onlineidentitas /iden·ti·tas/ /idéntitas/ n ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri. Seperti saya contohnya, saya lahir berjenis kelamin perempuan, dari orang tua berdarah Jawa, beragama Islam. Dengan begitu saya beridentitas, perempuan, Jawa, dan Islam. Pastinya, ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat, kita pun akan menyandang lebih banyak lagi identitas yang dibuat oleh masyarakat.

Akhir-akhir ini muncul keresahan dalam diri saya tentang identitas saya sebagai seorang perempuan muslim yang identik dengan penggunaan jilbab. Pernah suatu hari saat saya mengikuti salah satu kegiatan di Vietnam, saya bertemu dengan seseorang yang entah mengapa melarang kami ikut di acara pembukaan kegiatan. Peraturan itu pun disampaikan oleh salah satu kawan tim saya dari Indonesia dan saat itu yang kami tahu alasannya karena kami menggunakan jilbab dan salah satu panitia keberatan takut-takut kalau ada orang tua yang tidak nyaman anak-anaknya belajar bersama kami, perempuan-perempuan berjilbab selama 2 minggu. Awalnya, kami kesal dengan alasan tersebut, tapi akhirnya kami berpikir positif saja mungkin sebelum bertemu kami, panitia ini memiliki pengalaman buruk dengan identitas suatu agama lain. Wajar saja, ini bukan lingkungan kami, jadi ketika kita berani terjun ke suatu kelompok dengan identitas tertentu, kita harus berani dengan konsekuensi yang terjadi di kelompok tersebut. Tapi kembali lagi, jangan lupa jati diri sebagai manusia itu sendiri.

Lalu, pengalaman saya saat saya pergi ke Sri Lanka. Saya berkunjung di sebuah temple megah di salah satu kota. Pagi itu temple ramai dikunjungi orang-orang lokal hendak beribadah maupun para turis yang hanya ingin melihat-lihat. Karena rasa penasaran saya, akhirnya saya membuat sebuah eksperimen. Saya menanggalkan scarf yang sebelumnya saya pakai di tepi kolam. Ini pertama kalinya saya keluar tanpa menggunakan penutup kepala. Apa yang saya rasakan? Freedom! Saya merasakan sesuatu yang sulit dideskripsikan. Walaupun awalnya sungguhlah agak bagaimana gitu, tapi aku merasa lebih nyaman di lingkungan ini tanpa menggunakan scarf yang menggugurkan identitas saya sebagai orang Islam. Lantas, saya melanjutkan perjalanan, berjalan di tengah-tengah ratusan orang berjejal memasuki pintu gerbang. Dua orang eropa berada di depan saya diberhentikan karena harus menunjukkan tiket turis. Ternyata keduanya belum memiliki tiket, alhasil mereka berdua harus melawan arah mencari konter tiket di luar gerbang. Dengan percaya dirinya, saya diam-diam mengikuti saja langkah orang-orang berjejal. Penjagaan pertama saya lolos karena tubuh kecil saya mungkin nyaru dengan orang-orang lokal di sana. Tapi, penjagaan kedua, saya harus putar badan karena penjaga akhirnya menemukan saya tidak memiliki tiket masuk. Alhasil saya harus berdesak-desakan lagi melawan arah untuk membeli tiket.

Tak hanya sampai di situ, setelah mendapat tiket, saya pun akhirnya kembali berjubel-jubel masuk gerbang tanpa masalah lagi. Kami menelusuri lorong dengan saling himpit. Di sana akhirnya saya membuat eksperimen kembali, scarf yang saya gulungkan di leher, akhirnya saya pakai lagi untuk menutup kepala saya. Sepanjang lorong saya aman dan tak ada orang yang protes, tapi setelah sampai di lobby utama, seorang penjaga meneriaki saya dengan gerakan tangan melarang saya untuk tidak menggunakan scarf di dalam temple. Baikkk!!! Alhasil saya tanggalkan lagi. Kedua eksperimen saya tersebut membuat saya semakin penasaran. Apakah identitas seseorang mengotak-kotakkan menjadi beberapa bagian? Seperti ada tembok besar yang menghalangi kelompok satu dengan kelompok lainnya. Sering sekali kita mendengar beberapa konflik antarkelompok dipicu dari identitas yang berbeda seperti ras, agama, suku, bahkan status sosial.

Lalu, pernah juga saya mendaftar di salah satu sekolah di Papua. Pemilik sekolah tertarik dengan CV saya, tapi karena saya menggunakan hijab, saya tidak mendapatkan kesempatan itu. Satu hal yang dijelaskannya, karena sekolah ini di bawah gereja dan ditakutkannya adalah nantinya saya tidak bisa mengikuti kehidupan di sana atau mungkin itu akan membuat ketidaknyamanan berbagai pihak atas perbedaan tersebut. Dan saya memaklumi keputusan itu, walaupun saya merasa sedih dan mempertanyakan mengapa ketika saya menunjukkan identitas saya sebagai seorang muslim ada rasa tidak tenang dan tidak nyaman dalam diri saya. Ada hal yang membuat saya terus berpikir antara realitas di masyarakat dengan ambisi saya sebagai manusia yang ingin berbagi dengan sesama. Apakah benar, identitas memberi batasan seseorang dalam hidupnya? Begitulah kiranya hal yang saya resahkan setelah saya berpikir ulang di tahun ini tentang beberapa hal yang pernah terjadi.

Tahun ini saya kembali resah dengan identitas diri saya sebagai perempuan muslim yang harus menggunakan jilbab. Saya membuat eksperimen kembali setelah saya pindah di tempat baru yang benar-benar saya tak mengenal siapa pun di daerah tersebut. Saya kembali menanggalkan kerudung saya kemana pun saya pergi. Awalnya, saya ragu, tapi saya mencobanya, sekali dua kali. Dan apa yang saya rasakan? Saya merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Seperti tak ada hal yang membuat pembatas antarmanusia yang saya temui seperti saat saya menggunakan kerudung.

Bahkan ada hal menarik yang saya dapatkan. Saat saya berkunjung di tempat Kak Rosa tanpa menggunakan kerudung, saya bertemu dengan salah satu kawan kak Rosa. Di pertama kali bertemu kami bertegur sapa dan berkenalan. Hingga suatu waktu kami membicarakan sedikit banyak tentang agama. Lantas, teman baru saya ini pun bertanya, "Maaf, mbak ini agamanya apa? kristen atau katolik? atau muslim?" Lantas saya jawab, "Saya muslim Mas." Satu hal yang menarik untuk saya pelajari, di saat saya menanggalkan kerudung, kok malah membuat saya lebih manusia ya! Bayangkan saja jika saya datang dengan kerudung, orang-orang pasti langsung tahu bahwa saya muslim tanpa bertanya kepada saya. Dan ketika saya tidak menggunakan kerudung, orang-orang lebih tak bisa menebak apa agama saya sebenarnya.

Satu hal yang saya yakini saat ini adalah saya percaya bahwa hubungan Tuhan dengan manusia itu biarkan masing-masing yang menjalani. Kita cukup menjaga hubungan manusia dengan manusia. Kadangkala dengan berbuat baik dengan sesama manusia dan memanusiakan manusia saja sudah cukup untuk membuat hidup ini lebih hidup daripada kita mengusik tentang hubungan orang lain dengan Tuhannya masing-masing. Kadangkala dengan banyak kekepoan kita sebagai manusia yang mengurusi alur spiritual seseorang masing-masing itu malah membuat kita lupa memanusiakan manusia itu sendiri. Alangkah bahagianya ya hidup ini jika kita semua hidup berdampingan dengan baik walaupun kita memiliki identitas yang berbeda!

Dan tahun ini, biarkan saya memilih jalur saya sendiri! Setidaknya menghilangkan salah satu identitas kita bukan berarti kita kehilangan identitas kita sebagai manusia. Mari berjalan di jalur masing-masing! Hidup berdampingan dengan memanusiakan manusia. 

Sabtu, 06 Maret 2021

#6 Hidup untuk Belajar

Apa cita-citamu? Guru!

Kenapa kau ingin jadi guru? Pertanyaan ini sungguh menggelitik yang kadangkala saya tak tahu harus menjawab seperti apa. Alasan konyol yang saya ingat dulu waktu SD kelas 3 saya ingin menjadi guru karena orang tua salah satu teman yang saya kagumi berprofesi guru. Dan sepertinya dulu menurut saya profesi guru memberikan kehidupan yang sangat layak di kampung. Ya, maklum saya lahir dari keluarga sederhana dengan penghasilan tak tetap dan mungkin saat itu saya berpikir penghasilan tetap dan rumah bagus adalah mimpi anak desa seperti saya. Namun, alasan itu berubah seiring berjalannya waktu. Alasan yang sulit saya jelaskan saat ada yang bertanya mengapa harus guru!

Bahkan sampai saat ini, saya tetap tak mampu menjelaskan mengapa saya begitu ingin menjadi guru... Ya, biar saya tambahi lagi kalimatnya... guru pedalaman, yang mungkin sangat jarang orang lain memimpikannya. Saya tak ingat sejak kapan impian ingin pergi ke pedalaman itu muncul. Yang pasti saya pernah mendaftar beberapa kali Indonesia Mengajar, tapi gagal. Saya juga sempat mendaftar beberapa kesempatan lain, tapi juga tak membuahkan hasil. Dan itu saat saya sedang bergejolak ingin sekali ke Papua, tapi tak ada siapa-siapa yang kutahu di sana, tepatnya tahun 2013-2016 an lah kira-kira. Sampai akhirnya, setelah Bapak saya meninggal dan tanggung jawab keluarga harus saya selesaikan sebagai anak pertama. Saya harus hidup realistis dan mengejar ketertinggalan finansial agar kehidupan keluarga saya tetap berlanjut. Akhirnya, saya menyimpan impian saya untuk belajar di Papua sedini mungkin dan saya melanjutkan kehidupan kota kembali.

Apakah saya melupakan impian saya untuk mengajar di pedalaman? Tidak! Saya tetap berusaha ikut kegiatan di beberapa daerah terpencil di sela-sela kehidupan di kota. Beberapa kali saya ikut terlibat di Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau (KIJP) yang fokus di daerah Kepulauan Seribu, Banten, dan juga Karimun Jawa. Ada 3 aspek yang kami usung, yaitu sekolah, masyarakat, dan lingkungan. Aspek sekolah, kami membagi cerita dan pengalaman dengan cara memperkenalkan profesi masing-masing dan juga menebar inspirasi untuk anak-anak pulau. Aspek masyarakat lebih kepada pendekatan kepada masyarakat dan saling bertukar ilmu dengan pemuda-pemudi setempat maupun orang tua untuk meningkatkan skills yang nantinya bisa digunakan untuk membantu perekonomian masyarakat itu sendiri. Aspek lingkungan, kami bersama warga setempat berbagi skills untuk mengolah dan menjaga alam, misalnya saja pengolahan limbah plastik yang banyak kita temui di pantai untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Bertemu dengan keluarga baru di KIJP memberi peluang kepada saya bahwa hidup tak hanya sekadar bekerja memperkaya diri, tetapi juga berbagi dengan orang lain, apa pun itu bentuknya. Kira-kira kurang lebih 4 tahun saya aktif di KIJP, bahkan sampai saat ini pun saya masih sering berinteraksi dengan kawan-kawan KIJP.

Semangat KIJP pun menambah semangat saya untuk ikut serta mengajar sehari Kelas Inspirasi. Saya pernah mengikuti Kelas Inspirasi Sukabumi 1 dan juga Kelas Inspirasi Bandung #5. Mengajar di daerah dengan kultur yang berbeda dari segi bahasa daerah yang berbeda membuat saya belajar hal-hal baru. Tak hanya itu, perjalanan saya juga dibarengi dengan pertemanan kawan-kawan yang punya semangat berbagi. Dan Kelas Inspirasi terakhir yang saya ikuti adalah Kelas Inspirasi Blora #3 tahun 2019. Blora adalah kota kelahiran saya dan baru saat itu saya putuskan untuk kembali berbagi dengan anak-anak di kota kelahiran saya itu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengikuti Kelas Inspirasi di Blora, tapi belum ada waktu yang pas dan kemarin adalah jalan Tuhan telah merencanakan hal indah di waktu yang tepat.

Kegiatan kerelawanan saya berlanjut di pertengahan tahun 2019. Saya mendaftar kegiatan Vietnam Summer Camp. Ini pertama kalinya saya mengajar anak-anak Vietnam. Sungguh, culture yang berbeda selalu memberi banyak inspirasi dan pembelajaran. Saya bisa belajar tentang pendidikan di Vietnam dan bertemu berbagai tipe orang dengan background berbeda-beda.

Kemudian, saya juga ikut RuBI (Ruang Berbagi Ilmu) di Toraja. Saya menjadi relawan narasumber untuk mengisi materi MBK Matematika untuk training guru-guru di Toraja. Bertemu pendidik di daerah jauh dari pulau Jawa membuat saya berefleksi diri, seperti ada suntikan semangat bahwa saya harus melakukan "sesuatu" untuk daerah pedalaman yang tak lain adalah salah satu impian saya yang selama ini tengah mati suri. Semangat belajar Bapak dan Ibu guru di Toraja menginspirasi saya untuk terus belajar kembali.

Akhir tahun 2019, saya mendaftar kegiatan Socio traveling Labuan Bajo dan lolos menjadi satu-satunya peserta yang paling tua di antara anak-anak mahasiswa yang tengah semangat-semangatnya berbagi. Hal itu tidak membuat saya merasa paling tua, bahkan saya belajar dari semangat mereka yang tengah membara. Ini adalah Indonesia bagian timur kedua yang telah saya kunjungi setelah Toraja. Tepatnya di desa Satar Lenda, daerah tanpa listrik dan sinyal. Tapi saya malah menemukan arti hidup yang sebenarnya. Budaya dan adat istiadat yang melindungi alam sendiri. Ada hal yang membuat saya jatuh hati pada tempat seperti ini: kesederhanaan. Semoga saya bisa kembali menyapa keluarga di Satar Lenda. Aamiin.

Nah, selama pandemi ini saya belum ikut lagi kegiatan offline. Tapi, saya saat ini ikut aktif di kegiatan Gernas Tastaka. Beberapa kali saya mengisi materi training of trainers (ToT) daring dengan peserta teman-teman mahasiswa dan juga Ibu-Bapak guru. Di Gernas Tastaka inilah saya mulai lagi belajar lebih dalam lagi tentang pengembangan materi matematika untuk level sekolah dasar. Ternyata banyak hal yang menarik untuk dipelajari lagi. Ya, sebagai guru, seharusnya kita terus belajar dan mengembangkan diri to? Semangat selalu walaupun pandemi! Semoga segera berakhir! Aamiin.

Lalu, di awal tahun 2021 ada harapan kembali untuk mimpi-mimpi saya menjadi guru di pedalaman. Nanti akan saya ceritakan lagi tentang bagian ini. Walaupun pada akhirnya saya belum menjadi guru seperti impian saya, tapi saya tetap bersyukur bahwa saya masih diberi kesempatan untuk terus belajar. Hal yang pasti, saya belajar banyak hal dari orang-orang dan lingkungan baru yang saya temui di tahun ini maupun tahun-tahun sebelumnya. Kita lakukan saja yang terbaik! Yang terpenting adalah jangan berhenti bermimpi! Dan ikuti saja alur semesta membawa hidup ini! Semoga semesta mendukung!




Jumat, 05 Maret 2021

#5 Ketika Anak Matematika Belajar Bahasa

Pertengahan Juni tahun lalu, saya mengikuti kelas 5 bahasa secara online yang diadakan oleh PPI DK Amerop. Ada kelas bahasa Spanyol, bahasa Ceko, bahasa Portugis, bahasa Italia, dan bahasa Turki. Dari kelima bahasa tersebut, saya paling suka bahasa Spanyol. Tapi sebenarnya saya suka semua bahasa itu, tapi menurut saya bahasa Turki yang paling susah dipelajari. Selain itu, mungkin saya tidak cocok dengan cara penyampaian guru bahasa Turki nya jadi susah masuk ilmunya. Ini menarik, sering sekali kita bertemu guru yang enak dan membuat kita nyaman, ilmunya pun akan mudah diserap. Berbeda dengan ketika kita mendapat guru yang tidak cocok dengan kita, auto susah ilmunya masuk ke otak. Itu yang saya rasakan. Sudah materi sulit dipahami ditambah tidak cocok dengan cara belajar gurunya. Ya sudah, tamat!

Nah, berbekal ilmu yang saya dapatkan dari kelas tersebut, saya pun mencoba belajar sendiri menggunakan aplikasi Duolingo. Bersyukur ada aplikasi ini yang sangat bermanfaat dan mengasah level bahasa saya. Kadang berpikir, kenapa gak dari dulu ya saya tahu kalau ada aplikasi keren ini. :) Karena pengalaman saya, saya itu susah sekali menghafal, itu jugalah yang menjadikan alasan saya mengapa saya ambil jurusan IPA daripada IPS sewaktu SMA. Bagi saya, menghafal itu lebih susah daripada menghitung. Makanya nilai bahasa saya lebih rendah daripada nilai berhitung saya. Tapi ternyata keisengan saya untuk mempelajari bahasa lain membuka kesempatan saya untuk belajar lagi, malah membuat saya jatuh cinta dengan beberapa bahasa yang saya pelajari.

Ya, benar! Kali ini saya jatuh cinta dengan bahasa Spanyol. Dari 5 bahasa yang saya pelajari itu memang tingkat pemahaman bahasa Spanyol saya yang saya rasa paling tinggi. Lalu, tahun ini ada kesempatan belajar lagi dengan guru yang pernah mengajar bahasa Spanyol di program PPI DK Amerop, Kak Neli. Nah, saya gabunglah di kelas A1.1 yang dibuat Kak Neli. Di sana saya bertemu dengan teman baru, ada Ibu Anastasia yang sedang di Belanda dan Tivani yang tinggal di Sumatera. Jadi semangat buat belajar karena teman-temannya semangat buat belajar. :)

Bulan Februari lalu selesai sudah kelas A1.1 ala sekolah negeri di Spanyol kalau kata Kak Neli bilang. Ada 5 kali pertemuan, 4 pertemuan materi dan 1 pertemuan percakapan. Enaknya, ada kesempatan buat ngobrol langsung dengan orang Spanyol asli, Profesor Juan di pertemuan kelima. Pas percakapan hari terakhir kemarin, saya merasa senang karena ya walaupun belum lancar-lancar banget, tapi setidaknya saya bisa mengerti apa yang ditanyakan Profesor Juan dan Profesor Juan mengerti apa yang saya katakan. Si! Level bahasa spanyol saya naik. :)

Ternyata menarik sekali ya belajar bahasa itu! Saya terakhir belajar bahasa Jepang itu tahun 2013-2016, sewaktu saya ikut teater ENJUKU. Tapi ya itu karena saya tak ada basic bahasa Jepang, saya hanya bisa mengerti sedikit-sedikit dan juga kurang saya pelajari lebih dalam. Padahal jika benar-benar ditekuni membuat saya belajar banyak hal. Jadi begini ya keseruan belajar bahasa itu, kalau kita mengerti, kita akan ketagihan untuk belajar lagi dan lagi. Mari semangat buat belajar dimana pun berada! Muchas Gracias!

Teman-Teman sekelas yang semangat belajarnya luar biasa!


Profesor Juan


Info kelas bahasa Spanyol Kak Neli bisa dilihat di Instagram: @spanyol.indonesia 

Foto: Teman Sekelas

Kamis, 04 Maret 2021

#4 "Ikut Semesta Pu Rencana Saja"

"Satu-satunya hal yang pasti yaitu "ketidakpastian" itu sendiri," kata Kak Rosa tempo hari saat kami saling bercerita. Salah satu hal yang sa pelajari dari Kak Rosa adalah caranya mengatasi ketidakpastian yang terjadi. "Ikut semesta pu rencana saja," tambahnya.

Setuju! Itu kata yang akan sa jawab untuk merespon pernyataan kak Rosa. Sa pernah mempertanyakan tentang apa level tertinggi sebagai manusia kepada Fitri, salah satu kawan yang sering sa ajak diskusi, apa saja didiskusikan dari yang remeh-temeh sampai yang berat dan pada akhirnya kami belajar "sesuatu". Apakah saat seseorang mencapai level tertinggi, ia akan lebih mudah menerima dan menjalani hidupnya? Yang jelas diskusi itu membuat kami saling cerita tentang pengalaman masing-masing.

Dari diskusi tempo hari bersama Fitri, sa belajar bahwa ketika seseorang mencapai level tertinggi, mereka akan berpikir lebih sederhana karena kadangkala pikiran yang terlalu menganggap sesuatu rumit itu yang membuat semuanya serba sulit. Kadangkala kita terlalu memikirkan hal-hal di luar kendali kita. Seperti misalnya terlalu memikirkan apa kata orang, memikirkan nanti berhasil atau tidak, atau memikirkan hal-hal yang tak mampu kita kontrol lainnya. Hal inilah yang kadang menjadi boomerang untuk kita. Kadang kita terkungkung pada pikiran sendiri dan melupakan makna dari apa yang kita jalani.

Sa pernah di titik "minder" dengan pekerjaan yang tengah sa jalani. Suatu hari sa mengikuti acara teman dan di sana teman-teman sa  yang bisa dikatakan telah sukses di ibukota dan telah menjadi guru di sekolah internasional itu menjadi pemateri. Halaman pertama pada PPT nya jelas nama lengkap beserta nama sekolah ternama di jajaran ibukota. Sa yang bekerja bukan sebagai apa-apa ini pun terasa minder begitu saja melihatnya. Di tengah-tengah diskusi, sempat sa pergi ke dapur dengan alasan mau buat makan malam untuk mereka padahal kenyataannya sa tak ingin melihat mereka latihan presentasi pembukaan perkenalan diri. Jujur, saat itu sa sangat sedih. Salah dua teman sa ada yang ngeh tentang perubahan semangat sa saat itu. Mereka pun akhirnya mencoba mengerti apa yang sa rasakan saat itu. Dalam percakapan dengan salah satu dari mereka, sa mencoba meyakinkan diri sa bahwa pilihan sa untuk tidak terikat dengan lembaga apa pun itu adalah pilihan terbaik sa. Dan akhirnya sa kembali ke tujuan awal sa memilih jalan sa sendiri. Bukankah itu sudah sa pikirkan dari awal? Ya, tentu saja!

Intinya apa pun yang kita pilih, kita harus mantapkan mental dan harus bisa untuk kecewa. Ini menyambung dengan obrolan beberapa kali dengan kak Rosa. Setiap pilihan kita itu ada konsekuensi yang akan kita dapatkan. Kita sudah pilih dan harus kuat untuk kecewa dan mungkin kita tak bisa seperti teman-teman kita lainnya, yang bisa berkarir dan mencapai tujuan-tujuan mereka. Apa pun yang kita pilih, tetap fokus pada tujuan masing-masing. Ya benar saja, kita pilih jalan mana untuk bahagia menjalankannya.

Sering kali sa punya teman dengan karir yang bagus, ngajar di sekolah internasional, berkecukupan, dan semua bisa dibeli, tapi sering kali mengeluh, pengen pindahlah, capeklah, kerjaan yang banyaklah. Tetapi juga ada teman sa yang mengabdikan diri di daerah yang jauh dari kota, susah sinyal, dan mungkin akses untuk sampai sana tak bisa diprediksi, tapi dia bahagia, dia memaknai hidupnya dengan cara sederhana. Ada hal yang menarik di sini, sebenarnya apa itu bahagia? Apakah kebahagiaan selalu diukur dengan materi? Sa rasa terlalu cethek jika kita mengukur kebahagiaan seseorang dari hanya melihat materi yang dia punya.

Tingkat kebahagiaan seseorang itu berbeda-beda tergantung kita memaknai kebahagiaan itu sendiri. Secara manusiawi, kadangkala kita punya rasa selalu kurang. Ketika mencapai satu level kepuasan, secara tak langsung level itu akan meningkat. Nah, kadang kita lupa dan kalah oleh rasa selalu kurang puas. Apa yang membuat itu terjadi? Ya karena kita kurang pandai bersyukur. Sa pun masih belajar untuk selalu bersyukur tentang apa yang sa dapatkan dan yang sa capai.

Ya, saat ini sa sedang belajar untuk memaknai setiap hal yang sa lakukan. Terlebih berbahagia di jalur sa sendiri. Terencana tapi tetap fleksibel untuk menghadapi ketidakpastian yang akan datang. Jalani saja dulu, biar saja semesta yang bertindak! Terima kasih inspirasinya Fitri dan Kak Rosa Dahlia!

Rabu, 03 Maret 2021

#3 Pertemuan di Saat yang Tepat

 Ada satu impianku terwujud di tahun 2021 ini setelah aku pindah ke Jogja. Apa itu? Yup, punya kucing di kosan. hehehe Sesederhana itu. Awalnya, aku mencari kos yang memang boleh piara hewan seperti kucing. Beberapa tempat menyatakan tidak boleh membawa hewan. Lalulah ketemu dengan satu tempat yang aku suka karena kasurnya gede. Lalu iseng kutanya apakah boleh piara kucing kepada pemiliknya. Lantas, pemilik mengatakan boleh. :) Langsunglah aku DP kosan itu. Hahaha. Ya kan untuk apa aku pindah kalau hanya untuk pindah tidur saja? Harus ada hal baru yang bisa kudapatkan di lingkungan baru. Hehe

Sebenarnya sudah sejak dulu kos di Jakarta aku ingin memelihara kucing, tapi selalu tak ada kesempatan baik. Hanya 2 kali kucing liar yang masuk ke kosan, kuanggap dia kucingku. Hahaha. Kalau masuk kosanku ya kukasih makan dia. Bahkan mereka suka menunggu di depan kamar, menunggu sampai selarut apa pun aku pulang kerja. Ahh, I miss you, Ana dan Belang! Ana meninggaltertubruk motor yang tubuhnya baru kutemukan sehari setelah dia tak ada kabar ke kos. Itu pun saat ulang tahunku, dia pergi. Sedih? Sedih sekali! Ana pergi masih mau menyapaku saat ulang tahunku. Padahal sehari sebelumnya, aku mencarinya karena seharian tak ada kabar. Kutanya Mbak Was, salah satu tetangga kamar kos yang juga penyuka kucing, tapi Mbak Was tak tahu kabar Ana. Yah, begitu ya hidup dan mati kita tak pernah tahu kapan akan tiba.

Ana, kucing penurut dan menunggu hingga aku ulang tahun. :'')

Lalu, kedua Belang, kucing Betina yang punya anak banyak. Belum juga kusteril, dia sudah hamil lagi. Belang memiliki warna belang tiga di tubuhnya. Awal bertemu dengannya di parkiran kos, lalu kupanggil dan kukasih makan. Ehh, tiap hari dia datang. Sayangnya, Belang sepertinya punya trauma tersendiri sama ganggang sapu atau sesuatu yang berbentuk seperti sapu dan dia tak mau dipegang. Sepertinya pernah ada yang tega memukulnya sampai-sampai dia takut dengan orang. Terakhir kutinggal ke Jogja, Belang habis melahirkan banyak anak dan anaknya disembunyikan di kamar paling ujung dekat balkon, lalu dipindahkan lagi entah kemana. Semoga baik-baik saja dia dan anak-anaknya.


Belang dan anak-anaknya (2020): Belung, Belong, Beling, Beleng

Anak Belang yang pertama selamat hanya 1 dari 4 bersaudara, Kunamai Belung namanya. Pernah suatu hari, Belung meang-meong di parkiran, lalu kupungutlah dia. Ceritanya deramakkk sekali ini, kapan-kapan aku ceritakan. Singkat cerita Belung akhirnya kukembalikan ke Belang dan hidup sampai sekarang. Akhirnya Belung dipelihara oleh Mbak Dina, tetangga kosan yang suka kucing. Dan sekarang Belung badannya gemuk lalu berganti nama menjadi Milo. :)

Belung kecil yang kuselamatkan dari parkiran, sepertinya jatuh dari atap


Belung setelah kukembalikan ke Belang


Belung diajak Emaknya Kosan tour setelah beberapa waktu kukembalikan ke Belang


Belung setelah berganti nama menjadi Milo, sudah besar dia!


Ini foto terakhir yang kudapatkan sebelum pindah ke Jogja. Malam itu Belung (Milo) yang jarang ke lantai 2, dia tiba-tiba saja main di deket kamarku. Sepertinya dia tahu kalau aku akan pindah dan memang beberapa hari sebelum aku pindah aku ingin sekali bisa ketemu Belung lagi. Dan Tuhan maha baik, memberi kesempatan itu walau hanya sebentar. :)

21 Februari 2021

Pagi itu salah satu kawan, Fitri namanya, mengirimkan foto Moki, kucing kesayangannya lewat WA. Aku pun berkomentar kalau kucingnya lucu dan aku ingin memiliki kucing. Lantas aku bilang berharap ada kucing nyarang di halaman n cowo. Baru juga selesai mengetikkan itu, tiba-tiba ibu-ibu penginap malam ini mengabarkan padaku, "Dek, kok ada kucing masuk? Memang suka ada kucing masuk ya?" Aku yang awalnya rebahan, langsung bangkit, benar saja kulihat kucing putih dengan corak hitam di beberapa bagian tubuhnya. Kuajak dia keluar, sangat jinak, kuberi dia makan dan akhirnya kami bermain bersama. Ada luka di telinganya, aku ingin merawatnya, tapi sepertinya kucing tetangga. Ya sudah, Fitri bilang kalau dia main ya biarkan saja dan kasih makan, kalau dia gak main ya sudah jangan dicari.

Pertemuan pertama dengan Nyanko (Bin)


Nyanko (Bin)


Lalulah, aku pagi itu puas-puasin main sama kucing itu. Oh iya, kukasih nama dia Nyanko. Menjelang siang, Nyanko masih main di halaman bersamaku. Tetiba mas kos menghampiri kami, "Kucing dari mana Mbak?" "Nggak tahu Mas, tiba-tiba datang. Mungkin kucing tetangga," jawabku. "Manut ya!" tambahnya. "Mas, boleh aku pelihara gak?" mintaku sambil memelas. "Boleh..." balasnya. Kata hatiku teriak "Yesss!!!" Baik! Punya kucing, tapi hati masih setengah-setengah karena gak tahu itu kucing siapa. Nanti kalau dicari yang punya kan kasihan nyariin.

Tapi rencananya aku mau bawa dia ke dokter siang itu. Beberapa petshop sudah kutelpon untuk jadwal pemeriksaan dan vaksin. Siang itu pula aku lanjut ke toko perabot dekat kosan, mau beli carrier box. Entah kenapa setelah beli box-nya aku lanjut pergi ke Alfamart yang cukup jauh 2 km dari kos, maklum tinggalku sekarang di perkampungan ee. Jadi Alfamart jauh. Pulang dari Alfamart, aku mampir beli bensin di warung sayur deket kos. Pas mau bayar, aku lihat ada kucing hitam kecil main-main di pinggir jalan. Aku coba suruh menjauh dari jalan dan Mas warung pun mengambilnya. Keisenganku muncul tiba-tiba bertanya, "Kucing siapa Mas?" "Mbaknya mau?" tanya Mas warung. "Ehh, emang boleh? Tapi kucingnya jantan apa betina?" "Yang ini jantan. Mau? Kucing saya banyak sampai kemarin-kemarin saya tawar-tawarkan ke orang," jelasnya. Lansung saja kujawab, "Mau!!!" Yak akhirnya kucing hitam kecil itu kubawa dan kutaruh di box yang tadi kubeli. Pulang-pulang bawa anak kucing.

Kuro-chan! Setelah putar-putar aku mencarinya sampai keliling perumahan, ternyata dia ada di kursi sedang duduk manis. :) :) :)


Kerjaan Kuro-chan ngerecokin orang lagi buka laptop


Kayak gini nih, sukanya naik di atas laptop


Ini adegan saat aku pulang jam 11 malam, dia nungguin di ruang tamu


Bersantai dulu!


Rebahan...


Kalau makan minta ditungguin. Kalau gak ditungguin dia gak makan banyak. Manjaaa Sekaliii!!!

Yey! Punya teman baru. Nyanko punya teman baru, kunamai kucing hitam itu Kuro-chan. Siang itu pertemuan kami bertiga, aku, Nyanko, dan Kuro. Masih masa-masa pengenalan. Nyanko dan Kuro pun mulai akrab main di halaman, ngejar daun kering atau semut hitam di halaman. Kocak sekali!

Dan mulai saat itu, impianku memelihara kucing pun terwujud! Kuro-chan!!! Lalu, bagaimana dengan Nyanko? Dia sepertinya pulang ke rumahnya. Kadang sesekali main minta makan, lalu pergi lagi. Terakhir kali ketemu Nyanko ternyata benar dia milik salah satu anak tetangga dan ternyata nama asli Nyanko itu adalah Bin. kebetulan si empunya sedang main di rumah depan bareng teman-temannya, anak-anak daerah kosku. Lalulah kami kenalan dan ternyata salah satu anak itu si pemilik Bin.

Ya, begitulah kiranya cerita kali ini. Mari kita coret satu mimpi dari daftar impian! PUNYA KUCING! Terima kasih Tuhan sudah memberi kawan baik seperti Nyanko (Bin) dan Kuro-chan. :))) Kadangkala pertemuan tak terduga selalu datang di saat yang tepat. :)))

Selasa, 02 Maret 2021

#2 Inspirasi dari Timur

Hari ini aku mau cerita tentang salah satu kawan yang selalu menginspirasi, namanya Kak Rosa. Dan bertemu dengannya adalah alasan Tuhan kenapa keputusanku jatuh ke Jogja, bukan kota lain. Ya, sekarang aku punya alasan kepada harus pindah ke Jogja. Ya karena jalan Tuhan selalu menjadi jalan yang paling baik.

Berawal dari menyimak story Instagram Kak Rosa tentang salah satu muridnya, anak Papua, yang sedang bersekolah di Jawa, tengah sakit. Kak Rosa selalu update tentang perkembangan muridnya. Suatu hari, aku beranikan diri untuk DM instagram Kak Rosa dan bertanya tinggal di daerah mana Jogjanya. Dan ternyata hanya 15 menit dari kosan. Kasongan dan Rumah Obit? Deket!

Aku tak pernah berpikir ternyata Kak Rosa membuka pintu dan mempersilakan aku kalau ingin main. Padahal aku belum pernah ketemu sebelumnya. Ya, pertemanan kami hanya sebatas media sosial Facebook saja sebelumnya. Awal mula perkenalan pun kami tak ingat.

Akhir Januari, tanggal 31, aku memberanikan diri WA ke Kak Rosa kalau aku mau main ke rumahnya. Sebenarnya, aku rada khawatir kondisi pandemi seperti ini tak banyak orang yang mau dikunjungi. aku takut berkunjung ke rumah orang apalagi ada orang sakit di rumah, takut kalau aku membawa bibit penyakit lainnya yang aku tak tahu datangnya dari mana. Aku cukup hati-hati meminta izin untuk berkunjung. Ternyata Kak Rosa mengizinkan, tapi aku baru bisa setelah wawancara salah satu event Papua sekitar jam 3 sore. Wawancara lancar dan berharap bisa lolos, tapi ya tidak berharap banget, kalau lolos ya alhamdulillah kalau gak ya sudah, kalau jalannya mah akan ada jalan lain untuk bisa ke Papua. Wawancara selesai, tapi hujan deras Gaesss! Ya sudah nunggu hujan reda sambil pesan ayam goreng mbah Cemplung yang ternyata hanya 5 menit dari kosan. Baru tahu saya! >.<

Singkat cerita, aku datang ke rumah Obit. Di sana aku dapat kenalan baru dan inspirasi baru. Untuk pertama kalinya ketemu langsung Kak Rosa. Dan ternyata setelah beberapa hari kemudian setelah pertemuan itu, ternyata kami baru ingat bahwa kami sudah berteman di facebook sejak Mei 2013. Sudah lama ternyata! >.< Aku juga baru ingat, awal-awal dulu kenapa aku add facebook Kak Rosa. Aku kurang ingat, tapi satu hal yang kuingat, salah satu dosenku ada yang pernah bertemu Kak Rosa di Papua dan ada kemungkinan itu salah satu mutual yang kami punya. Dan mungkin juga impianku tentang Papua sedang butuh asupan motivasi dan Tuhan memberi jalan lewat mengenalkan Kak Rosa dengan berbagai tulisan-tulisan menginspirasinya. Coba saja tengok medsosnya atau googling aja Rosa Dahlia, temukan sendiri sekeren apa Kak Rosa dengan berbagai pengalaman-pengalamannya. :)))

2021


Nah, sekarang pertemananku di Jogja semakin banyak. Memang benar ya, orang baik itu akan dikelilingi orang baik juga. Begitulah kukatakan. Kak Rosa orang baik dan dikelilingi orang-orang baik pula. Kebaikannya menular bersama orang-orang di sekitarnya dan aku salah satu orang yang tertular kebaikannya. :)))

Tak hanya itu, aku juga punya murid baru, anak Papua, Yesman namanya, salah satu anak didik Kak Rosa yang disekolahkan di Jawa juga. Yesman anaknya cerdas! Kalau belajar sebentar saja sudah mengerti. "Yes sudah mengerti kah?" "Iya sudah!" Begitulah kira-kira percakapan kami saat belajar.

Hal-hal kecil yang membuat aku terharu. Pernah suatu ketika aku main ke tempat Kak Rosa, kami makan bersama menikmati bakso Pak Koboi. Lalu setelah makan aku berhenti sejenak sebelum berdiri cuci piring. Tak lama Yesman sudah selesai makan dan hendak cuci piring. Tiba-tiba Kak Rosa berkata, "Yes, sekalian piring ibu guru ko cuci yo!" Yesman pun menghampiri Kak Rosa lalu berkata, "Ibu guru belum selesai." Teruslah spontan Kak Rosa bilang, "Ibu guru yang sana ee" sambil mengarah ke aku. Jujur sa senang dipanggil ibu guru. :) Bahagia sesederhana itu, Kawan! Aahh, bahasa sa campur-campur masa peralihan Jakarta ke Jogja dan campur sama bahasa Papua. Duh, maaf!

Dari mengenal kawan-kawan baru di Jogja memberi inspirasi baru untuk mimpi-mimpi sa yang telah mati suri sekian purnama. Ya, impian tentang Papua. Tunggu saja cerita sa selanjutnya. Ceritanya masih panjang... :) Semoga ada jalan untuk mewujudkannya. Aamiin... Semoga semesta mendukung! Terima kasih Kak Rosa yang selalu menginspirasi! Mari memupuk mimpi!

Senin, 01 Maret 2021

#1 Jogja, Aku Kembali!

Kali ini aku kembali untuk jangka waktu yang tak bisa ditentukan. Dulu sering kali aku mengunjungi kota ini untuk istirahat sejenak, bertemu kawan lama, dan juga mampir sebentar untuk sekadar bernostalgia. Terlalu lama di Jakarta membuat aku semakin tak ingin meninggalkannya, semakin lama akan lebih sulit. Dan tak ada alasan untuk pindah ke kota lain atau tempat lain. Begitulah kiranya....

Akhir tahun 2020, aku sempat dilema. Rencana awal ingin kembali pulang ke kampung halaman, tapi ternyata banyak hal yang harus dipertimbangkan ulang. Alhasil, tidak jadi pulang dan menetap di Blora. Pilihan selanjutnya adalah merantau ke Labuan Bajo atau Bali. Sempat bertanya kepada kawan di Bali untuk ukuran kos-kosan dan biaya hidup, tapi entah mengapa belum mantap untuk pindah ke sana. Lalu, salah seorang kawan menawarkan untukku tinggal di rumahnya di Klaten. Sebenarnya sangat enak tinggal di sana, ada ibu dan saudaranya yang sudah aku kenal. Tapi lagi-lagi ada pertimbangan yang membuat aku berpikir ulang. Dan sebaiknya memang pergi ke lingkungan baru yang kita tak kenal siapa pun akan jauh lebih bebas menjadi apa yang kita mau. Ya, itu pilihan kuat yang aku pilih: Jogja!

Tak ada alasan apa pun mengapa memilih Jogja saat itu. Ya, hanya mengikuti kata hati saja. Awal tahun harus punya tempat baru, sesederhana itu. Tak ada rencana apa pun di sana, memikirkan besok akan seperti apa saja tak ada. Aku hanya mengikuti kata hati, pergi kemana kaki ingin melangkah. Itu saja! Untuk kelangsungan hidup, mari kita pikirkan nanti.

Kadang dalam melakukan sesuatu kita tak perlu ada alasan. Biarkan mengalir saja. Dan aku percaya jiwa survival kita akan hidup dengan sendirinya. Itu namanya kita mau tak mau harus memutar otak untuk segala hal ketidakpastian dalam hidup dan secara otomatis kita akan belajar untuk mempertahankan hidup. Ya mungkin masing-masing orang akan berbeda. Mungkin pula karena aku terbiasa dengan hal-hal yang random dan tak terikat, ikuti saja kata hati. Tapi sebagian orang mungkin harus direncanakan secara pasti untuk jalan hidupnya. Senyamannya saja, karena yang tahu tentang kapasitas kita adalah diri sendiri. Walaupun kadang aku random, tapi aku juga sering merencanakan hal-hal tertentu, tapi ya nggak saklek.... hehehe. Ada hal-hal yang perlu direncanakan matang, ada pula yang biarkan mengalir saja sesuai alurnya. :)

Awal-awal di Jogja membuat aku belajar banyak hal. Mulai dari bangun pagi, entah mengapa selalu bangun jam 4 pagi tanpa alarm, terus lanjut seringnya pergi ke sawah buat lihat ijo-ijoan sambil jalan-jalan nyari angin. Terus beli bahan sayur di warung deket kos plus sekalian nyari sarapan jajanan pasar dengan harga terjangkau. Lalu, aktivitas berlanjut nyapu, ngepel seluruh isi rumah, kebetulan aku kos di homestay dengan 3 kamar kosong, sedangkan aku tinggal sendirian, berasa rumah sendiri. :) Ternyata tinggal satu rumah sendiri itu menyenangkan dan yang pasti cocok buat aku yang introvert tingkat tinggi, suka cepat lelah kalau ketemu banyak orang. Dengan tinggal sendiri juga membuat aku senang menikmati waktu-waktu sendiri sebelum berkeluarga nantinya. Lebih mencintai diri sendirilah. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengetahui lebih dalam diri sendiri. Bahkan ketika aku masak pun, aku masak sesuatu yang memang aku pengen, tak perlu memikirkan keinginan orang lain mau makan apa. Mungkin ini juga jadi breaktime buat aku untuk memikirkan diri sendiri setelah selama ini selalu memikirkan orang lain, bahkan lupa tentang diri sendiri.

Walaupun aku lebih suka menyendiri, tapi bukan berarti aku tak punya kenalan baru ya di Jogja. >.< Nah, sebenarnya pertemuan ini tuh random juga tapi aku yakin ini adalah alasan dari Tuhan kenapa aku dibuatkan jalur hidup untuk tinggal di Jogja. Ya, aku bertemu dengan Kak Rosa Dahlia, seseorang yang jiwanya sudah menyatu dengan Papua dan beberapa kenalan lain yang membuat aku semangat lagi untuk bermimpi lagi. Ya, seperti impian-impianku tentang Papua. Kapan-kapan akan aku ceritakan di tulisan selanjutnya ya.

Terus juga impian-impianku yang tak bisa kurealisasikan di Jakarta ternyata bisa terealisasi di Jogja. Seperti berkebun dan punya kucing. Keduanya gagal kurealisasikan saat kos di Jakarta. :) Dan ternyata kosan di Jogja lingkungannya mendukung. Aku menanam bunga dan cabe dan mereka tumbuh subur. Jadi agenda rutin untuk bercocok tanam di kosan. Hehe. Terus lagi pemilik kos mengizinkan aku memelihara kucing. Eh pas banget waktunya tepat, aku nemu kucing item punyanya warung sayur langganan dan malah ditawarin buat bawa pulang anak kucingnya itu. Ya sudah kubawa pulang dan kuberi nama Kuro-chan. Ini juga ceritanya nanti kutulis ya.... :)

Ya begitulah kehidupan baruku di Jogja. Kadang memang kita harus menemukan tempat yang cocok untuk kita menemukan jalan meraih mimpi-mimpi kita. Bermimpi saja dulu, jika gagal bangkit lagi... gagal bangkit lagi... begitu terus sampai Tuhan bosan karena kita tak juga menyerah.... Mari memupuk mimpi!

Jumat, 01 Januari 2021

Kilas Balik 10 Tahun di Jakarta

Hari ini adalah hari terakhir aku di Jakarta sebelum kepindahanku ke kota baru. Tepatnya 10 tahun lebih 100an hari aku berada di sini. Kota dengan beragam kenangan yang kusebut hidup baru. Kota ini juga mengajarkan banyak hal tentang hidup, tentang perubahan jalur kehidupanku dan keluargaku, jalur yang kusebut pembaharuan.

Kesempatan untuk ke Jakarta adalah kesempatan terbaikku untuk mengubah jalan hidupku. Ketika aku diterima di salah satu kampus di Jakarta, secara tak langsung, pola pikir keluargaku pun juga memiliki pencerahan. Jika mungkin orang tuaku dulu berpikir untuk apa anak perempuan berpendidikan tinggi, tapi usai aku mendapatkan mimpiku untuk bisa kuliah, pemikiran kolot itu pun sedikit demi sedikit luntur.


Bahkan, bapakku menjadi sangat mendukung anak-anaknya untuk berpendidikan tinggi. Dan tak hanya itu, perubahan pandangan terhadap pendidikan juga mengubah keadaan sosial dan ekonomi keluargaku. Dan aku sangat yakin, pendidikan mampu memberi perubahan kehidupan untuk kita.


Aku juga belajar banyak hal. Dulu aku adalah anak yang sangat pendiam, pemalu, dan sangat penakut untuk bertemu orang baru. Dan bahkan di kampus aku butuh waktu 2 tahun untuk menemukan diriku yang sebenarnya. Butuh waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan kota yang jauh berbeda dengan kehidupan desa. 


Ya benar, di kampus itu pula, aku menemukan keluarga baru, kawan baru, pengalaman baru, dan kesempatan hidup yang baru. Keluarga yang mungkin memang benar, kami dipertemukan karena hidup kami sangatlah mirip. Jika ditarik benang merahnya, kami memiliki satu hal yang membuat kami terikat satu sama lainnya walaupun background kami berbeda-beda kota kelahiran. 


Kadang aku berpikir, ketika aku bercerita dengan kawan-kawan sekampusku, kami pasti akan berkesimpulan bahwa karakter yang dibangun oleh kampus itu sama mulai dari seleksi penerimaan hingga kelulusan. Kami berbeda-beda tapi kami memiliki satu kesamaan: nasib.


Ya, bahkan mungkin karakter kepedulian sosialku yang meninggi itu karena di kampus selalu dibangun rasa empati dan beberapa value yang telah menyatu pada diriku saat ini. Belajar di kampus ini juga menjadi jembatan aku mengikuti berbagai kegiatan di luar kampus.


Seperti kegiatan di dunia seni peran, teater yang bahkan menjadi keluargaku di Jakarta. Kawan baru dari kampus-kampus lain yang entah mengapa ada ikatan tersendiri. Di kegiatan inilah yang mengajarkan pula padaku untuk menemukan diri yang hilang. Jika dulu aku terkenal pemalu dan pendiam, usai kuterjun langsung di dunia teater, akhirnya kutemukan diri yang baru. Diri yang bisa dikatakan selalu ceria dan mungkin ketika kau menemukanku di saat ini kau tak akan menyangka bahwa aku pernah menjadi seseorang yang 180 derajat berbeda dari yang kau temui sekarang. 

Ya, itu karena aku belajar memperbaiki diri di kesempatanku di Jakarta ini. Lalu, aku juga bisa ikut berbagi di beberapa kegiatan volunteer, dari kota satu ke kota lain, dari negara satu ke negara lainnya, semua kesempatan itu kudapatkan di Jakarta. Yang bahkan, beberapa di antaranya, orang yang baru kutemui di perjalanan ternyata menjadi seperti keluarga sendiri. Keluarga yang menjadi tempat berbagi di jakarta ini. Dan satu per satu mimpi-mimpiku tercapai.


Ya, walaupun pada akhirnya tahun 2020 ini mungkin bukanlah tahun terakhirku di jakarta karena mungkin tahun-tahun berikutnya aku kembali ke sini. Tapi setidaknya, 10 tahun cukup untuk hidup di sini dan mari kita mulai kehidupan baru lainnya. Terima kasih Jakarta dan segala dramanya. Terima kasih telah memberikan kesempatan padaku selama 10 tahun ini. Semoga tahun berikutnya menjadi tahun lebih baik lagi. Sampai jumpa lagi, Jakarta, aku akan selalu merindukanmu!