Akhir-akhir ini muncul keresahan dalam diri saya tentang identitas saya sebagai seorang perempuan muslim yang identik dengan penggunaan jilbab. Pernah suatu hari saat saya mengikuti salah satu kegiatan di Vietnam, saya bertemu dengan seseorang yang entah mengapa melarang kami ikut di acara pembukaan kegiatan. Peraturan itu pun disampaikan oleh salah satu kawan tim saya dari Indonesia dan saat itu yang kami tahu alasannya karena kami menggunakan jilbab dan salah satu panitia keberatan takut-takut kalau ada orang tua yang tidak nyaman anak-anaknya belajar bersama kami, perempuan-perempuan berjilbab selama 2 minggu. Awalnya, kami kesal dengan alasan tersebut, tapi akhirnya kami berpikir positif saja mungkin sebelum bertemu kami, panitia ini memiliki pengalaman buruk dengan identitas suatu agama lain. Wajar saja, ini bukan lingkungan kami, jadi ketika kita berani terjun ke suatu kelompok dengan identitas tertentu, kita harus berani dengan konsekuensi yang terjadi di kelompok tersebut. Tapi kembali lagi, jangan lupa jati diri sebagai manusia itu sendiri.
Lalu, pengalaman saya saat saya pergi ke Sri Lanka. Saya berkunjung di sebuah temple megah di salah satu kota. Pagi itu temple ramai dikunjungi orang-orang lokal hendak beribadah maupun para turis yang hanya ingin melihat-lihat. Karena rasa penasaran saya, akhirnya saya membuat sebuah eksperimen. Saya menanggalkan scarf yang sebelumnya saya pakai di tepi kolam. Ini pertama kalinya saya keluar tanpa menggunakan penutup kepala. Apa yang saya rasakan? Freedom! Saya merasakan sesuatu yang sulit dideskripsikan. Walaupun awalnya sungguhlah agak bagaimana gitu, tapi aku merasa lebih nyaman di lingkungan ini tanpa menggunakan scarf yang menggugurkan identitas saya sebagai orang Islam. Lantas, saya melanjutkan perjalanan, berjalan di tengah-tengah ratusan orang berjejal memasuki pintu gerbang. Dua orang eropa berada di depan saya diberhentikan karena harus menunjukkan tiket turis. Ternyata keduanya belum memiliki tiket, alhasil mereka berdua harus melawan arah mencari konter tiket di luar gerbang. Dengan percaya dirinya, saya diam-diam mengikuti saja langkah orang-orang berjejal. Penjagaan pertama saya lolos karena tubuh kecil saya mungkin nyaru dengan orang-orang lokal di sana. Tapi, penjagaan kedua, saya harus putar badan karena penjaga akhirnya menemukan saya tidak memiliki tiket masuk. Alhasil saya harus berdesak-desakan lagi melawan arah untuk membeli tiket.
Tak hanya sampai di situ, setelah mendapat tiket, saya pun akhirnya kembali berjubel-jubel masuk gerbang tanpa masalah lagi. Kami menelusuri lorong dengan saling himpit. Di sana akhirnya saya membuat eksperimen kembali, scarf yang saya gulungkan di leher, akhirnya saya pakai lagi untuk menutup kepala saya. Sepanjang lorong saya aman dan tak ada orang yang protes, tapi setelah sampai di lobby utama, seorang penjaga meneriaki saya dengan gerakan tangan melarang saya untuk tidak menggunakan scarf di dalam temple. Baikkk!!! Alhasil saya tanggalkan lagi. Kedua eksperimen saya tersebut membuat saya semakin penasaran. Apakah identitas seseorang mengotak-kotakkan menjadi beberapa bagian? Seperti ada tembok besar yang menghalangi kelompok satu dengan kelompok lainnya. Sering sekali kita mendengar beberapa konflik antarkelompok dipicu dari identitas yang berbeda seperti ras, agama, suku, bahkan status sosial.
Lalu, pernah juga saya mendaftar di salah satu sekolah di Papua. Pemilik sekolah tertarik dengan CV saya, tapi karena saya menggunakan hijab, saya tidak mendapatkan kesempatan itu. Satu hal yang dijelaskannya, karena sekolah ini di bawah gereja dan ditakutkannya adalah nantinya saya tidak bisa mengikuti kehidupan di sana atau mungkin itu akan membuat ketidaknyamanan berbagai pihak atas perbedaan tersebut. Dan saya memaklumi keputusan itu, walaupun saya merasa sedih dan mempertanyakan mengapa ketika saya menunjukkan identitas saya sebagai seorang muslim ada rasa tidak tenang dan tidak nyaman dalam diri saya. Ada hal yang membuat saya terus berpikir antara realitas di masyarakat dengan ambisi saya sebagai manusia yang ingin berbagi dengan sesama. Apakah benar, identitas memberi batasan seseorang dalam hidupnya? Begitulah kiranya hal yang saya resahkan setelah saya berpikir ulang di tahun ini tentang beberapa hal yang pernah terjadi.
Tahun ini saya kembali resah dengan identitas diri saya sebagai perempuan muslim yang harus menggunakan jilbab. Saya membuat eksperimen kembali setelah saya pindah di tempat baru yang benar-benar saya tak mengenal siapa pun di daerah tersebut. Saya kembali menanggalkan kerudung saya kemana pun saya pergi. Awalnya, saya ragu, tapi saya mencobanya, sekali dua kali. Dan apa yang saya rasakan? Saya merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Seperti tak ada hal yang membuat pembatas antarmanusia yang saya temui seperti saat saya menggunakan kerudung.
Bahkan ada hal menarik yang saya dapatkan. Saat saya berkunjung di tempat Kak Rosa tanpa menggunakan kerudung, saya bertemu dengan salah satu kawan kak Rosa. Di pertama kali bertemu kami bertegur sapa dan berkenalan. Hingga suatu waktu kami membicarakan sedikit banyak tentang agama. Lantas, teman baru saya ini pun bertanya, "Maaf, mbak ini agamanya apa? kristen atau katolik? atau muslim?" Lantas saya jawab, "Saya muslim Mas." Satu hal yang menarik untuk saya pelajari, di saat saya menanggalkan kerudung, kok malah membuat saya lebih manusia ya! Bayangkan saja jika saya datang dengan kerudung, orang-orang pasti langsung tahu bahwa saya muslim tanpa bertanya kepada saya. Dan ketika saya tidak menggunakan kerudung, orang-orang lebih tak bisa menebak apa agama saya sebenarnya.
Satu hal yang saya yakini saat ini adalah saya percaya bahwa hubungan Tuhan dengan manusia itu biarkan masing-masing yang menjalani. Kita cukup menjaga hubungan manusia dengan manusia. Kadangkala dengan berbuat baik dengan sesama manusia dan memanusiakan manusia saja sudah cukup untuk membuat hidup ini lebih hidup daripada kita mengusik tentang hubungan orang lain dengan Tuhannya masing-masing. Kadangkala dengan banyak kekepoan kita sebagai manusia yang mengurusi alur spiritual seseorang masing-masing itu malah membuat kita lupa memanusiakan manusia itu sendiri. Alangkah bahagianya ya hidup ini jika kita semua hidup berdampingan dengan baik walaupun kita memiliki identitas yang berbeda!
Dan tahun ini, biarkan saya memilih jalur saya sendiri! Setidaknya menghilangkan salah satu identitas kita bukan berarti kita kehilangan identitas kita sebagai manusia. Mari berjalan di jalur masing-masing! Hidup berdampingan dengan memanusiakan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar