Pancasila 6
Oleh: Dian
Sulistiani / 2010110027 / Universitas Siswa Bangsa Internasional
Pancasila
rumah kita, rumah untuk kita semua
nilai
dasar Indonesia, rumah kita selamanya
**untuk
semua puji namanya
untuk
semua cinta sesama
untuk
semua wadah menyatu
untuk
semua bersambung rasa
untuk
semua saling membagi
pada
setiap insan
sama dapat
sama rasa
oooh
Indonesia
oooh
Indonesia
Pancasila
rumah kita, rumah untuk selamanya
Pancasila
ada karena kita bhineka tumbuh bersama sebagai Indonesia
Bangunlah jiwanya
bangunlah badannya dalam puspa warna menjadi Indonesia
Nilainya
bukan hanya debu sejarah
Hari ini
ada di tangan kita jika Indonesia lupa dan hilang arah saatnya kembali, kembali
kepadanya
…
-Pancasila
Rumah Kita – Versi Kolosal #17an-
Sebuah lagu inspiratif bagi saya.
Pemilihan lagu yang sangat tepat untuk topik kali ini di mata kuliah Pancasila.
Apalagi kami kedatangan dosen tamu yang menurut saya luar biasa. Benar-benar
beda dari yang lain, nylentrik. Ya, beliau adalah Ulin Yusran. Buat saya, Mas
Ulin, begitulah sapaannya menginspirasi saya. Gaya penampilan yang apa adanya
dan santai membuat saya menikmati kuliah hari itu.
Walaupun sebenarnya materi yang
disampaikan cukup berat, tapi saya tertarik. Bahkan ada beberapa bagian yang
membuat saya tercengang. Sebuah keberanian public itu membuat saya
menganggukkan kepala berulang-ulang. Mengagumkan!
***
Pancasila terasa
tumbang setelah orde baru tumbang.
Begitulah ungkapan yang disampaikan
Mas Ulin sebagai pembukaan. Saya berefleksi membenarkan ungkapan tersebut. Coba
saja ingat, dahulu zaman kepemimpinan Pak Soeharto gencar-gencaran adanya
Pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Setiap orang
yang tak mematuhi P4 itu akan dianggap komunis. Mungkin ini adalah keputusan
yang sepihak. Seakan-akan Pancasila hanya dimanfaatkan pemerintahan Orde Baru
sebab menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal.
Sayangnya, pengamalan Pancasila
tersebut hanya semata-mata sebuah paksaan untuk mematuhinya akibat dari
pemerintahan yang mewajibkan. Menurut saya, seharusnya setiap insan memiliki
kesadaran penuh untuk mengamalkan butir-butir Pancasila
tersebut. Lantas, ke manakah kesadaran kita sebagai pemilik Pancasila itu? Dan
akhirnya, rakyat merasa tidak puas dan tidak percaya dengan pemerintahan. Ini
adalah salah satu akibat dari sikap paksaan dan bukan datang dari hati individu
untuk mengetahui lebih dalam Pancasila.
Satu ungkapan yang saya suka:
Setiap gulungan ombak
yang terhempas di tepi pantai meninggalkan sampah.
-Syair
Reformasi-
Ya, Orde Baru pupus juga setelah
aksi rakyat yang berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto. Indonesia
mengalami kebobrokan system, karakter, dan pelaksanaan. Sayangnya, walaupun
dalam wujud manusia, pemerintahan telah tumbang, tapi system tak tumbang.
Inilah yang diwariskan kepada generasi selanjutnya, yang disebut reformasi.
Padahal jika kita menengok kembali
pada zaman sejarah, Pancasila lahir sebagai harapan bersama. Pancasila tumbuh
akibat adanya kepercayaan dan keberagaman. Indonesia berharap akan menjadi
Negara yang adil, makmur, sejahtera, aman, sentosa, dan Pancasila menjadi
kepribadian bangsa.
Ironisnya, Indonesia masih belum
mampu sepenuhnya mencapai harapan dan mimpinya itu. Dewasa ini, Pancasila
terasa semakin asing saja. Jika kesadaran berbagai bidang seakan semakin
luntur. Pancasila terasa tak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan. Sempat
berefleksi terhadap selentingan, “Tanpa Pancasila pun saya masih bisa hidup.
Untuk apa mengenal Pancasila?” Sempat membenarkan kata-kata itu, hal ini
membuat saya galau luar biasa. Jadi yang benar yang mana? Pancasila menjadi
acuan berbangsa dan tanah air ataukah Pancasila adalah symbol dari tingkah laku
baik kita? Masih belum mengena di hati saya. Jawaban masih mengambang di
awang-awang.
Refleksi saja, sekarang mahasiswa
mungkin dianggap “mlempem”. Jika dulu para pemuda semangat dan gencar-gencaran
membela tanah air. Sampai-sampai pemikiran kritis mampu menggulingkan beberapa
masa pemerintahan. Sayangnya, itu hanya dulu. Sekarang, mungkin telah berganti
menjadi “Mahasiswa Penakut”.
Sebuah perkataan Mas Ulin yang
sangat mengena di hati adalah “Kuliah ndak
mlebu, IP ndak telu, demo ndak melu. Mbalek ae nang ibumu!”
Sungguh singkat tapi nancap ke
dasar-dasarnya hati. Entahlah, Pancasila seakan mati suri. Perlu pembenahan
lagi untuk system yang amburadul seperti sekarang. Perlukah rakyat bertindak?
Isi jawaban sendiri. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar