Microteaching 6
Oleh:
Dian Sulistiani / 2010110027
“Yeyyy, kelas Microteaching
hampir berakhir di semester ini. Itu berarti tanggung jawab di semester depan
semakin besar. Semoga lebih matang lagi pembelajaran yang telah diterima.”
Well,
pembelajaran yang saya terima di SSE selama ini terasa sekali manfaatnya ketika
menjalankan School Experience Program
(SEP) tahun ini. Jika dulu begitu
awam tentang seluk-beluk guru, kini sudah mulai ada pencerahan. Ya, belajar di
SSE pun menjadi sangat penting dan sangat perlu untuk digeluti dengan baik.
Saya merasa sangat beruntung bisa mengolah pengetahuan di kampus ini dan semoga
menghasilkan produk yang bernilai tinggi pula.
Khusus kelas Microteaching,
bagi saya mata kuliah ini sangat bermanfaat. Setiap mahasiswa diberi kesempatan
untuk melakukan pembelajaran di kelas dengan teman sendirilah yang menjadi
siswa. Bagi saya, ini adalah tantangan. Mengapa tantangan? Bagaimana tidak?
Kelas dengan siswa-siswanya adalah teman sendiri kadangkala membutuhkan ekstra
kerja keras. Menganggap para siswa tersebut adalah murid SMP/SMA. Perlu
imajinasi tinggi bukan?
Di sinilah, role
play pembelajaran yang sering saya lakukan di kampus begitu berarti buat
saya. Walaupun kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan kondisi di kelas kampus.
Mengapa berbeda? Kalau di kelas kampus, kadangkala kita sudah menganggap
siswa-siswa, di sini teman-teman menjadi siswa, sudah mengerti konsep dan
bahkan lihai. Hal ini sering
terlupakan bahwa kelas sebenarnya, kita akan dihadapkan pada siswa-siswa yang
sedang belajar atau bahkan belum mengerti sama sekali. Sedangkan kita sebagai
guru dituntut untuk membuat siswa paham dan menguasai konsep. Inilah yang
terkadang membuat tumpang-tindih pembelajaran.
Menyoal kondisi kelas yang
sedemikian rupa, saya sangat terbantu dengan kondisi natural section B. Mungkin
banyak pihak yang menyatakan bahwa kelas kami super-duper ramai, “jungle”, atau
kelas paling rebut sampai terusir-usir, tapi bagi saya, kelas ini adalah
spesial. Saya belajar bagaimana mengatur siswa yang ramai seperti itu. Mereka
juga saling mendukung.
Sebuah refleksi saya, ketika saya
melakukan role play dan saat itu salah seorang dosen berkomentar bahwa kelas
kami terasa dibuat-buat dan tidak natural, mungkin itu hanya sekadar judgement. Sulit dijelaskan memang,
mungkin kami terlalu menikmati hal tersebut apa adanya.
Proses kelas Microteaching, setiap minggunya bergantian untuk mengajar, ini
sangat bermanfaat. Saya bisa memperbaiki kekurangan dan bisa belajar dari teman
lain. Selain menambah pengetahuan, kita juga bisa mempersiapkan diri kalau
sewaktu-waktu kita mendapat kondisi yang sama atau materi yang sama. Kita sudah
ada gambaran singkat untuk hal tersebut.
Proses penilaian adanya dosen tetap,
dosen lain, dan teman-teman observer. Ini sangat membantu. Kita bisa mendapat
banyak komentar, masukan, dan refleksi untuk perbaikan dari berbagai sumber.
Saya sangat beruntung bisa tampil pertama, tapi ada beberapa hal yang membuat
saya kurang puas terhadap cara dosen memberi komentar. Jujur, dan saya mohon
maaf, saya harus menuliskan hal ini di refleksi saya yaitu tentang keobjektifan
dosen memberi komentar. Jujur, saya sempat down, ketika seorang dosen yang
mungkin “kurang mengenal saya”, menurunkan semangat saya saat pemberian
komentar. Sedangkan untuk mahasiswa lain yang cukup dikenalnya, beliau
menyanjung-nyanjung berlebihan dan mungkin kurang cocok untuk dikatakan di
kelas. Jujur saya sedikit shock, ketika dosen tersebut memberi komentar kepada
saya dan memanggil saya dengan sebutan “anda”. Sedangkan dengan teman-teman
yang lain memanggil dengan nama atau “kamu”. Dalam persepsi saya, kata “anda”
terasa ada jarak yang sangat jauh. Padahal mungkin hubungan kami antara orang
tua dan anak didik. Hal tersebut sedikit kurang bisa saya terima.
Bukannya iri atau sakit hati, tapi
seyogyanya pendidik juga bisa mengondisikan diri sebagai penilai. Sebenarnya,
ini refleksi saya pribadi. Mungkin nanti kalau seandainya saya menjadi guru,
hal-hal yang tak saya sukai dan tak bisa saya terima, jangan sampai saya lakukan
kepada murid-murid saya.
Kalaupun saya saat ini tak begitu
bagus di mata para pengamat, tapi saya akan buktikan suatu saat nanti saya
lebih baik dari masa lalu. Biarpun komentar itu terasa pahit saat ini, tapi
inilah belajar. Kita harus bisa menerima kritikan yang mungkin sangat
menyakitkan demi kebaikan kita sendiri dan untuk masa depan. Banyak batu
kerikil di sini dan siapa yang mampu bertahan dalam kompetisi, dialah
pemenangnya. Dan saya akan terus belajar, belajar, dan belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar