Pancasila 6
Oleh:
Dian Sulistiani / 2010110027
Apa yang terlintas di
benak Anda ketika mendengar atau membaca kata “BEBAS”? Pasti akan begitu banyak
definisi. Ya, seperti yang saya pikirkan saat ini. Jika terbesit kata “BEBAS”
di otak, saya segera teringat dua kata “tidak terikat”. Menurut Kamus Bahasa
Indonesia Online, bebas dapat diartikan sebagai (1)
lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak,
berbicara, berbuat, dsb dng leluasa; (2) lepas dr (kewajiban, tuntutan,
perasaan takut, dsb; (3) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb); (4) tidak
terikat atau terbatas oleh aturan dsb; (5) merdeka (tidak dijajah, diperintah,
atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing); (6) tidak
terdapat (didapati) lagi.
Seyogyanya setiap manusia memiliki keinginan untuk
bebas. Ya, bebas, kalau dalam bahasa gaul “ya semau gue!”. Bahkan manusia akan
cenderung tertekan jika dirasa kebebasannya direnggut oleh pihak lain. Sebagai
contohnya pengalaman yang pernah saya alami. Suatu hari, saya memasuki
lingkungan baru yang secara latar belakang dan perilaku sosial saya sebelumnya.
Kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang saya temui saat itu sedikit
mengurangi ruang gerak dan pendapat saya. Saya tidak dapat leluasa untuk
mengungkapkan ide-ide saya. Setiap kali saya ingin berpendapat, selalu saja
dipotong dan tak didengar. Ditambah lagi sikap beberapa orang yang cenderung
sulit mengontrol egonya, itu pun menambah beban saya di lingkungan baru. Entah
itu mereka tahu atau tidak kalau sebenarnya sikap mereka telah membuat orang
lain merasa tertekan. Kadangkala manusia memang perlu sebuah penghargaan diri
dan pengakuan dari masyarakat untuk menyatakan keberadaan dirinya. Mungkin ini
sudut permasalahannya ada di model penyesuaian diri saya yang kurang maksimal.
Namun seharusnya, kita sendirilah yang bisa mengontrol kebebasan kita.
Saya suka dengan ungkapan yang mungkin sering kita
dengar “bebas bukan berarti tanpa batas”. Ya, saya setuju. Kita boleh bebas
sesuka hati melakukan semua hal, tapi sejatinya kita harus ingat bahwasanya
kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Salah satu fenomena
yang bisa kita jadikan bahan refleksi yaitu kejadian lampu merah di jalanan.
Jika dari setiap arah, orang-orang bebas sesuka hati menggunakan jalanan itu,
lalu apa yang akan terjadi? Tanpa lampu merah, banyak kemungkinan yang akan
terjadi bukan? Misalkan saja, semua pihak berebut untuk menyebrang duluan. Apa
yang akan terjadi? Bisa dibayangkan, berapa puluhan korban lalu lintas?
Kemungkinan lain, taka da satu pun yang berani menyebrang karena takut dihantam
oleh pihak lain. Betapa sepinya jalanan itu jika ini terjadi? Ya, semua itu
banyak kemungkinan lain pastinya. Nah, di sinilah terlihat bahwa sebenarnya
kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Lantas, menyoal siapa yang seharusnya menegakkan
kebebasan? Menurut saya, kita sendirilah yang seyogyanya bisa mengontrol
kebebasan diri sendiri. Kita seharusnya menyadari bahwa kita hidup bersosial,
kita tidak hidup seorang diri. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kita harus
menyadari bahwa orang lain juga memiliki kebebasan sendiri. Coba bayangkan bila
setiap manusia mementingkan egonya masing-masing. Ketika berbicara, setiap
orang menggebu-gebu ingin pendapatnya didengarkan, tapi kenyataannya? Tak ada
yang bersedia mendengarkan. Semua berebut dan memaksakan kehendak dan
ide-idenya. Silakan ditebak apa yang terjadi?
Nah, di saat-saat seperti inilah, perlu diberlakukan
sebuah peraturan. Di sini, peraturan bukan untuk semata-mata menekan kebebasan,
melainkan untuk mengatur kebebasan untuk kepentingan bersama. Walaupun
sebenarnya, ada beberapa pihak yang dirugikan kebebasannya. Ya, pastinya ini
akan terjadi dan tak semua orang sesuai yang dinginkannya. Saya suka kalimat
seorang guru saya, beliau berkata, “Kita tidak bisa membahagiakan setiap orang
karena dunia memang seperti itu.” Nah, setiap orang pastinya ingin berjalan
sesuai rencananya. Dengan demikian mereka akan merasa puas, tapi kita tak bisa
seperti itu. Ya, karena kita bukanlah alat pemuas. Pasti ada hal-hal yang akan
dikorbankan untuk kepentingan lain yang lebih diprioritaskan. Di sinilah
seharusnya peraturan berperan untuk menyelaraskan kebebasan bersama.
Seperti yang telah diungkapkan oleh John S. Mill, kebebasan
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kebebasan kekuasaan batiniah,
kebebasan kekuasaan individu, dan kebebasan kekuasaan orang lain. Baiklah,
untuk kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan ini bersumber pada hati nurani
yaitu, kebebasan untuk berpikir dan merasakan. Kebebasan ini memberi kesempatan
kepada setiap individu untuk berpendapat dan bermoral. Kemudian kedua adalah
kebebasan kekuasaan individu. Kebebasan ini mengindikasikan bahwa setiap
individu bebas membawa dirinya ke pilihannya sendiri. Hal ini berarti
mengimplikasikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab atas
tindakannya sendiri. Lalu, ketiga adalah kebebasan kekuasaan orang lain. Dalam
kasus ini, kita harus sadar bahwa kita sebagai makhluk sosial akan terus berinteraksi
dengan orang lain yang juga memiliki kebebasan. Oleh karena itu, setiap
individu juga memiliki pertanggungjawaban secara kolektif.
Dengan adanya kepentingan bersama ini, secara tidak
langsung telah membatasi kebebasan setiap individu. Lantas, apa peranan
peraturan untuk kepentingan bersama? Sebenarnya, peraturan dibuat bukan untuk
dilanggar, melainkan untuk dijalankan. Mirisnya, kondisi saat ini berkebalikan.
Malah ada celetukan bahwa “peraturan dibuat ya untuk dilanggar”. Inilah
pernyataan yang salah kaprah. Seharusnya kita bisa menengok kembali apa tujuan
pertama kali peraturan dibuat? Jika itu masih berlaku dan masih sesuai masanya,
maka peraturan itu masih perlu dipertahankan untuk kepentingan bersama. Lantas,
kalau peraturan itu ternyata sudah tak layak untuk digunakan, kita perlu
merevisi sesuai keputusan bersama. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani,
seharusnya mereka bisa berpikir dan mengkaji ulang mana tindakan yang patut
dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan?
Negara pun turut andil dalam mengatur kebebasan.
Seperti yang termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Di sini, setiap individu diberikan
jaminan konstitusional untuk berorganisasi dan mengajukan pendapat, bukan hanya
warga Negara Indonesia saja, melainkan warga Negara asing yang tinggal di
Indonesia juga.
Lalu, Negara juga telah mengatur
kebebasan beragama, yaitu dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sayangnya, masih
ada pihak-pihak yang tidak terima atas kebebasan beragama. Masih banyak kasus
cekcok atas sebuah perbedaan agama. Jika kita bahas berbagai kasus yang
terjadi, hal tersebut akan sangat panjang. Jadi untuk kesempatan kali ini, kita
hanya berefleksi saja dalam hati masing-masing, bagaimanakah kita menghargai
orang lain yang berbeda agama?
Oleh karena itulah, kita sebagai bagian dari
masyarakat seharusnya dapat berefleksi bahwa sikap saling menghargai begitu
penting di dalam masyarakat. Jika kita tidak mau menghargai, mengapa kita
mendesak orang lain untuk menghargai kita? Ini tidak fair, kalau kita hanya menuntut hak namun kita melupakan kewajiban.
Jika ingin dihargai, maka hargailah terlebih dahulu diri sendiri. Walaupun kita
memiliki kebebasan, jangan lupa bahwa kebebasan kita pun dibatasi oleh
kebebasan orang lain. Mari ikut serta mewujudkan sikap saling menghargai dan
bersolidaritas. J
Referensi:
http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/Constitution/22/
http://kamusbahasaindonesia.org/bebas#ixzz2YkJt9x5t
http://kamusbahasaindonesia.org/bebas#ixzz2YkJt9x5t
Tidak ada komentar:
Posting Komentar