Pancasila 6
Oleh:
Dian Sulistiani / 2010110027
Kutatap langit
Indonesiaku, kupijakkan kaki pada bumi pertiwiku. Bibirku tertawa kecil, lantas
kuputar memori terdahulu hingga kini. Terekam segala peluh dan sejarah panjang
masa lalu. Kupelikkan mimpi-mimpi nan surut lagi! Masihkah ada sisa?
Indonesiaku ke manakah dirimu? Beta tengah lama tak berjumpa dan aku
merinduimu!
Dulu,
Kaki-kaki kecil meniti,
menelusuri jalan setapak, berlumur darah, dan noda. Bertahan pada
benteng-benteng perjuangan tanpa nama. Mati bertaruh nyawa, tanpa tercantum
dalam sejarah bangsa
Kaki-kaki kecil
terseok, membawa kabar: Indonesia merdeka! Senyum kecil terpampang di
wajah-wajah pilu. Sentosa? Mungkin!
Pribadi masih berharap mimpi segera menghampiri raga
Kaki-kaki kecil menapak
tanpa alas, pengumbar ide para pembela. Neraca waktu tetap berimbang, seadil-adilnya. Para kepala tak berbudak
pada tuannya dan setia pada negara. Generasi muda berpengayom, rohaniah
terpenuhi, lantas istilah makmur
diperjuangkan
Kaki-kaki kecil berlari
kencang. Mengulur benang, menggantungkan cita setinggi-tingginya. Membawa satu
hal pribadi bangsa Indonesia:
Garuda
berperisai dengan pilar-pilarnya. Pancasila disebutnya.
Cengkraman kaki kuat
sebuah pita persatuan:
Bhineka
Tunggal Ika. Itulah semboyannya.
Aih, mungkin itu dulu.
Zaman tiap insan sadar dan berbaur pada alam. Kini, kaki-kaki kecil lelah,
langkahnya hampir terhenti. Mata-mata penuh harap masih tersisa. Aku, kau, kita
hampir meredup. Bagai lilin tanpa sumbu, lama-lama mengoyak tubuh sendiri
lantas mati! Ah, budi pekerti telah
tergerus zaman. Yang dulu digembar-gemborkan pun tak lagi terdengar. Apa? Adil?
Makmur? Sentosa?
Lihatlah lagi
candu-candu kehidupan marak menjejali otak! Korupsi! Kelaparan! Mengemis!
Bayi-bayi kecil meronta meminta susu, tapi malang! Menunggu nasib, gizi buruk
tetap membebat lengan! Ah, kapan makmur? Harapan yang dulu diperjuangkan
masihkah tersisa? Atau hanya sia-sia belaka, menunggu usia tua?
Ah, pribadi bangsa
telah pudar, terikis oleh zaman yang disebut globalisasi. Zaman tua renta ini,
kapan ada lagi Pancasila untuk negeri?
Jakarta, 2013
-Dian Sulistiani-
Puisi tersebut sengaja saya tulis
sebagai pembukaan tulisan ini. Beberapa kata dan kalimat, saya bold untuk menandakan pokok-pokok ide. Permasalahan
yang terjadi saat ini berpilar pada pendidikan karakter lemah. Hal tersebut
sering dikaitkan dengan implementasi Pancasila sebagai jati diri bangsa seakan
luntur.
Seperti yang telah sering kita
perdengarkan sebuah lagu melegenda berjudul “Garuda Pancasila” pun turut
bercerita tentang kegagahan Pancasila:
Ciptaan: Sudharnoto
Garuda
Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila
dasar negara
Rakyat
adil makmur sentosa
Pribadi
bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Lagu tersebut memberi semangat
kepada para pelantunnya untuk tetap gigih memperjuangkan Pancasila sebagai
kepribadian bangsa.
Jika kita tengok kembali sejarah masa silam,
Pancasila diartikan sebagai cita-cita dan pengharapan yang wajib dijunjung
tinggi oleh seluruh elemen di dalamnya. Pancasila juga sebagai dasar Negara
Indonesia yang dibentuk dan dikembangkan berdasarkan kesepakatan bersama di
atas segala macam perbedaan yang ada. Sebagai pondasi bangsa, Pancasila
seyogyanya benar-benar menjadi dasar yang teguh dan bermoral. Sependapat dengan
Dipoyudo (1984, Susanto, 2013), beliau menyebutkan penetapan Pancasila sebagai
dasar falsafah bangsa mengindikasikan bahwa moral bangsa telah menjadi moral
negara. Lalu, segala sumber tertib negara, hukum, dan jiwa seluruh kegiatan
negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral Pancasila (Soegito,
2009, dalam Susanto, 2013).
Sayangnya, esensi dari Pancasila itu
sendiri belum dimaknai di kalangan masyarakat. Realita yang ada, Pancasila
masih dipahami hanya berupa verbal saja. Kita masih disodorkan pada pelafalan
kelima sila dalam Pancasila saat upacara bendera, misalnya. Itu pun kalau masih
hafal di luar kepala. Bahkan tragisnya lagi, ketika kita duduk di sekolah dasar
maupun menengah, kita hanya dituntut untuk mengerti konsep yang abstrak dari
Pancasila tanpa mengerti pengimplementasiannya.
Pemahaman nilai-nilai Pancasila kurang sesuai
perkembangan kognitif seseorang. Sebagai contohnya, pelajaran yang berbasis
pada Pancasila di sekolah dasar kurang tergali mendalam. Seperti yang sempat
saya alami ketika masih duduk di sekolah dasar, kebanyakan materi tentang
Pancasila harus dihafalkan. Alhasil, sampai sekarang banyak materi yang
terlupakan begitu saja. Bentuk riil dari Pancasila belum sepenuhnya menyatu
dalam kehidupan. Padahal, Pancasila seharusnya tak hanya dihafal tetapi juga
diimplementasikan. Memahami tidak cukup menghafal saja, bukan? Sudah selayaknya
Pancasila sebagai kompas pemersatu untuk menunjukkan arah menuju mimpi-mimpi
Indonesia ini berjalan dengan baik.
Pancasila bukanlah hal yang baru
bagi kita, terutama bagi individu yang masih mengaku bangsa Indonesia.
Sayangnya, dewasa ini Pancasila hanya dipandang sebelah mata. Arus globalisasi
seakan membuat kita buta terhadap jati diri bangsa sendiri. Kearifan lokal
masyarakat yang dulu dipupuk erat kini mulai luntur. Egoisme dan hedonisme
masyarakat semakin tinggi.
Mari kita refleksikan diri sendiri,
sejauh mana kita mengenal Pancasila itu sendiri? Hanya dari sejarahkah? Hanya
sebuah ukiran berbentuk burung garudakah? Atau malah sama sekali belum pernah
melihat rupa simbol Pancasila?
Pancasila hanyut dalam arus
globalisasi. Banyak ciri khas dari kita, Indonesia, yang terlupakan begitu
saja. Padahal Pancasila sebagai kepribadian bangsa seharusnya menjadi tameng
dan filter segala hal dari luar.
Sayangnya, penyaring itu telah lemah ditelan zaman. Seakan para pemiliknya
tidak lagi memedulikan.
Realita yang ada saat ini seharusnya
bisa menyadarkan mata bangsa Indonesia. Beberapa pulau kecil tak terurus
akhirnya “dicuri” bangsa lain. Karya anak bangsa, batik dan lagu “Rasa Sayange”
pun turut andil menggegerkan bangsa akibat hampir “diambil alih” bangsa
tetangga. Semua itu disebabkan oleh kekurangpekaan kita sebagai pemilik. Apakah
tindak pembelaan selalu datang setelah direbut bangsa lain? Seharusnya tidak!
Apakah mengelus dada saja cukup
menyelesaikan permasalahan? Saya pikir hal itu bukanlah pemikiran kaum
terdidik. Teringat oleh saya sebuah pernyataan salah satu dosen saya, “Jika belum
bisa berkontribusi, setidaknya jangan ‘membebani’ orang lain.” Sebuah kalimat
yang menohok dan tertancap di hati serta pikiran menurut saya. Ya, saya sangat
setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menjadi bahan refleksi diri.
Lalu, apa hubungannya dengan
Pancasila? Di sini kita berbicara bahwa Pancasila sebagai identitas bangsa.
Pancasila menjadi ciri unik bangsa ini yang benar-benar milik sendiri. Bahkan
perjuangan para pejuang terdahulu membutuhkan kucuran darah dan pemerasan
tenaga serta pikiran. Berkontribusi adalah kewajiban kita sebagai penerus
bangsa. Jikapun kita belum mampu, seharusnya kita sadar “tak menjadi beban”
demi kemajuan bangsa. Sayangnya, lagi-lagi kita terlalu egois. Kita kurang
peduli dan peka.
Coba saja lihat dan cermati kondisi saat
ini. Generasi bangsa lebih menggembargemborkan budaya bangsa lain. Gaya hidup
dan style penampilan bangsa lain
masih menjadi trend di kalangan
masyarakat. Lalu, siapakah yang akan melestarikan budaya sendiri? Grup band Korea sebagai contohnya. Masyarakat
lebih memilih untuk berjejalan di antara ribuan orang hanya untuk menonton pertunjukan
grup idolanya daripada menyaksikan pertunjukan “Wayang”. Harga tiket tinggi pun
tak dihiraukan masyarakat walau merogoh kantong lebih dalam demi kepuasan ego
didapatkan. Begitu pula lagu “Gundul-Gundul Pacul” pun jarang dikumandangkan
lagi. Berapa ribu bahasa ibu (daerah) yang punah tak ada jejak? Belum lagi gaya
hidup orang barat lebih dipentingkan daripada kearifan lokal bangsa: gotong
royong. Alhasil, khasanah bangsa semakin punah.
Penyaringan budaya asing di
Indonesia tidak lagi berdasarkan pada jati diri bangsa. Kesemrawutan sistem
pemerintahan, belum tercapainya harapan bangsa seperti yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun masih menjadi pekerjaan rumah kita
semua. Kondisi saat ini mengindikasikan bahwa Pancasila telah diabaikan begitu
saja.
Tidak hanya itu, bangsa ini pun
seakan mengalami krisis moral. Beberapa permasalahan besar yakni: kurang
kokohnya persatuan bangsa. Kita memang bermacam-macam suku, ras, agama, dan
golongan, tapi tak selayaknya kita pecah dalam egoisme masing-masing. Sebagai
contoh: konflik antarsuku di Papua, cek-cok antaragama, dan penegakan hokum
yang dirasa sangat lemah. Pancasila bukan sebagai pemecah-belah, melainkan justru
menjadi pemersatu. Sudah sepatutnya, kita sebagai generasi penerus menyadari
dan melakukan strategi baru dari pemikiran-pemikiran baru pula. Jangan sampai
kita didikte bangsa lain seperti zaman penjajahan terdahulu. Kisah masa lalu
terulang kembali itu berarti kita tak dapat memperbaiki kesalahan. Jatuh pada
lubang yang sama berarti “orang bodoh”.
Berefleksi dari hal di atas, perlu
adanya penafsiran-penafsiran baru untuk memaknai pancasila. Pengintegrasian
esensi Pancasila itu sendiri di setiap unit masyarakat sesuai kontekstual pun
sangat perlu dilakukan. Membersihkan Pancasila dari dramatisasi politik menjadi
tugas kita. Mari kita benahi bangsa Indonesia berdasarkan ciri khas dan
identitas bangsa: Pancasila. Memulai dari diri sendiri terlebih dahulu memaknai
Pancasila secara benar. Bertindak sesuai Pancasila dan moral bangsa! Inilah
tugas besar kita demi mewujudkan mimpi-mimpi yang diidamidamkan bangsa. Pendidikan
berpancasila pun masih diperlukan. Hal ini dapat diwujudkan dari tangan-tangan
pihak pemerintah dan rakyat yang berjalan selaras saling mendukung. Pemerintah
tanpa rakyat cacat, rakyat tanpa pemerintah hancur! Semangat berjuang!
Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur
Bangsa. Dibaca pada tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar