Sabtu, 31 Mei 2014

Pancasila Mati Suri

Pancasila 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027 / Universitas Siswa Bangsa Internasional

Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua
nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya
**untuk semua puji namanya
untuk semua cinta sesama
untuk semua wadah menyatu
untuk semua bersambung rasa
untuk semua saling membagi
pada setiap insan
sama dapat sama rasa

oooh Indonesia
oooh Indonesia

Pancasila rumah kita, rumah untuk selamanya
Pancasila ada karena kita bhineka tumbuh bersama sebagai Indonesia
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya dalam puspa warna menjadi Indonesia
Nilainya bukan hanya debu sejarah
Hari ini ada di tangan kita jika Indonesia lupa dan hilang arah saatnya kembali, kembali kepadanya

-Pancasila Rumah Kita – Versi Kolosal #17an-
            Sebuah lagu inspiratif bagi saya. Pemilihan lagu yang sangat tepat untuk topik kali ini di mata kuliah Pancasila. Apalagi kami kedatangan dosen tamu yang menurut saya luar biasa. Benar-benar beda dari yang lain, nylentrik. Ya, beliau adalah Ulin Yusran. Buat saya, Mas Ulin, begitulah sapaannya menginspirasi saya. Gaya penampilan yang apa adanya dan santai membuat saya menikmati kuliah hari itu.
            Walaupun sebenarnya materi yang disampaikan cukup berat, tapi saya tertarik. Bahkan ada beberapa bagian yang membuat saya tercengang. Sebuah keberanian public itu membuat saya menganggukkan kepala berulang-ulang. Mengagumkan!
***
Pancasila terasa tumbang setelah orde baru tumbang.
            Begitulah ungkapan yang disampaikan Mas Ulin sebagai pembukaan. Saya berefleksi membenarkan ungkapan tersebut. Coba saja ingat, dahulu zaman kepemimpinan Pak Soeharto gencar-gencaran adanya Pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Setiap orang yang tak mematuhi P4 itu akan dianggap komunis. Mungkin ini adalah keputusan yang sepihak. Seakan-akan Pancasila hanya dimanfaatkan pemerintahan Orde Baru sebab menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal.
            Sayangnya, pengamalan Pancasila tersebut hanya semata-mata sebuah paksaan untuk mematuhinya akibat dari pemerintahan yang mewajibkan. Menurut saya, seharusnya setiap insan memiliki kesadaran penuh untuk mengamalkan butir-butir         Pancasila tersebut. Lantas, ke manakah kesadaran kita sebagai pemilik Pancasila itu? Dan akhirnya, rakyat merasa tidak puas dan tidak percaya dengan pemerintahan. Ini adalah salah satu akibat dari sikap paksaan dan bukan datang dari hati individu untuk mengetahui lebih dalam Pancasila.
            Satu ungkapan yang saya suka:
Setiap gulungan ombak yang terhempas di tepi pantai meninggalkan sampah.
-Syair Reformasi-
            Ya, Orde Baru pupus juga setelah aksi rakyat yang berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto. Indonesia mengalami kebobrokan system, karakter, dan pelaksanaan. Sayangnya, walaupun dalam wujud manusia, pemerintahan telah tumbang, tapi system tak tumbang. Inilah yang diwariskan kepada generasi selanjutnya, yang disebut reformasi.
            Padahal jika kita menengok kembali pada zaman sejarah, Pancasila lahir sebagai harapan bersama. Pancasila tumbuh akibat adanya kepercayaan dan keberagaman. Indonesia berharap akan menjadi Negara yang adil, makmur, sejahtera, aman, sentosa, dan Pancasila menjadi kepribadian bangsa.
            Ironisnya, Indonesia masih belum mampu sepenuhnya mencapai harapan dan mimpinya itu. Dewasa ini, Pancasila terasa semakin asing saja. Jika kesadaran berbagai bidang seakan semakin luntur. Pancasila terasa tak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan. Sempat berefleksi terhadap selentingan, “Tanpa Pancasila pun saya masih bisa hidup. Untuk apa mengenal Pancasila?” Sempat membenarkan kata-kata itu, hal ini membuat saya galau luar biasa. Jadi yang benar yang mana? Pancasila menjadi acuan berbangsa dan tanah air ataukah Pancasila adalah symbol dari tingkah laku baik kita? Masih belum mengena di hati saya. Jawaban masih mengambang di awang-awang.
            Refleksi saja, sekarang mahasiswa mungkin dianggap “mlempem”. Jika dulu para pemuda semangat dan gencar-gencaran membela tanah air. Sampai-sampai pemikiran kritis mampu menggulingkan beberapa masa pemerintahan. Sayangnya, itu hanya dulu. Sekarang, mungkin telah berganti menjadi “Mahasiswa Penakut”.
            Sebuah perkataan Mas Ulin yang sangat mengena di hati adalah “Kuliah ndak mlebu, IP ndak telu, demo ndak melu. Mbalek ae nang ibumu!”
            Sungguh singkat tapi nancap ke dasar-dasarnya hati. Entahlah, Pancasila seakan mati suri. Perlu pembenahan lagi untuk system yang amburadul seperti sekarang. Perlukah rakyat bertindak?

            Isi jawaban sendiri. J

Dia (Pancasila), yang Terlupakan

Pancasila 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
Kutatap langit Indonesiaku, kupijakkan kaki pada bumi pertiwiku. Bibirku tertawa kecil, lantas kuputar memori terdahulu hingga kini. Terekam segala peluh dan sejarah panjang masa lalu. Kupelikkan mimpi-mimpi nan surut lagi! Masihkah ada sisa? Indonesiaku ke manakah dirimu? Beta tengah lama tak berjumpa dan aku merinduimu!
Dulu,
Kaki-kaki kecil meniti, menelusuri jalan setapak, berlumur darah, dan noda. Bertahan pada benteng-benteng perjuangan tanpa nama. Mati bertaruh nyawa, tanpa tercantum dalam sejarah bangsa
Kaki-kaki kecil terseok, membawa kabar: Indonesia merdeka! Senyum kecil terpampang di wajah-wajah pilu. Sentosa? Mungkin! Pribadi masih berharap mimpi segera menghampiri raga
Kaki-kaki kecil menapak tanpa alas, pengumbar ide para pembela. Neraca waktu tetap berimbang, seadil-adilnya. Para kepala tak berbudak pada tuannya dan setia pada negara. Generasi muda berpengayom, rohaniah terpenuhi, lantas istilah makmur diperjuangkan
Kaki-kaki kecil berlari kencang. Mengulur benang, menggantungkan cita setinggi-tingginya. Membawa satu hal pribadi bangsa Indonesia:
Garuda berperisai dengan pilar-pilarnya. Pancasila disebutnya.
Cengkraman kaki kuat sebuah pita persatuan:
Bhineka Tunggal Ika. Itulah semboyannya.
Aih, mungkin itu dulu. Zaman tiap insan sadar dan berbaur pada alam. Kini, kaki-kaki kecil lelah, langkahnya hampir terhenti. Mata-mata penuh harap masih tersisa. Aku, kau, kita hampir meredup. Bagai lilin tanpa sumbu, lama-lama mengoyak tubuh sendiri lantas mati! Ah,  budi pekerti telah tergerus zaman. Yang dulu digembar-gemborkan pun tak lagi terdengar. Apa? Adil? Makmur? Sentosa?
Lihatlah lagi candu-candu kehidupan marak menjejali otak! Korupsi! Kelaparan! Mengemis! Bayi-bayi kecil meronta meminta susu, tapi malang! Menunggu nasib, gizi buruk tetap membebat lengan! Ah, kapan makmur? Harapan yang dulu diperjuangkan masihkah tersisa? Atau hanya sia-sia belaka, menunggu usia tua?
Ah, pribadi bangsa telah pudar, terikis oleh zaman yang disebut globalisasi. Zaman tua renta ini, kapan ada lagi Pancasila untuk negeri?
Jakarta, 2013
-Dian Sulistiani-
            Puisi tersebut sengaja saya tulis sebagai pembukaan tulisan ini. Beberapa kata dan kalimat, saya bold untuk menandakan pokok-pokok ide. Permasalahan yang terjadi saat ini berpilar pada pendidikan karakter lemah. Hal tersebut sering dikaitkan dengan implementasi Pancasila sebagai jati diri bangsa seakan luntur.
            Seperti yang telah sering kita perdengarkan sebuah lagu melegenda berjudul “Garuda Pancasila” pun turut bercerita tentang kegagahan Pancasila:
Ciptaan: Sudharnoto
Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju
            Lagu tersebut memberi semangat kepada para pelantunnya untuk tetap gigih memperjuangkan Pancasila sebagai kepribadian bangsa.
Jika kita tengok kembali sejarah masa silam, Pancasila diartikan sebagai cita-cita dan pengharapan yang wajib dijunjung tinggi oleh seluruh elemen di dalamnya. Pancasila juga sebagai dasar Negara Indonesia yang dibentuk dan dikembangkan berdasarkan kesepakatan bersama di atas segala macam perbedaan yang ada. Sebagai pondasi bangsa, Pancasila seyogyanya benar-benar menjadi dasar yang teguh dan bermoral. Sependapat dengan Dipoyudo (1984, Susanto, 2013), beliau menyebutkan penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa mengindikasikan bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara. Lalu, segala sumber tertib negara, hukum, dan jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral Pancasila (Soegito, 2009, dalam Susanto, 2013).
            Sayangnya, esensi dari Pancasila itu sendiri belum dimaknai di kalangan masyarakat. Realita yang ada, Pancasila masih dipahami hanya berupa verbal saja. Kita masih disodorkan pada pelafalan kelima sila dalam Pancasila saat upacara bendera, misalnya. Itu pun kalau masih hafal di luar kepala. Bahkan tragisnya lagi, ketika kita duduk di sekolah dasar maupun menengah, kita hanya dituntut untuk mengerti konsep yang abstrak dari Pancasila tanpa mengerti pengimplementasiannya.
Pemahaman nilai-nilai Pancasila kurang sesuai perkembangan kognitif seseorang. Sebagai contohnya, pelajaran yang berbasis pada Pancasila di sekolah dasar kurang tergali mendalam. Seperti yang sempat saya alami ketika masih duduk di sekolah dasar, kebanyakan materi tentang Pancasila harus dihafalkan. Alhasil, sampai sekarang banyak materi yang terlupakan begitu saja. Bentuk riil dari Pancasila belum sepenuhnya menyatu dalam kehidupan. Padahal, Pancasila seharusnya tak hanya dihafal tetapi juga diimplementasikan. Memahami tidak cukup menghafal saja, bukan? Sudah selayaknya Pancasila sebagai kompas pemersatu untuk menunjukkan arah menuju mimpi-mimpi Indonesia ini berjalan dengan baik.
            Pancasila bukanlah hal yang baru bagi kita, terutama bagi individu yang masih mengaku bangsa Indonesia. Sayangnya, dewasa ini Pancasila hanya dipandang sebelah mata. Arus globalisasi seakan membuat kita buta terhadap jati diri bangsa sendiri. Kearifan lokal masyarakat yang dulu dipupuk erat kini mulai luntur. Egoisme dan hedonisme masyarakat semakin tinggi.
            Mari kita refleksikan diri sendiri, sejauh mana kita mengenal Pancasila itu sendiri? Hanya dari sejarahkah? Hanya sebuah ukiran berbentuk burung garudakah? Atau malah sama sekali belum pernah melihat rupa simbol Pancasila?
            Pancasila hanyut dalam arus globalisasi. Banyak ciri khas dari kita, Indonesia, yang terlupakan begitu saja. Padahal Pancasila sebagai kepribadian bangsa seharusnya menjadi tameng dan filter segala hal dari luar. Sayangnya, penyaring itu telah lemah ditelan zaman. Seakan para pemiliknya tidak lagi memedulikan.
            Realita yang ada saat ini seharusnya bisa menyadarkan mata bangsa Indonesia. Beberapa pulau kecil tak terurus akhirnya “dicuri” bangsa lain. Karya anak bangsa, batik dan lagu “Rasa Sayange” pun turut andil menggegerkan bangsa akibat hampir “diambil alih” bangsa tetangga. Semua itu disebabkan oleh kekurangpekaan kita sebagai pemilik. Apakah tindak pembelaan selalu datang setelah direbut bangsa lain? Seharusnya tidak!
            Apakah mengelus dada saja cukup menyelesaikan permasalahan? Saya pikir hal itu bukanlah pemikiran kaum terdidik. Teringat oleh saya sebuah pernyataan salah satu dosen saya, “Jika belum bisa berkontribusi, setidaknya jangan ‘membebani’ orang lain.” Sebuah kalimat yang menohok dan tertancap di hati serta pikiran menurut saya. Ya, saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menjadi bahan refleksi diri.
            Lalu, apa hubungannya dengan Pancasila? Di sini kita berbicara bahwa Pancasila sebagai identitas bangsa. Pancasila menjadi ciri unik bangsa ini yang benar-benar milik sendiri. Bahkan perjuangan para pejuang terdahulu membutuhkan kucuran darah dan pemerasan tenaga serta pikiran. Berkontribusi adalah kewajiban kita sebagai penerus bangsa. Jikapun kita belum mampu, seharusnya kita sadar “tak menjadi beban” demi kemajuan bangsa. Sayangnya, lagi-lagi kita terlalu egois. Kita kurang peduli dan peka.
            Coba saja lihat dan cermati kondisi saat ini. Generasi bangsa lebih menggembargemborkan budaya bangsa lain. Gaya hidup dan style penampilan bangsa lain masih menjadi trend di kalangan masyarakat. Lalu, siapakah yang akan melestarikan budaya sendiri? Grup band Korea sebagai contohnya. Masyarakat lebih memilih untuk berjejalan di antara ribuan orang hanya untuk menonton pertunjukan grup idolanya daripada menyaksikan pertunjukan “Wayang”. Harga tiket tinggi pun tak dihiraukan masyarakat walau merogoh kantong lebih dalam demi kepuasan ego didapatkan. Begitu pula lagu “Gundul-Gundul Pacul” pun jarang dikumandangkan lagi. Berapa ribu bahasa ibu (daerah) yang punah tak ada jejak? Belum lagi gaya hidup orang barat lebih dipentingkan daripada kearifan lokal bangsa: gotong royong. Alhasil, khasanah bangsa semakin punah.
            Penyaringan budaya asing di Indonesia tidak lagi berdasarkan pada jati diri bangsa. Kesemrawutan sistem pemerintahan, belum tercapainya harapan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun masih menjadi pekerjaan rumah kita semua. Kondisi saat ini mengindikasikan bahwa Pancasila telah diabaikan begitu saja.
            Tidak hanya itu, bangsa ini pun seakan mengalami krisis moral. Beberapa permasalahan besar yakni: kurang kokohnya persatuan bangsa. Kita memang bermacam-macam suku, ras, agama, dan golongan, tapi tak selayaknya kita pecah dalam egoisme masing-masing. Sebagai contoh: konflik antarsuku di Papua, cek-cok antaragama, dan penegakan hokum yang dirasa sangat lemah. Pancasila bukan sebagai pemecah-belah, melainkan justru menjadi pemersatu. Sudah sepatutnya, kita sebagai generasi penerus menyadari dan melakukan strategi baru dari pemikiran-pemikiran baru pula. Jangan sampai kita didikte bangsa lain seperti zaman penjajahan terdahulu. Kisah masa lalu terulang kembali itu berarti kita tak dapat memperbaiki kesalahan. Jatuh pada lubang yang sama berarti “orang bodoh”.
            Berefleksi dari hal di atas, perlu adanya penafsiran-penafsiran baru untuk memaknai pancasila. Pengintegrasian esensi Pancasila itu sendiri di setiap unit masyarakat sesuai kontekstual pun sangat perlu dilakukan. Membersihkan Pancasila dari dramatisasi politik menjadi tugas kita. Mari kita benahi bangsa Indonesia berdasarkan ciri khas dan identitas bangsa: Pancasila. Memulai dari diri sendiri terlebih dahulu memaknai Pancasila secara benar. Bertindak sesuai Pancasila dan moral bangsa! Inilah tugas besar kita demi mewujudkan mimpi-mimpi yang diidamidamkan bangsa. Pendidikan berpancasila pun masih diperlukan. Hal ini dapat diwujudkan dari tangan-tangan pihak pemerintah dan rakyat yang berjalan selaras saling mendukung. Pemerintah tanpa rakyat cacat, rakyat tanpa pemerintah hancur! Semangat berjuang!
Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa. Dibaca pada tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#


Bebas Bukan Berarti Tanpa Batas

Pancasila 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar atau membaca kata “BEBAS”? Pasti akan begitu banyak definisi. Ya, seperti yang saya pikirkan saat ini. Jika terbesit kata “BEBAS” di otak, saya segera teringat dua kata “tidak terikat”. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Online, bebas dapat diartikan sebagai (1) lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dng leluasa; (2) lepas dr (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dsb; (3) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb); (4) tidak terikat atau terbatas oleh aturan dsb; (5) merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing); (6) tidak terdapat (didapati) lagi.
Seyogyanya setiap manusia memiliki keinginan untuk bebas. Ya, bebas, kalau dalam bahasa gaul “ya semau gue!”. Bahkan manusia akan cenderung tertekan jika dirasa kebebasannya direnggut oleh pihak lain. Sebagai contohnya pengalaman yang pernah saya alami. Suatu hari, saya memasuki lingkungan baru yang secara latar belakang dan perilaku sosial saya sebelumnya. Kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang saya temui saat itu sedikit mengurangi ruang gerak dan pendapat saya. Saya tidak dapat leluasa untuk mengungkapkan ide-ide saya. Setiap kali saya ingin berpendapat, selalu saja dipotong dan tak didengar. Ditambah lagi sikap beberapa orang yang cenderung sulit mengontrol egonya, itu pun menambah beban saya di lingkungan baru. Entah itu mereka tahu atau tidak kalau sebenarnya sikap mereka telah membuat orang lain merasa tertekan. Kadangkala manusia memang perlu sebuah penghargaan diri dan pengakuan dari masyarakat untuk menyatakan keberadaan dirinya. Mungkin ini sudut permasalahannya ada di model penyesuaian diri saya yang kurang maksimal. Namun seharusnya, kita sendirilah yang bisa mengontrol kebebasan kita.
Saya suka dengan ungkapan yang mungkin sering kita dengar “bebas bukan berarti tanpa batas”. Ya, saya setuju. Kita boleh bebas sesuka hati melakukan semua hal, tapi sejatinya kita harus ingat bahwasanya kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Salah satu fenomena yang bisa kita jadikan bahan refleksi yaitu kejadian lampu merah di jalanan. Jika dari setiap arah, orang-orang bebas sesuka hati menggunakan jalanan itu, lalu apa yang akan terjadi? Tanpa lampu merah, banyak kemungkinan yang akan terjadi bukan? Misalkan saja, semua pihak berebut untuk menyebrang duluan. Apa yang akan terjadi? Bisa dibayangkan, berapa puluhan korban lalu lintas? Kemungkinan lain, taka da satu pun yang berani menyebrang karena takut dihantam oleh pihak lain. Betapa sepinya jalanan itu jika ini terjadi? Ya, semua itu banyak kemungkinan lain pastinya. Nah, di sinilah terlihat bahwa sebenarnya kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Lantas, menyoal siapa yang seharusnya menegakkan kebebasan? Menurut saya, kita sendirilah yang seyogyanya bisa mengontrol kebebasan diri sendiri. Kita seharusnya menyadari bahwa kita hidup bersosial, kita tidak hidup seorang diri. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kita harus menyadari bahwa orang lain juga memiliki kebebasan sendiri. Coba bayangkan bila setiap manusia mementingkan egonya masing-masing. Ketika berbicara, setiap orang menggebu-gebu ingin pendapatnya didengarkan, tapi kenyataannya? Tak ada yang bersedia mendengarkan. Semua berebut dan memaksakan kehendak dan ide-idenya. Silakan ditebak apa yang terjadi?
Nah, di saat-saat seperti inilah, perlu diberlakukan sebuah peraturan. Di sini, peraturan bukan untuk semata-mata menekan kebebasan, melainkan untuk mengatur kebebasan untuk kepentingan bersama. Walaupun sebenarnya, ada beberapa pihak yang dirugikan kebebasannya. Ya, pastinya ini akan terjadi dan tak semua orang sesuai yang dinginkannya. Saya suka kalimat seorang guru saya, beliau berkata, “Kita tidak bisa membahagiakan setiap orang karena dunia memang seperti itu.” Nah, setiap orang pastinya ingin berjalan sesuai rencananya. Dengan demikian mereka akan merasa puas, tapi kita tak bisa seperti itu. Ya, karena kita bukanlah alat pemuas. Pasti ada hal-hal yang akan dikorbankan untuk kepentingan lain yang lebih diprioritaskan. Di sinilah seharusnya peraturan berperan untuk menyelaraskan kebebasan bersama.
Seperti yang telah diungkapkan oleh John S. Mill, kebebasan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan kekuasaan individu, dan kebebasan kekuasaan orang lain. Baiklah, untuk kebebasan kekuasaan batiniah, kebebasan ini bersumber pada hati nurani yaitu, kebebasan untuk berpikir dan merasakan. Kebebasan ini memberi kesempatan kepada setiap individu untuk berpendapat dan bermoral. Kemudian kedua adalah kebebasan kekuasaan individu. Kebebasan ini mengindikasikan bahwa setiap individu bebas membawa dirinya ke pilihannya sendiri. Hal ini berarti mengimplikasikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Lalu, ketiga adalah kebebasan kekuasaan orang lain. Dalam kasus ini, kita harus sadar bahwa kita sebagai makhluk sosial akan terus berinteraksi dengan orang lain yang juga memiliki kebebasan. Oleh karena itu, setiap individu juga memiliki pertanggungjawaban secara kolektif.
Dengan adanya kepentingan bersama ini, secara tidak langsung telah membatasi kebebasan setiap individu. Lantas, apa peranan peraturan untuk kepentingan bersama? Sebenarnya, peraturan dibuat bukan untuk dilanggar, melainkan untuk dijalankan. Mirisnya, kondisi saat ini berkebalikan. Malah ada celetukan bahwa “peraturan dibuat ya untuk dilanggar”. Inilah pernyataan yang salah kaprah. Seharusnya kita bisa menengok kembali apa tujuan pertama kali peraturan dibuat? Jika itu masih berlaku dan masih sesuai masanya, maka peraturan itu masih perlu dipertahankan untuk kepentingan bersama. Lantas, kalau peraturan itu ternyata sudah tak layak untuk digunakan, kita perlu merevisi sesuai keputusan bersama. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, seharusnya mereka bisa berpikir dan mengkaji ulang mana tindakan yang patut dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan?
Negara pun turut andil dalam mengatur kebebasan. Seperti yang termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Di sini, setiap individu diberikan jaminan konstitusional untuk berorganisasi dan mengajukan pendapat, bukan hanya warga Negara Indonesia saja, melainkan warga Negara asing yang tinggal di Indonesia juga.
Lalu, Negara juga telah mengatur kebebasan beragama, yaitu dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sayangnya, masih ada pihak-pihak yang tidak terima atas kebebasan beragama. Masih banyak kasus cekcok atas sebuah perbedaan agama. Jika kita bahas berbagai kasus yang terjadi, hal tersebut akan sangat panjang. Jadi untuk kesempatan kali ini, kita hanya berefleksi saja dalam hati masing-masing, bagaimanakah kita menghargai orang lain yang berbeda agama?
Oleh karena itulah, kita sebagai bagian dari masyarakat seharusnya dapat berefleksi bahwa sikap saling menghargai begitu penting di dalam masyarakat. Jika kita tidak mau menghargai, mengapa kita mendesak orang lain untuk menghargai kita? Ini tidak fair, kalau kita hanya menuntut hak namun kita melupakan kewajiban. Jika ingin dihargai, maka hargailah terlebih dahulu diri sendiri. Walaupun kita memiliki kebebasan, jangan lupa bahwa kebebasan kita pun dibatasi oleh kebebasan orang lain. Mari ikut serta mewujudkan sikap saling menghargai dan bersolidaritas. J

Referensi:


Belajar dari Praktik

Microteaching 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027 / Section B
Mathematics... is more than a collection of problem-solving procedures; it is in essence a system of relations, and it will become increasingly important for children to understand it as a system as their education progresses.” (Resnick, 1992)
            Ya, saya mendapatkannya ketika saya mempelajari matematika. Bagi saya, matematika sangat mengasyikkan dan seru. Apalagi kalau sudah materi geometri, itu hal yang saya suka. Nah, sebenarnya saya lebih menyukai geometri daripada aljabar. Namun, tak mungkin saya hanya memilih geometri saja bukan? Pastinya, harus mencoba menyukai hal yang tak disuka juga.
            Sebenarnya, sebelum memilih undian penentuan topik, saya berharapnya untuk mendapatkan materi geometri. Sayangnya, harapan itu tertunda sementara sebab saya mendapatkan topik aljabar. Ya, mungkin itu sebagai media pembelajaran saya. Walau saya lebih menguasai materi geometri daripada aljabar, mau tak mau saya harus belajar bagaimana saya mengajarkan aljabar itu sendiri? Ya, ini kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan tentang matematika. Tak mungkin pula, suatu hari nanti kalau sudah menjadi guru kita hanya memilih untuk mengajarkan materi yang kita kuasai bukan? Itu namanya statis. Tidak berkembang. Dan saya tak ingin seperti itu.
            Baiklah, Microteaching course telah memberi banyak pengajaran buat saya, khususnya untuk kemampuan mengajar. Pada kesempatan ini saya mengambil standar kompetensi: Memahami bentuk aljabar, persamaan dan pertidaksamaan linear satu variable. Sedangkan kompetensi dasar: Melakukan operasi pada bentuk aljabar. Tiga puluh menit praktik mengajar di kelas, lalu diberi feedback. Itu hal sudah menjadi kebiasaan kami di kampus USBI-SSE. Saya sangat berterima kasih kepada para pemberi masukan yang membangun untuk saya. Itu sangat membantu. Beberapa yang saya ingat, ada beberapa masukan untuk pengajaran saya.
Pertama, masalah konten. Ya, saya menyadari konten aljabar saya lemah sehingga ketika mengajar, saya sempat bingung mencari cara untuk menyampaikan konten dengan baik. Alhasil, untuk materi ini, saya mengalami kesulitan untuk mengajarkan kepada siswa cara melakukan operasi pada bentuk aljabar.
Kedua, masalah praktis pengajaran. Ada beberapa masukan mengenai suara, classroom management, time management, lalu mengontrol siswa. Menurut saya, itu semua masih tahap belajar dan sebagai guru kita harus bersedia belajar dan terus belajar agar lebih kreatif lagi. Selain itu, guru juga harus bersedia dikritik untuk menjadi lebih baik lagi. Di sini, saya pun belajar untuk mengungkapkan pendapat dan menerima pendapat dengan lapang dada. J
Ada satu hal yang sempat mengejutkan saya mengenai sebuah komentar: kondisi kelas terlalu dibuat-buat. Sebenarnya, ini bukan hal baru lagi, tapi mungkin masih bisa dibahas. Jujur, kondisi kelas section B memang seperti itu, apa adanya. Mungkin bagi orang yang jarang masuk kelas kami, akan berkata, “Sedikit lebay, sangat ramai kelas ini.” Ya, saya menyadari kelas ini ramai, tapi saya mencoba ambil hal positifnya saja, sewaktu-waktu kita bisa mendapatkan kelas semacam ini. Jadi, kita bisa lebih persiapan lagi untuk mengatasinya karena kita sudah terbiasa. J
Dalam perkembangan kemampuan saya mengajar, satu hal yang masih menjadi ciri khas saya adalah jargon di kelas. Bagi saya, ini hal yang masih memungkinkan untuk dilakukan di kelas. Saya sangat berharap hal ini dapat membantu untuk meningkatkan motivasi dan semangat belajar siswa. Kemudian, kelemahan yang harus dihilangkan adalah kemampuan bahasa verbal yang belum lancar apalagi bahasa Inggris. Saya masih kesulitan untuk berbicara lancar, tapi saya tetap berjuang untuk hal ini menjadi lebih baik.

Jika dulu saya begitu takut untuk berbicara di depan kelas, kini sudah mulai ada pencerahan, ada kemajuan, saya berani tampil di depan kelas. Lalu, dengan cara mengambil topic yang belum begitu dikuasai akhirnya saya bisa belajar untuk bisa menguasainya lebih. Peru ada penekanan konsep kembali di bagian inti pembelajaran. Untuk opening dan closing sudah cukup bagus. J

Microteaching? OK!

Microteaching 6
Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
“Yeyyy, kelas Microteaching hampir berakhir di semester ini. Itu berarti tanggung jawab di semester depan semakin besar. Semoga lebih matang lagi pembelajaran yang telah diterima.”
            Well, pembelajaran yang saya terima di SSE selama ini terasa sekali manfaatnya ketika menjalankan School Experience Program (SEP)  tahun ini. Jika dulu begitu awam tentang seluk-beluk guru, kini sudah mulai ada pencerahan. Ya, belajar di SSE pun menjadi sangat penting dan sangat perlu untuk digeluti dengan baik. Saya merasa sangat beruntung bisa mengolah pengetahuan di kampus ini dan semoga menghasilkan produk yang bernilai tinggi pula.
Khusus kelas Microteaching, bagi saya mata kuliah ini sangat bermanfaat. Setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukan pembelajaran di kelas dengan teman sendirilah yang menjadi siswa. Bagi saya, ini adalah tantangan. Mengapa tantangan? Bagaimana tidak? Kelas dengan siswa-siswanya adalah teman sendiri kadangkala membutuhkan ekstra kerja keras. Menganggap para siswa tersebut adalah murid SMP/SMA. Perlu imajinasi tinggi bukan?
Di sinilah, role play pembelajaran yang sering saya lakukan di kampus begitu berarti buat saya. Walaupun kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan kondisi di kelas kampus. Mengapa berbeda? Kalau di kelas kampus, kadangkala kita sudah menganggap siswa-siswa, di sini teman-teman menjadi siswa, sudah mengerti konsep dan bahkan lihai. Hal ini sering terlupakan bahwa kelas sebenarnya, kita akan dihadapkan pada siswa-siswa yang sedang belajar atau bahkan belum mengerti sama sekali. Sedangkan kita sebagai guru dituntut untuk membuat siswa paham dan menguasai konsep. Inilah yang terkadang membuat tumpang-tindih pembelajaran.
            Menyoal kondisi kelas yang sedemikian rupa, saya sangat terbantu dengan kondisi natural section B. Mungkin banyak pihak yang menyatakan bahwa kelas kami super-duper ramai, “jungle”, atau kelas paling rebut sampai terusir-usir, tapi bagi saya, kelas ini adalah spesial. Saya belajar bagaimana mengatur siswa yang ramai seperti itu. Mereka juga saling mendukung.
            Sebuah refleksi saya, ketika saya melakukan role play dan saat itu salah seorang dosen berkomentar bahwa kelas kami terasa dibuat-buat dan tidak natural, mungkin itu hanya sekadar judgement. Sulit dijelaskan memang, mungkin kami terlalu menikmati hal tersebut apa adanya.
            Proses kelas Microteaching, setiap minggunya bergantian untuk mengajar, ini sangat bermanfaat. Saya bisa memperbaiki kekurangan dan bisa belajar dari teman lain. Selain menambah pengetahuan, kita juga bisa mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu kita mendapat kondisi yang sama atau materi yang sama. Kita sudah ada gambaran singkat untuk hal tersebut.
            Proses penilaian adanya dosen tetap, dosen lain, dan teman-teman observer. Ini sangat membantu. Kita bisa mendapat banyak komentar, masukan, dan refleksi untuk perbaikan dari berbagai sumber. Saya sangat beruntung bisa tampil pertama, tapi ada beberapa hal yang membuat saya kurang puas terhadap cara dosen memberi komentar. Jujur, dan saya mohon maaf, saya harus menuliskan hal ini di refleksi saya yaitu tentang keobjektifan dosen memberi komentar. Jujur, saya sempat down, ketika seorang dosen yang mungkin “kurang mengenal saya”, menurunkan semangat saya saat pemberian komentar. Sedangkan untuk mahasiswa lain yang cukup dikenalnya, beliau menyanjung-nyanjung berlebihan dan mungkin kurang cocok untuk dikatakan di kelas. Jujur saya sedikit shock, ketika dosen tersebut memberi komentar kepada saya dan memanggil saya dengan sebutan “anda”. Sedangkan dengan teman-teman yang lain memanggil dengan nama atau “kamu”. Dalam persepsi saya, kata “anda” terasa ada jarak yang sangat jauh. Padahal mungkin hubungan kami antara orang tua dan anak didik. Hal tersebut sedikit kurang bisa saya terima.
            Bukannya iri atau sakit hati, tapi seyogyanya pendidik juga bisa mengondisikan diri sebagai penilai. Sebenarnya, ini refleksi saya pribadi. Mungkin nanti kalau seandainya saya menjadi guru, hal-hal yang tak saya sukai dan tak bisa saya terima, jangan sampai saya lakukan kepada murid-murid saya.

            Kalaupun saya saat ini tak begitu bagus di mata para pengamat, tapi saya akan buktikan suatu saat nanti saya lebih baik dari masa lalu. Biarpun komentar itu terasa pahit saat ini, tapi inilah belajar. Kita harus bisa menerima kritikan yang mungkin sangat menyakitkan demi kebaikan kita sendiri dan untuk masa depan. Banyak batu kerikil di sini dan siapa yang mampu bertahan dalam kompetisi, dialah pemenangnya. Dan saya akan terus belajar, belajar, dan belajar.

Learn and Do It!

CLS 6
By: Dian Sulistiani / 2010110027
School Experience Program on this semester, I got SMAN 71 Jakarta. I was leader in this group. I did not believe that I can finish this job on time. I am so happy for this semester. I learned so many experiences. I can apply the material that I got in some courses. Yes, I believe what we learn today, it will be useful on the future. J
***
            In this SEP, I became observer for Deshinta’s performance. We got XI.IPA.2 class from 08.10 am to 09.40 am. This class is consists of 40 students. In here, we had the topic: application of derivative in daily life. I think that is interesting. Yes, Deshinta delivers this topic creatively and clearly. First time, she gave good information about the students’ assignment. She also prepared some gifts for the winner game of last meeting. The students pay attention and enthusiastic in this lesson. After that, she used JIGSAW: home group and expert group. The students were divided into several groups. Each member of group had one problem to be solved. This problem will be solved in the expert group. It was so interesting. Each student will work into group. It helped student, if he or she got problem to solve the question. They can discuss it together. Deshinta also gave lecturing. She invited the students to discuss into the class discussion. Finally, she gave reinforcement about the topic. In the closing, the students were asked to make reflection about the lesson.
            Well, in my observation, I think the students pay attention to the teacher. Maybe, it is caused by Deshinta’s character. She can manage classroom well. Sometimes, the students were noisy, but Deshinta can solve the problem. For example: when Deshinta explained the material, some students that sat in behind made a noisy situation. She was quiet in some seconds, and then reminds the students to focus again. I think that the students felt happy and they enjoyed the lesson. It was seen by students’ enthusiastic. When Deshinta proposed the problem, the students gave idea. They responded correctly and energetic. The students also joined the lesson well.
            I like this class. The agenda of lesson completed. This is a big class, I think. In my experience, I often failed if I applied the teamwork that needs movement. It will be noisy. Moreover, I did not manage the classroom well. I have difficulties to control the classroom situation. But, in this class, JIGSAW can be completed well. I give applause for this meeting. I can learn everything from this class. I also had opportunity to interview the teacher, Mrs. Etty, she told that she habituates the students to work in group, drill and practice, come forward in front of class to solve the problem, and learn together in the group. Maybe, those influenced this meeting. The discussion in group was worked well.
            In this topic, the teacher prepared well. She gave the gift for the winner group. She also reminded the students about the classroom agreement: if the student wants to eat something, she or he has to give each other too. Then, she also did not forget to tell the lesson objective to students. Then, she guided the students to review about the last lesson. She gave the question, “How to find the maximum and minimum values from the function?” I think that is a good question to know students’ prior knowledge. The students will answer their knowledge about the topic. It can help the teacher to explore the students’ idea. The teacher can know the students’ answer is correct or wrong. So, the teacher can determine the next step. If the students still feel confused, the teacher will review deeply again. But, if the students can explain clearly, so the teacher can continue the next material.
This first question can attract the students’ attention to follow the lesson. Almost the students joined to answer the question. I think that the answer of the question is more than one answer. I mean that can be evolved. For example from the transcript, we get some dialogs.
***
Guru     : “Oke sudah siapkan buat besok, kalo kita mau mencari nilai maksimum atau minimum dari suatu fungsi apa yang kita lakukan?”
Siswa    : “Diturunin.”
Guru     : “Abis diturunin itu diapain?”
Siswa    : “Difaktorin, turunannya sama dengan nol.”
Guru     : “Ok, turunannya sama dengan nol =, kalo misalkan kita mau menghitung seumpanya kita mau menghitung sebuah produksi, bedanya dari tahun pertama dengan tahun kedua, jumlah produksi taun … kalo misalkan ditanya jumlah produksi dari tahun pertama ke tahun kedua.”
***
            From the dialog, the first question linked with the next question. I think that the first question is good, if can attract the students’ attention and does not stop the students’ idea. I think, the first question is good enough to attract the students’ attention and spirit.
            In my reflection, I found the inappropriate question. In here, teacher often used the close ended question. It just confirmed the students’ knowledge. The students just have the simple answer. In the fact, teacher asked the students.
Guru     : “Pada titik berapakah benda mencapai tanah?”
Siswa    : ----
Guru     : “Apanya ? t=0 jaraknya nol. Jadi bukan v nya nol ya kalo dia berada di atas tanah. Oia, kalo sebuah percepatan diketahui percepatan negative itu artinya apa si?”
Siswa    : “Diperlambat.”
            In this fact, students just have simple answer. It is not wasting time, but just confirms the students’ knowledge. Then, the dialog tells that the teacher does not provide enough “waiting time”. Before the students finished the thinking, the teacher got in front of the students’ answer. Teacher also does not reconfirm about the previous question that the teacher answers. But, she gave the next question directly. Well, I think why the teacher does not gave “waiting time”, it is caused the teacher has the other agenda to be finished. Whereas, the question on the review session. In addition, this class is so big. So, maybe if we used questioning and responding question too many, it will be wasting time.
            Then, teacher often answered the question that the students can not answer. It is like this question:
Guru     : “Ok, turunannya sama dengan nol =, kalo misalkan kita mau menghitung seumpanya kita mau menghitung sebuah produksi, bedanya dari tahun pertama dengan tahun kedua, jumlah produksi taun … kalo misalkan ditanya jumlah produksi dari tahun pertama ke tahun kedua.”
Siswa    : “Sum.”
Guru     : “Kalo tahun  pertama ke kedua  bukan sum, tapi kita cari differences-nya atau kita kurangi ya. Jadi tahun pertama berapa dan keduanya berapa.Dia itu untungnya dimulai dari tahun pertama ke tahun kedua, mengerti?”
Siswa    : “Tidak.”
Guru     : “Jadi gini misalkan ada sebuah problem, kalian dikasih pertanyaan tentang produksi. Besar produksi suatu perusahaan sama dengan sebesar ada sebuah equationnya kan, kemudian kita disuruh mencari berapakahbesar, contohnya ya Q=… berapakah besar antara tahun ke 3 dan ke 4, antara tahun ke 3 dan ke 4. Apa yang kita lakukan?”
Siswa    : (Hening)
Guru     : “Karena kita hanya ditanykan besarnya dan kita tahu bahwa persamaan itu besarnya sama dengan persamaan itu. Apa yang kita lakukan?”
Siswa    : ----
Guru     : “Karena ini sama besarnya ya, kalo misalkan produksi itu dalam sebuah tahun sebuah pertanyaan. Laju produksi katakanlah ini. Kalo laju berarti dia turunannya kan ya. Sekarang kalo ditanyakan hanya berapakah besar produksi antara tahun 4 dan ke 3?”
Siswa    : “Dicari dulu P(4) dan P (3).”
            In my analysis, teacher is faster to answer than to wait the students’ thinking. Then, I like this part question:
***
Guru     : “Hati-hati dengan kata-katanya ya, kalo misalkan dia ditanya besar ya besarnya saja. Terus kalo misalkan sebuah benda dilemparka terus kita ditanyakan berapakah tinggi maksimum?”
Siswa    : “v = 0”
Guru     : “Pada titik berapakah benda mencapai tanah?”
Siswa    : ----
Guru     : “Apanya ? t=0 jaraknya nol. Jadi bukan v nya nol ya kalo dia berada diatas tanah. Oia, kalo sebuah percepatan diketahui percepatan negative itu artinya apa si?”
Siswa    : “Diperlambat.”
Guru     : “Kalo kecepatannya  negatif, percepatannya apa?”
Siswa    : “Negative juga, diperlambat juga.”
Guru     : “Jadi kalo kecepatan minus, percepatan minus
Guru     : “Hati-hati dengan kata-katanya ya, kalo misalkan dia ditanya besar ya besarnya saja. Terus kalo misalkan sebuah benda dilemparka terus kita ditanyakan berapakah tinggi maksimum?”
Siswa    : “v = 0”
Guru     : “Pada titik berapakah benda mencapai tanah?”
Siswa    : ----
Guru     : “Apanya ? t=0 jaraknya nol. Jadi bukan v nya nol ya kalo dia berada di atas tanah. Oia, kalo sebuah percepatan diketahui percepatan negative itu artinya apa si?”
Siswa    : “Diperlambat.”
Guru     : “Kalo kecepatannya  negatif, percepatannya apa?”
Siswa    : “Negative juga, diperlambat juga.”
Guru     : “Jadi kalo kecepatan minus, percepatan minus
***
            I like the question. The main question then there is some support question. It should be effective because the slot is good. But, in real time, it has not be effective because time management and there are many agenda. It is just be close question that has simple answer but the students did not have opportunity more to think the answer.
            The impact, the students just were being quiet and the teacher instead answers the question by self.
            I think most questions are close question because the question just has one variety of answer. May be, the teacher suited the agenda with the time management. I think the teacher has difficulties to apply in the big class. May be, considering the number of students. If she applied the open question, it does not focus in the topic because so many probability of open question.
            From the worksheet, I think the question can build the critical thinking of students. It has steps and if the students can not solve the problem in the step, she/he has to continue the answering.
            Based on my observation, there is unexpected students’ response. It is when the teacher explained number 3 on the worksheet. In here, the teacher assumed that the students will answer, “The picture is cuboid net.” But, in real time, there are the students that answered, “The picture is cube net.” So, the teacher has to explain again and asked the students to compare cuboid net and cube net. I think it is a correct response from the teacher. It can build the critical thinking or highest order thinking of students.
            In my reflection, the teacher prepared the question well. It can be seen that the teacher can answered the unexpected question from the students. The teacher also does not run out of question. There is next question and next question again when the students do not understand about the material. The question can be guidelines for the teacher so, the goal can be reached.
            This session is so important for me as the teacher candidate. I learned so many experiences from the observation. I can predict how the students’ answer will be reached. I also can prepare the question what will I give to students. It is so useful.
            Then, before I answer all of questions in this assignment, I have to think and analysis which open question, closed question, effective question, non effective question, etc. It explores my knowledge. I am really learning about so many questions in this semester. I will be stock for my future.
            I will learn to prepare the lesson well again. I believe, it helps me to make an effective, creative, and great lesson in the future.

****