Pada
akhirnya, semua permasalahan itu berawal dari kurangnya komunikasi. Ya, semua
karena komunikasi yang buruk.
Saya
tinggal ngekos di Jakarta. Merantau dan tinggal dengan berbagai macam karakter
orang. Di tempat kos saya, ada 14 kamar. Kami tinggal bersama dalam satu
bangunan atap dan satu gerbang. Tetangga kos pun silih berganti dan saya adalah
orang dua tersisa sebagai penghuni kos terlama. Ya, 6 tahun di Jakarta membuat
barang-barang saya semakin banyak dan saya malas untuk berpindah tempat
tinggal. Alhasil, saya tetap tinggal dan bertahan.
Seperti
kehidupan anak kosan biasanya. Saya punya kamar sendiri, kamar mandi bersama,
ruang tamu bersama, dan dapur bersama. Semua fasilitas bersama seharusnya
dijaga bersama. Ya, itu etikanya. Tinggal bersama banyak orang, kadangkala ada
hal yang tak sejalan. Ada hal yang mungkin malah membuat kita tak nyaman,
bertolak belakang dengan diri kita. Ya, begitulah, tapi semua itu buat kita
belajar. Dan saya belajar untuk memahami orang-orang di sekitar saya.
Entah
sejak kapan, suasana kosan menjadi tak nyaman. Yang pasti, semenjak ada orang
baru dan mereka berkubu, saya menyebutnya. Mengapa berkubu? Ya, mereka satu
tempat kerja dan saya kira mereka satu latar belakang. Awalnya, saya hanya
diam. Saya biarkan saja hal-hal yang membuat saya tak nyaman. Mereka
berteriak-teriak di kosan, saya biarkan. Mereka tertawa di ruang tengah tengah
malam, saya biarkan. Mereka masak sambil ngobrol tengah malam, saya biarkan.
Mereka menumpuk piring kotor di dapur, saya biarkan. Saya memilih diam,
walaupun saya terganggu. Saya memilih tak menegur, saya memilih cuek, dan saya
memilih untuk berperang dengan mereka. Kesan pertama yang membuat saya tak
nyaman, ternyata membuat hati saya tertutup untuk memahami mereka. Saya
benar-benar menaruh nama mereka di daftar blacklist
saya.
Banyak
orang diam walaupun mereka benar daripada berdebat yang ujung-ujungnya mereka
disalahkan. Salah satunya adalah saya. Begitulah yang terjadi di kosan semenjak
ada orang-orang baru “tak beretika” tersebut. Sedang orang-orang baru yang lain
tetap diam walaupun terganggu olehnya. Saya sebagai penghuni lama hampir 4
tahun pun terusik keberadaan orang-orang baru “tak beretika” tersebut. Awalnya,
saya mencoba untuk bertahan. Saya mencoba untuk mengerti mereka. Saya mencoba
untuk “respect” dengan mereka. Tapi saya gagal. Hati saya benar-benar tak
menerima mereka. Bukan berarti saya membenci mereka, tapi saya tak menyukai
“etika” mereka.
Pertama,
tentang menjaga ketenangan kos. Suatu kejadian, saya sedang berada di dalam
toilet. Tiba-tiba terdengar suara keributan dari luar. Suara teriakan histeris!
Saya kaget! Bayangkan saja! Saya kira ada perampok yang mencoba membunuh
penghuni kos! Atau kebakaran yang terjadi naas! Ah, sungguh keterlaluan sekali.
Jatung saya hampir saja copot, untungnya tak sampai jantungan! Kaki saya saja
sampai gemetaran. Entahlah apa yang dipikirkan mereka saat itu. Yang pasti
sangat mengganggu! Seusai saya keluar dari toilet, saya menegur dengan baik,
dengan nada sopan, tentang kejadian itu. Saya bilang kalau di kosan sebaiknya
tidak teriak-teriak seperti tadi. Saya juga bilang kalau saya sampai gemetaran.
Sayangnya, perkataan saya tersebut tidak diindahkan oleh mereka. Malah jadi
bahan bercandaan saat mereka teriak-teriak tak jelas. Ya sudah, saya sudah
menegur sekali, kalau tak diindahkan, ya saya tak mau tau urusan mereka!
Kedua,
tentang kebersihan kos, terutama dapur. Okelah, kita hidup bersama dalam satu
rumah. Kotor ya kita bersihkan bersama, kita jaga bersama. Sayangnya,
kebersihan kos selalu menjadi bahan pertama tiap bulan di grup. Ada pihak yang capek-capek
membersihkan dan ada pula yang cuek mengotori lagi. Mereka segrup kalau lagi
rajin, sangat rajin. Bahkan sampai dapur, kulkas, toilet semua bersih. Selalu
mengingatkan kami para penghuni kos untuk menjaga kebersihan, membuat keramaian
grup, menganggap orang-orang yang tak ikut bersih-bersih hari itu adalah si
pengotor! Sayangn ya, kerajinan mereka tak bertahan sehari. Hari berikutnya,
mereka sendirilah yang mengotori dapur, kulkas. Bahkan saya sampai tak ingin
menaruh apapun di kulkas. Tak ada space, ya
memang males berhubungan sama mereka. Sebenarnya, saya mengikuti aturan main
mereka. Selesai masak langsung bersihkan, selesai makan piring tak ditumpuk di
wastafel. Bahkan, jika saya malas mencuci piring, saya taruh piring di kamar
agar tak mengganggu yang lain, penghuni kos yang mau pakai wastafel. Tapi apa
yang terjadi? Mereka selalu menumpuk piring kotor di wastafel sampai
berhari-hari. Memakai alat masak tak dicuci. Masak tengah malam, yang asapnya
mengganggu orang tidur. Berisik saat masak! Ah, saya hanya diam. Bukan berarti
saya tak terganggu, saya hanya lelah menegur kalau ujung-ujungnya cuma jadi
bahan candaan.
Saya
pernah mengambil bukti, foto dapur kotor, piring numpuk. Tapi saat saya bilang
mengungkap kebenaran, mereka menyanggahnya. Mereka bilang kalau piring kotor
mereka sudah dibereskan ditaruh di bawah wastafel bukan di atas. Saya hanya
tertawa saja. Padahal kenyataannya, sayalah orang yang selalu menaruh
piring-piring mereka dari atas wastafel saya pindahkan ke bawah wastafel.
Mereka menyanggahnya lagi saat bukti saya keluarkan. Saya tak tahu, cara pikir
mereka. Ah, saya malah diserang! Mereka berkelompok mencoba menyalahkan saya.
Memojokkan saya! Sayang nya saya tak takut karena saya sudah melakukan sesuai
prosedur. Bahkan saya mengikuti peraturan yang mereka buat “selesai masak,
bersihkan dapur!” Saya selalu pel setelah saya masak. Tapi ujung-ujungnya
merekalah yang tak menjalankan peraturan. Mereka mengaku kalau peraturan yang
mereka buat tak disepakati bersama, jadi tak mereka jalankan! Lahhh, kok lucu!
Baru kali ini saya bertemu sekelompok orang yang memiliki pikiran sempit.
Padahal saya kagum dengan cara mereka bersih-bersih. Bahkan saya dukung
peraturan mereka, tapi kok tiba-tiba mereka bilang tak disepakati. Duh!!!
Entahlah, saya lelah.
Lantas,
ketiga tentang kunci ruangan tengah dan gerbang. Saya sudah pernah bertanya di
grup tentang kunci. Tapi yang jawab hanya satu, anak baru. Hari itu juga saya
langsung duplikat kunci buat dia. Demi keamanan bersama, sudah sering
diingatkan kunci harus punya semua, gerbang harus selalu dikunci saat selesai masuk
atau keluar. Tapi tetap saja ada yang “mbandel” gak dikunci. Lah, kalau ada
penjahat or pencuri gimana? Siapa yang berani bertanggung jawab? Tak ada yang
berani! Entahlah, saya tak tahu lagi harus berbuat apa. Siang itu memang
kondisi kos sepi. Saya mau pergi dan pintu tengah pun saya kunci. Berhubung tak
ada yang menjawab lagi tentang kunci selain anak baru, saya pun berpikir semua
orang sudah punya kunci tengah. Saya tahu kalau ada orang (salah satu anggota
mereka) di kamar luar berada di kosan. Tapi tetap saya kunci karena saya tak
tahu, dia akan pergi atau nggak. Saya juga malas berbasa-basi dengan mereka. Saya
hanya “ngebatin”, nanti pasti ada masalah yang terjadi jika ada orang yang
ternyata tak punya kunci! Lah, benar saja. Baru saja saya sampai tempat tujuan,
tetiba digrup ricuh tentang pintu dikunci. Saya jawab saja alasan saya dan saya
tetap dipojokkan dan disalahkan oleh mereka. Mereka bersekongkol! Whatever!
Pada
akhirnya, keributan di grup pun berujung pada pertemuan bersama seisi kosan.
Saya mengungkapkan segala keluh-kesah saya. Nyatanya yang berani bicara dan
menyanggah hanya satu orang! Ya, si biang kelompok mereka! Yang lain diam! Saya
pasti mengakui kesalahan dan meminta maaf kok jika memang saya terbukti salah.
Saya juga menerima kritik dan masukan kok. Nyatanya, saya disalahkan karena tak
menegur saat itu juga, saat mereka ribut di malam hari. Padahal saya sudah
mencoba mengingatkan, tapi mereka saja yang menutup telinga! Yasudah... Jika
memang beretika, pasti tahu waktu-waktu dimana boleh ribut atau menjaga
ketenangan!
Ah,
Nyatanya mereka bicara tak merani menatap mata saya, padahal saya kuat-kuat
menatap mereka. Nyatanya, mereka berbicara dengan mata melirik ke kiri. Saya
hanya mengamati cara mereka. Nyatanya kesepakatan dihasilkan untuk menjaga
kenyamanan bersama. Selesai masak dicuci, tak ribut or teriak-teriak di kosan,
jadwal bersih-bersih kulkas, dan menjaga keamanan bersama.
Lantas,
apa yang terjadi hari-hari berikutnya? Hari berikutnya berjalan mulus di hari
pertama. Semua menaati kesepakatan bersama. Hari kedua masih berjalan baik-baik
saja. Hari berikutnya, sudah mulai pelanggaran-pelanggaran baru. Mulailah
keributan tengah malam. Ngobrol keras di salah satu kamar. Yup, nggaak di
lobby, kamar pun jadi. Pindah tempat! Aduhai, tak tahulah lagi cara
mengingatkannya lagi. Hari berikutnya, disusul dengan dapur yang mulai
menumpukkan piring dan alat masak lagi. Aduhai, baru tiga hari saja, gagal
total. Sudahlah, saya tak tahu dan tak mau tahu lagi. Sudah diingatkan, tapi
sepertinya memang tipe-tipe orang yang susah diberitahu. Saya akan mencoba
untuk bersabar mengahadapi orang-orang seperti ini. Ya, mungkin di lingkungan
masyarakat, kita akan menemukan mungkin seribu orang seperti ini. Ya, take it easy lah sekarang. Buat
pembelajaran saja kalau kita hidup tak bisa membahagiakan semua orang! Let’s do
the best one! Kita lihat saja ada berapa orang yang masih peduli! Pada dasarnya
semua itu dikarenakan kurangnya komunikasi yang baik.