Sejak kecil saya dilatih untuk mandiri, tidak
merengek saat meminta sesuatu. Kadang satu dua kali, Bapak memang sengaja
membelikan hadiah saat saya mendapat prestasi. Namun, untuk menyoal segala
permintaan harus ada hal yang dapat ditukar dengan keinginan itu. Tak serta
merta langsung dibelikan. Ya, didikan orang tua mengajarkan saat ini kepada
saya untuk terus berusaha sendiri tanpa menyusahkan orang tua. Mungkin dulu saya
tak pernah berpikir, saya akan menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin dulu
hanya terlintas di benak saya bahwa Bapak akan tetap hidup hingga semua
anak-anaknya menjadi “orang” – dalam artian berkeluarga. Ya, masih ditemani
Bapak hingga punya rumah sendiri, punya cucu, dan akan berkumpul bersama setiap
kali lebaran. Sayangnya, itu hanya impian sewaktu kecil. Tuhan berkata lain.
Bapak dipanggil lebih dulu di tahun 2014, sebelum saya mewujudkan cita-cita
beliau, lulus wisuda tepat waktu. Satu hal terberat dan sebuah penyesalan saya
kala itu. Ah, mungkin Allah punya cara tersendiri untuk hamba-Nya. Biarkan
waktu berlalu lebih cepat untuk memperbaiki diri di kemudian.
***
Menjadi anak perempuan sekaligus anak pertama
membuat saya lebih kuat. Dulu saya paling tak suka menjadi anak pertama. Selain
tugas utama lebih berat dari adik-adiknya, anak pertama memang harus menjadi
contoh yang baik. Menjadi peringkat kelas terus? Tak cukup! Hidup tak hanya
sampai sekolah menengah atas. Bahkan sampai di usia 25 tahun, saya masih
memiliki tugas untuk menjadi contoh yang baik untuk adik-adik saya.
Sepeninggalan Bapak, banyak hal tak terduga
yang hadir di kehidupan saya. Ibu menikah lagi, adik menikah muda, dan adik
saya yang kecil belum ingin bekerja. Ada beberapa tanggungan yang harus saya
tanggung untuk beberapa tahun yang akan datang. Kadang saya ingin sekali
mengeluh, tapi saya sadar mengeluh saja tak akan menyelesaikan permasalahan.
Saya harus berjuang keras. Berjuang untuk menyelesaikan apa yang harus
terselesaikan tepat waktu. Jujur, saya adalah tipe orang yang tak enakan.
Bahkan untuk meminta sesuatu, saya tak ingin membebani orang lain. Selama saya
masih mampu, saya pikir, mengorbankan diri adalah jalan satu-satunya. Tapi saya
memang harus kuat, harus bisa hidup sendiri dan menghidupi ibu serta adik-adik
saya.
Kadang jika saya sedih sendirian, saya
bertanya, apakah mereka juga peduli? Apakah mereka juga memikirkan bahwa saya sedang
apa-apa atau tidak apa-apa? Apakah adik-adik saya juga berpikiran yang sama dan
punya keinginan untuk membantu orang tua? Apakah ketika adik-adik saya sudah
menikah, mereka tetap memikirkan Ibu? Banyak pertanyaan yang terlintas tapi
saya sulit menemukan jawaban. Apakah adik-adik saya juga memikirkan tentang
tanggungan-tanggungan yang saya tanggung saat ini? Bahkan saya tak berani
menanyakannya.
Entah mengapa saya kadang jenuh dengan
pertanyaan Pak Dhe saya yang selalu seperti meratapi nasib keponakanannya yang
tak kunjung menikah di usia 25 tahunnya. Setiap kali dibahas, saya selalu
terasa teriris, tiba-tiba saya rapuh. Bukan karena saya belum memiliki
pasangan, tapi karena saya selalu teringat Bapak saya. Saya tak tahu, kenapa
paman saya sebegitu teganya selalu menanyakan hal yang sama dan terasa
menyudutkan bahwa saya tak memikirkan jodoh! Jika boleh saya jelaskan, saya tak
tahu apakah orang-orang seperti itu mampu mengerti atau tidak. Mereka hanya
tahu, saya sudah bekerja di Jakarta, punya uang banyak, dan belum menikah!
Hanya itu! Apakah mereka pernah bertanya tentang banyak hal yang saya alami
sepeninggalan Bapak? Apakah mereka pernah ingin tahu tentang apa saja yang
telah saya lakukan untuk lebih baik? Menjadi tulang punggung keluarga bukanlah
hal mudah membalikkan kedua telapak tangan, tapi di sinilah begitu perjuangan,
ikut merasakan bahwa menjadi orang tua tak mudah.
***
Ada beberapa pilihan menjadi anak yang
dituakan: menghindar pura-pura tak tahu atau memperjuangkan. Sempat saya
berdiskusi dengan beberapa teman yang senasib seperjuangan. Sepeninggalan
Bapak, dituntut untuk menjadi sosok yang tegar menopang hidup keluarga. Tak
hanya anak pertama, tetapi juga anak tengah ternyata mengalami hal yang sama.
Kami dituntut untuk bisa menyelesaikan seorang diri. Sempat berpikir untuk
menunda kesenangan diri sendiri untuk seorang Ibu. Kami setuju bahwa kehidupan
sudah diatur sedemikian rupa, juga hal-hal yang kita alami sudah jadi garis
tangan masing-masing. Hanya saja, satu hal yang kami sayangkan, mengapa
saudara-saudara kami tak berusaha ikut membantu, malah mengambil kesempatan
dalam dunia materi? Ah, satu hal yang saya sayangkan pula. Jika seseorang telah
menikah dan berkeluarga, apakah tujuan dan tanggung jawabnya pupus kepada orang
tua? Lalu, seakan kami yang belum berkeluarga menjadi pasokan utama dalam hal
memenuhi kebutuhan hidup. Apakah setelah menikah, saudara telah menjadi
benar-benar orang lain? Hingga mengesampingkan ego bahwa kita pernah hidup
bersama-sama di waktu kecil. Apakah seorang kakak masih menggantungkan hidupnya
ke adik – yang telah menjadi tulang punggung keluarga?
Jika ditanya emang nggak mau nikah? Kapan
nikah? Nikah? Maulah! Siapa sih yang tak punya keinginan untuk menikah?
Pastilah ada. Namun, untuk saat ini, target bukan untuk diri sendiri. Ada
target yang harus diselesaikan terlebih dahulu, kebutuhan di atas kebutuhan
pribadi. Bukankah bisa dibicarakan kalau sudah menikah? Siapa yang berani
tanggung jawab tentang urusan kita setelah kita menikah terhadap target-target
kita? Saya masih berusaha memperbaiki diri. Memperbaiki kehidupan Ibu dengan
suami barunya. Memperbaiki kehidupan adik dengan keluarga barunya. Kehidupan
adik yang masih mencari jati dirinya. Semua itu masih saya tanggung. Saya masih
belum bisa melepaskan semua itu. Saya tahu, Tuhan akan membukakan jalan dan
mungkin ketika kita menikah, suami kita akan membantu mencarikan solusi
bersama. Hanya saja, saya masih belum yakin dan percaya kepada orang lain. Saya
masih takut kalau semua tak seindah yang kita bayangkan.
Ada orang yang memang bekerja untuk dirinya
sendiri, tanpa tanggungan. Mungkin mereka akan merasa ingin cepat menikah di
usia 25 tahun. Semua itu pilihan dan saya juga punya pilihan. Saya lebih setuju
ke pendapat dua teman saya yang menurut saya seperjuangan. Bapak kami sama-sama
sudah dipanggil oleh Tuhan duluan. Kondisi keluarga kami masih tahap perbaikan
baik dari segi ekonomi maupun tanggung jawab seorang tulang punggung keluarga.
Dari beberapa saudara kami, mungkin bisa dikatakan bahwa kamilah yang harus
menopang hidup mereka. Bekerja jauh dari orang tua, mencoba untuk menutup
segala kekurangan. Ada beberapa target yang ingin kami gapai walau pada
akhirnya kebahagiaan kami yang harus dinomorsekiankan. Mungkin karir adalah hal
penting yang harus kami perjuangkan untuk saat ini. Karena mau tak mau, hidup
membutuhkan uang daripada hanya cinta. Kalau ditanya soal percintaan, mungkin
fase kegalauan kami sudah berakhir. Ada tugas yang jauh lebih harus
diselesaikan daripada menyoal galau jodoh. Saya percaya kalau kita sudah
pantas, Allah akan memberi jodoh kepada kita. Mungkin ini tahap memantaskan
diri! Karena berkeluarga bukan atas sebuah pelarian, melainkan tugas ke depan
akan semakin berat! Kita tak pernah tahu jalan hidup seseorang. So, hargailah
perjuangan seseorang dalam menjalani hidupnya!
Wow, I always like your writing. Dan,
BalasHapusMenjalani kehidupan itu seperti berkendara di perjalanan. Masing-masing punya tujuannya masing-masing tergantung keinginan dan kebutuhannya. Juga, masing-masing memilih untuk melalui jalur-jalur tertentu yang berbeda antara satu dan lainnya, tergantung berbagai pertimbangan yang dimiliki; mungkin terburu-buru karena khawatir terlambat, mungkin santai karena masih ada banyak waktu, mungkin ingin mampir dulu di beberapa tempat. Apakah semua tujuannya harus sama? Tidak. Apakah semuanya harus melewati jalur yang sama? Tidak. Tapi pada akhirnya kita semua akan sampai selama kita terus yakin dan bergerak untuk menujunya.
Ya, setiap orang punya jalan masing2 yg wajib diperjuangkan! ❤❤❤❤
Hapus