Selasa, 04 Juni 2019

Backpacking ke Sri Lanka: Solo Traveling!

#Part 1
Ide gila itu tercetus di saat mood tengah memburuk. Intinya hati memang ingin bersenang-senang dan membuktikan bahwa saya bisa berdiri sendiri, kokoh! Ucapan seseorang “Sudah berkali-kali ke tempat itu, tapi masak gak punya kenalan! Saya aja baru sekali ke sana banyak tuh kenalan,” – yang mungkin hanya sekadar lelucon ternyata membekas di dalam hati. Mulai saat itu juga, saya merencanakan beberapa hal untuk mengunjungi tempat baru! Mungkin itu sebuah ego bahwa saya tak bisa diremehkan begitu saja atau bisa juga meminjam kata gaul kali ini ‘saya baper’. Well, tapi satu hal saya ingin mengucapkan terima kasih kepadanya karena telah membuat saya termotivasi untuk jalan-jalan sejenak dan mengenal hal baru yang namanya: TRAVELING!

Ini perjalanan pertama saya keluar negeri seorang diri. Dulu pernah tahun 2014 ke Jepang, namun berombongan bersama Teater ENJUKU dan mengulang lagi di tahun 2015 ke negara yang sama: Jepang! Sekarang, saya ingin menceritakan tentang bagaimana perjalanan ke Sri Lanka ya sebagai momen pertama solo travelling.

#Juli 2018
Yak, mulai dari keberangkatan menuju bandara Soekarno Hatta. Usai mempersiapkan segala macam tetek-bengek perjalanan, dari tas ransel carrier, souvenir batik, kopi Kroma hingga kotak makan, saya pun order go-car menuju stasiun BNI city. Di sanalah pertama kalinya saya mencoba kereta bandara yang baru-barunya diresmikan. Tarif kereta bandara ini hanya Rp70.000 dengan fasilitas yang menurut saya ‘wow’! Sangat nyaman! Stasiun yang bersih dan petugas yang ramah. Petugas stasiun melayani kami para calon penumpang yang masih ragu-ragu menggunakan mesin pembelian tiket. Saking katrok-nya, saya pun menanyakan setiap langkah selama pembelian tiket tersebut kepada petugas. Maaf ya Mas, saya newbie! 😊 Oh iya, pembelian tiket bisa menggunakan kartu debit seinget saya. -__-‘’ Atau hanya cash ya? Saya lupa. Maaf-maaf ingatan setahun yang lalu. Ketahuan deh ini tulisan baru sempet nulis, sebenarnya kemarin-kemarin belum mood nulis sih. Kalau udah niat bisa nulis berhalaman-halaman kayak ini nih. #Ehhh. Oke, kita kembalikan ke niat awal bukan malah curhat. Lanjut cerita perjalanan.

Papan Pengumuman Jadwal Kereta Bandara di Stasiun BNI City

Tiket Kereta Bandara dari Stasiun BNI City

Kereta dari BNI City ke bandara Soekarno Hatta hanya menempuh waktu kurang dari satu jam. Keren yak! Hemat waktu! Sampai di bandara dengan nyaman, lalu kita harus naik kereta lanjutan ke terminal tujuan yaitu terminal 3 untuk AirAsia, tapi sekarang pesawat AirAsia pindah ke terminal 2. Saya salah satu penggemar AirAsia. Pesawat ini cukup nyaman dengan budget yang masih terjangkau kantong. Maklum, perantau Jakarta yang jauh dari sanak-saudara, hidup sebatang kara di ibukota. Kalau ingin jalan-jalan ya harus mikirin budget serendah-rendahnya tapi bahagia semaksimal mungkin. 😊

Lanjut ya, sampai bandara Soekarno Hatta, akhirnya saya memutuskan untuk print tiket terlebih dahulu. Saking pertama kalinya keluar negeri sendirian, mau print tiket saja saya ditemani Kak Sao. Sebenarnya, lebih tepatnya dipandu sih. Cukup jauh ternyata counter self check in nya. Cukup memakan waktu, untungnya Kak Sao selalu mewanti-wanti saya untuk datang ke bandara lebih awal. Ya, terlebih lagi bandara baru yang kita belum tahu lokasi-lokasi tujuan kita dan hal ini agar kita tak terlalu buru-buru mengejar waktu atau jangan sampai ada adegan ketinggalan pesawat. Well, minimal 2 jam sebelum boarding.

Menemukan counter untuk self check in itu membuat saya bahagia. Dengan kedesoan saya, ya hampir takut sih harus pencet tombol yang mana, tapi kak Sao dengan sigap membantu segala kedesoan saya ini. Ternyata mudah print tiketnya. Usai happy pegang tiket, akhirnya kami makan yoshinoya dulu sebelum makan bumbu curry-curry-an. Dan sampai jumpa makanan Indonesia selama 14 hari ke depan. 😊

Selesai makan, kenyang, sudah saatnya boarding. Saya berpamitan ke Kak Sao sambil dada-dada yang macem mau pergi jauh ninggalin keluarga. Deramakkk! Masuklah saya lokasi boarding dengan harap-harap cemas dan berkali-kali bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya mampu bepergian seorang diri?” Lantas kujawab mantab, “Harus bisa! Buktikan pada diri sendiri kalau kau mampu!” Perjalanan menuju Kuala Lumpur pun akan dimulai! Berbekal tiket AirAsia hanya 600rb Jakarta – Kuala Lumpur PP, mari keliling negeri orang! Terima kasih AirAsia, berkat tiket murahmu, saya bisa jalan-jalan keluar negeri. :) Alhamdulillah ya Allah!


Lanjutkan Membaca Part 2

Teman Dekat


Jangan pernah berharap lebih kepada orang lain. Sebaik apapun seseorang pasti memiliki kekurangan dan kesalahan. Dan kau akan merasa kecewa saat tak sesuai harapanmu!

Ya, itulah alasan yang membuat saya cukup berhati-hati untuk mempercayai orang lain. Bukan berarti saya tak bisa mempercayai, tapi saya hanya menjaga agar tak ada yang tersakiti suatu hari nanti. Ya, seperti berkawan. Tak semua hal bisa diceritakan walaupun itu namanya teman dekat. Sedekat apapun pasti ada hal yang ‘lebih cocok’ diceritakan ke teman satu daripada teman lain. Bukan maksud apa-apa atau bukan maksud tak mempercayai, sedekat apapun pasti punya batas. Sedekat apapun seseorang, suatu hari nanti akan terlupakan karena hidup memang tak bisa membahagiakan semua orang. Dan suatu hari nanti akan memiliki kehidupannya masing-masing. Berkawanlah sesuai kadarnya, tak berlebihan juga tak berkekurangan.

Jika kau merasa bahagia di dekat kawan-kawanmu saat ini, nikmati saja! Karena suatu hari nanti akan ada saatnya, mereka tak seperti saat ini. Hidup akan selalu mengalir. Silih berganti dari satu tempat ke tempat yang lain, dari waktu saat ini ke waktu selanjutnya. Dan kau tak bisa memaksakan orang lain untuk selalu ada di semua waktu sisa hidupmu. Karena sejatinya, mereka juga punya kehidupan yang terus akan hidup sesuai jalan masing-masing. Jika kau mengharapkan sesuatu dari orang lain, suatu hari kau akan merasa kecewa jika seseorang tersebut tak sesuai harapanmu. Pastikan kau akan baik-baik saja! Dan nikmatilah apa yang kau punya saat ini. Lakukan sebisa mungkin dengan rasa ikhlas dan relakan saat semua telah berubah.


#RefleksiDiri

Minggu, 02 Juni 2019

Tentang Diri Sendiri


Satu per satu telah menemukan titik dimana rusuk yang bengkok itu akhirnya berlabuh. Orang-orang yang dulu sempat saya selipkan dalam doa kini telah menjadi milik orang lain, tak terkecuali. Adakah yang salah? Ya, niat yang sejak dulu ada mungkin hanya sebuah retorika belaka tanpa pemaknaan dan tanpa tujuan. Hahaha. Bolehkah saya tertawa atau lebih tepatnya menertawakan diri sendiri? Apakah saya salah? Bahkan sampai di titik ini, saya masih tetap beralasan untuk mudik di lebaran kedua. Ayolah! Perbaiki niat, niatkan hanya untuk Allah semata!

Hari ini entah kesekian kali undangan pernikahan muncul tiba-tiba. Kawan lama, SD, SMP, SMA, kuliah, bahkan kawan komunitas, semuanya muncul dalam kehidupan ini. Kau tahu bagaimana rasanya mendengar kabar itu? Sangat senang! Tapi tak mungkin saya membohongi hati kecil saya selama ini. Hati kecil yang mungkin memberontak pada diri sendiri. Lantas, mempertanyakan pada diri sendiri, “Sudahkah kau memantaskan diri sendiri?” Kadang diri saya memaklumi kenyataan ini, kadang pula, hati ini tak bisa menerima. Lalu, apa yang saya lakukan? Memperbaiki goals selama ini, menuliskan kembali mimpi-mimpi yang mungkin akan tercapai. Mengingat kembali bahwa jalan hidup orang berbeda dan pada jalurnya masing-masing. Kita tak pernah bisa menyamakan satu dengan yang lainnya. Ya kembali ke diri sendiri, memikirkan jalan hidup sendiri, kembali ke jalan Sang Pencipta. Tak perlu menghardik atau menyalahkan siapapun. Bahkan orang yang sejak SMA kukenal dan kudoakan ternyata dia bukan siapa-siapa. Pahami diri sendiri.

Saat mengetik tulisan ini, seakan saya tengah menertawakan diri sendiri. Benarkah? Ya, tentu! Saya bukan tipe orang yang bisa langsung jatuh hati pada seseorang. Jika saya kagum pada seseorang berarti orang tersebut memang memiliki daya ikat tersendiri. Walaupun itu pertemuan pertama. Lalu, jika saya sudah mendoakan namanya di doa-doaku, berarti seseorang itu menjadi spesial di hati. Saya masih ingat beberapa nama orang-orang yang pernah menjadi spesial di kehidupanku. Tak perlu kusebut satu per satu. Biarkan itu menjadi cerita hidup saya sendiri. Hal yang pasti adalah saat ini mereka telah memiliki kehidupan masing-masing. Dan banyak hal yang tak pernah saya pikirkan dulu yaitu, ternyata banyak pandangan mereka yang berbeda dengan saya saat ini. Memang ya kalau tidak sejalan pun juga tak akan sejodoh! Saya kembali lagi menertawakan diri sendiri. Begitu bodohnya saya saat itu.

Di awal sudah saya singgung bahwa tahun ini saya mudik di lebaran kedua. Bukan tanpa alasan. Apa alasan itu? Ketika saya mudik berarti hilanglah diri saya sebenarnya. Banyak hal-hal yang membuat saya malas untuk mudik. Salah satunya adalah pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang cukup membuat saya kesal. Mau ditutup-tutupi serapat apapun, pertanyaan basa-basi itu cukup menyakiti hati. Terutama pertanyaan “Kapan nikah? Dimana calonnya? Sudah ada calon belum? Kok kamu mikir karir mulu?” Well, coba saya jelaskan di sini pendapat saya tentang ini. Mohon maaf, apakah tingkat kesuksesan seseorang dinilai dari sudah nikah belumnya? Bagi saya, untuk saat ini mungkin jodoh saya belum dipertemukan oleh Allah. Saya tak pernah tahu kapan waktunya akan dipertemukan. Apakah saya diam saja tentang hal itu? No! Saya mencoba untuk berdoa meminta kepada Allah agar jodoh saya dipertemukan. Tapi mungkin Allah punya jalan lain yang lebih baik. Saya mencoba untuk mengikuti beberapa kegiatan, bertemu orang baru, salah satu tujuannya “siapa tahu ada jodoh di sana, semisi!” Saya mencoba untuk berkeliling ke negara-negara tetangga, sambil berharap semoga dipertemukan jodoh di jalan. Namun, mungkin memang belum saatnya bertemu. Mungkin juga saya belum cukup memantaskan diri. Atau mungkin masih ada beberapa hal yang harus saya selesaikan saat ini. Kadangkala hidup di kota lebih menenangkan daripada di kampung. Itu yang saya rasakan. Kadang orang lain tak pernah mau tahu perjuangan kita, kadangkala mereka terlalu egois ikut campur urusan orang lain. Jika kau memang peduli, doakan saja kami yang masih berjuang menemukan jodoh yang tepat.

Saat ini apa yang saya pikirkan? Ibu! Bukan diri saya sendiri. Menyelesaikan sesuatu yang telah dimulai. Hmm, menjadi anak pertama perempuan membuat saya lebih ekstra kerja keras. Jika saya rapuh, saya akan dengan mudah menjadi orang yang kalah. Kadang orang lain dengan mudahnya menilai saya enak ya kerja di Jakarta. Wajar pemikiran seperti itu. Saya masih mentoreril pemikiran itu karena memang kenyataannya mereka tak pernah tahu perjuangan sebenarnya diri kita sendiri untuk bisa hidup di Jakarta. Bagi saya, fokus saat ini adalah tentang Ibu. Cukup tentang Ibu! Tak menutup kemungkinan, jika memang Allah mempertemukan jodoh saya, mari kita diskusikan! Niat baik akan mendapatkan hasil baik. Bertemu karena Allah, berpisah karena Allah. Mari serahkan semua yang terbaik kepada Allah.

Merencanakan trip? Tetap jalan! Saya punya beberapa target tahun depan, salah satunya menjadi volunteer untuk kegiatan sosial baik di Indonesia maupun di luar negeri! Semoga Allah memudahkan. Mari menabung!

Senin, 04 Maret 2019

Sebuah Awal Backpacking ke India


Perjalanan kali ini terasa terlalu cepat. Bagi saya, ada yang kurang dalam hal persiapan secara pribadi. Saya kurang memikirkan hal-hal detail. Ya mungkin ini salah satu akibat saya terlalu mengandalkan teman seperjalanan saya. Dan hal tersebut membuat saya santai-santai saja untuk mempersiapkannya. Terlebih lagi, perjalanan ini sangat dadakan dan hampir seperti mimpi secepat ini saya melakukan trip ke India.

***

Awal Desember 2018

            Perjalanan saya dimulai dari tengah malam, kawan saya Nafis, mengirim tiket promo ke Beijing yang hanya 1,8 juta PP. Tergiur bukan? Saya pun cukup tergiur dengan tawaran kali ini, namun kami masih berpikir ulang karena maskapai yang mengadakan promo adalah maskapai yang cukup sering bermasalah. Kami pun urungkan pergi ke China kala itu. Lantas, saya iseng mengirim tiket promo ke India ke Nafis. Dari segi harga sekitar 800-950 ribu PP dari Kuala Lumpur ke India. Sontaklah kami berdua menyakinkan diri untuk pergi. Sebenarnya, antara percaya atau tak percaya. Bagi kami, itu tiket murah banget. Biasanya, sepromo-promonya maskapai masih di atas 2 juta PP. Ya, berhubung kami ticket hunter ditambah promo super murah, kami tergiur!

Kami menentukan tanggal dan mencoba menghubungi pihak @tiket_123 di Instagram. Tanpa ba bi bu kami pun langsung beli. Ada 3 pilihan, yaitu KUL-Bhubaneswar 750ribu PP, KUL-Visakhapatnam 850ribu PP, dan KUL-Kochi 890ribu PP. Ketiga bandara tujuan jarang kami dengar. Kami mencoba mencari tahu posisi bandara tersebut. Pilihan terakhir tertuju pada Bhubaneswar. Yak, bandara ini terletak di India bagian timur atas. Menurut kami lebih gampang kalau mau trip ke arah utara. Jadilah kami pilih. Pembelian tiket Kuala Lumpur – India beres! Hanya 800ribu PP! Murah! Fix, kami bakal pergi ke India secepat ini dan tanpa memikirkan tiket dan keperluan lain. Yang penting murah dulu. 😊

Tiket sudah di tangan, hari berikutnya, kami mencari tahu informasi lebih banyak mengenai Bhubaneswar. Dari segala hal keterbatasan informasi yang kami dapatkan sebelum beli tiket pesawat, ada beberapa hal yang membuat kami mencari jalan keluar demi budget tetap minimum. :’’) Maklum, kami sangat perhitungan soal budget dan sebisa mungkin jangan terlalu foya-foya. Kalau bisa seminim mungkin dan hasil maksimal, kenapa nggak? Kan lebihnya bisa buat trip selanjutnya! Hahaha. Well, apa sajakan hal-hal yang membuat kami berpikir mencari jalan keluar itu? Banyak! Hahaha. Next paragraph, ya!

          Pertama, ternyata dari ketiga bandara pilihan, hanya bandara Bhubaneswar yang tidak bisa menggunakan e-visa. Padahal, awalnya kami merencanakan e-visa gratis ke India sesuai informasi dari pemerintah. Ternyata tak semua bandara India menyediakan e-visa. Jadi, lebih baik cek dulu informasi bandara kalau mau beli tiket pesawat. Hahaha. Untuk daftar bandara e-visa India bisa cek di website resmi pemerintahan India di https://indianvisaonline.gov.in/evisa/tvoa.html . Berhubung e-visa tidak bisa, jadi kami harus membuat visa regular ke kedutaan India yang kami harus mengeluarkan budget Rp1.540.000. Mahal? Iya, mahal! Hahaha. Ini mau murah, gak jadi murah. Tapi tak apalah ya. Untuk tata cara pembuatan visa regular, bisa cek di link . Biaya visa regular terbaru per Desember 2018 adalah Rp1.540.000 untuk 30 hari kunjungan dan masa aktif visa 6 bulan terhitung dari masa pembuatan.

Nah, saya membuat visa regular sekitar 10 hari sebelum keberangkatan. Sewaktu bikin visa, saya sudah ketar-ketir saja kalau-kalau tidak jadi sebelum keberangkatan. Ditambah lagi, bulan Desember akhir, ada libur Natal dan akhir tahun, membuat saya tambah was-was! Pembelajaran buat saya, untuk mengurus dokumen sepenting visa ini, sebaiknya harus jauh-jauh hari, jangan dadakan. Hal ini untuk mengantisipasi hal-hal buruk terjadi atau kesalahan dokumen. Ya, walaupun banyak drama dalam pembuatan visa ini, tapi akhirnya tanggal 27 Desember 2018 visa India sudah ditangan dengan keberangkatan tanggal 31 Desember 2018. Haru, was-was, ya tapi itu salah satu pengalaman yang dapat diambil pembelajaran untuk trip selanjutnya.

            Kedua, kami belum beli tiket Jakarta – Kuala Lumpur PP. Padahal pemberangkatan tinggal 2 minggu lagi. Hahaha. Ada sih sebenernya kalau mau langsung beli dengan harga yang di atas 1 juta sekali jalan karena akhir tahun. Ya, tapi balik lagi, pengennya yang pulang-pergi kalau bisa di bawah 1,5 juta lah maksimal. >.< Perhitungan banget yak! Iya, banget….

Dan, kami beneran lho, nyari berbagai opsi. Malah sempat terpikir lewat Surabaya saja atau Jogja, yang akhir tahun kemarin ada promo murah. Tapi setelah berbagai perdebatan hati, kami menemukan penolong. Yups, Traveloka memberikan harga paling murah Rp650 ribu penerbangan Bandung – Kuala Lumpur akhir tahun tanggal 31 Desember. Langsung deh kami beli. Terus untuk kepulangan kami beli terpisah. Balik lagi nyari promo ke akun Instagram @tiket_123. Kala itu ada promo Rp460 ribu Kuala Lumpur - Jakarta. Sebenarnya, harga di website resmi maskapai AirAsia lebih murah, sekitar 300an ribu, tapi kami gaptek currency di website untuk penerbangan Kuala Lumpur – Jakarta tak mau ganti jadi rupiah. Ya kan berhubung kami sudah tak mau ribet harus pake ringgit, kami belilah tiket promo Rp460 ribu itu. Haha.

Untuk budget 1 juta sekali jalan masih okelah sebenarnya untuk akhir tahun. Tapi, Alhamdulillah masih murahlah ya sekitar 1 jutaan PP di akhir tahun. Pokoknya urusan tiket pesawat kami belinya terpisah-pisah. Sebenarnya, ada gak enaknya juga sih beli terpisah seperti ini, takutnya kalau ada delayyy! Tapi Alhamdulillah pesawat kami tidak delay. Perlu dipertimbangkan juga sih ini kalau tak mau rugi. 😊

             Nah, ketiga, masalah tiket kereta India. Sebelum pergi ke suatu Negara alangkah baiknya, kita sudah tahu moda transportasi apa saja yang ada di negara tersebut. Jujur, awalnya saya takut untuk trip ke India. Berbagai hal negatif sudah diwanti-wanti teman saya untuk jaga diri. Terus lagi, banyak video beredar tentang kesemrawutan kereta India. Berjubel-jubel ribuan orang masuk ke kereta. Ya, apalagi kereta merupakan salah satu transportasi popular di India. Sistem perkeretaan di India termasuk sudah melek teknologi. Untuk pemesanan, kita bisa pesan online di website resmi https://www.irctc.co.in/nget/train-search . Nah, bagi saya yang rada-rada gaptek, menggunakan website tersebut membuat saya pusing dan ribet. Dari mulai pendaftaran pembuatan akun di website tersebut saja, jujur susah sekali. Banyak sekali singkatan-singkatan istilah yang digunakan dan ribet. Untuk cek perkeretaapian di India, bisa cek di blog link. Infonya lengkap!

           Berhubung perjalanan kami lintas kota dari bagian timur yang lokasinya sedikit ke selatan bagian India menuju utara bagian perbatasan Nepal, Bhutan, dan Tiongkok, moda kereta api adalah alternatif terbaik untuk sampai tujuan dengan nyaman. Sayangnya, tiket kereta yang ingin kami pesan sudah penuh. Kalau missal mau tetap memesan statusnya akan waiting list (WL) dan itupun belum tentu kita bisa naik kalau statusnya tetap WL pada hari H. Ribet kan? Iya, ribettt pake bangettt!!! Tapi akhirnya, kami memutuskan untuk tetap pesan walaupun waiting list. Berharap statusnya akan naik jadi confirmed. Yah, tapi nihil. Cerita tentang perjalanan kereta menyusul ya di tulisan selanjutnya. 😊

        Keempat, opsi transportasi jaga-jaga adalah naik bus. Karena kami tak mendapat tiket kereta, akhirnya kami memutuskan untuk memilih naik bus. Pilihan bus beragam, ada non AC dan AC, masing-masing ada pilihan Seater (posisi duduk) dan Sleeper (bisa berbaring atau tiduran). Pilihan Sleeper mungkin bisa jadi pilihan nyaman untuk jarak jauh. Tergantung budget juga sih. Kami pilih non AC dan Seater. Pilihan itu termurah dan sepertinya cukup nyaman untuk kami berdua. Selain itu, posisi duduk lebih aman untuk kami bergerak cepat jika ada hal-hal buruk terjadi. Ya, buat jaga-jaga menyelamatkan diri, apalagi untuk perjalanan malam. Nah, untuk pemesanan tiket bus, India juga menyediakan aplikasi RedBus yang bisa kita download di Hp. Lagi-lagi kami mengalami kegaptekan akut. Untuk registrasi di RedBus, lumayan ribet, tapi tak seribet IRCTC kereta api. Untuk memilih bus juga lebih gampang, tapi currency nya rupee India. Bolak-balik convert to IDR! Demi harga terjangkau sesuai budget. Kami udah happy dong, pas dapet tiket bus dengan harga sekitar 80ribuan per orang. Setidaknya amanlah untuk perjalanan, tinggal cari beberapa alternatif lain untuk hal-hal di luar ekspektasi. 😊

            Menjelang keberangkatan ke Bandung, tiba-tiba ada kabar buruk dong! Bus pesanan kami di aplikasi RedBus tiba-tiba dicancel sepihak oleh pihak armada bus. Hal ini cukup memusingkan kami, soalnya harus cari opsi lain. Terus lagi, refund dana yang telah kami bayarkan sampai saat ini tak ada kejelasan. Saya sudah mencoba menghubungi pihak RedBus, dan menurut laporan, dana kami sudah ditransfer dengan member bukti kode ARN. Sayangnya, sampai saat ini tak ada dana masuk sesuai dana refund tersebut. Saya sudah menghubungi pihak bank cabang Mandiri rekening saya menyoal dana tersebut dan kode ARN. Tapi pihak bank juga tak bisa melacaknya. Terakhir kalinya, kasus saya tersebut ditutup oleh pihak RedBus. Alhasil, ya sudahlah ya ikhlaskan saja. Untung hanya 160ribu berdua. Ikhlaskan! Allah akan ganti sama yang lebih baik. Aamiin.

           Semua persiapan masih bisa dikatakan oke. Walau saya belum ada gambaran nanti seperti apa di perjalanan. Kayaknya memang kelemahan saya ini kalau saya trip bareng teman: mengandalkan teman jalan! Saya tak mempelajari detail perjalanan kami. Berhubung kami memiliki kesibukan masing-masing sebelum pergi, kami pun hanya komunikasi seperlunya saja. Untuk tektokan rundown juga hanya beberapa kali, tak detail-detail amat. Garis besarnya adalah. Cuma ya itu tadi, saya kurang mempelajari perjalanan kali ini. >.< Dan hal itu membuat saya benar-benar dihadapkan kebingungan saat perjalanan.

Pembelajaran bagus untuk saya. Sesantai-santainya perjalanan, lebih baik memiliki rencana yang matang untuk jalan di negara orang. Minimal membaca dan mempelajari seperti apa medan yang akan kita lalui nanti. Walaupun di jalan kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi, jurus fleksibel bisa kita gunakan nanti untuk mendapatkan solusi. Bukan saklek banget tapi juga bukan fleksibel banget. Ya, bisa menyesuaikan kondisilah.

         Tak terasa panjang juga ya tulisan ini. Hahaha. Cerita per kota, saya tulis terpisah ya! Panjang kalau diceritakan langsung. Iyalah 10 hari perjalanan. Ditambah lagi saya banyak nulis curhatan. Tak apalah ya! Secara garis besar ini sih untuk persiapan perjalanan kami. Selamat menjelajah dunia!



Senin, 24 September 2018

Maple Jatuh Tertiup Angin

Kita memiliki berbagai macam perbedaan dan latar belakang. Hal-hal yang mungkin sulit untuk diterima berbagai pihak. Tuhan telah memberikan kesempatan untuk bertemu, bercanda, tertawa bersama, makan malam bersama, berjalan bersama. Semua itu lebih dari cukup. Sesungguhnya, segala perbedaan itu akan membuat kita saling membenci, walau kenyataannya kita telah membohongi perasaan masing-masing. Sesungguhnya, ikatan benang merah putih di tangan kanan itu hanya sebuah blessing. Berharap kita sama-sama saling mengingat Tuhan masing-masing, mengikat kita pada ikatan ke-Tuhan-an. Dan kita sama-sama sadar....

Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Berakhir bukanlah usai, tapi sebuah permulaan. Ya, permulaan untuk kita hidup menuju jalan masing-masing. Seyogyanya, tak ada kata best friend di dalam kamus sebuah pertemanan antara dua orang berbeda jenis kelamin. Bisa salah satu jatuh hati atau keduanya saling jatuh hati. Kita telah merasakannya. Sayangnya, perjuangan sangat rumit. Tak bisa dijelaskan dan diurai satu per satu. Apakah hati kita mampu mengikhlaskannya? Semua butuh proses! Sejak dulu kata "ikhlas" memang sangat sulit untuk dipraktikkan. Kenyataan yang mungkin sangat sulit untuk diselesaikan dan diakhiri. Kita tahu....

Kau tahu, mengapa kita dipertemukan Tuhan? Ya, agar kita sama-sama belajar untuk menjadi diri lebih baik. Menjadi sosok yang lebih baik itu butuh proses panjang.... Proses tak instan. Mari kita berjalan di lintasan masing-masing. Biarkan hati sedikit berhenti, lalu padam, saling melupakan. Biarkan cinta hanya untuk Tuhan. Cinta karena-Nya. Biarkan waktu berjalan sesuai kehendak-Nya. 

24 September 2018

Minggu, 08 Juli 2018

Pilihan Terbaik!

Pengalaman kali ini tentang persiapan ke Sri Lanka. Saya mencoba untuk membuat itinerary lengkap seperti masukan dari teman saya. Semuanya diharuskan detail sampai hal-hal kecil. Hal ini ditujukan untuk memudahkan kita saat perjalanan nanti. Ya, saya terima masukan bagusnya.

Hari demi hari, saya coba untuk melengkapi itinerary tersebut. Beberapa kali saya stuck dan jika saya sudah mentok seperti itu, saya tinggal. Bahkan saya diberi deadline seminggu harus kelar, tapi ujung-ujungnya saya malah tak mengerjakan dan berakhir ke-stress-an tersendiri. Ternyata saya tak bisa mengerjakan sesuatu dengan terpaksa, dipaksa, atau tertekan atau ditekan. Saya tahu, masukan itu demi kebaikan saya, tapi apa daya, ternyata saya tak bisa mengerjakannya tepat waktu sampai seminggu menjelang keberangkatan juga belum kelar. :'(

Beberapa waktu saya tersadar, saya tak bisa mengikuti lagi teman saya. Hati terdalam saya memberontak saat saya ditekan. Alhasil malam itu, saya benar-benar memutuskan tak ingin melanjutkan lagi, saya pasti mengerjakan tapi semampu saya saja daripada saya harus stress. Ternyata saya bukan tipe orang yang detail, saya tak suka dengan hal itu. Saya juga lebih suka bebas, tak mengikat. Ya, mungkin itulah kenapa saya lebih memilih freelance daripada kerja kantoran. Saya hanya ingin membebaskan diri saya untuk berekspresi sendiri, tanpa alasan, atau paksaan dari atasan. Walau sebenarnya dunia kerja tak bisa seperti itu. 

Ya, mau bagaimana, kita boleh memilih 'kan? Hidup satu kali, mari kita nikmati. Apapun pilihan kita, itu adalah yang terbaik yang memang Tuhan sudah pilihkan untuk kita. Lakukan yang terbaik, lalu biarkan tangan Tuhan yang menentukan. Setiap orang pasti punya pilihan dan sudah dipertimbangkan masing-masing kelebihan atau kekurangannya. Ya, apapun yang terjadi nanti di Sri Lanka, itu adalah pembelajaran buat saya.

Memang benar apa kata teman saya, pergilah yang jauh sendiri, kamu akan menemukan perjalanan baru sendiri. Ya, memang sudah saatnya untuk menemukan jalan dan petualangan sendiri. Biar saya tak menggantungkan lagi ke orang lain. Biar saya punya kenalan baru dan tak mengikat yang lain. Kedekatan bukan berarti kita bisa selalu bersama, bukan pula kita selalu terikat satu sama lain, bukan pula selalu ada untuk yang lain.

Kedekatan berarti kita memberikan keleluasaan orang lain untuk menikmati kehidupannya sendiri. Kadangkala, kita butuh mengurangi intensitas bertemu agar ada rindu. Seperti rinduku pada Bapak! Rindu yang membuat sesak! Biarkan saya menempuh perjalanan sendiri! Jikapun kita akan berakhir jauh, jangan pernah menangisi atau meminta saya kembali! Sejujurnya, kita perlu hidup dengan tenang. :)


Jumat, 06 Juli 2018

Dear July

Makasih Ya Allah kabar baik di bulan ini. Semua membutuhkan penantian panjang. Hasil IB score sudah tayang! Deg-degan campur aduk! Murid-murid yang pengumuman, gurunya yang ketar-ketir! Haha

Well, malam ini di saat penat menghampiri, tiba-tiba ada panggilan masuk di HP. Saya kaget karena tak seperti biasa kalau murid saya telpon jam 7 malam. Ya, panggilan Sasa ini saya kira kepencet. Lantas saya angkat, suara bahagia terdengar dari seberang, "Missss, nilai Maths aku dapat enammmm!"

Ahhhh, saya terdiam sebentar, memastikan kalau semua itu nyata. Ini mungkin lebay, tapi itu kenyataannya. Sudah hampir 3 tahun ini, kami menunggu hasil dapat 6/7 di final score. Tapi kami selalu mendapat 5/7, kurang beberapa decimal saja mencapai 6/7. Angka 5 bukanlah buruk, tapi masih di bawah target kami 6. Saya bangga, selama 2 tahun belakangan ini, Sasa bisa mempertahankan score 5 -nya. Itu perjuangan yang cukup menguras air mata dan belajar mati-matian. Saya akui, kami sering jatuh bangun untuk tetap mempertahankannya. Dan akhirnya, terbayarkan di IB score 6! Selamat Sasa!

Lalu, ada Rafi. Dulu nilai dia pas SMP masih aman dapet 5. Entah di tahun berapa, nilainya terjun bebas, tapi masih bisa terkendali. :'') Anak ini dulunya hanya kuat belajar 15 menit terakhir. Tapi setelah grade 11, jadi meningkat, kuat belajar 30 menit. Kadang juga bisa sampai 1 jam. Kalau mendekati Quiz atau Exam, suka serius belajarnya. Tapi mendinganlah grade 12, belajarnya rajin ditemani Hot Americano coffee. :) Nilainya naik-turun. Terakhir nilainya naik 1 jadi 4/7, lulus buat universitas! Yeyyy!!! Akhirnyaaa naik score-nya. :) Bagus Fi, ntar di universitas jangan males ya di awal-awal biar ntar gak nyesel di akhir-akhir. Sadarnya dari awal ya, jangan sadar pas udah grade 12. Hehe. Tapi bagus, Ms acungin jempol buat perjuangan kamu mengejar ketertinggalan. Pertahankan!

Terus, Salma juga meningkat! Biasanya 4/7, akhirnya bisa 5/7 sesuai harapan. :) Ahhh, jadi inget ngejelasin Binomial Expansion, saya minta buat pakai imajinasi. Tapi Salma nggak bisa... harus saya tulis atau gambar secara visual di kertas, baru deh Salma ngerti. :") Hahaha. Dan tiap kali saya mengajari hal-hal yang dia tidak bisa, tak lupa saya menulis atau menggambar agar ada visualnya. :'') Anaknya visual banget. 

Nah satu lagi, Sanford! Saya baru mengajar San - begitu panggilannya, saat mau mendekati IB exam. Saya kira anaknya bakal serius, ternyata kocak habis! Haha. San ini anaknya rapi-rapi-rapi pake banget. Semua worksheet diprint, kertas gak boleh lecek, terus nulisnya pelan-pelan biar rapi, detail juga anaknya, kadang suka kritis nanyanya harus bener-bener jelas. Bertolak belakang bangetlah sama saya yang berantakan banget. Dia kalau serius sebenernya bisa dapat bagus, tapi mungkin pas Mock Exam, dia lagi banyak kesibukan jadi jatuh pas Mock. Tapi Alhamdulillah nilai dia naik jadi 5/7.

Tahun ini, saya mendapat banyak tantangan dalam mengajar. Terlebih lagi, ke-stress-an grade 12 ini membuat saya ketar-ketir, tapi saya percaya pada mereka! Percaya bahwa murid-murid saya ini telah melakukan yang terbaik, sudah belajar sekuat-kuatnya. IB Exam usai, mari fokus kembali ke grade selanjutnya. :') Moga tahun depan seindah tahun ini. Aamiin.

Salam juga buat Bimo, Gaby, Anin, Mikaila yang udah lulus buat High School-nya. Warna-warni sekali ya kelas ini. :) :) :)
Bangga bisa ngajar kalian. :'') Terima kasih untuk beberapa tahun belakangan ini. Baik-baik ya kalian di universitas. Kapan-kapan Ms berkunjung kalau ada kesempatan. Thank you Gengsss! Alhamdulillah usai dengan senyuman! Terima kasih ya Allah telah memberi kabar baik di bulan Juli. 

Saya namai Dear July!

#MyStudents #AnakKafe 

Kamis, 05 Juli 2018

Pikirkan Diri Sendiri

Kadang kita butuh waktu sendiri, memikirkan kehidupan sendiri, susah senang sendiri, dan kadang kita tak perlu mengkhawatirkan orang lain yang belum tentu mau dikhawatirkan.

Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya. Saat ini, saya butuh waktu sendiri untuk memikirkan diri sendiri. Saya hanya butuh waktu untuk menikmati kehidupan sendiri. Kadang lelah memikirkan orang lain terus. Butuh waktu untuk berkomunikasi dengan diri sendiri.

Saya baik-baik saja! Hanya butuh waktu untuk melawan keegoisan diri sendiri. Jika hati saya sudah damai, saya akan kembali. Walau perlu hari tenang untuk menyelesaikannya.

Jika kenyataan tidak sesuai harapan, pasti akan ada kekecewaan. Dan kecewa cukup lama untuk disembuhkan. Saya hanya ingin istirahat sejenak untuk tidak memikirkan orang lain. Karena ketika kita memikirkan orang lain yang belum tentu memikirkan kita, akan terasa sia-sia. Saya hanya ingin berefleksi membenahi sesuatu pemahaman yang salah dari dalam diri saya. Dan saya butuh beberapa hari untuk menormalkan emosi saya tersebut. Please, berikan saya cukup waktu untuk mereparasi dan mengganti hati yang baru.

Satu hal yang saya sangat sulit untuk selesaikan: jika saya tak bisa menerima sesuatu yang salah versi saya, saya sangat susah untuk mengatakannya ke orang lain bahwa itu melukai perasaan saya. Biasanya, saya hanya bisa berdiam diri, menyendiri, dan melupakannya sejenak. Lantas, kalau saya mencoba melupakannya tapi tak bisa, satu-satunya cara ya menangis biar lebih tenang. Ah, saya lebih sering menyakiti diri sendiri! Saya selalu menempatkan kesalahan pada diri saya. :( :( :( Dan itu salah!

Ah, saya melupakan pesan sensei, "Kita tak pernah bisa membahagiakan semua orang, karena dunia memang seperti itu!" 

Minggu, 01 Juli 2018

Dear Juni-Juli

Hai Juni, terima kasih telah mengakhiri bulan ini dengan segala campur-aduk. Hari yang membuat saya tak ingin mengingatnya. Ada rasa tak menyenangkan di hati. Dan saya pun butuh sendiri.

Hai Juni, sejujurnya, saya sangat sedih saat seorang sahabat menuduh saya iri padanya. Dia mengatakan bahwa saya tak bisa mencari teman dan kenalan baru di tempat yang saya sebenarnya sudah sering ke sana. Saya sangat sedih. Walaupun itu konteksnya bercandaan tapi itu sangat kelewatan. Hari ini dia tak sekali membuat saya sedih karena ucapannya. Ya, saya memang tak selalu mudah mendapatkan kawan di tempat baru! Tak seharusnya pula dia menceritakan apa-apa yang seharusnya dia tak ceritakan ke orang lain. Itu salah satu alasan saya sedikit kecewa dengannya. Saya tak pernah menuntut banyak hal ketika berteman. Kadang saya takut untuk memiliki teman dekat. Takut kalau sewaktu-waktu akan tiba saat kita tak bisa seperti sediakala. Sudah cukup! 

Hidup punya jalan masing-masing. Pergi jauh dan nikmatilah perjalanan jauhmu! Saya pilih jalan saya sendiri. Dan jika kita bertemu lagi, itu semua karena Allah. Jika kita memang harus berpisah, itu semua sudah ditakdirkan-Nya. :')

Hai Juni, sampai bertemu lagi, entah di tahun kapan lagi. Saya hanya menunggu hingga tepat Juli. Bukan berarti saya melupakan Juni, bukan! JUni dan Juli adalah sebuah kesatuan tak mungkin dipisahkan. Juli tak akan ada jika tak ada datangnya Juni, begitu pula Juli adalah kelanjutan hidup.

Apakah mimpi-mimpi tempo hari menjadi pertanda sudah dekat waktunya? Entah waktu apa, saya tak tahu, yang jelas kita tak pernah tahu kapan akan dilahirkan, kapan pula ditiadakan. 

Hai Juli, apakah kita bersama lagi tahun depan? Jika kita tak bertemu, tolong jangan pernah cari saya lagi. Mungkin, saya sudah bersama Tuhan. Hai Juli, saya sangat takut akhir-akhir ini. Tak ada yang tahu kapan seseorang akan pergi jauh dan tak akan kembali lagi. Kita tak akan tahu sampai kapan umur kita ditakdirkan. Semua itu masih misteri. Jika kita berjumpa lagi, jangan lupa bersyukur kepada Sang Pencipta!

Hai Juli, doakan semoga ini bukanlah tulisan yang terakhir. Semoga masih ada semangat untuk menuliskannya kembali. Dan di saat pula mata mulai membuka kembali usai terlelap tidur setiap malamnya. Sampai jumpa lagi!

Rabu, 13 Desember 2017

Genggaman


Sejak kecil saya dilatih untuk mandiri, tidak merengek saat meminta sesuatu. Kadang satu dua kali, Bapak memang sengaja membelikan hadiah saat saya mendapat prestasi. Namun, untuk menyoal segala permintaan harus ada hal yang dapat ditukar dengan keinginan itu. Tak serta merta langsung dibelikan. Ya, didikan orang tua mengajarkan saat ini kepada saya untuk terus berusaha sendiri tanpa menyusahkan orang tua. Mungkin dulu saya tak pernah berpikir, saya akan menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin dulu hanya terlintas di benak saya bahwa Bapak akan tetap hidup hingga semua anak-anaknya menjadi “orang” – dalam artian berkeluarga. Ya, masih ditemani Bapak hingga punya rumah sendiri, punya cucu, dan akan berkumpul bersama setiap kali lebaran. Sayangnya, itu hanya impian sewaktu kecil. Tuhan berkata lain. Bapak dipanggil lebih dulu di tahun 2014, sebelum saya mewujudkan cita-cita beliau, lulus wisuda tepat waktu. Satu hal terberat dan sebuah penyesalan saya kala itu. Ah, mungkin Allah punya cara tersendiri untuk hamba-Nya. Biarkan waktu berlalu lebih cepat untuk memperbaiki diri di kemudian.

***

Menjadi anak perempuan sekaligus anak pertama membuat saya lebih kuat. Dulu saya paling tak suka menjadi anak pertama. Selain tugas utama lebih berat dari adik-adiknya, anak pertama memang harus menjadi contoh yang baik. Menjadi peringkat kelas terus? Tak cukup! Hidup tak hanya sampai sekolah menengah atas. Bahkan sampai di usia 25 tahun, saya masih memiliki tugas untuk menjadi contoh yang baik untuk adik-adik saya.

Sepeninggalan Bapak, banyak hal tak terduga yang hadir di kehidupan saya. Ibu menikah lagi, adik menikah muda, dan adik saya yang kecil belum ingin bekerja. Ada beberapa tanggungan yang harus saya tanggung untuk beberapa tahun yang akan datang. Kadang saya ingin sekali mengeluh, tapi saya sadar mengeluh saja tak akan menyelesaikan permasalahan. Saya harus berjuang keras. Berjuang untuk menyelesaikan apa yang harus terselesaikan tepat waktu. Jujur, saya adalah tipe orang yang tak enakan. Bahkan untuk meminta sesuatu, saya tak ingin membebani orang lain. Selama saya masih mampu, saya pikir, mengorbankan diri adalah jalan satu-satunya. Tapi saya memang harus kuat, harus bisa hidup sendiri dan menghidupi ibu serta adik-adik saya.

Kadang jika saya sedih sendirian, saya bertanya, apakah mereka juga peduli? Apakah mereka juga memikirkan bahwa saya sedang apa-apa atau tidak apa-apa? Apakah adik-adik saya juga berpikiran yang sama dan punya keinginan untuk membantu orang tua? Apakah ketika adik-adik saya sudah menikah, mereka tetap memikirkan Ibu? Banyak pertanyaan yang terlintas tapi saya sulit menemukan jawaban. Apakah adik-adik saya juga memikirkan tentang tanggungan-tanggungan yang saya tanggung saat ini? Bahkan saya tak berani menanyakannya.


Entah mengapa saya kadang jenuh dengan pertanyaan Pak Dhe saya yang selalu seperti meratapi nasib keponakanannya yang tak kunjung menikah di usia 25 tahunnya. Setiap kali dibahas, saya selalu terasa teriris, tiba-tiba saya rapuh. Bukan karena saya belum memiliki pasangan, tapi karena saya selalu teringat Bapak saya. Saya tak tahu, kenapa paman saya sebegitu teganya selalu menanyakan hal yang sama dan terasa menyudutkan bahwa saya tak memikirkan jodoh! Jika boleh saya jelaskan, saya tak tahu apakah orang-orang seperti itu mampu mengerti atau tidak. Mereka hanya tahu, saya sudah bekerja di Jakarta, punya uang banyak, dan belum menikah! Hanya itu! Apakah mereka pernah bertanya tentang banyak hal yang saya alami sepeninggalan Bapak? Apakah mereka pernah ingin tahu tentang apa saja yang telah saya lakukan untuk lebih baik? Menjadi tulang punggung keluarga bukanlah hal mudah membalikkan kedua telapak tangan, tapi di sinilah begitu perjuangan, ikut merasakan bahwa menjadi orang tua tak mudah.

***

Ada beberapa pilihan menjadi anak yang dituakan: menghindar pura-pura tak tahu atau memperjuangkan. Sempat saya berdiskusi dengan beberapa teman yang senasib seperjuangan. Sepeninggalan Bapak, dituntut untuk menjadi sosok yang tegar menopang hidup keluarga. Tak hanya anak pertama, tetapi juga anak tengah ternyata mengalami hal yang sama. Kami dituntut untuk bisa menyelesaikan seorang diri. Sempat berpikir untuk menunda kesenangan diri sendiri untuk seorang Ibu. Kami setuju bahwa kehidupan sudah diatur sedemikian rupa, juga hal-hal yang kita alami sudah jadi garis tangan masing-masing. Hanya saja, satu hal yang kami sayangkan, mengapa saudara-saudara kami tak berusaha ikut membantu, malah mengambil kesempatan dalam dunia materi? Ah, satu hal yang saya sayangkan pula. Jika seseorang telah menikah dan berkeluarga, apakah tujuan dan tanggung jawabnya pupus kepada orang tua? Lalu, seakan kami yang belum berkeluarga menjadi pasokan utama dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Apakah setelah menikah, saudara telah menjadi benar-benar orang lain? Hingga mengesampingkan ego bahwa kita pernah hidup bersama-sama di waktu kecil. Apakah seorang kakak masih menggantungkan hidupnya ke adik – yang telah menjadi tulang punggung keluarga?

Jika ditanya emang nggak mau nikah? Kapan nikah? Nikah? Maulah! Siapa sih yang tak punya keinginan untuk menikah? Pastilah ada. Namun, untuk saat ini, target bukan untuk diri sendiri. Ada target yang harus diselesaikan terlebih dahulu, kebutuhan di atas kebutuhan pribadi. Bukankah bisa dibicarakan kalau sudah menikah? Siapa yang berani tanggung jawab tentang urusan kita setelah kita menikah terhadap target-target kita? Saya masih berusaha memperbaiki diri. Memperbaiki kehidupan Ibu dengan suami barunya. Memperbaiki kehidupan adik dengan keluarga barunya. Kehidupan adik yang masih mencari jati dirinya. Semua itu masih saya tanggung. Saya masih belum bisa melepaskan semua itu. Saya tahu, Tuhan akan membukakan jalan dan mungkin ketika kita menikah, suami kita akan membantu mencarikan solusi bersama. Hanya saja, saya masih belum yakin dan percaya kepada orang lain. Saya masih takut kalau semua tak seindah yang kita bayangkan.

Ada orang yang memang bekerja untuk dirinya sendiri, tanpa tanggungan. Mungkin mereka akan merasa ingin cepat menikah di usia 25 tahun. Semua itu pilihan dan saya juga punya pilihan. Saya lebih setuju ke pendapat dua teman saya yang menurut saya seperjuangan. Bapak kami sama-sama sudah dipanggil oleh Tuhan duluan. Kondisi keluarga kami masih tahap perbaikan baik dari segi ekonomi maupun tanggung jawab seorang tulang punggung keluarga. Dari beberapa saudara kami, mungkin bisa dikatakan bahwa kamilah yang harus menopang hidup mereka. Bekerja jauh dari orang tua, mencoba untuk menutup segala kekurangan. Ada beberapa target yang ingin kami gapai walau pada akhirnya kebahagiaan kami yang harus dinomorsekiankan. Mungkin karir adalah hal penting yang harus kami perjuangkan untuk saat ini. Karena mau tak mau, hidup membutuhkan uang daripada hanya cinta. Kalau ditanya soal percintaan, mungkin fase kegalauan kami sudah berakhir. Ada tugas yang jauh lebih harus diselesaikan daripada menyoal galau jodoh. Saya percaya kalau kita sudah pantas, Allah akan memberi jodoh kepada kita. Mungkin ini tahap memantaskan diri! Karena berkeluarga bukan atas sebuah pelarian, melainkan tugas ke depan akan semakin berat! Kita tak pernah tahu jalan hidup seseorang. So, hargailah perjuangan seseorang dalam menjalani hidupnya!

Rabu, 15 November 2017

Serambi (Oleh: Ibs)

“Apalagi yang ingin kamu kejar?”

***

“Apalagi yang ingin kamu kejar?” tanyaku, campuran antara penasaran terhadap seseorang yang tengah bekerja di Jakarta, ujung cerita perantauan sejak tamat SMA yang mengenalkannya lebih dulu pada ibukota ini, kemudian nasib dan kerja keras membawanya mendapatkan gelar master dalam bidang keuangan di Coventry Inggris, dan keingintahuan bagaimana seseorang seperti dirinya berjalan meraih mimpi.

“Selain menikah tentunya” Aku segera melanjutkan kalimat tanyaku. Mencegah dirinya menjawab dengan jawaban yang telah kuduga. Melihat usia kita yang tak jauh beda, tak ada harapan lain lagi yang paling membahagiakan selain membina sebuah keluarga. Aku merasakan kesedihan dalam dirinya. Umur 27 tahun bagi seorang perempuan adalah masa penuh harap akan kedatangan seseorang yang akan menjadi pendamping dirinya hingga akhir hayat. Tak masalah bagi para wanita yang menjunjung tinggi kesempatan berkarier, tengok saja banyak wanita karier di ibukota yang tak mempedulikan pernikahannya meski usianya beranjak 30 tahun, mereka hanya tahu bagaimana melaksanakan tiap tugas perusahaannya dengan sempurna dan berakhir dengan pujian bahkan berakibat promosi sesuai cita-cita remaja mereka menjadi seorang manajer muda. Namun baginya yang berasal dari suatu daerah di ujung negeri sana dan kebiasaan dari adat Islam, Aceh dan Melayu, 27 menjadi angka yang memberikannya kalimat penekanan Sudahlah menyerah saja, serahkan semua pada orang tuamu sebagaimana kebiasaan di kampungmu sana.

“Pulang ke Kampungku” jawabnya singkat.

“Minggu lalu aku pulang untuk tes CPNS dosen, tapi gagal haha” lanjutnya.

“Sudah disuruh pulang lagi?”

Seingatku setahun lalu dia bercerita bahwa jika tahun depan tak ada seorang pun yang menikahinya maka dia akan pulang kemudian mengabdi di kampung halamannya. Kupikir itu bukan bagian dari rencananya, namun lebih ke konsekuensi akibat dari gagalnya mendapatkan suami dalam perantauannya. Jika orang itu dalam sebuah romansa kemungkinan alurnya adalah tamat SMA – merantau ke ibukota meraih gelar sarjana – melanjutkan sekolah dan sedikit berpetualang di benua biru – bekerja di kantor pusat sebuah perusahaan – kemudian bertemu seseorang yang sama-sama pulang dari petualangan cita-citanya – pulang untuk meminta restu kemudian menikah – lalu melanjutkan kerja dan menetap di Jakarta. Tapi seperti yang kulihat sekarang ini, tuhan sedikit memberi klimaks pada bagian rangkaian cerita indahnya (dalam perjalanannya mungkin tak indah dalam arti sempurna, tapi karena berhasil mewujudkan cita-citanya).

“Aku ingin pulang, tinggal di rumah bersama Umi dan Abu.”

“Aku gak mau di Jakarta...”

Kalimat terakhir itu seolah dia tahu apa yang sedang kupikirkan kecemasan tentang rencana pulangnya itu. Padahal inti dari pertanyaanku itu bukan hanya membicarakan sekadar wacana pulang. Tapi bertanya-tanya orang macam dia dengan teman dan circle pertemanan jauh lebih banyak dariku tak satu pun dari mereka tertarik lalu mengajaknya menikah. Semakin penasaran karena kuingat ceritanya tahun lalu jika dia sedang menunggu seseorang yang sedang melanjutkan studi di Amerika, pernyataan yang membuatku dijatuhkan akibat rasa minder dan sadar diri akan adanya hukum strata sosial. Lebih jauh lagi, pertanyaanku berlatar belakang subjektif, adakah seorang laki-laki yang sedang bersamamu kini?

***

Ada posisi yang lebih tinggi dari kaum perempuan. Mereka telah ditempatkan tiga kali lebih tinggi dibanding laki-laki. Begitulah kiranya kehebatan dari perempuan yang kemudian hari menjelma menjadi para ibu yang akan kembali mengajarkan apa yang telah mereka dapat semasa hidupnya. Perempuan adalah tiang negara, jikalau baik perempuan, maka baiklah suatu negara, dan jikalau rusak perempuan, maka rusaklah negara. Isi suatu surat yang kubaca di suatu museum telah menggambarkan bagaimana pentingnya seorang perempuan. Jauh sebelum itu, Islam telah menggambarkan bahwa surga berada di telapak kaki ibu. Kalimat hiperbola namun cukup untuk menggambarkan bagaimana peran perempuan bagi kelangsungan hidup manusia, terutama anak-anaknya.

Seseorang pernah menasihati, jika suatu saat kau menginginkan sesuatu, tak ada yang lebih mujarab dibanding dengan doa ibumu. Seorang mahasiswa yang hendak melakukan ujian akhir, tak ada yang lebih menenangkan dan menguatkan selain suara doa dan petuah ibunya. Seorang yang sedang berusaha kerja keras, maka pulang dan mencium tangannya adalah penghapus peluh dan nutrisi paling mengenyangkan untuk esok kesulitan yang berikutnya. Lalu pelukan dan sujud tangisnya tiap malam yang tak tentu diketahui kapan ia terbangun merupakan ungkapan paling melapangkan kesabaran bagi seorang yang sedang menantikan pertemuan dengan pasangan hidupnya.

“Maksudmu aku tak dapat lagi maju karena ibuku sudah tak ada?” Aku bertanya pada beberapa orang secara acak.

Tak dapat dipungkiri, ketiadaan ibu masih sangat emosional. Masih belum percaya bahwa beliau sudah tak lagi dapat bertatap muka dengan senyum teduhnya kala pulang ke rumah, kemudian masih sempat menawarkan makan walau kutahu tak ada yang dapat dimasak dan hari sudah terlalu larut. Maka pada siapa lagi aku akan mengeluh saat sarat butuh kesabaran berlebih. Kepada siapa akan bercerita hal-hal yang tak pernah kuceritakan. Kepada siapa kiranya aku meminta dipilihkan sesuatu hal yang tak dapat kupilih seorang diri.

Begitulah otakku berusaha menjawab alasan terbaik perempuan itu tentang keinginan pulang ke kampung halamannya. Beberapa orang menganut place sebagai tempat untuk pulang. Seperti orang Minang yang masih menganggap tanah leluhur adalah kampung halaman tempatnya pulang, dan tempat lain di luar kampung halamannya hingga ke pelosok bumi adalah perantauannya. Sebagian lagi membuat suatu space, tujuan dimana ia pulang setelah sekian waktu dalam perjalanan. Seorang bos memberikan space bagi mantan karyawannya yang ingin balik kerja di dalam perusahaannya, agama memberi space bagi seseorang yang telah lama pergi dari pedomannya kemudian kembali pada jalan kebenaran lalu melanjutkan hidup secara damai, dan orang tua memberikan space kasih sayang terbesar, rumah yang tak kenal sudut, tak terbatas pintu, menghangatkan lebih dari matahari pagi yang menyelinap lewat jendela menembus kepulan asap dapur yang sedang mengepul, beratap paling meneduhkan seakan tak memberikan sedikit pun hujan keburukan apapun yang suatu waktu menghujam buah keyakinannya, dan pintu terlapang bagi yang ingin berjalan ke penjuru dunia manapun.

Tatap ibumu terasa teduh sekali. Sudah lama aku ingin mengatakan itu. Tak ada raut wajah pemarah, tak ada tatap mata merendahkan, tak ada sudut bibir pencela, aku telah melihat rupa ibunya di foto yang dia unggah di media sosial. Kupahami bahwa tak ada alasan lain baginya untuk berada dekat kembali dan berbakti kepada orang tuanya. Ummi dan Abu, begitulah dia memanggil mereka, space kasih sayang terbaik yang masih dia miliki. Rumah yang selalu terbuka saat dia pulang, dengan kehangatan dan dapur yang tetap mengepul.

***Bersambung***

Selasa, 19 September 2017

Setiap Anak Istimewa

Setiap anak terlahir istimewa. Saya sangat yakin, tak ada anak yang bodoh! Adanya anak yang tak berkesempatan untuk mendapat pengajaran yang baik. Saya selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar saya bisa memberi yang terbaik untuk murid-murid saya. Apapun hasilnya, lakukan yang terbaik!
***
Minggu ini saya begitu bahagia mendengar beberapa kabar membanggakan dari beberapa murid yang pernah atau masih saya ajar. Mungkin ini tak seberapa bagi orang lain, namun cerita ini memberi energi positif bagi saya sebagai seorang yang pernah mengenalnya.

Ya, cukup sederhana. Ikut bahagia! Pertama, saya mendengar kabar bahwa Vania melanjutkan kuliah di Jepang. Bulan September ini dia berangkat ke Jepang untuk memulai hidup baru jadi anak kuliahan. Saya ingat betul saat Vania mulai patah semangat menyelesaikan beberapa soal probability. Saya mencoba untuk mengajarkan dengan cara sederhana agar dia tak cepat bosan maupun menyerah. Saya dukung pelan-pelan. Sampai akhirnya, grade 12, dia berkata, “Ms, I love probability! Ms inget kan gimana dulu aku benci banget probability.” Tapi ternyata dia mampu melewati segala kesulitannya di Senior High School dan akhirnya bisa melanjutkan meraih mimpi-mimpinya. Semangat ya Vania!

Kedua, kabar bahagia dari Kayla. Semester lalu, dia selalu mengatakan kepada saya “I Hate Maths, Ms!”. Semester lalu, dia sangat sedih dan takut nilainya selalu jelek. Saya selalu mencoba untuk mendukungnya sebisa saya. Berapa pun nilainya, selalu saya memberi penghargaan walau kecil. Setiap kali ada peningkatan nilai, saya beri pujian dan semangat untuk meningkatkannya lagi. Jika nilainya turun, saya tetap menghargai usaha kerasnya belajar. Di akhir semester kemarin, saya beri reward untuknya karena telah menyelesaikan dengan baik. Bahkan di hari penerimaan rapor, dia bercerita bahwa orang tuanya happy dan bangga kepadanya karena ada peningkatan. Inilah yang saya selalu share ke orang tuanya, “Sebuah Penghargaan”. Semester ini pun, saya takjub dan bangga pada Kayla. Dia mendapat perfect score untuk Maths Quiz-nya. Pertama kali melihat nilainya mengalami kenaikan drastis, saya sangat terharu. Pelan-pelan dia telah menemukan jalannya. Bahkan, ibunya pun mengatakan bahwa beliau sangat senang melihat perubahan lebih baik dari muridnya. Saya juga bangga Bu! Mari dukung Kayla lagi! Semangat!

Ketiga, hari-hari belakangan ini saya habiskan di coffee shop. Bukan apa-apa, tapi memang seminggu full saya selalu mendatangi tempat itu. Pagi, siang, malam, ya seperti pindahan tempat tinggal. Mas-mas yang kerja di sana sudah hafal. Selalu mempersilakan saya di tempat duduk dan meja yang sama. Mereka juga tahu minuman favorit saya di sana: Lychee tea dan Green tea latte! Dua minuman favorit itu telah menjadi saksi atas pengorbanan dan kerja keras murid-murid saya. Kami belajar grup. Entah berdua, bertiga, berempat, atau bahkan berlima. Pindah dari satu kafe ke kafe lain. Pernah juga, diusir-usir karena jam 9 sudah tutup padahal kami masih ingin belajar. Pernah juga, terganggu sama ibu-ibu yang sedang asyik karaokean sambil tertawa-tawa riuh, sedangkan kami butuh kesunyian untuk belajar. Sampai-sampai kami pindah di luar. Tetap saja, speaker keras sekali terdengar ditambah serbuan nyamuk tak terhelakkan. Kami kabur! Sampai akhirnya, kami menemukan lokasi yang cukup mendukung belajar hanya saja cukup remang-remang. Saya pun mencari lampu portable dan taraaaa sangat berguna! Akhirnya, salah satu coffee shop menjadi pilihan terakhir kami yang paling nyaman untuk belajar. Saya namai Gengs Kopi! Semester ini kurva nilai naik turun. Ada yang kayak kurva sinus, kurva quadratics, kurva cosine, kurva apalagi ya? Banyak! Tapi ada hal yang membuat saya bangga minggu ini. Nilai mereka ada kenaikan di Long test semester ini. Ada kebanggaan tersendiri. Saya tahu bagaimana perjuangan mereka. Capek-capek tetap belajar. Mungkin yang semester lalu masih bermalas-malasan, semester ini mereka menunjukkan semangat belajar. Ya, belajar sambil makan, minum, curhat, dan selalu membuat saya happy mengajar mereka. Tetap semangat ya Gengs! Semangat Midterm test!

Terakhir, saya bahagia mendengar salah satu murid saya dulu. Saya mengajarnya kelas 4, hanya beberapa kali. Ternyata dia telah tumbuh menjadi seseorang di luar dugaan saya dulu. Anak yang dulu pernah bercerita dan bertanya apa saja di kelas ternyata menjadi pemain utama di Musikal Petualangan Sherina! Dia menjadi Sadam. Walau hanya sebentar mengajar dia, tapi saya ikut bangga saya pernah mengenalnya. Semangat ya Elang! Akhirnya menemukan bakatmu selama ini! Semangat ya untuk prestasi-prestasi selanjutnya!


Semoga ada kabar bahagia lagi! Aamiin. Lakukan yang terbaik! Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Sebelum berpisah, mari bahagia dahulu! Semangat!

Sabtu, 25 Februari 2017

Pentingnya Komunikasi!

Pada akhirnya, semua permasalahan itu berawal dari kurangnya komunikasi. Ya, semua karena komunikasi yang buruk.

Saya tinggal ngekos di Jakarta. Merantau dan tinggal dengan berbagai macam karakter orang. Di tempat kos saya, ada 14 kamar. Kami tinggal bersama dalam satu bangunan atap dan satu gerbang. Tetangga kos pun silih berganti dan saya adalah orang dua tersisa sebagai penghuni kos terlama. Ya, 6 tahun di Jakarta membuat barang-barang saya semakin banyak dan saya malas untuk berpindah tempat tinggal. Alhasil, saya tetap tinggal dan bertahan.

Seperti kehidupan anak kosan biasanya. Saya punya kamar sendiri, kamar mandi bersama, ruang tamu bersama, dan dapur bersama. Semua fasilitas bersama seharusnya dijaga bersama. Ya, itu etikanya. Tinggal bersama banyak orang, kadangkala ada hal yang tak sejalan. Ada hal yang mungkin malah membuat kita tak nyaman, bertolak belakang dengan diri kita. Ya, begitulah, tapi semua itu buat kita belajar. Dan saya belajar untuk memahami orang-orang di sekitar saya.

Entah sejak kapan, suasana kosan menjadi tak nyaman. Yang pasti, semenjak ada orang baru dan mereka berkubu, saya menyebutnya. Mengapa berkubu? Ya, mereka satu tempat kerja dan saya kira mereka satu latar belakang. Awalnya, saya hanya diam. Saya biarkan saja hal-hal yang membuat saya tak nyaman. Mereka berteriak-teriak di kosan, saya biarkan. Mereka tertawa di ruang tengah tengah malam, saya biarkan. Mereka masak sambil ngobrol tengah malam, saya biarkan. Mereka menumpuk piring kotor di dapur, saya biarkan. Saya memilih diam, walaupun saya terganggu. Saya memilih tak menegur, saya memilih cuek, dan saya memilih untuk berperang dengan mereka. Kesan pertama yang membuat saya tak nyaman, ternyata membuat hati saya tertutup untuk memahami mereka. Saya benar-benar menaruh nama mereka di daftar blacklist saya.

Banyak orang diam walaupun mereka benar daripada berdebat yang ujung-ujungnya mereka disalahkan. Salah satunya adalah saya. Begitulah yang terjadi di kosan semenjak ada orang-orang baru “tak beretika” tersebut. Sedang orang-orang baru yang lain tetap diam walaupun terganggu olehnya. Saya sebagai penghuni lama hampir 4 tahun pun terusik keberadaan orang-orang baru “tak beretika” tersebut. Awalnya, saya mencoba untuk bertahan. Saya mencoba untuk mengerti mereka. Saya mencoba untuk “respect” dengan mereka. Tapi saya gagal. Hati saya benar-benar tak menerima mereka. Bukan berarti saya membenci mereka, tapi saya tak menyukai “etika” mereka.

Pertama, tentang menjaga ketenangan kos. Suatu kejadian, saya sedang berada di dalam toilet. Tiba-tiba terdengar suara keributan dari luar. Suara teriakan histeris! Saya kaget! Bayangkan saja! Saya kira ada perampok yang mencoba membunuh penghuni kos! Atau kebakaran yang terjadi naas! Ah, sungguh keterlaluan sekali. Jatung saya hampir saja copot, untungnya tak sampai jantungan! Kaki saya saja sampai gemetaran. Entahlah apa yang dipikirkan mereka saat itu. Yang pasti sangat mengganggu! Seusai saya keluar dari toilet, saya menegur dengan baik, dengan nada sopan, tentang kejadian itu. Saya bilang kalau di kosan sebaiknya tidak teriak-teriak seperti tadi. Saya juga bilang kalau saya sampai gemetaran. Sayangnya, perkataan saya tersebut tidak diindahkan oleh mereka. Malah jadi bahan bercandaan saat mereka teriak-teriak tak jelas. Ya sudah, saya sudah menegur sekali, kalau tak diindahkan, ya saya tak mau tau urusan mereka!

Kedua, tentang kebersihan kos, terutama dapur. Okelah, kita hidup bersama dalam satu rumah. Kotor ya kita bersihkan bersama, kita jaga bersama. Sayangnya, kebersihan kos selalu menjadi bahan pertama tiap bulan di grup. Ada pihak yang capek-capek membersihkan dan ada pula yang cuek mengotori lagi. Mereka segrup kalau lagi rajin, sangat rajin. Bahkan sampai dapur, kulkas, toilet semua bersih. Selalu mengingatkan kami para penghuni kos untuk menjaga kebersihan, membuat keramaian grup, menganggap orang-orang yang tak ikut bersih-bersih hari itu adalah si pengotor! Sayangn ya, kerajinan mereka tak bertahan sehari. Hari berikutnya, mereka sendirilah yang mengotori dapur, kulkas. Bahkan saya sampai tak ingin menaruh apapun di kulkas. Tak ada space, ya memang males berhubungan sama mereka. Sebenarnya, saya mengikuti aturan main mereka. Selesai masak langsung bersihkan, selesai makan piring tak ditumpuk di wastafel. Bahkan, jika saya malas mencuci piring, saya taruh piring di kamar agar tak mengganggu yang lain, penghuni kos yang mau pakai wastafel. Tapi apa yang terjadi? Mereka selalu menumpuk piring kotor di wastafel sampai berhari-hari. Memakai alat masak tak dicuci. Masak tengah malam, yang asapnya mengganggu orang tidur. Berisik saat masak! Ah, saya hanya diam. Bukan berarti saya tak terganggu, saya hanya lelah menegur kalau ujung-ujungnya cuma jadi bahan candaan.

Saya pernah mengambil bukti, foto dapur kotor, piring numpuk. Tapi saat saya bilang mengungkap kebenaran, mereka menyanggahnya. Mereka bilang kalau piring kotor mereka sudah dibereskan ditaruh di bawah wastafel bukan di atas. Saya hanya tertawa saja. Padahal kenyataannya, sayalah orang yang selalu menaruh piring-piring mereka dari atas wastafel saya pindahkan ke bawah wastafel. Mereka menyanggahnya lagi saat bukti saya keluarkan. Saya tak tahu, cara pikir mereka. Ah, saya malah diserang! Mereka berkelompok mencoba menyalahkan saya. Memojokkan saya! Sayang nya saya tak takut karena saya sudah melakukan sesuai prosedur. Bahkan saya mengikuti peraturan yang mereka buat “selesai masak, bersihkan dapur!” Saya selalu pel setelah saya masak. Tapi ujung-ujungnya merekalah yang tak menjalankan peraturan. Mereka mengaku kalau peraturan yang mereka buat tak disepakati bersama, jadi tak mereka jalankan! Lahhh, kok lucu! Baru kali ini saya bertemu sekelompok orang yang memiliki pikiran sempit. Padahal saya kagum dengan cara mereka bersih-bersih. Bahkan saya dukung peraturan mereka, tapi kok tiba-tiba mereka bilang tak disepakati. Duh!!! Entahlah, saya lelah.

Lantas, ketiga tentang kunci ruangan tengah dan gerbang. Saya sudah pernah bertanya di grup tentang kunci. Tapi yang jawab hanya satu, anak baru. Hari itu juga saya langsung duplikat kunci buat dia. Demi keamanan bersama, sudah sering diingatkan kunci harus punya semua, gerbang harus selalu dikunci saat selesai masuk atau keluar. Tapi tetap saja ada yang “mbandel” gak dikunci. Lah, kalau ada penjahat or pencuri gimana? Siapa yang berani bertanggung jawab? Tak ada yang berani! Entahlah, saya tak tahu lagi harus berbuat apa. Siang itu memang kondisi kos sepi. Saya mau pergi dan pintu tengah pun saya kunci. Berhubung tak ada yang menjawab lagi tentang kunci selain anak baru, saya pun berpikir semua orang sudah punya kunci tengah. Saya tahu kalau ada orang (salah satu anggota mereka) di kamar luar berada di kosan. Tapi tetap saya kunci karena saya tak tahu, dia akan pergi atau nggak. Saya juga malas berbasa-basi dengan mereka. Saya hanya “ngebatin”, nanti pasti ada masalah yang terjadi jika ada orang yang ternyata tak punya kunci! Lah, benar saja. Baru saja saya sampai tempat tujuan, tetiba digrup ricuh tentang pintu dikunci. Saya jawab saja alasan saya dan saya tetap dipojokkan dan disalahkan oleh mereka. Mereka bersekongkol! Whatever!

Pada akhirnya, keributan di grup pun berujung pada pertemuan bersama seisi kosan. Saya mengungkapkan segala keluh-kesah saya. Nyatanya yang berani bicara dan menyanggah hanya satu orang! Ya, si biang kelompok mereka! Yang lain diam! Saya pasti mengakui kesalahan dan meminta maaf kok jika memang saya terbukti salah. Saya juga menerima kritik dan masukan kok. Nyatanya, saya disalahkan karena tak menegur saat itu juga, saat mereka ribut di malam hari. Padahal saya sudah mencoba mengingatkan, tapi mereka saja yang menutup telinga! Yasudah... Jika memang beretika, pasti tahu waktu-waktu dimana boleh ribut atau menjaga ketenangan!

Ah, Nyatanya mereka bicara tak merani menatap mata saya, padahal saya kuat-kuat menatap mereka. Nyatanya, mereka berbicara dengan mata melirik ke kiri. Saya hanya mengamati cara mereka. Nyatanya kesepakatan dihasilkan untuk menjaga kenyamanan bersama. Selesai masak dicuci, tak ribut or teriak-teriak di kosan, jadwal bersih-bersih kulkas, dan menjaga keamanan bersama.

Lantas, apa yang terjadi hari-hari berikutnya? Hari berikutnya berjalan mulus di hari pertama. Semua menaati kesepakatan bersama. Hari kedua masih berjalan baik-baik saja. Hari berikutnya, sudah mulai pelanggaran-pelanggaran baru. Mulailah keributan tengah malam. Ngobrol keras di salah satu kamar. Yup, nggaak di lobby, kamar pun jadi. Pindah tempat! Aduhai, tak tahulah lagi cara mengingatkannya lagi. Hari berikutnya, disusul dengan dapur yang mulai menumpukkan piring dan alat masak lagi. Aduhai, baru tiga hari saja, gagal total. Sudahlah, saya tak tahu dan tak mau tahu lagi. Sudah diingatkan, tapi sepertinya memang tipe-tipe orang yang susah diberitahu. Saya akan mencoba untuk bersabar mengahadapi orang-orang seperti ini. Ya, mungkin di lingkungan masyarakat, kita akan menemukan mungkin seribu orang seperti ini. Ya, take it easy lah sekarang. Buat pembelajaran saja kalau kita hidup tak bisa membahagiakan semua orang! Let’s do the best one! Kita lihat saja ada berapa orang yang masih peduli! Pada dasarnya semua itu dikarenakan kurangnya komunikasi yang baik.