Diary of Mee
Oleh: Cantika Diptra
Jari-jari
kecil itu menggenggam sebuah pena. Sekali dua kali pena itu bergerak sesuai
kata hati. Sebentar-sebentar gadis itu menatap kalender. Menatapnya lekat namun
terasa aus dan kosong. Secarik kertas telah penuh coretan tangan mungilnya. Ada
apa gerangan ?
Mee
hanya menuangkan perasaannya. Perasaan yang selama ini dia pendam, tak ada yang
tahu kecuali dirinya dan satu lagi, Tuhan. Ditatapnya tulisan itu tajam. Lekat
dengan memori yang kian tak berujung itu. Dia membaca ulang dalam hati, yang
sunyi.
“Ketika
Mei bertemu lagi. Tuhan, andaikan aku boleh memilih, aku akan memilih untuk
tidak ingin memiliki rasa cinta pada satu orang itu. Aku tidak mau menyakiti
orang lain. Walaupun aku tahu aku tak bisa melupakan dia, namun aku harus rela,
mau tak mau aku harus mengerti, siapa diri aku dan siapa dia. Semua hal itu
mustahil untuk terus dipertahankan. Sayangnya cinta tak mau bersahabat
denganku. Entahlah, apa maksud semua ini. Aku tak mengerti. Aku takut, sangat
takut lebih tepatnya.
Tuhan, ingin aku menangis, ya menangis sejadi-jadinya,
agar aku bisa mengerti semua hanyalah mimpi. Tak ada yang perlu dimengerti dan
tak ada harapan lagi untukku. Aku menyerah demi sebuah
kebaikan. Tanpa harus ada yang tersakiti, aku mundur. Aku tahu, aku harus
mundur sebelum semuanya terlambat. Aku tak bisa melanjutkan semua ini. Cukup
sudah.
Andaikan waktu dapat berputar kembali. Aku ingin kembali
ke waktu pertama kali perasaan ini muncul. Aku akan menghindar darinya. Aku tak
akan memberi saran agar dia potong rambut, aku tak akan minta cara dia
berbahasa Inggris, aku tak akan menghabiskan waktu hanya untuk berlama-lama
bertatap muka dengan dia, aku tak akan pulang larut malam dari kampus di hari Rabu,
aku tak akan merubah penampilanku, aku tak akan dandan seperti sekarang, aku
tak akan menangis saat UET, aku tak akan mencari tahu apa kesukaannya, aku tak
akan kagum dengannya, aku tak akan terkesima saat dia mengungkapkan
pendapatnya, aku tak akan membantu dia ngepel, aku tak akan naik sepeda
mampang-depok, aku tak akan duduk di paling depan, semua itu hanya untuk dia.
Sayangnya aku tak akan pernah mampu merubah waktu.
Waktu terus berganti hari berganti waktu. Aku tak mampu
mengubahnya. Tuhan, beri aku kesempatan sekali lagi untuk mengerti. Meiku tak
berujung lagi. “
Mee
tak memiliki semangat lagi… Air matanya pun tak mau ambil risiko. Dia menangis
sejadi-jadinya. Menangis tuk mengurangi luka. Luka yang bertahun-tahun telah
menyakiti hatinya.
BIODATA
PENULIS
Nama
saya Dian Sulistiani dengan nama pena Cantika Diptra. Saya lahir di Kota Blora
pada tanggal 21 Juli 1992. Saat ini saya menjalani pendidikan di Sampoerna School of Education (2010)
Jakarta jurusan pendidikan matematika. Saya dapat dihubungi di email: dian.sulistiani@sampoernaeducation.net, facebook: Dian
Sulistiani (dian_lg28@yahoo.co.id), twitter: @Dian_French.
Sedih . . . nangis . . .
BalasHapus