Tampilkan postingan dengan label Pancasila. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pancasila. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Juli 2013

Pancasila Mati Suri

Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027 / Universitas Siswa Bangsa Internasional

Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua
nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya
**untuk semua puji namanya
untuk semua cinta sesama
untuk semua wadah menyatu
untuk semua bersambung rasa
untuk semua saling membagi
pada setiap insan
sama dapat sama rasa

oooh Indonesia
oooh Indonesia

Pancasila rumah kita, rumah untuk selamanya
Pancasila ada karena kita bhineka tumbuh bersama sebagai Indonesia
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya dalam puspa warna menjadi Indonesia
Nilainya bukan hanya debu sejarah
Hari ini ada di tangan kita jika Indonesia lupa dan hilang arah saatnya kembali, kembali kepadanya

-Pancasila Rumah Kita – Versi Kolosal #17an-

Sebuah lagu inspiratif bagi saya. Pemilihan lagu yang sangat tepat untuk topik kali ini di mata kuliah Pancasila. Apalagi kami kedatangan dosen tamu yang menurut saya luar biasa. Benar-benar beda dari yang lain, nylentrik. Ya, beliau adalah Ulin Yusran. Buat saya, Mas Ulin, begitulah sapaannya menginspirasi saya. Gaya penampilan yang apa adanya dan santai membuat saya menikmati kuliah hari itu.

Walaupun sebenarnya materi yang disampaikan cukup berat, tapi saya tertarik. Bahkan ada beberapa bagian yang membuat saya tercengang. Sebuah keberanian public itu membuat saya menganggukkan kepala berulang-ulang. Mengagumkan!

***

Pancasila terasa tumbang setelah orde baru tumbang.

Begitulah ungkapan yang disampaikan Mas Ulin sebagai pembukaan. Saya berefleksi membenarkan ungkapan tersebut. Coba saja ingat, dahulu zaman kepemimpinan Pak Soeharto gencar-gencaran adanya Pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Setiap orang yang tak mematuhi P4 itu akan dianggap komunis. Mungkin ini adalah keputusan yang sepihak. Seakan-akan Pancasila hanya dimanfaatkan pemerintahan Orde Baru sebab menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal. 

Sayangnya, pengamalan Pancasila tersebut hanya semata-mata sebuah paksaan untuk mematuhinya akibat dari pemerintahan yang mewajibkan. Menurut saya, seharusnya setiap insan memiliki kesadaran penuh untuk mengamalkan butir-butir Pancasila tersebut. Lantas, ke manakah kesadaran kita sebagai pemilik Pancasila itu? Dan akhirnya, rakyat merasa tidak puas dan tidak percaya dengan pemerintahan. Ini adalah salah satu akibat dari sikap paksaan dan bukan datang dari hati individu untuk mengetahui lebih dalam Pancasila.

Satu ungkapan yang saya suka:
Setiap gulungan ombak yang terhempas di tepi pantai meninggalkan sampah.
-Syair Reformasi-

Ya, Orde Baru pupus juga setelah aksi rakyat yang berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto. Indonesia mengalami kebobrokan system, karakter, dan pelaksanaan. Sayangnya, walaupun dalam wujud manusia, pemerintahan telah tumbang, tapi system tak tumbang. Inilah yang diwariskan kepada generasi selanjutnya, yang disebut reformasi. 

Padahal jika kita menengok kembali pada zaman sejarah, Pancasila lahir sebagai harapan bersama. Pancasila tumbuh akibat adanya kepercayaan dan keberagaman. Indonesia berharap akan menjadi Negara yang adil, makmur, sejahtera, aman, sentosa, dan Pancasila menjadi kepribadian bangsa. 

Ironisnya, Indonesia masih belum mampu sepenuhnya mencapai harapan dan mimpinya itu. Dewasa ini, Pancasila terasa semakin asing saja. Jika kesadaran berbagai bidang seakan semakin luntur. Pancasila terasa tak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan. Sempat berefleksi terhadap selentingan, “Tanpa Pancasila pun saya masih bisa hidup. Untuk apa mengenal Pancasila?” Sempat membenarkan kata-kata itu, hal ini membuat saya galau luar biasa. Jadi yang benar yang mana? Pancasila menjadi acuan berbangsa dan tanah air ataukah Pancasila adalah symbol dari tingkah laku baik kita? Masih belum mengena di hati saya. Jawaban masih mengambang di awang-awang. 

Refleksi saja, sekarang mahasiswa mungkin dianggap “mlempem”. Jika dulu para pemuda semangat dan gencar-gencaran membela tanah air. Sampai-sampai pemikiran kritis mampu menggulingkan beberapa masa pemerintahan. Sayangnya, itu hanya dulu. Sekarang, mungkin telah berganti menjadi “Mahasiswa Penakut”.

Sebuah perkataan Mas Ulin yang sangat mengena di hati adalah “Kuliah ndak mlebu, IP ndak telu, demo ndak melu. Mbalek ae nang ibumu!”

Sungguh singkat tapi nancap ke dasar-dasarnya hati. Entahlah, Pancasila seakan mati suri. Perlu pembenahan lagi untuk system yang amburadul seperti sekarang. Perlukah rakyat bertindak?

Isi jawaban sendiri.  

Rabu, 01 Mei 2013

Dia (Pancasila), yang Terlupakan


Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027

Kutatap langit Indonesiaku, kupijakkan kaki pada bumi pertiwiku. Bibirku tertawa kecil, lantas kuputar memori terdahulu hingga kini. Terekam segala peluh dan sejarah panjang masa lalu. Kupelikkan mimpi-mimpi nan surut lagi! Masihkah ada sisa? Indonesiaku ke manakah dirimu? Beta tengah lama tak berjumpa dan aku merinduimu!

Dulu,
Kaki-kaki kecil meniti, menelusuri jalan setapak, berlumur darah, dan noda. Bertahan pada benteng-benteng perjuangan tanpa nama. Mati bertaruh nyawa, tanpa tercantum dalam sejarah bangsa

Kaki-kaki kecil terseok, membawa kabar: Indonesia merdeka! Senyum kecil terpampang di wajah-wajah pilu. Sentosa? Mungkin! Pribadi masih berharap mimpi segera menghampiri raga

Kaki-kaki kecil menapak tanpa alas, pengumbar ide para pembela. Neraca waktu tetap berimbang, seadil-adilnya. Para kepala tak berbudak pada tuannya dan setia pada negara. Generasi muda berpengayom, rohaniah terpenuhi, lantas istilah makmur diperjuangkan

Kaki-kaki kecil berlari kencang. Mengulur benang, menggantungkan cita setinggi-tingginya. Membawa satu hal pribadi bangsa Indonesia:
Garuda berperisai dengan pilar-pilarnya. Pancasila disebutnya.
Cengkraman kaki kuat sebuah pita persatuan:
Bhineka Tunggal Ika. Itulah semboyannya.

Aih, mungkin itu dulu. Zaman tiap insan sadar dan berbaur pada alam. Kini, kaki-kaki kecil lelah, langkahnya hampir terhenti. Mata-mata penuh harap masih tersisa. Aku, kau, kita hampir meredup. Bagai lilin tanpa sumbu, lama-lama mengoyak tubuh sendiri lantas mati! Ah,  budi pekerti telah tergerus zaman. Yang dulu digembar-gemborkan pun tak lagi terdengar. Apa? Adil? Makmur? Sentosa?

Lihatlah lagi candu-candu kehidupan marak menjejali otak! Korupsi! Kelaparan! Mengemis! Bayi-bayi kecil meronta meminta susu, tapi malang! Menunggu nasib, gizi buruk tetap membebat lengan! Ah, kapan makmur? Harapan yang dulu diperjuangkan masihkah tersisa? Atau hanya sia-sia belaka, menunggu usia tua?

Ah, pribadi bangsa telah pudar, terikis oleh zaman yang disebut globalisasi. Zaman tua renta ini, kapan ada lagi Pancasila untuk negeri?

Jakarta, 2013
-Dian Sulistiani-

            Puisi tersebut sengaja saya tulis sebagai pembukaan tulisan ini. Beberapa kata dan kalimat, saya bold untuk menandakan pokok-pokok ide. Permasalahan yang terjadi saat ini berpilar pada pendidikan karakter lemah. Hal tersebut sering dikaitkan dengan implementasi Pancasila sebagai jati diri bangsa seakan luntur.

            Seperti yang telah sering kita perdengarkan sebuah lagu melegenda berjudul “Garuda Pancasila” pun turut bercerita tentang kegagahan Pancasila:

Ciptaan: Sudharnoto
Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju

            Lagu tersebut memberi semangat kepada para pelantunnya untuk tetap gigih memperjuangkan Pancasila sebagai kepribadian bangsa.

Jika kita tengok kembali sejarah masa silam, Pancasila diartikan sebagai cita-cita dan pengharapan yang wajib dijunjung tinggi oleh seluruh elemen di dalamnya. Pancasila juga sebagai dasar Negara Indonesia yang dibentuk dan dikembangkan berdasarkan kesepakatan bersama di atas segala macam perbedaan yang ada. Sebagai pondasi bangsa, Pancasila seyogyanya benar-benar menjadi dasar yang teguh dan bermoral. Sependapat dengan Dipoyudo (1984, Susanto, 2013), beliau menyebutkan penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa mengindikasikan bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara. Lalu, segala sumber tertib negara, hukum, dan jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral Pancasila (Soegito, 2009, dalam Susanto, 2013).

            Sayangnya, esensi dari Pancasila itu sendiri belum dimaknai di kalangan masyarakat. Realita yang ada, Pancasila masih dipahami hanya berupa verbal saja. Kita masih disodorkan pada pelafalan kelima sila dalam Pancasila saat upacara bendera, misalnya. Itu pun kalau masih hafal di luar kepala. Bahkan tragisnya lagi, ketika kita duduk di sekolah dasar maupun menengah, kita hanya dituntut untuk mengerti konsep yang abstrak dari Pancasila tanpa mengerti pengimplementasiannya.

Pemahaman nilai-nilai Pancasila kurang sesuai perkembangan kognitif seseorang. Sebagai contohnya, pelajaran yang berbasis pada Pancasila di sekolah dasar kurang tergali mendalam. Seperti yang sempat saya alami ketika masih duduk di sekolah dasar, kebanyakan materi tentang Pancasila harus dihafalkan. Alhasil, sampai sekarang banyak materi yang terlupakan begitu saja. Bentuk riil dari Pancasila belum sepenuhnya menyatu dalam kehidupan. Padahal, Pancasila seharusnya tak hanya dihafal tetapi juga diimplementasikan. Memahami tidak cukup menghafal saja, bukan? Sudah selayaknya Pancasila sebagai kompas pemersatu untuk menunjukkan arah menuju mimpi-mimpi Indonesia ini berjalan dengan baik.

            Pancasila bukanlah hal yang baru bagi kita, terutama bagi individu yang masih mengaku bangsa Indonesia. Sayangnya, dewasa ini Pancasila hanya dipandang sebelah mata. Arus globalisasi seakan membuat kita buta terhadap jati diri bangsa sendiri. Kearifan lokal masyarakat yang dulu dipupuk erat kini mulai luntur. Egoisme dan hedonisme masyarakat semakin tinggi.

            Mari kita refleksikan diri sendiri, sejauh mana kita mengenal Pancasila itu sendiri? Hanya dari sejarahkah? Hanya sebuah ukiran berbentuk burung garudakah? Atau malah sama sekali belum pernah melihat rupa simbol Pancasila?

            Pancasila hanyut dalam arus globalisasi. Banyak ciri khas dari kita, Indonesia, yang terlupakan begitu saja. Padahal Pancasila sebagai kepribadian bangsa seharusnya menjadi tameng dan filter segala hal dari luar. Sayangnya, penyaring itu telah lemah ditelan zaman. Seakan para pemiliknya tidak lagi memedulikan.

            Realita yang ada saat ini seharusnya bisa menyadarkan mata bangsa Indonesia. Beberapa pulau kecil tak terurus akhirnya “dicuri” bangsa lain. Karya anak bangsa, batik dan lagu “Rasa Sayange” pun turut andil menggegerkan bangsa akibat hampir “diambil alih” bangsa tetangga. Semua itu disebabkan oleh kekurangpekaan kita sebagai pemilik. Apakah tindak pembelaan selalu datang setelah direbut bangsa lain? Seharusnya tidak!

            Apakah mengelus dada saja cukup menyelesaikan permasalahan? Saya pikir hal itu bukanlah pemikiran kaum terdidik. Teringat oleh saya sebuah pernyataan salah satu dosen saya, “Jika belum bisa berkontribusi, setidaknya jangan ‘membebani’ orang lain.” Sebuah kalimat yang menohok dan tertancap di hati serta pikiran menurut saya. Ya, saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menjadi bahan refleksi diri.

            Lalu, apa hubungannya dengan Pancasila? Di sini kita berbicara bahwa Pancasila sebagai identitas bangsa. Pancasila menjadi ciri unik bangsa ini yang benar-benar milik sendiri. Bahkan perjuangan para pejuang terdahulu membutuhkan kucuran darah dan pemerasan tenaga serta pikiran. Berkontribusi adalah kewajiban kita sebagai penerus bangsa. Jikapun kita belum mampu, seharusnya kita sadar “tak menjadi beban” demi kemajuan bangsa. Sayangnya, lagi-lagi kita terlalu egois. Kita kurang peduli dan peka.

            Coba saja lihat dan cermati kondisi saat ini. Generasi bangsa lebih menggembargemborkan budaya bangsa lain. Gaya hidup dan style penampilan bangsa lain masih menjadi trend di kalangan masyarakat. Lalu, siapakah yang akan melestarikan budaya sendiri? Grup band Korea sebagai contohnya. Masyarakat lebih memilih untuk berjejalan di antara ribuan orang hanya untuk menonton pertunjukan grup idolanya daripada menyaksikan pertunjukan “Wayang”. Harga tiket tinggi pun tak dihiraukan masyarakat walau merogoh kantong lebih dalam demi kepuasan ego didapatkan. Begitu pula lagu “Gundul-Gundul Pacul” pun jarang dikumandangkan lagi. Berapa ribu bahasa ibu (daerah) yang punah tak ada jejak? Belum lagi gaya hidup orang barat lebih dipentingkan daripada kearifan lokal bangsa: gotong royong. Alhasil, khasanah bangsa semakin punah.

            Penyaringan budaya asing di Indonesia tidak lagi berdasarkan pada jati diri bangsa. Kesemrawutan sistem pemerintahan, belum tercapainya harapan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun masih menjadi pekerjaan rumah kita semua. Kondisi saat ini mengindikasikan bahwa Pancasila telah diabaikan begitu saja.

            Tidak hanya itu, bangsa ini pun seakan mengalami krisis moral. Beberapa permasalahan besar yakni: kurang kokohnya persatuan bangsa. Kita memang bermacam-macam suku, ras, agama, dan golongan, tapi tak selayaknya kita pecah dalam egoisme masing-masing. Sebagai contoh: konflik antarsuku di Papua, cek-cok antaragama, dan penegakan hokum yang dirasa sangat lemah. Pancasila bukan sebagai pemecah-belah, melainkan justru menjadi pemersatu. Sudah sepatutnya, kita sebagai generasi penerus menyadari dan melakukan strategi baru dari pemikiran-pemikiran baru pula. Jangan sampai kita didikte bangsa lain seperti zaman penjajahan terdahulu. Kisah masa lalu terulang kembali itu berarti kita tak dapat memperbaiki kesalahan. Jatuh pada lubang yang sama berarti “orang bodoh”.

            Berefleksi dari hal di atas, perlu adanya penafsiran-penafsiran baru untuk memaknai pancasila. Pengintegrasian esensi Pancasila itu sendiri di setiap unit masyarakat sesuai kontekstual pun sangat perlu dilakukan. Membersihkan Pancasila dari dramatisasi politik menjadi tugas kita. Mari kita benahi bangsa Indonesia berdasarkan ciri khas dan identitas bangsa: Pancasila. Memulai dari diri sendiri terlebih dahulu memaknai Pancasila secara benar. Bertindak sesuai Pancasila dan moral bangsa! Inilah tugas besar kita demi mewujudkan mimpi-mimpi yang diidamidamkan bangsa. Pendidikan berpancasila pun masih diperlukan. Hal ini dapat diwujudkan dari tangan-tangan pihak pemerintah dan rakyat yang berjalan selaras saling mendukung. Pemerintah tanpa rakyat cacat, rakyat tanpa pemerintah hancur! Semangat berjuang!

Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa. Dibaca pada tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#