Jika kau takut,
pejamkan matamu! Komunikasikan ketakutanmu itu dengan hati! Maka hati lebih
tahu kemana kau akan melangkah!
Saya
terbangun sekitar jam dua pagi. Banyak hal yang mengusik pikiran. Tetiba saja
terpikirkan bulan November nanti. Ah rasanya ingin segera pergi jauh. Kabur
dari kenyataan bahwa memang saya tak menginginkannya.
Bulan
ini adalah bulan Juli 2016. Lebaran kali ini membuat saya ragu untuk pulang
sebenarnya. Namun, kejadian dua tahun silam begitu membuat saya takut. Ya takut
kehilangan. Tepat saat beberapa hari sebelum lebaran 2014, saya hendak pulang
kampung naik bus. Semua persiapan sudah di tangan, tinggal tiket yang belum
beli. Saya berangkat dengan begitu ragu. Entah mengapa hati begitu tak mau
berkompromi. Hati benar-benar tak ingin pulang. Saya pun mampir ke ATM untuk
mengambil uang sebagai pelengkap mudik. Uang sudah ditangan, tapi ada hal yang
entah sebenarnya apa mengusik pikiran. Saya menuruni anak tangga gedung ATM,
entah detik ke berapa saya tetiba oleng dan terjatuh. Satu hal yang ada
dipikiran ‘saya tak apa-apa’. Saya melanjutkan perjalanan ke Pulogadung dengan
kaki sedikit pincang.
Menunggu
bus 57 jurusan Pulogadung adalah hal yang menjemukan. Sungguh lama! Seperti
biasa, tukang ojek di dekat penyeberangan jalan pun selalu menyapa saya.
Mengisi kejenuhan sampai bus yang saya nantikan pun muncul. Saya pun naik
dengan pelan-pelan agar kaki saya tak begitu sakit. Bus pun penuh dan saya
berdiri hingga tempat tujuan. Sekitar 45 menit perjalanan usai, Pulogadung
telah ramai.
Keraguan
saya pun terjawab saat saya sampai di PO Garuda Mas. Tiket hari itu telah
habis. Pupus harapan saya pulang hari itu. Saya ingin memesan tiket untuk
besok, sayangnya tak bisa karena tiket hanya dijual di hari H. Belakangan saya
baru tahu, tiket hanya dijual di hari H itu untuk urusan marketing. Siapa cepat
dia dapat dan tiket pun melambung tinggi harganya. Saya hanya bisa duduk diam
bersandar di tembok. Bagaimana cara saya untuk menenangkan orang rumah kalau
saya kehabisan tiket? Entahlah.
Saya
pun memutuskan untuk tak pulang. Saya melawan keraguraguan yang dari awal
membuat saya tak yakin. Saya menelepon ayah dan mengabarkan kenyataan pahit
itu. Tak bisa pulang kampung sebenarnya pilihan saya sejak awal tapi saya tak
ada alasan untuk itu. Akhirnya dengan berat hati, ayah saya pun mengizinkan
namun masih menanyakan kapan saya pulang. Ya, inilah pertama kali saya tak pulang
saat lebaran. Saya pikir akan lebih baik, tapi belakangan saya baru tahu ayah
saya tak doyan makan selama seminggu memikirkan kondisi anaknya. Ayah saya tak
pernah bilang tentang itu. Ayah saya hanya diam dan selalu menelepon saya tiap
hari menanyakan apakah kaki saya sudah sembuh, sudah diurut, sudah makan, sudah
bisa jalan? Ah, saya terlalu egois. Saya acuhkan kekhawatiran ayah. Apakah
pernah saya menanyakan kondisi beliau saat itu? Sepertinya tak pernah. Saya
sangat egois dan tak peka!
Di
tahun itu pula, saya seharusnya ikut pesta wisuda bersama teman-teman angkatan.
Namun, saya tak bisa. Skripsi saya tak kunjung selesai akibat kelalaian dan
kebegoan saya. Padahal, ayah saya selalu menceritakan akan datang saat saya
wisuda nanti. Ayah saya akan mengenakan pakaian terbaiknya dan berfoto bersama
mendampingi anak sulungnya wisuda. Ya, itu impian ayah saya. Sayangnya, saya
tak bisa mewujudkan di tahun 2014. Entahlah, keegoisan saya selalu menjadi
pemenang dalam pertarungan melawan hati.
Bulan
November 2014. Pikiran saya sangat terusik. Saya ingin mengajak ayah dan ibu
untuk menyaksikan pementasan teater saya. Beberapa niatan itu terbesit di
pikiran saya, tapi akhirnya kenyataan tak mampu mewujudkannya. Saya ingin
sekali mengajak orang tua saya ke Jakarta. Mengajak jalan-jalan dengan bahagia.
Sayangnya, saya belum bisa mewujudkan impian-impian itu. Sebenarnya, lagi-lagi
saya terlalu egois. Saya masih trauma kejadian awal tahun 2014 ini.
Bulan
Februari 2014, ayah, ibu, dan adik saya berkunjung ke Jakarta. Berniat untuk
jalan-jalan. Lantas, tetangga yang anaknya juga di Jakarta pun ikut bebarengan
pergi. Perjalanan panjang sekitar 11-14 jam pun dilalui hanya untuk bertemu
anaknya. Subuh-subuh, ayah saya pun menelepon kalau sudah sampai di Pulogadung.
Saya pun hendak menjemput, bus 57 tak kunjung datang dan sepertinya memang
belum beroperasi pagi-pagi buta. Jakarta hujan cukup deras. Saya membawa
payung, berdiri di tepi jalan arah UKI. Tapi nihil. Saya mencoba menghubungi
teman saya untuk bersama-sama menjemput keluarganya juga. Tapi telepon saya tak
dijawab, SMS saya juga tak dibalas. Saya benar-benar sebal, padahal dia sudah
bilang bersedia menjemput orang tuanya juga yang bersama keluarga saya ke
Jakarta. Saat itu saya masih berpikir positif mungkin dia memang belum bangun.
Saya mencari cara agar bisa menjemput ayah saya. Hujan angin deras, saya
kembali ke kosan. Saya sangat khawatir. Apakah orang tua saya baik-baik saja?
Apakah ada tempat untuk meneduh dikala hujan deras tadi pagi? Ah, saya sangat
dilema. Akhirnya, orang tua saya memutuskan untuk pergi naik Trans Jakarta (TJ)
agar lebih gampang. Saya pun dengan merasa bersalah mengizinkan orang tua saya
naik TJ. Pasti perjalanan panjang. Kasihan! Tapi saya begitu bego! Hanya diam!
Saya memberi alamat untuk turun di halte BKPM Tebet. Saya meminta ayah saya
untuk bertanya petugas. Ternyata halte tujuan terlewat. Ayah saya menelepon
kalau sudah sampai di Kuningan. Ternyata memang terlewat. Akhirnya, saya
meminta ayah saya untuk ambil arah sebaliknya dan turun di Tebet BKPM lagi.
Mungkin ini adalah pengalaman pertama keluarga saya menaiki TJ di Jakarta tanpa
dampingan dari saya. Ah, sampai saat ini saya masih merasa bersalah! Sangat!
Saya
menjemput di halte Tebet. Kusaksikan mereka turun dari TJ. Ayah saya tersenyum
untuk pertama kali di Jakarta. Saya membantu membawakan barang bawaan mereka.
Lalu melanjutkan perjalanan ke kosan. Sampai di kos, keluarga saya dan keluarga
teman saya langsung duduk di teras. Ah, saya sangat sedih jika ingat. Mengapa
saya memberikan tempat yang tak layak untuk mereka? Kosan saya kosan perempuan,
oleh karenanya ayah saya tak bisa tinggal di kosan. Lagipula saya kos berdua
dengan teman. Saya juga tak enak jika membiarkan orang tua saya tinggal di
kosan yang sempit. Setelah melepas lelah, akhirnya saya menghubungi teman saya
dan mengabarkan bahwa orang tuanya sudah sampai di kosan. Teman saya lantas
menjawab ya akan menjemput. Ibu dan ayahnya sudah sangat kangen dengannya. Tapi
apa yang terjadi? Anaknya tak kunjung datang! Padahal saya tahu, mereka sangat
merindukan anak pertamanya itu. Ah, saya sangat marah!
Ibu
teman saya sudah tak sabar meminta saya untuk mengantarkan mereka ke kontrakan
anaknya. Akhirnya, saya pun mengantarkan mereka. Sampai di depan kontrakannya,
anak itu malah mengatakan ke orang tuanya untuk apa ke Jakarta juga. Ah, saya
tambah marah! Jujur, saya sangat kecewa dengan tindakan teman saya itu. Bahkan
sampai sekarang kalau saya ingat kejadian itu, saya seperti tak bisa
memaafkannya. Saya tak membenci orangnya, tapi saya membenci sikapnya itu. Saya
pun akhirnya kembali ke kosan. Saya berpikir kalau ayah dan adik laki-laki saya
bisa ikut tidur di tempat teman saya itu. Namun, ternyata adik saya tak betah
di sana. Saya memutuskan untuk mencarikan kosan untuk keluarga saya di sekitar
kosan. Ternyata masih ada orang baik di jakarta yang bersedia menyewakan kamar
kos untuk kami. Saya pun membawa keluarga saya di kosan itu dan ternyata itu
adalah kosan Jefri, kawan sekelas saya yang baik hati. Jefri pun bersedia
meminjamkan kasur dan kipas angin untuk kami. Ibu kosnya pun menjamu kami
dengan teh dan roti untuk sarapan. Ah, ada orang-orang baik di Jakarta.
Saya
pun mengajak orang tua saya untuk jalan-jalan. Ternyata orang tua teman saya
ingin ikut. Saya mengajak teman saya untuk ikut juga, tapi katanya dia tak
bisa. Ah, saya benar-benar tak tahu jalan pikirannya. Sepanjang perjalanan,
saya tak bisa menikmati perjalanan. Masih ada rasa marah terhadap teman saya
yang tega terhadap orang tuanya. Mungkin, dia punya alasan lain, tapi kenapa
dia egois? Orang tuanya sudah datang jauh-jauh dari kampung untuk menjenguk
anaknya, tapi mengapa dikecewakan? Jujur, saya bahkan tak bisa memaafkan
kesalahannya itu.
Perjalanan
kami ke Monas pun sudah terlalu siang. Panas, tapi semoga bisa membuat orang
tua saya bahagia. Saya tak bisa menutupi kekesalan saya sepanjang jalan. Ayah
saya pun sangat tahu kepribadian saya. Ayah saya mencoba untuk tersenyum
menyembunyikan kelelahannya sepanjang perjalanan. Bahkan, saat pulang kami
memutuskan untuk pergi naik TJ di dekat gambir. Ternyata itu harus putar dulu.
Kami transit di Matraman. Antrean sungguh ramai. Kami berdesak-desakan. Saya
tak tega menyaksikan orang tua saya ikut berdesak-desakan. Mereka pasti sudah
lelah. Tapi lagi-lagi ayah saya hanya bilang ‘tak apa-apa, ayah bahagia’. Itu
hanya buat mendamaikan saya yang sedang menyembunyikan tangis. Berjam-jam
menunggu TJ, tapi tak kunjung datang. Saya benar-benar tak tega membawa orang
tua saya dalam keadaan seperti itu. Ditambah lagi adik saya ngambek, entah
kenapa. Belum lagi orang tua teman saya yang lumayan ‘rewel’. Ah, saya sangat
membenci hari itu! Saya pun memutar otak untuk naik kopaja saja biar cepat.
Sopir kopaja terlalu kencang dalam mengendarai. Bisa dibilang seperti sedang
mabok, sangat seram. Saya hanya berdoa semoga kami selamat sampai tujuan.
Kami
turun di depan Mulya Bussines park (MBP) komplek kampus saya. Saya pun
mengenalkan kepada ayah saya tentang kampus kebanggaan saya itu. Saya tahu,
ayah saya sangat bangga terhadap anaknya. Saya bercerita di sepanjang
perjalanan saya di MBP. Lalu kami menelusuri lorong Cikoko, berharap ada
penjual bakso. Namun, saya harus mengantarkan orang tua teman saya itu ke
kontrakannya dulu dan kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari warung
bakso. Kami makan di warung bakso surga makanan. Ada menu bakso dan mie ayam.
Ini pertama kalinya, kami makan bersama di Jakarta.
Lalu,
kami pindah ke kosan dekat Jefri. Untungnya Jefri baik sekali. Kami pun bersama
tidur di ruangan kos yang cukup untuk kami berempat. Kami bercerita tentang
banyak hal yang kami lalui bersama. Saat malam telah larut, saya mendengah ayah
mendengkur. Saya tahu ayah sangat lelah. Ah, maafkan saya tak bisa memberi
pelayanan yang terbaik. Lalu, saya berpikir sebelum saya punya rumah sendiri,
sebaiknya jangan pergi ke Jakarta dulu agar tak seperti ini. Sepertinya saya
salah mengungkapkannya kepada orang tua saya. Ah, sebenarnya, saya tak ingin
mereka terlunta-lunta seperti itu. Saya tak ingin mereka kelelahan seperti itu
lagi. Tapi ayah saya tetap menampakkan wajah bahagia. Saya tahu, sebenarnya
ayah saya sungguh lelah. Rencana mau tinggal beberapa hari, harus pupus
alasannya ingin kembali bekerja di kampung. Saya tahu, ayah saya tak ingin
membebani anaknya. Tak ingin membuat saya khawatir. Saya tahu, ayah saya mabok
darat akibat ulah sopir kopaja yang ugal-ugalan. Saya tahu, ayah saya kepanasan
saat berjejalan menunggu datangnya TJ. Saya tahu, ayah saya mencoba untuk tetap
tersenyum. Saya tahu itu semua. Ah, maafkan saya.
Akhirnya,
orang tua saya kembali keesokan harinya. Saya mengantar ke Pulogadung lagi.
Saya berpikir, teman saya sudah berubah pikiran untuk mengantarkan orang tuanya
pulang, tapi ternyata tebakan saya salah. Dia tetap membiarkan orang tuanya
pulang sendiri. Ah, saya berpikir jangan sampai saya seperti itu. Jam 12 siang
bus jurusan Blora pun berangkat, saya hanya bisa berdoa mereka sampai tujuan
dengan selamat. Kejadian ini sangat membuat saya tak bisa memaafkan diri
sendiri. Saya berjanji akan sukses nanti dan membahagiakan orang tua saya.
Terakhir saya tahu, ayah saya sakit dua hari karena kelelahan. Tapi ayah saya
tak pernah menceritakannya. Saya tahu dari ibu.
Desember
2014. Tak ada kabar yang lebih menyakitkan dari kabar kematian. Siang itu saya
bekerja, tiba-tiba adik saya menelepon mengabarkan kalau ayah masuk rumah
sakit. Saya tak bisa pulang hari itu juga dan saya memutuskan untuk pulang
keesokan harinya. Ayah saya koma secara tiba-tiba. Katanya pendarahan otak
tengah, saya sangat khawatir! Airmata tak bisa dihentikan, tapi saya mencoba
untuk tegar. Jam 12 siang keesokan harinya saya berangkat dari Jakarta menuju
Blora. Sepanjang perjalanan saya berharap ayah saya baik-baik saya, hanya
tertidur dan akan bangun saat anak perempuannya kembali. Adik saya mengabarkan
bahwa ayah baik-baik saja di rumah sakit. Tujuhbelas jam pun terlampaui. Saya
sudah kuatkan diri untuk tak menunjukkan rasa sedih yang mendalam saat tiba
nanti. Saya bohong pada diri sendiri. Saya membohongi semua orang kalau saya
terlihat kuat, padahal sebenarnya hati saya hancur. Saya lemah dan saya rapuh!
Sesampai
di Blora, saya dijemput adik ayah saya, tante. Sepanjang jalan, tante saya
menunjukkan ekspresi seperti biasa. Tapi saya tahu ada yang ditutupi saat itu.
Saya menguatkan hati. Saat di perempatan desa saya, mobil melaju menuju arah
rumah, padahal yang saya tahu, ayah saya masih di rumah sakit. Saya pun
menanyakan hal tersebut. Tante saya masih tak mau mengaku. Dengan hati-hati,
tante saya pun mengatakan sejujurnya bahwa ayah saya sudah tiada. Saya
terpukul, tapi saya mencoba untuk tak menangis. Tak mau menunjukkan kesedihan
pun kepada semua orang. Sakit! Rasanya sesak di dada! Sesak sampai sekarang
bahkan jika saya ingat, dada saya penuh dengan sesak! Saya tak ingin ibu saya
bertambah sedih jika saya sedih.
Saat
saya turun dari mobil, saya sudah menyaksikan rumah saya terbuka lebar. Di
sana, ada dipan dengan sebuah lilin di atas meja. Ayah saya di sana! Terbujur
kaku. Saya mendekatinya tanpa setetes air mata. Bukan berarti saya senang, saya
sangat terpukul sampai-sampai saya tak bisa mengatakan apa-apa. Saya bingung
berekspresi apa. Saya tersenyum pada ayah. Saya usap wajahnya. Wajah yang
selama 22 tahun telah menjaga saya. Saya katakan pada ayah saya, “Ini adalah
yang terbaik, terima kasih sudah menunggu kedatangan saya. Saya sangat sayang
ayah!” Nenek saya mendekati saya dan meng’arem-arem’ saya takut-takut kalau saya
menangis keras. Tapi saya tak pernah menangis di depan mereka.
Ibu
saya sudah menangis sejadi-jadinya. Adik saya pertama sangat tegar, mengurus
semuanya sendirian. Mulai dari perlengkapan pemakaman sampai seusai pemakaman,
adik saya yang mengurusnya. Saya tak mau menambah kesedihan untuknya. Adik saya
kecil masih SMA, pasti dia sangat terpukul. Dia bukan tipe anak yang
menunjukkan kesedihan, tapi saya tahu dikala dia sendirian itulah dia menangis.
Sosok lelaki yang menangis! Ya, saya tahu itu semua. Saya mengerti. Bahkan saya
mencoba untuk tersenyum kepada tetangga yang ta’ziah. Saya kuat ikut memandikan
ayah saya. Menyaksikan ayah saya untuk yang terakhir kalinya sebelum
dimakamkan. Saya ikut ke kuburan mengantarkan ayah sampai ke rumah terakhirnya di
dunia ini. Saya yakin, ayah saya berada di sisi Allah. Ah, ayah yang terbaik di
dunia! Ayah nomor satu yang pernah saya punya! Ayah yang mengajarkan kepada
anak-anaknya untuk selalu rukun dan tegar! Saya sangat sayang ayah!
Maaf
saya tak bisa berfoto bersama keluarga saat saya wisuda. Tapi saya tahu, kau
datang menyelinap di barisan untuk menyaksikan anakmu ini wisuda! 9 September
2015, saya wisuda! Itu kado untuk ulang tahunmu 13 September tahun lalu! Maaf,
aku terlambat memberikan kado wisuda untukmu. Tapi aku yakin kau tahu itu! Kau
turut bahagia di alam sana!
Hampir
2 tahun ayah tiada. Ibu juga sudah menikah lagi beberapa bulan yang lalu untuk
mengisi kekosongan. Ya, saya tahu, ibu masih butuh pendamping hidup. Apalagi
saya tinggal jauh dari Ibu. Saya sudah serahkan keputusan pada adik tertua
saya. Apa pun keputusan adik saya, saya ikut karena saya tahu dia yang lebih
tahu segalanya yang terjadi di kampung. Dia juga menggantikan posisi ayah
sebagai tulang punggung keluarga. Ah, seorang anak yang belasan tahun lalu
tampak tak pandai matematika, selalu mendapat peringkat terbawah, dan selalu
menangis saat saya ajari mata pelajaran sekolah, siapa sangka dia jauh lebih
pandai dati sebelumnya. Bahkan dia sangat cerdas dalam bertindak! Dia mampu
membagi waktu antara bekerja dan kuliah. Pemikirannya jauh di luar apa yang
saya bayangkan dulu. Saya tahu, dia tumbuh berkembang berdasarkan pengalaman
hidup. Pengalaman yang selama ini mampi mendidik dia sampai secerdas itu. Dia
punya pemikiran jauh lebih dewasa dari usianya. Ah, dia adalah lelaki terkuat
kedua setelah ayah!
Bulan
November 2016, dia akan menikah! Ya, adik laki-laki saya yang hebat itu
memutuskan untuk menikah. Sebenarnya, saya ragu. Satu sisi, saya sedih dan
kebencian saya terhadap calon istrinya masih belum bisa reda semenjak tragedi
pemukulan siang itu. Saya pulang kampung dan adik saya sedang bertengkar dengan
calon istrinya. Ayah saya sewaktu masih hidup pun mengetahui karena aduan dari
si perempuan. Ayah marah dan memukul adik saya sampai terjatuh. Menginjak
kepala adik saya hingga adik saya hampir tak sadar diri. Saya tahu, amukan ayah
saya itu akibat ketakutannya kalau adik saya hanya main-main dengan calon
istrinya itu. Ayah saya mendidik adik saya untuk tak seperti itu. Kalau serius
ya serius, intinya jangan sampai memainkan anak orang. Sepertinya terjadi
kesalahpahaman. Semenjak itu, saya rasanya tak ingin melihat perempuan itu di
keluarga saya. Sampai tadi malam pun saya masih tak yakin untuk datang ke
pernikahan itu atau tidak. Saya ragu!
Perbincangan
semalam membuka hati saya untuk memberi restu pernikahan adik saya itu. Setelah
mendengar segala cerita selama saya tak ada di kampung. Saya terbuka pandangan
baru. Dan memang saya harus mengikhlaskan keputusan adik saya itu. Dia
memutuskan untuk segera menikah agar meringankan beban ibu. Setidaknya, kalau
dia menikah maka ibu tak perlu memikirkannya lagi. Lalu, jika dia menikah maka
akan ada anggota baru yang akan membantu ibu. “Biar ibu tak terlalu terbebani,”
katanya. Cara dia menemukan solusi dalam setiap permasalahan keluarga di
kampung pun sungguh membuat saya meneteskan air mata. Sejak kapan dia belajar
tentang rumitnya kehidupan ini? Bahkan dia tumbuh terlampau cepat. Saya kembali
berpikir dan mencerna cara pandangnya itu. Saya membenarkannya. Saya akan
berusaha untuk menyambung silaturahmi lagi dan ikhlas jika ada anggota baru
memasuki keluarga kami. Walau cukup sulit, tapi saya pasti berjuang. Semoga
lebih baik adanya. Aamiin. Semoga November tahun ini indah! Saya akan datang di
pernikahanmu Dik! Sukses selalu!
Dan
saat ini, saya masih berjuang untuk hal lain. Kadang kita selalu memandang
kehidupan orang lain lebih baik dari kita. Kadang kita selalu menganggap orang
lain lebih beruntung dari kita. Ah, belajar bersyukur itu memang tak mudah.
Ikhlas pun banyak tantangannya. Masih belajar untuk ikhlas dan bersyukur. Akan
ada cara berbeda untuk meraih sebuah kesuksesan.
8/7/16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar