#29 April 2015
Well, alhasil hari ini saya
sidang jugaaa... >.< Walaupun pengumuman lulusnya ditunda hingga revisi. Yaa...
yang pasti saya sudah lega... >.< Akhirnya nambah dosen pembimbing lagi.
>.< Sebenarnya dari dulu pengen seperti itu, tapi tak tahu harus memulai dari
mana. >.< Semoga jalannya... >.<
Hari ini, sangat berkesan.
Mungkin awal dan ada pencerahan untuk kelulusan tahun ini. Mau mulai cerita
dari mana ya? Hmm, baiklah akan aku mulai dari semalam. Begini ya rasanya mau
sidang skripsi?? Malam pun tidur tak nyenyak. Kepikiran dan sampai kebawa
mimpi.
Malam hari bangun, langsung
pegang laptop. Revisi PPT lagi. Lantas, cek ulang lampiran. Pengen rasanya
nambah hari, tapi nggak mungkin. Ya harus dilakukan dan dihadapi!
“Berjuang sehormat-hormatnya.” – Nyi Ontosoroh, Bumi Manusia.
Alhasil kucoba untuk tenang dan
menyelesaikan satu per satu. Done! Berangkat ke kampus dengan semangat juang!!!
Hari ini sidang di ruangan D2.08L.
Ruangan sidang masih sepi karena aku berangkat lebih awal 45 menit. Lampu masih
gelap, ruang sebelah ternyata ada sidang juga anak 2011. Entah kenapa, tak ada
rasa takut. Hanya sedikit deg-degan saja, entah itu deg-degan biasa atau rasa
takut. Kusiapkan lagi segala materi yang ada. PPT, daftar lampiran yang harus
aku susulkan. Aku juga merasa sangat-sangat kurang skripsi yang aku kumpulkan
tanggal 30 Maret itu. Lampiran tak ada, typo masih banyak, dan aku masih
berjuang untuk memperbaikinya di semalam sebelum sidang. Aku tak tahu harus
cerita ke siapa tentang masalah ini.
Dosen penguji yang pertama
kutemui adalah Pak Hatim. Ya, dari luar aku mendengar suara anak-anak 2011 yang
sedang menunggui hasil sidang ruang sebelah. Di lorong depan ruangan terdengar,
“Pak Hatim kok pakai baju rapi?” Dari percakapan itulah, aku yakin beliau
adalah dosen pengujiku.
Jadwal yang seharusnya tepat
waktu, beberapa menit tertunda. Padahal jadwal seharusnya jam setengah 3 atau
14.30, tapi sampai pukul 14.43, ruangan masih sepi. Barulah pukul 14.45
beberapa dosen baru tiba di ruangan. Ya, aku masih mengira itu adalah hal yang
wajar. Berhubung, dua dosen yang hadir dalam sidangku baru saja selesai di
sidang sebelumnya. Aku menyiapkan presentasi, tapi laptopku bermasalah tak bisa
dihubungkan dengan proyektor. Alhamdulillah ada staf ASO yang membantu sehingga
saya bisa menyiapkan presentasi.
Beberapa menit selanjutnya, aku
diminta untuk meninggalkan ruangan. Mungkin para dosen siap-siap untuk
keberlangsungan sidang. Well, saya dipanggil Ms Puti untuk masuk ke ruang
sidang. Sudah ada Pak Hatim, Bu Mima, Pak Wit, dan Ms Puti. Kali Ms Puti jadi
notulen, sedangkan Bu Mima jadi penguji pertama dan Pak hatim jadi penguji
kedua. Aku dipersilakan memulai presentasi.
Gugup campur aduk jadi satu.
Aku mencoba untuk menghela napas panjang untuk meyakinkan diri aku sidang hari
ini. Suasana presentasi hening. Hanya suaraku yang terbata-bata. Kuharap hari
ini segera selesai. Aku menyelesaikan presentasi dengan tambahan satu menit
untuk kesimpulan dan saran. Ahh, benar-benar menegangkan. Tapi akhirnya kututup
presentasi dengan terima kasih.
***
Tibalah sesi tanya jawab. Pak
Wit mempersilakan Bu Mima sebagai penguji pertama. Aku sudah deg-degan, tapi
mencoba untuk tenang. Kusiapkan segala jurus pamungkas.
“Dian, kamu sedang sakit atau
bagaimana kondisi kamu saat ini?” tanya Bu Mima.
“Hmm, sehat Bu. Hanya sedikit
sakit batuk,” jawabku yang memang saat itu aku sedang batuk tak sembuh-sembuh.
“Kamu siap jika nanti kamu
harus banyak revisi total skripsi kamu?” tanya Bu Mima lagi memastikan.
“Siap Bu. Harus siap dengan
segala hasilnya,” jawabku yakin.
Beberapa kali Bu Mima membolakbalikkan
halaman skripsiku. Beberapa pertanyaan dilontarkan kepadaku. Aku mengeluarkan
beberapa berkas yang memang merupakan lampiran skripsiku. Ya, aku tak sempat
melampirkannya di skripsi yang aku ajukan dalam sidang. Sempat Ms Puti
mengingatkan kepadaku dan malah mungkin bertanya alasan mengapa aku tak melengkapi
dan melampirkan dokumen-dokumen pendukung itu. Aku hanya bisa menjawab, kemarin
tak sempat. Ah, mungkin itu jawaban konyolku. Ya sangat konyol!
Lalu, aku hanya bisa
menyusulkan dokumen itu satu per satu. Betapa konyolnya aku, setiap pertanyaan Bu
Mima aku jawab dengan dokumen lampiran yang baru aku susulkan di hari sidang!
“Kamu nyicil skripsi ya?”
celetuk Pak Hatim.
Aku hanya senyum untuk
mengurangi rasa grogi. Padahal dalam hati, aku benar-benar grogi dan takut. Lantas,
berulang-ulang hal yang sama kulakukan: menyusulkan lampiran skripsi! Aku
yakin, seluruh yang datang pasti kesel dan lelah melihat ulahku yang ‘konyol’
itu. Pasti Bu Mima sangat jengkel melihat ulahku yang demikian. Bahkan Bu Mima
pun sampai update status di media sosial kurang lebih “Ini bukan uji skripsi,
tapi uji kesabaran.” Maafkan aku Bu.
Mungkin, ini adalah hal yang
tak lazim. Bu Mima pun sampai berkata, “Skripsi kamu ini kayak novel tapi tiap
bab tokohnya berbeda. Tak ada benang merahnya, kurang sistematis.”
Aku hanya mengiyakan sembari
refleksi diri. Aku mungkin merasa drop, tapi ya harus dilalui! Tak boleh
menyerah. Terima kasih Bu Mima, masukan dan kritik dari Bu Mima sangat membuka
pikiranku untuk menyelesaikan semuanya dengan lebih baik lagi. Setidaknya aku
tak stuck di hal yang sama: bingung
melangkah dan mana yang harus kuperbaiki. Sepertinya kutelah jenuh memikirkan
skripsi ini.
Selanjutnya tibalah penguji
kedua: Pak Hatim.
Tak ada kata yang dapat
kukatakan lagi. Hatiku berkecamuk campur aduk. Mungkin Pak Hatim hanya sekadar
curhat tentang diriku sekarang dengan diriku yang dulu. Mungkin sosok yang Pak
Hatim temukan jauh berbeda dengan yang dulu. Untuk urusan tulisan, pasti Pak
Hatim sangat kecewa membaca skripsi aku yang hancur-hancuran.
Dilema itu terjadi saat Pak
Hatim mulai bercerita tentang kebiasaan kami berdiskusi, menulis, dan
bercerita. Kosan Woro dengan acara surprise dan rujakan bersama teman-teman
section B pun jadi menu utama. Aku bisa melihat, bagaimana emosinya Pak Hatim
dalam sidangku. Mungkin semua yang hadir dalam sidangku tak tahu menahu soal
yang kami bicarakan, tapi yang pasti itu membuat aku kalah telak, skak mat!!!
Bagaimana keluarga
disangkutpautkan. Bagaimana aku tak menangis? Ini menyoal ibu, bapak, kedua
adikku yang juga disebutkan. Bagaimana aku yang jarang bimbingan dan tiba-tiba
update status pergi ke Jepang! Ahh, ini sangat menyesakkan batin. Satu pertanyaan
Pak Hatim yang aku pun susah menjawabnya, “Bagaimana caramu menjelaskan ke
Bapakmu, Ibumu kamu tak lulus tahun kemarin?”
Jujur, aku ingin banyak cerita
panjang, tapi aku bingung harus memulai dari mana. Aku hanya bisa nangis
sesenggukan membenarkan kata-kata Pak hatim. Satu kalimat yang mungkin itu
adalah puncak kekecewaan Pak Hatim, “SAYA CUMA MAU, KAMU JANJI SAMA SAYA, KAMU
BISA BAHAGIAIN IBU KAMU, BAPAK KAMU YANG ADA DI SURGA, ADIK-ADIK KAMU!”
Jleb... Nusuk ke jantung! Aku
makin nangis sesak. Ah, aku tak bisa berkutik apa-apa.
“Pak, sebenarnya saya memang
susah untuk nulis nonfiksi!” ucapku lirih.
“Kamu bisa Dian! Kamu sebenarnya
bisa! Kamu Cuma kurang fokus! Kurang komitmen! Kalau kamu fokus, saya jamin
tulisan kamu pasti bisa selesai dalam 1 bulan malah sangat bagus!” kata Pak
Hatim meyakinkan.
“Kamu tahu, tulisan kamu yang
ada di kompas kampus, itu nonfiksi dan kamu bisa! Tulisan-tulisan kamu masih
saya simpan sampai sekarang!” tambah Pak Hatim.
Aku makin nangis. Berusaha
mengingat tahun-tahun lalu kami menyukai dunia tulis-menulis dan berlomba untuk
bisa masuk kompas kampus. Ahhh, memang semua sudah ada jalannya yang mengatur.
Aku pun hanya terdiam sambil menangis penuh airmata. Aku yakin ini adalah yang
terbaik.
Aku keluar ruangan sidang.
Kulihat Woro dan Jennie sudah menunggu. Aku bilang ke Woro, apapun hasilnya aku
akan terima. Setidaknya aku telah berjuang sehormat-hormatnya dan sekuat-kuatnya
seperti Nyi Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Aku
masih berisak dan lembam. Pasti ada jalan.
***
Cukup memakan waktu. Pasti ada
perdebatan di antara dosen penguji di ruang sidang. Aku tetap menunggu hingga
dipanggil oleh Ms Puti. Pak Wit memulai pembicaraan yang mengatakan bahwa hasil
sidang tidak bisa diumumkan sekarang alias ditunda sampai revisianku selesai.
Aku hanya diberi waktu 2 minggu. Aku mencoba menyelesaikan dengan baik. Inilah
jalan terbaik yang aku harus tempuh.
Seusai sidang aku langsung
menemui Pak Hatim. Hari esoknya kami bertemu di kampus.
***
30 April 2015. Pagi ini aku
bertemu Pak Hatim. Aku cerita banyak hal sampai aku menjawab pertanyaan tentang
caraku tahun lalu berbicara ke orang tua tentang alasan tak lulus. Di akhir,
Pak Hatim memberi masukan untuk aku fokus selama dua minggu ini. “Malam baca,
pagi habis subuh nulis! Harus komitmen!” begitulah pesan Pak Hatim.
“Pak Hatim, dua minggu ini saya
fokus seperti yang Bapak usulkan untuk saya. Betapa saya susah tidur dan saya
berjuang untuk bisa lulus tahun ini sangat terasa. Terima kasih atas pengalaman
di ruang sidang. Mungkin saya memang perlu energi positif untuk bisa
menyelesaikan skripsi saya tahun ini. Terima kasih telah membuat sidang skripsi
saya sangat spesial dan penuh luapan emosi. Saya bangga bisa bertemu dosen
menginspirasi seperti Bapak. Terima kasih banyak!” tulisku dalam blog ini.
Lewat tulisan ini, kutitipkan pesan “Tetaplah menjadi dosen yang selalu
menginspirasi siapa pun di dalamnya, Pak! Saya janji untuk membahagiakan Ibu,
Bapak, dan kedua adik saya. Terima kasih.”
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar