Hari
ini entah mengapa saya tergelitik untuk menulis. Pikiran saya dipenuhi oleh
uneg-uneg edisi lebaran seorang teman. Ya, tentang perbincangan yang paling
ditunggu-tunggu kedatangannya: THR. Tak kaget jika THR menjadi sasaran empuk
meme-meme editan atau sekadar lelucon yang disebar di media sosial. Sepertinya,
THR seperti harta karun ya?
Sebagai
seorang pekerja tak tetap seperti saya, THR bukanlah hal yang menjanjikan.
Entah, status saya apa dalam pekerjaan saya. Dibilang guru, saya bukanlah guru
sekolahan. Saya hanya guru tanpa status di tempat les-lesan atau bisa dibilang
bimbel. Jadi THR pun menjadi hal nomor sekian yang tidak terlalu dispesialkan.
Dikasih ya diterima, tak dikasih ya belum rezeki. Saya yakin Allah telah mencukupkan
rezeki untuk ciptaannya. Belajar bersyukur!
Tetiba
saya ingat sosok seorang ayah yang telah menemani saya selama hampir 23 tahun.
Selama itu pula, ayah saya bekerja sebagai reparasi sepeda di kampung.
Penghasilannya jauh tidak tetap daripada pekerjaan saya saat ini. Kalau ramai,
sehari bisa dapat ratusan ribu, kalau sepi ya dapat dua puluh ribu sudah
senang. Ayah saya selalu menghargai yang ia dapat. Buktinya, ayah saya bisa
menghidupi seorang istri dan tiga orang anak. Dari rumah yang hanya sepetak dengan
tempat tidur daun pintu yang dilepas hingga membangun rumah tembok yang nyaman
dihuni, ayah saya tetap jalani pekerjaan tersebut. Ayah saya juga tak pernah
mendapatkan THR setengah gaji ataupun satu gaji penuh per lebaran. Ayah saya
tak pernah mengeluh dan mempermasalahkan THR yang tak pernah ia terima. Semua
disyukuri dengan kegigihan bekerja keras. Allah pasti menolong hamba-Nya yang
mau berusaha. Ya, ayah saya adalah ayah nomor satu di dunia ini. Mengajarkan
kepada saya untuk selalu berusaha keras dan bersyukur.
Ah,
sepertinya saya tak pandai bersyukur. Dulu, setelah lulus SMA dengan usia saya
yang belum genap 17 tahun, mencari pekerjaan adalah hal yang sangat susah.
Penuh perjuangan! Sampai saya relakan ijazah SMP saya dengan nilai UN
matematika 100 kebanggaan saya itu rusak. Ya, rusak karena ambisi seorang ayah
agar anaknya bisa bekerja untuk tidak menjadi benalu keluarga. Itu dulu saat
kondisi keluarga saya dalam masa sangat sulit. Tahun lahir saya 1992 pun diubah
dengan spidol menjadi 1990. Saya dituakan demi bisa masuk pabrik rokok daerah
tempat tinggal saya. Alhasil, akal jahat itu tak pernah berhasil karena ijazah
asli harus ditunjukkan saat pendaftaran. Gagallah jalan saya untuk bekerja.
Sakit hati? Ya pastilah! Saat itu saya sangat membenci ayah saya, tapi keadaan
memaksa semua itu terjadi. Sebuah pertaruhan! Tapi saya sadar, ayah saya sedang
berjuang untuk masa depan saya. Saya sadar, saya harus membantu ayah saya
bangkit! Dan saya tak pandai berbuat sesuatu....
Saya
pernah diantar ibu melamar di toko emas tengah pasar, tapi ditolak. Kata si empunya, saya akan dihubungi, tapi
sampai sekarang tak pernah ada nomor toko emas yang masuk di HP saya. Artinya,
saya ditolak. Menjadi pengangguran adalah hal yang membosankan! Ada rasa sesak
di dada saat menyaksikan kedua orang tua bekerja membanting tulang, sedang kita
hanya duduk diam, pengacara-pengangguran banyak acara. Saya menjadi anak yang
tak tahu malu! Benalu keluarga!
Untungnya,
ada tetangga baik hati yang mengajak saya bekerja di sebuah toko roti. Kurnia
Bakery di dekat Pasar Blora sekitar alun-alun kota. Toko roti ini cukup
terkenal dan turun-temurun dari Om Penco lalu dilanjutkan oleh anaknya, Pak
Ridwan. Keluarga ini Chinese. Kadang mereka sangat baik kadang mereka sangat
mengekang. Inilah kehidupan dunia kerja untuk pertama kalinya. Welcome to The Busy Life! Pekerjaan
serabutan!
Mengapa
saya katakan serabutan kerja di toko roti? Ya, saya menginap di mes. Saya
merasakan pertama kalinya jauh dari keluarga dan tinggal di tempat orang. Kalau
tak rajin, kau akan dicap “pemalas”! Jadi, pagi-pagi saya harus bangun pagi,
nyapu halaman, ngosek selokan, dan nyuci piring. Jangan salah, selokan bekas
limbah pabrik ini sungguh berlumut. Kalau tak dikosek sehari saja, selokan bisa
meluber ke halaman dan bau busuk. Pernah suatu ketika, saya kosek selokan yang
mampet. Ternyata banyak sampah limbah di sana. Tak jarang tangan saya langsung
nyebur ke selokan untuk memastikan sampah tak ada lagi dan aliran tak
tersumbat. Saya juga terbiasa nyapu halaman dengan dedaunan kering kebun dan
pohon jambu. Seusai nyapu dan ngosek selokan, saya beralih ke ruang makan.
Tumpukan piring menghampiri, lantas saya membersihkan tangan dan nyuci piring.
Saya tak pernah meminta orang lain untuk memuji. Saya hanya melakukan tugas dan
kewajiban saya ikut orang. Ya, namanya ikut orang, ya harus tahu diri. Saya
yakin keikhlasan akan selalu membawa berkah.
Orang
pertama yang bangun pagi adalah Tante, istri Om Penco. Bagi saya, tante adalah
orang baik yang pernah saya temui di tempat kerja ini. Dia bos paling baik. Tante
tak banyak bicara, tapi dia seorang pemerhati. Tak sesekali kalau ada makanan
yang tak dimakan, Tante memberikannya untuk saya sarapan seusai nyuci piring di
dapur. Jika saya salah melakukan pekerjaan, Tante menegur saya dengan cara yang
baik dan memberi tahu cara yang benar. Tante tak serta-merta marah. Jika ada
perdebatan saya dengan Om Penco, Tante selalu menjadi penengah, menyelidiki
masalah dengan kepala dingin. Tante juga menasihati saya untuk selalu
hati-hati. Ah, saya rindu kebaikan Tante.
Lantas,
jangan salah! Kerja di toko roti ini tak seperti toko roti Dapur Coklat atau
Holland Bakery seperti di Jakarta dengan karyawan yang cantik-cantik dan
bersih. Di toko tempat saya kerja, tak hanya menjual roti atau makanan, tetapi
juga menjual bahan makanan kiloan. Bisa dibayangkan bukan? Bayangkan saja,
bekerja di toko margarin kiloan, tepung kiloan, dan berbagai jajanan kiloan
juga. Celemotan walaupun tak sesekali Bu Nita, istri Pak Ridwan selalu
mengawasi penampilan para pelayan. Harus pakai lipstick, kalau nggak potong
gaji lima ribu. >.<
Saya
bekerja serabutan mengikuti keinginan pelanggan. Kadang ada pelanggan yang baik
sekali. Mereka membeli dengan sopan dan memanusiakan para pelayan toko. Saya
pernah mendapatkan pelanggan yang sangat baik. Namanya Pak Ngawen. Bapak ini
selalu tersenyum. Usianya kira-kira 50 an, tapi masih jalan kemana-mana. Jika
menelepon, Pak Ngawen selalu mencari saya dengan pesanannya roti cream rasa
bluebery dan coklat. Pak Ngawen juga sangat sabar, kadang mengajari kami bahasa
China, mengeja mata uang, dan hitungan dalam bahasa, yang saya baru tahu
setelah saya di Jakarta kalau itu adalah bahasa Mandarin. Ah, semoga Allah
selalu memberi kesehatan kepada Pak Ngawen. Aamiin. Tak hanya itu, tak sekali
saya juga mendapat pembeli yang sangat buru-buru. Saya pernah kena semprot,
dimarahi pelanggan gara-gara dinilai lelet. Padahal kalau kau tahu, saya sudah
berjuang mati-matian untuk memberi pelayanan yang terbaik. Tapi mungkin memang
sedang bad mood, jadi hawanya kena omelan terus. Ah, semua itu menjadi
pengalaman tersendiri bagi saya.
Jika
ingat gaji pertama yang saya dapatkan bekerja di toko roti ini adalah enam
puluh ribu selama 7 hari dengan jam kerja 9-10 jam tiap hari. Bisa dibayangkan bukan? Hari minggu
adalah hari paling bahagia. Ya, karena terima gaji. Bagi saya di tahun 2009,
gaji Rp60.000 seminggu sudah sangat besar. Tak jarang, gaji itu terpotong uang
sabun cuci sepuluh ribu dan jajan keripik singkong lima ribu, sepuluh ribu
untuk anggaran jaga-jaga beli tahu isi Rp900 per biji setiap harinya. Sisanya,
ditabung untuk anggaran pulang. Bagi saya, gaji Rp240.000 tiap bulan sudah
pencapaian luar biasa untuk kehidupan di desa. Intinya, daripada saya nganggur
lebih baik saya bekerja, apa pun itu yang penting halal.
Perjalanan
panjang untuk saya selama 6 tahun di Jakarta. Tak terasa ternyata sudah lama.
Kecintaan saya dalam mengejar impian-impian saya pun mengantarkan saya di
Jakarta. Saya lulus kuliah setelah 4 tahun menjalani pembelajaran formal dan
satu tahun saya cuti hingga akhirnya saya menyelesaikan skripsi saya setelah
ayah saya telah tiada. Rasa penyesalan itu pun ada! Saya sangat menyesal, tapi
itu sudah jalan Allah agar saya tetap ikhlas dan berjuang keras pantang
menyerah. Saya pun berjuang hingga sekarang, merantau di ibukota yang kata
orang kejam, sampah bayar, toilet pun bayar, bahkan parkir ditungguin saja kau
harus bayar dua ribu. Ternyata jalan hidup saya memang harus sampai di tanah
perantauan.
Saya
bekerja di sebuah bimbingan belajar. Saya memang memutuskan untuk tak mendaftar
di kantoran atau sekolah formal, ada target lain yang ingin saya capai. Walau
saya bukan pekerja kantoran, tapi saya belajar banyak. Saya hanya bertahan 2
tahun bekerja ikut orang. Banyak hal yang saya pelajari tentang negosiasi dan
keprofesionalan. Saya belajar bagaimana cara mengapresiasi kinerja orang lain.
Saya belajar cara membahagiakan karyawan. Saya belajar untuk membedakan antara
bisnis dan sosial. Ya, saya belajar itu semua. Hingga akhirnya, saya memutuskan
untuk resign dan mencari kehidupan lain. Walau saya tahu, keputusan yang saya
ambil berisiko. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya sukai, tanpa paksaan.
Saya tak bisa terus-terusan membohongi diri sendiri untuk berpura-pura tegar,
padahal rapuh dan koyak. Saya ingin menemukan jalan hidup saya sendiri. Dunia
kerja semakin kejam, Guys! Kita harus tingkatkan kemampuan kita. Kalau tidak, kita
akan kalah bersaing! Target selanjutnya adalah untuk ibu dan adik! Bekerja
untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain!
Jakarta
Jun 1, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar