Senin, 20 Juni 2016
Indahnya Perbedaan
Perbedaan itu membuat kami saling mengerti
dan mengasihi.
Hari
ini saya belajar banyak tentang sebuah perbedaan. Siang tadi, saya berkunjung
ke kosan kawan seperjuangan saat kuliah. Namun, ternyata dia ada jadwal ke Pura
sebelum berangkat ke Bali. Kawan saya beragama Hindu. Saya memutuskan untuk
menghampirinya di Pura tempat dia sembahyang. Tepatnya di Pura Rawamangun.
Saya berangkat jam setengah duabelas dari
Pancoran naik Trans Jakarta (TJ) ke arah UKI. Penumpang TJ yang saya naiki
lumayan sepi. Hanya beberapa bangku yang terisi, mungkin kalau mau bisa pindah-pindah
tempat duduk kali ya.... Mungkin karena hari Minggu juga, tak terlalu ramai.
Dari halte UKI, saya transit arah Tanjung Priok. Nah, dari sinilah kerasnya
Jakarta dimulai. Antrian cukup panjang dan bejubel di pintu arah Tanjung Priok.
Benar kata kawan saya, jam siang entah hari libur atau hari kerja, TJ arah
Tanjung Priok itu selalu penuh. Nggak bohong ternyata. J Haha.
Setelah lima belas menit menunggu, TJ pun
datang dan orang-orang pun berebut masuk. Petugas TJ mengingatkan penumpang
untuk berhati-hati dan mengingatkan kembali arah tujuan Tanjung Priok. Saya pun
memasuki TJ dengan hati-hati sambil mencari pegangan. Ini nih yang kadang
membuat saya tak suka naik kendaraan umum. Kalau berdiri, pegangannya cukup
tinggi sehingga membuat tangan saya menggapainya dengan cukup usaha keras.
Maklum, saya tak cukup tinggi untuk itu. Alhasil saya memegang tiang agar lebih
efektif. TJ pun penuh. Saya mengamati sekitar. Tiba-tiba petugas mengingatkan
penumpang laki-laki yang berada di area wanita untuk pindah ke area belakang.
Bahkan ada peringatan kalau masih ada penumpang laki-laki yang masih di area
wanita, bus tidak akan jalan. Ada peningkatan pelayanan ternyata, sudah lama
tak naik TJ. J
Selang
beberapa menit TJ dijalankan, tiba-tiba ada penumpang menanyakan apakah
melewati ---- *saya lupa nama tempatnya, kepada petugas. Sontak petugas
menjawab dan mempertegas kalau tadi dia sudah bilang ini arah Tanjung Priok,
artinya si penumpang tadi salah naik. Menurut saya, jawaban spontan petugas
tersebut cukup tak mengenakkan dengan menyebutkan kalau ini arah Tanjung Priok
dengan nada yang bisa dibilang kesel. Lah, saya sering kayak si penumpang ini,
tak tahu jalan, lokasi, dan kawan-kawannya, apakah TJ ini melewati tempat
tujuan atau nggak, kurang paham. Mungkin si penumpang juga kelewat sih, nanya
setelah sudah naik. Ya salah naik, harap maklum. Tapi, satu hal yang membuat
saya salut dengan petugas ini adalah usai berkata itu, dia menjelaskan dan
memberi arahan dengan baik kepada si penumpang untuk tempat tujuannya. Petugas
ini juga memperhatikan penumpangnya. Sesekali dia mengamati dan menengok
penumpang dari depan ke belakang, mungkin untuk memastikan kami – si penumpang
dalam kondisi baik-baik saja. Lalu, saat ada ibu-ibu naik bersama anak-anak
mereka, petugas ini langsung sigap mengumumkan ke penumpang yang duduk untuk
memberikan tempat duduknya kepada ibu-ibu tadi. Lagi-lagi petugas ini memberi
kenyamanan untuk para penumpang.
Sepanjang
perjalanan TJ, satu hal yang terbesit di kepala saya adalah tentang “komunikasi”.
Ya, dengan komunikasi yang baik akan terjadi interaksi yang baik pula. Contoh
sederhananya, saat kita menginginkan sesuatu, namun kita hanya diam dan tak
mengomunikasikan dengan yang lain, mungkin orang lain juga akan diam karena tak
tahu apa yang sedang kita inginkan. Begitu pula sebaliknya. Komunikasi yang
baik diperlukan untuk menbuat hidup lebih selaras dan damai.
Sebenarnya,
ketika saya berada di angkutan umum, saya suka mengamati dan di saat inilah
otak sepertinya produktif sekali. Harus segera ditulis, kalau tidak pasti
hilang. Tapi hari ini, memori saya menyimpannya dengan baik sehingga saya bisa
kembali menulis. Haha. Oke, balik lagi ke TJ. Banyak hal yang dipikirkan, jadi
muter-muter nulisnya. Akhirnya, saya sampai di halte Kayu Utan. Saya langsung
menghubungi kawan saya. Ternyata dia masih lumayan lama dan baru mau sembahyang
di Pura. Ini pertama kali saya berkunjung ke Pura Rawamangun. Lokasinya pun
saya kurang tahu. Kawan saya ini memberi arahan dan dia akan menjemput di deket
pom bensin. Selang beberapa menit, dia melambaikan tangan dan kami bertemu
kembali setelah awal Juni lalu kami bertemu di bakmi GM. Kami berjalan
menyusuri tepi jalan yang cukup ramai. Ternyata lokasinya tak jauh dari jalan
raya. Dan sampailah kami di Pura Rawamangun.
Ya, pertama kali saya mengunjungi Pura
Rawamangun. Di sana ramai pemeluk Hindu sedang beribadah. Ada juga kantin dan
pedagang menjajakan makanannya, dari mulai jajanan kue cubit, gorengan, aneka
minuman, sampai makanan berat, dan ada juga souvenir. Well, hari ini puasa.
Kawan saya sudah berkali-kali minta maaf kepada saya karena mengajak saya yang
sedang berpuasa ke area banyak makanan dan orang makan. Saya bilang tak
apa-apa. Ya, memang tak apa-apa, saya tak akan terpengaruh kok. J Akhirnya, saya bertemu dengan tiga teman
baru. Teman kawan saya, sama-sama anak perantauan dari Bali. Lalu kami
mengambil beberapa foto bersama dan mereka bersiap-siap untuk sembahyang. Saya
pun izin untuk sembahyang, tapi beda lokasi. Hehe. Di sebelah Pura Rawamangun,
dibangun masjid kokoh kalau tidak salah namanya masjid kampus At Taqwa, kalau
tak salah ingat. Di saat mereka sembahyang di Pura, saya pun bergegas pergi ke
masjid untuk sembahyang.
Satu hal yang saya pelajari lagi. Hidup
berdampingan dengan segala perbedaan tapi mendamaikan. Masjid dan Pura
berdampingan, masjid dan gereja berdampingan, dan hidup damai. Walau kami
berbeda agama, kami tetap hidup berdampingan dengan damai. Ah, damai itu indah
ya! Seusai kami sembahyang sesuai kepercayaan masing-masing, kami melanjutkan
perjalanan ke kos kawan saya, hanya tinggal saya, kawan saya, dan satu
temannya. Sepanjang jalan, kami berbagi cerita ringan. Cerita tentang Bali,
sapi, Pura, beras di dahi seusai sembahyang, masjid dan adzan di Bali, makanan,
rumah, berbagai hal tentang Bali. Tak terasa waktu yang hanya kurang dari
setengah jam itu memiliki banyak cerita. J
Sesampainya
di kosan kawan saya, lanjut beres-beres. Cek semua barang bawaan dan terpenting
kosongi kamar kos dari sampah-sampah. Ternyata cukup ribet ya kalau pindahan
gini. Banyak barang bawaan. Padahal sudah ada yang dikirim lewat paket, tapi
tetep banyak sisanya. Hahaha. Ya iyalah, kawan saya ini kan sudah nggak kos
lagi di Jakarta, mau balik lagi ke Bali. Kapan-kapan saya main ke Bali ya....
>.< Yah, apalagi saya kalau pindahan? Hampir enam tahun barang
kepemilikan makin menumpuk. Well, kami melanjutkan perjalanan menuju bandara
Soeta.
Yuhu, jalan tol lancar jaya. Saking lancarnya
dan jalanan lurus, sopir Grab car-nya sampai bilang mengantuk. Bapak sopirnya
mengaku belum tidur dari kemarin. Lah, sama Pak, saya juga semalem nggak tidur.
>.< #Ngeronda, boong ding. Haha. Sepanjang perjalanan saya dan kawan saya
ini pun mulai mengenang kembali masa kuliah dan masa merantau di Jakarta. Indah
ya masa-masa dulu, tapi lebih indah saat ini karena kita telah melewati
masa-masa indah itu. Tak terasa perjalanan hanya setengah jam. J Kami tiba di bandara Soekarno-Hatta.
Ini pertama kali saya ke bandara Soeta
terminal 3 domestik. Haha, maklum nggak pernah mudik atau pergi-pergi naik
pesawat. Kadang pengen sih sesekali ke Soeta hanya untuk mengamati penerbangan
domestik. Ya, siapa tahu kapan-kapan ke luar pulau naik pesawat. Duh, kampungan
banget ya? Ya maklum, memang anak kampung. Naik pesawat adalah hal yang mewah.
Saya pun mengikuti kawan saya pergi. Pokoknya ikut dulu. Haha. J Nggak papa kan ya anak kampung belajar naik
pesawat. >.< Buat sekadar tahu dulu saja, kapan-kapan ilmunya kepakai. J
Akhirnya,
kami menunggu di ruang tunggu. Berhubung kami datang lebih awal, kami pun
mengisi waktu dengan bercakap-cakap ringan, mengamati sekitar, atau cek baterai
Hp, sesekali tetep narsis, berfoto. Saya belajar tentang saling menghargai. Di
saat waktu sholat, kawan-kawan saya ini memberi izin dan membantu mencarikan
mushola. Dan perlu diketahui, saya hampir nyasar nyari musholanya. Saya sudah
mengikuti petunjuk arah, tapi tiba-tiba saya kehilangan petunjuk arah yang
lain. Saya tak menemukan mushola! Well, spasial saya buruk sekali. Untung ada
petugas, saya pun bertanya letak mushola. Dengan kocaknya, si petugas menyuruh
saya berbalik badan untuk tahu arah mushola. Awalnya, saya benar-benar heran
maksud petugas ini. Saya mencari petunjuk arah, tapi saya hanya menemukan
orang-orang sedang duduk di kursi tepi tembok, lalu lift kecil, tanpa ada
tanda-tanda mushola. Dengan sotoy, saya mendekati saya, sok-sok sudah tahu
letak mushola. Setelah lebih dekat, ternyata tulisan Mushola berada di pojok
dan membuat saya heran. Lah, pintu masuk musholanya lewat mana? Itu pertanyaan
baru yang muncul di pikiran saya. Semakin saya mendekati, semakin saya heran,
ya jelas saya bingung, tak ada tanda-tanda pintu. Kalau dari jauh, posisi pintu
seperti sudut ruangan mentok tembok. Serius! Apa minus saya nambah? Duh,
benar-benar membuat saya terlihat sangat tak berpengalaman. >.< Tak
apalah, namanya juga pertama kali. Buat pengalaman, lain kali saya lebih
mengerti lagi.
Seusai
sholat, saya kembali ke tempat tunggu. Saya tahu, pasti kawan-kawan saya ini
sudah lapar belum makan. Tapi berhubung saya puasa, mereka menghargainya.
Padahal kalaupun mereka makan tak apa-apa. >.< Akhirnya, mereka ikut
menunggu sampai buka puasa. Lima menit sebelum buka, kami pun memesan tempat di
lagi-lagi bakmi GM. Haha. Kayaknya bersejarah banget ya Bakmi GM itu. >.<
Saya rasa ini indah. Hidup damai berdampingan dalam perbedaan.
Setelah
makan, kawan saya bersiap untuk check
in bagasi. Saya izin lagi
buat sholat. Tak nyasar lagi, yup, berasa cerdas kali ini. Hahaha. Nah, ini ada
kejadian lagi kocak plus-plus sih. Setelah sholat, saya ingin cuci tangan di
tempat wudhu. Nah, karena tak hati-hati ternyata karpet yang saya injak licin.
Terpelesetlah saya, jatuh hampir rebahan. Untung hanya basah sedikit. Lumayan
tas saya basah luarnya. Untung saja ada dua orang di ruang wudhu membantu saya
bangun. Saya kaget sih, lumayan gemeteran, tapi kocak juga. Ya, bersyukur nggak
parah jatuhnya. Indah ya, kalau setiap orang punya rasa peduli, rasa kasih
sayang, rasa menghormati, rasa kebersamaan, rasa saling menjaga walau hal-hal
yang kecil. Itulah pembelajaran kejadian ini, berhati-hati dan saling menjaga
kenyamanan tempat umum.
Lanjut lagi ya, ternyata sudah empat
halaman saja. Tak terasa nulisnya. Kembalilah saya ke tempat tunggu. Kawan saya
tinggal menunggu check in.
Saya mengantarnya sampai di antrian loket. Barang bawaan aman. Kami berpelukan,
peluk bahagia karena kami yakin kami akan berjumpa kembali membuat cerita indah
lebih dari hari-hari sebelumnya. Saya melihatnya dari kejauhan hingga tak
terlihat lagi. Saya kembali menemui kawan satu lagi di ruang tunggu. Kami tak
bergegas pulang. Kami masih duduk di tempat yang sama. Kami pun membuka
perbincangan ringan tentang kehidupan di Jakarta, sama-sama anak rantau. Mulai
dari pekerjaan, makanan, pergaulan, konser Bentara Budaya, sampai perbincangan
yang seru tentang dunia malam dan dunia nikah kontrak di Jakarta. Well,
sepertinya saya harus banyak baca lagi biar update informasi. Dia baru tiga tahun di
Jakarta sudah luas pengetahuannya tentang Jakarta, sedang saya sudah hampir
enam tahun kurang update.
Hahaha. Ini salah satu manfaat juga tentang komunikasi yang baik. Tak
ketinggalan informasi. J
Kami
pun pulang ke kos masing-masing naik Damri. Ini pertama kalinya saya naik
Damri. Serius. Hahaha. Yang penting pernahlah ya sekarang. Saya ambil Damri
arah Pasar Minggu turun di Pancoran. Nah kocak lagi jalan hidup saya, saya
salah turun. Saya turun di flyover Pancoran, padahal kalau mau lebih dekat
turun di Perdatam, tapi ya sudah. Pasti ada hikmahnya dan memang benar. Lama
sekali saya tak jalan kaki jarak jauh semenjak ada si PY. Saya menyeberang
jalan lewat zebracross. Nah, kalau dari arah manggarai ke arah Pasar Minggu di
bawah tugu Pancoran kan nggak ada zebracross. Ya sudah saya nyebrang setelah
lampu arah Pasar Minggu hijau. Ini nih jalanan. Saya berada di tengah-tengah
pengendara motor yang melintas. Saya mencoba jalur yang lebih tepi, ya begitu susah
nyeberangnya. Pengendara motor seram uey. Jadi mikir, apa saya juga gitu saat
mengendarai motor? Wah, refleksi diri! Lanjut, lampu merah dekat halte TJ.
Lampu lalu lintas arah Mampang pun merah tandanya kendaraan berhenti. Berarti
arah Pasar Minggu bisa jalan. Saya menyeberangi zebracross. Baru kali ini
merasa nyaman saat menyeberang karena semua kendaraan berada di belakang garis
marka jalan. Hanya ada satu mobil sih tadi yang mungkin kelewat dikit atau tak
sempat mengerem, tapi sudah diurus sama polisi. Pasti menyenangkan kalau setiap
orang peduli dengan peraturan lalu lintas.
Perjalanan kaki saya belum selesai sampai
di sana, saya melewati jalur favorit saya MBP. Ya, karena itu jalur terpendek
yang bisa saya lalui. Selain itu, ada banyak kenangan di sana, kampus saya
berdiri. Menelusuri jalanan itu membuat saya kembali ke masa kuliah. Setiap
sudut bangunan ada kenangan dan pembelajaran. Jadi ingat Gazebo tempat kami
sering diskusi di sana. Diskusi apa saja, makan siang bareng, bikin project
bareng, atau hanya sekadar melepas lelah di sana. Tempat-tempat di kampus
adalah favorit saya semasa kuliah, tapi kadang kalau bosen pindahlah tempat
favorit saya adalah kosan. Hahaha. Sekarang kawan-kawan seperjuangan telah
mencari jalannya masing-masing. Begitu pula dengan saya, saya meniti jalan yang
saya yakini jalan benar. J
Keluar pintu belakang MBP, kita akan
menemukan jalan rumah-rumah penduduk. Saya sengaja lewat gang kecil, sepanjang
jalan itu saya seperti kembali ke masa tiga tahun masa kuliah setelah pindah
dari Mampang. Mengapa begitu? Jelas alasannya, saat saya melihat sekeliling,
pasti ada saja cerita tentang entah kontrakan atau kos-kosan teman, kuburan
depan kosan, tempat nongkrong, ibu-ibu langganan martabak buat dijual di
kampus, sampai jalanan tempat kami berpisah seusai pulang bareng. Bahkan kalau
kalian jalan sekitar Pancoran Cikoko, pasti kalian akan sekali dua kali bertemu
dengan anak-anak kampus saya. Anak-anak SSE pun masih banyak berkeliaran
termasuk saya di daerah ini. Dunia terasa sempit. Seperti tadi, saya bertemu
adik angkatan yang kebetulan lewat. Hahaha. Sepertinya, saya susah move on ya?
Bisa move on kok, saya hanya mengingat kembali saya masa lalu agar masa saat
ini dan masa depan jadi orang yang mampu bersyukur. Ya, saya sangat bersyukur
karena ada cerita masa lalu sehingga saya menjadi pribadi saat ini. Semua akan
indah tepat pada waktunya. J
Lima
halaman pun tak terasa. >.<
#19/6/2016
#JustWrite
Rabu, 01 Juni 2016
Lakukan Apa yang Kau Suka
Hari
ini entah mengapa saya tergelitik untuk menulis. Pikiran saya dipenuhi oleh
uneg-uneg edisi lebaran seorang teman. Ya, tentang perbincangan yang paling
ditunggu-tunggu kedatangannya: THR. Tak kaget jika THR menjadi sasaran empuk
meme-meme editan atau sekadar lelucon yang disebar di media sosial. Sepertinya,
THR seperti harta karun ya?
Sebagai
seorang pekerja tak tetap seperti saya, THR bukanlah hal yang menjanjikan.
Entah, status saya apa dalam pekerjaan saya. Dibilang guru, saya bukanlah guru
sekolahan. Saya hanya guru tanpa status di tempat les-lesan atau bisa dibilang
bimbel. Jadi THR pun menjadi hal nomor sekian yang tidak terlalu dispesialkan.
Dikasih ya diterima, tak dikasih ya belum rezeki. Saya yakin Allah telah mencukupkan
rezeki untuk ciptaannya. Belajar bersyukur!
Tetiba
saya ingat sosok seorang ayah yang telah menemani saya selama hampir 23 tahun.
Selama itu pula, ayah saya bekerja sebagai reparasi sepeda di kampung.
Penghasilannya jauh tidak tetap daripada pekerjaan saya saat ini. Kalau ramai,
sehari bisa dapat ratusan ribu, kalau sepi ya dapat dua puluh ribu sudah
senang. Ayah saya selalu menghargai yang ia dapat. Buktinya, ayah saya bisa
menghidupi seorang istri dan tiga orang anak. Dari rumah yang hanya sepetak dengan
tempat tidur daun pintu yang dilepas hingga membangun rumah tembok yang nyaman
dihuni, ayah saya tetap jalani pekerjaan tersebut. Ayah saya juga tak pernah
mendapatkan THR setengah gaji ataupun satu gaji penuh per lebaran. Ayah saya
tak pernah mengeluh dan mempermasalahkan THR yang tak pernah ia terima. Semua
disyukuri dengan kegigihan bekerja keras. Allah pasti menolong hamba-Nya yang
mau berusaha. Ya, ayah saya adalah ayah nomor satu di dunia ini. Mengajarkan
kepada saya untuk selalu berusaha keras dan bersyukur.
Ah,
sepertinya saya tak pandai bersyukur. Dulu, setelah lulus SMA dengan usia saya
yang belum genap 17 tahun, mencari pekerjaan adalah hal yang sangat susah.
Penuh perjuangan! Sampai saya relakan ijazah SMP saya dengan nilai UN
matematika 100 kebanggaan saya itu rusak. Ya, rusak karena ambisi seorang ayah
agar anaknya bisa bekerja untuk tidak menjadi benalu keluarga. Itu dulu saat
kondisi keluarga saya dalam masa sangat sulit. Tahun lahir saya 1992 pun diubah
dengan spidol menjadi 1990. Saya dituakan demi bisa masuk pabrik rokok daerah
tempat tinggal saya. Alhasil, akal jahat itu tak pernah berhasil karena ijazah
asli harus ditunjukkan saat pendaftaran. Gagallah jalan saya untuk bekerja.
Sakit hati? Ya pastilah! Saat itu saya sangat membenci ayah saya, tapi keadaan
memaksa semua itu terjadi. Sebuah pertaruhan! Tapi saya sadar, ayah saya sedang
berjuang untuk masa depan saya. Saya sadar, saya harus membantu ayah saya
bangkit! Dan saya tak pandai berbuat sesuatu....
Saya
pernah diantar ibu melamar di toko emas tengah pasar, tapi ditolak. Kata si empunya, saya akan dihubungi, tapi
sampai sekarang tak pernah ada nomor toko emas yang masuk di HP saya. Artinya,
saya ditolak. Menjadi pengangguran adalah hal yang membosankan! Ada rasa sesak
di dada saat menyaksikan kedua orang tua bekerja membanting tulang, sedang kita
hanya duduk diam, pengacara-pengangguran banyak acara. Saya menjadi anak yang
tak tahu malu! Benalu keluarga!
Untungnya,
ada tetangga baik hati yang mengajak saya bekerja di sebuah toko roti. Kurnia
Bakery di dekat Pasar Blora sekitar alun-alun kota. Toko roti ini cukup
terkenal dan turun-temurun dari Om Penco lalu dilanjutkan oleh anaknya, Pak
Ridwan. Keluarga ini Chinese. Kadang mereka sangat baik kadang mereka sangat
mengekang. Inilah kehidupan dunia kerja untuk pertama kalinya. Welcome to The Busy Life! Pekerjaan
serabutan!
Mengapa
saya katakan serabutan kerja di toko roti? Ya, saya menginap di mes. Saya
merasakan pertama kalinya jauh dari keluarga dan tinggal di tempat orang. Kalau
tak rajin, kau akan dicap “pemalas”! Jadi, pagi-pagi saya harus bangun pagi,
nyapu halaman, ngosek selokan, dan nyuci piring. Jangan salah, selokan bekas
limbah pabrik ini sungguh berlumut. Kalau tak dikosek sehari saja, selokan bisa
meluber ke halaman dan bau busuk. Pernah suatu ketika, saya kosek selokan yang
mampet. Ternyata banyak sampah limbah di sana. Tak jarang tangan saya langsung
nyebur ke selokan untuk memastikan sampah tak ada lagi dan aliran tak
tersumbat. Saya juga terbiasa nyapu halaman dengan dedaunan kering kebun dan
pohon jambu. Seusai nyapu dan ngosek selokan, saya beralih ke ruang makan.
Tumpukan piring menghampiri, lantas saya membersihkan tangan dan nyuci piring.
Saya tak pernah meminta orang lain untuk memuji. Saya hanya melakukan tugas dan
kewajiban saya ikut orang. Ya, namanya ikut orang, ya harus tahu diri. Saya
yakin keikhlasan akan selalu membawa berkah.
Orang
pertama yang bangun pagi adalah Tante, istri Om Penco. Bagi saya, tante adalah
orang baik yang pernah saya temui di tempat kerja ini. Dia bos paling baik. Tante
tak banyak bicara, tapi dia seorang pemerhati. Tak sesekali kalau ada makanan
yang tak dimakan, Tante memberikannya untuk saya sarapan seusai nyuci piring di
dapur. Jika saya salah melakukan pekerjaan, Tante menegur saya dengan cara yang
baik dan memberi tahu cara yang benar. Tante tak serta-merta marah. Jika ada
perdebatan saya dengan Om Penco, Tante selalu menjadi penengah, menyelidiki
masalah dengan kepala dingin. Tante juga menasihati saya untuk selalu
hati-hati. Ah, saya rindu kebaikan Tante.
Lantas,
jangan salah! Kerja di toko roti ini tak seperti toko roti Dapur Coklat atau
Holland Bakery seperti di Jakarta dengan karyawan yang cantik-cantik dan
bersih. Di toko tempat saya kerja, tak hanya menjual roti atau makanan, tetapi
juga menjual bahan makanan kiloan. Bisa dibayangkan bukan? Bayangkan saja,
bekerja di toko margarin kiloan, tepung kiloan, dan berbagai jajanan kiloan
juga. Celemotan walaupun tak sesekali Bu Nita, istri Pak Ridwan selalu
mengawasi penampilan para pelayan. Harus pakai lipstick, kalau nggak potong
gaji lima ribu. >.<
Saya
bekerja serabutan mengikuti keinginan pelanggan. Kadang ada pelanggan yang baik
sekali. Mereka membeli dengan sopan dan memanusiakan para pelayan toko. Saya
pernah mendapatkan pelanggan yang sangat baik. Namanya Pak Ngawen. Bapak ini
selalu tersenyum. Usianya kira-kira 50 an, tapi masih jalan kemana-mana. Jika
menelepon, Pak Ngawen selalu mencari saya dengan pesanannya roti cream rasa
bluebery dan coklat. Pak Ngawen juga sangat sabar, kadang mengajari kami bahasa
China, mengeja mata uang, dan hitungan dalam bahasa, yang saya baru tahu
setelah saya di Jakarta kalau itu adalah bahasa Mandarin. Ah, semoga Allah
selalu memberi kesehatan kepada Pak Ngawen. Aamiin. Tak hanya itu, tak sekali
saya juga mendapat pembeli yang sangat buru-buru. Saya pernah kena semprot,
dimarahi pelanggan gara-gara dinilai lelet. Padahal kalau kau tahu, saya sudah
berjuang mati-matian untuk memberi pelayanan yang terbaik. Tapi mungkin memang
sedang bad mood, jadi hawanya kena omelan terus. Ah, semua itu menjadi
pengalaman tersendiri bagi saya.
Jika
ingat gaji pertama yang saya dapatkan bekerja di toko roti ini adalah enam
puluh ribu selama 7 hari dengan jam kerja 9-10 jam tiap hari. Bisa dibayangkan bukan? Hari minggu
adalah hari paling bahagia. Ya, karena terima gaji. Bagi saya di tahun 2009,
gaji Rp60.000 seminggu sudah sangat besar. Tak jarang, gaji itu terpotong uang
sabun cuci sepuluh ribu dan jajan keripik singkong lima ribu, sepuluh ribu
untuk anggaran jaga-jaga beli tahu isi Rp900 per biji setiap harinya. Sisanya,
ditabung untuk anggaran pulang. Bagi saya, gaji Rp240.000 tiap bulan sudah
pencapaian luar biasa untuk kehidupan di desa. Intinya, daripada saya nganggur
lebih baik saya bekerja, apa pun itu yang penting halal.
Perjalanan
panjang untuk saya selama 6 tahun di Jakarta. Tak terasa ternyata sudah lama.
Kecintaan saya dalam mengejar impian-impian saya pun mengantarkan saya di
Jakarta. Saya lulus kuliah setelah 4 tahun menjalani pembelajaran formal dan
satu tahun saya cuti hingga akhirnya saya menyelesaikan skripsi saya setelah
ayah saya telah tiada. Rasa penyesalan itu pun ada! Saya sangat menyesal, tapi
itu sudah jalan Allah agar saya tetap ikhlas dan berjuang keras pantang
menyerah. Saya pun berjuang hingga sekarang, merantau di ibukota yang kata
orang kejam, sampah bayar, toilet pun bayar, bahkan parkir ditungguin saja kau
harus bayar dua ribu. Ternyata jalan hidup saya memang harus sampai di tanah
perantauan.
Saya
bekerja di sebuah bimbingan belajar. Saya memang memutuskan untuk tak mendaftar
di kantoran atau sekolah formal, ada target lain yang ingin saya capai. Walau
saya bukan pekerja kantoran, tapi saya belajar banyak. Saya hanya bertahan 2
tahun bekerja ikut orang. Banyak hal yang saya pelajari tentang negosiasi dan
keprofesionalan. Saya belajar bagaimana cara mengapresiasi kinerja orang lain.
Saya belajar cara membahagiakan karyawan. Saya belajar untuk membedakan antara
bisnis dan sosial. Ya, saya belajar itu semua. Hingga akhirnya, saya memutuskan
untuk resign dan mencari kehidupan lain. Walau saya tahu, keputusan yang saya
ambil berisiko. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya sukai, tanpa paksaan.
Saya tak bisa terus-terusan membohongi diri sendiri untuk berpura-pura tegar,
padahal rapuh dan koyak. Saya ingin menemukan jalan hidup saya sendiri. Dunia
kerja semakin kejam, Guys! Kita harus tingkatkan kemampuan kita. Kalau tidak, kita
akan kalah bersaing! Target selanjutnya adalah untuk ibu dan adik! Bekerja
untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain!
Jakarta
Jun 1, 2016
Langganan:
Postingan (Atom)