27 April 2015
Hari ini sepulang kerja, aku langsung pulang. Tak seperti
biasa memang, kadang aku mampir dulu ke teater dan pulang lebih malam lagi.
Malam ini, aku sampai di kos jam setengah 10. Gerbang kos belum dikunci. Lebih
awal, bisa dibilang begitu.
Dalam perjalanan pulang, tetiba aku teringat sosok yang
kusayangi, Bapak. Sudah 4 bulan ini, hidupku tanpa kehadiran beliau. Air mata
pun tak bisa dielakkan. Aku telah rindu... teramat sangat. Maafkan aku Bapak.
:’(
Rabu besok 29 April 2015 aku sidang. Kuliahku yang tertunda
setahun tentunya akan segera beres jika aku lulus. Setidaknya beban kelulusan
sudah tinggal toefl. Aku akan berjuang. Maafkan aku, aku tak bisa
membahagiakanmu dengan lulus tepat waktu tahun lalu. Bahkan aku tak bisa pulang
kampung tahun lalu. Maafkan aku tak hati-hati dalam berjalan sehingga kakiku
terkilir dan tak kuat untuk menapak.
Ada kesedihan pula, aku hendak pulang kampung, tapi tak
kuasa. Kakiku benar-benar harus diurut dan tak kuat jalan jauh. Aku tahu betul,
itu membuat Bapak sangat khawatir. Kata Ibu, kau tak doyan makan gara-gara itu.
Aku tahu betul, kau sangat merindukan anakmu ini Pak. Aku pun sama. Maafkan
aku, aku terlalu egois, sampai-sampai aku jarang menghubungimu. Maafkan anakmu
ini. Bukan maksudku, tak sayang, aku hanya tak ingin kau khawatir. Ingin
rasanya, terus telpon dan bilang kalau kangen, tapi jujur, aku tak mampu
berbuat itu. Aku tak ingin kau terlalu sedih dan khawatir.
Aku tak pernah menyangka, kau cepat pergi Pak. Kuingat
sewaktu aku mengabarkan bahwa aku lulus tahun 2015 saja, kau begitu kecewa,
tapi kau tutupi dengan kata “terserah kamu saja Nak”. Namun, aku tahu betul,
kau sangat memikirkan hal itu. Padahal kau selalu menelepon dan menanyakan
kapan wisuda, tapi aku tak pernah menepati janji. Kau senagaja menabung untuk
biaya ke Jakarta sekeluarga saat aku wisuda. Tapi lagi-lagi aku tak kunjung
lulus. Maafkan aku Pak.
Sampai akhirnya, kau menghembuskan nafas terakhir, aku tak
berada di sampingmu. Kau tidur selama 24 jam hanya untuk menunggu aku pulang.
Ketika sempat kau tersadar, kau masih saja tetap memanggil namaku. Sayangnya
aku masih di perjalanan Jakarta-Blora. Kata Ibu, kau sebenarnya sudah pergi jam
11 siang di saat aku baru saja berangkat dari Jakarta. Dokter dan kau pun
berjuang agar kau tetap bertahan menunggu aku pulang. Alhasil, kau berhasil
hidup kembali. Allah begitu baik padaku. Allah masih mengizinkan kau untuk
menungguku beberapa jam. Hingga akhirnya, kau benar-benar pergi jam 11 malam.
Jika kau benar-benar pergi jam 11 siang, pasti aku tak akan lagi bertemu
denganmu Pak. Terima kasih, engkau telah menunggu kedatanganku.
Bapak, aku bahagia bisa berjumpa denganmu lagi, walau kau
telah tidur untuk selama-lamanya. Sesampai di rumah jam 5 pagi, kau tahu Pak?
Aku tak ingin menangis. Kutahan air mataku agar tak menetes di hadapanmu. Aku
tak mau membuat sedih Ibu, Candra, dan Teguh. Aku mencoba untuk tegar
menghadapi semua itu. Dan aku bisa melakukannya, walau itu rasanya sakit.
Benar-benar sakit. Orang mana yang ditinggal orang yang disayangi tak menangis?
Pasti ada rasa sedih, itu manusiawi. Aku pun begitu. Ingin aku menangis meraung
tapi aku tak mau itu terjadi. Aku mencoba untuk ikhlas. Aku bangga bisa jadi
anakmu Pak. Punya Bapak yang bertanggung jawab dan sangat sayang keluarga.
Bapak, aku kangen Bapak. Aku tulis rasa rindu ini untukmu
Pak. Biarkan air mataku mengalir ke pipi untuk saat ini. Bukan berarti aku
sedih, tapi karena aku bangga bisa menjadi bagian dalam hidupmu. Aku sangat
bangga.
Aku akan berjuang Pak. Hari Rabu besok tanggal 29 April 2015
ini, aku berjuang dalam sidang skripsi. Untuk membahagiakanmu Pak. Mohon
restumu Pak. Walau Bapak sudah tiada, tapi Bapak tetap ada. Tetap bersamaku.
Bersama aliran darahku dan hembusan nafasku. Aku menyayangimu Pak....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar