Oleh: Dian Sulistiani / 2010110027
“Banyak
dari kita sebagai generasi muda yang terdidik dan sadar akan kesejahteraan
rakyat tak mengacuhkan politik. Hal ini dapat berakibat lagi-lagi para
politikus yang menduduki kursi kepemimpinan adalah orang-orang yang hanya
bermental tempe dan ujung-ujungnya korupsi, memimpin tak becus, dan rakyat
disengsarakan!”
Tiba-tiba saja terlintas di benak
saya membenarkan kata-kata itu. Sebuah diskusi di kelas Pancasila, entah itu
pertemuan ke berapa, saya lupa, itu pun mengetuk hati. Jujur, selama ini saya
paling anti politik. Bagi saya, politik adalah candu dan “tahi kucing”, maaf
sebelumnya. Saya merasa muak dengan sistem politik yang tak bersih, jabatan
pemerintahan yang masih nepotisme, dan janji-janji palsu dari para pemegang
jabatan itu. Entahlah, selama ini saya golput dalam hak memilih saya sebagai
rakyat Indonesia.
Mungkin, Anda akan mengatakan,
“Bagaimana mau menjadi warga yang baik, kalau lagi-lagi golput? Apakah sudah
menyelesaikan kewajiban selain menuntut hak?” Ah, mungkin saya terlalu kolot
untuk hal ini. Saya tak tertarik dalam pembahasan politik, apalagi harus
memilih orang yang dicalonkan sebagai “wakil rakyat”; orang yang tak pernah
saya kenal.
Pepatah lama yang masih berlaku,
mungkin, “Tak kenal maka tak sayang”. Ya, saya tak pernah berusaha mendekatkan
diri, menguak pengetahuan tentang calon-calon wakil rakyat tersebut. Saya
selalu hanya sekadar tahu saja, malah parahnya hampir saya kadang-kadang tak
tahu nama calon legislatif itu. Tragis memang dan itu memang benar-benar
kenyataan yang saya lalui.
Malah, beberapa hari yang lalu, kata
“politik” menggelitik pikiran saya. Suatu pagi, politik
menjadi "guyonan" di pasar. Seorang penjual menjajakan dagangannya
sambil merayu pelanggan, "Saya itu kalau jualan bersih Bu. Nggak kayak
pemeritah yang korupsi. Di sini nggak masuk TV, jualan saya itu nggak korupsi.
Lihat aja di KPK, direkam akibat banyak pejabat yang korupsi." Begitulah
dengan logatnya yang dibuat-buat, santai.
Korupsi, rakyat sengsara, dan tatanan negara semrawut telah
membekas di pikiran sebagian orang, begitu pula dengan saya. Ketidakpercayaan
saya mungkin telah memberi pandangan bahwa politik terlalu pembohong. Saya
sempat “galau” tentang politik pada arti yang sebenarnya. Apakah saya sudah
tahu seluk-beluk dunia perpolitikan? Saya rasa masih belum. Sebenarnya, kita
perlu mendalami politik tidak hanya dari satu pihak keburukan saja, tetapi kita
juga perlu membaca dari sisi kebaikannya. Dan itu masih dalam proses perjalanan
hidup saya.
Kembali lagi tentang kalimat petikan
refleksi awal di tulisan ini, hati kecil saya membenarkan hal tersebut. Lantas,
apa yang akan saya lakukan untuk menanggapi pernyataan itu? Setelah kelas
Pancasila beberapa pertemuan, seakan membuka mata hati saya untuk sedikitnya
atau mungkin lebih cocoknya lebih banyak “tahu” tentang dunia politik.
Alasannya adalah agar kita tak dibodohi oleh orang yang bodoh.
Untuk saat ini, saya sempatkan diri
untuk membaca sedikit demi sedikit dunia politik. Sebuah buku yang saya sukai
adalah buku “Catatan Seorang Demonstran” – Soe Hok Gie. Membaca ulasan-ulasan
Gie, membuat saya termangut-mangut. Sungguh besar semangat beliau untuk membela
rakyat memang dari hati. Sangat berbeda dengan zaman sekarang. Jika dulu, para
pemuda memang berjuang demi rakyat, sekarang saya masih menyangsikan “Apakah
tujuan mulia itu masih ada?”. Entahlah. Beberapa celetukan seorang teman dalam
sebuah obrolan ringan di tanggal 1 Mei 2013 kemarin, “Orang-orang berdemo di
hari Buruh. Saat ini banyak sekali aksi demo yang hanya “dibayar” dan
dikoordinir oleh beberapa orang.”
Kata
“dibayar” masih membuat saya gamang. Apakah perjuangannya hanya sebatas untuk
dibayar saya? Lagi-lagi masalah uang. Memang, siapa sih yang tak suka uang?
Jika ada, mungkin orang itu sudah sedikit “gila”. Hidup ini mau tak mau harus
ada uangnya, walaupun tak harus “gila uang”. Itu pendapat saya, jangan sampai
kita diperbudak oleh uang.
Lalu,
sebuah ungkapan yang pernah saya dengar atau baca, hanya saja saya lupa
sumbernya, “Para pendemo lari tunggang-langgang bukan karena takut aparat
negara, melainkan hanya karena serbuan hujan. Sebegitukah mental muda saat
ini?”
Sebuah
refleksi saya, sebenarnya saya tidak begitu setuju jika kita harus turun ke
jalan-jalan dan merusak fasilitas negara dengan embel-embel “membela rakyat”.
Jika ingat, Soekarno dan Soeharto turun dari kepresidenan diikuti oleh aksi
tragis dari para mahasiswa. Lantas, apakah jika kita turun di jalan dan
mengulang sejarah kelam, itu hal yang masih pantas? Saya rasa pejabat juga
sudah waspada dan punya strategi untuk mengantisipasi pengulangan tersebut.
Walau masih ada kemungkinan hal itu bisa terjadi, tapi saya tetap kurang setuju
jika kita turun ke jalanan dan melakukan aksi heroik dan brutal seperti yang
sudah-sudah. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang kena. Biaya negara untuk
mengganti fasilitas itu pasti akan membludak dan uang yang seharusnya untuk
rakyat terpaksa digunakan. Menyedihkan memang.
Sebenarnya, paparan saya di atas sedikit
berkaitan dengan peranan Pancasila dalam kehidupan saya. Apakah Pancasila
penting bagi kehidupan saya? Refleksi saya, selama ini pelajaran Pancasila
hanya diajarkan untuk dihafal. Bahkan saya pun lupa tentang butir-butir
Pancasila. Ironis memang, tapi mau bagaimana lagi? Saya rasa peranan Pancasila
kurang melekat di kehidupan saya, entah saya sadari maupun tidak.
Jika
kita mengingat, sebenarnya Pancasila sebagai dasar negara seharusnya menjadi
landasan atau kompas kehidupan kita. Segala sumber tertib negara, hukum, dan
jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan telah bersumber pada moral
Pancasila (Soegito, 2009, dalam Susanto, 2013). Sayangnya, tak banyak orang
menyadari hal tersebut, termasuk saya.
Saya
tidak tahu, apakah saya sudah termasuk orang yang ber-Pancasila atau bukan?
Bagi saya, hidup ya berkelakuan baik saja. Saling menghargai sesama, lantas
tidak keluar dari pedoman yang diikuti. Sebenarnya begitu menurut saya.
Jujur,
saya “galau” kalau harus menjawab apakah tindakan saya sudah berdasarkan
Pancasila? Refleksi, menurut saya, saya sudah melakukan yang terbaik. Hanya
saja, sebagai manusia saya tak pernah luput dari kesalahan juga. Saya pernah
melenceng dari aturan dan mungkin itu adalah titik di mana saya merasa jenuh,
bosan jika harus baik-baik saja.
Saya
akan bercerita tentang hal yang mungkin sederhana, tapi ini adalah pengakuan
dosa. Tanggal 2 Mei 2013, adalah hari Pendidikan Nasional. Saya sadar bahwa di
kampus akan diadakan upacara bendera. Dari tahun ke tahun, baru kali ini, yang
saya ingat, saya tidak hadir dalam upacara tersebut. Entah apa yang membuat
saya merasa bersalah karena hal tersebut.
Pagi
itu, saya sudah bangun pagi dan berencana untuk masuk pagi, datang tepat waktu.
Saya hendak berangkat, tapi saya mengingat sebuah paying di kamar saya. Payung
itu milik teman saya dan harus saya kembalikan hari itu juga. Ketika saya lipat
dan bereskan, tiba-tiba saya kilaf dan teledor. Sebuah besi penyangganya pun
patah dan paying itu rusak. Saya merasa bersalah. Teman saya sudah baik kepada
saya, tapi saya malah tak menjaga kepercayaannya dengan baik. Saya berusaha
keras untuk membetulkan paying itu, tapi ternyata susah sekali. Saya berusaha
keras, tapi malah ada besi lain yang patah. Saya panik dan akhirnya tak melihat
waktu yang terus berjalan. Jam telah menunjukkan lebih dari jam delapan, itu
berarti saya telat jika harus mengikuti upacara.
Satu
hal yang ada di pikiran saya: ragu. Apakah saya harus ikut upacara, tapi
kepercayaan teman saya itu? Saya bingung memutuskan, saya takut. Akhirnya, saya
memutuskan untuk tidak mengikuti upacara.
Sebenarnya
bukan gara-gara saya tak menghargai Indonesia. Saya bangga memiliki Indonesia.
Ada sebuah celetukan dari teman, “Bangga jadi Indonesia ya? Tadi ikut upacara
memang?”
Menaggapi
hal tersebut, sebenarnya saya sedikit sebal. Apakah dengan cara ikut upacara
saja berarti kebanggaan itu sudah dicapai? Saya rasa belum. Jika saya
perhatikan, tak semua peserta pun merasa nyaman ketika ikut upacara. Apalagi
kalau cuaca panas. Bagaimana sikap siap sempurna saat upacara pun mungkin telah
sedikit terlupakan? Ah, saya tak mengikuti upacara kemarin, saya sangat
menyesal rasanya. Benar-benar timbul rasa bersalah dalam hati.
Mengingat
pengamatan saya, tak semua orang peka terhadap sikap-sikap saat upacara. Di
sini tak pantas saya menjabarkan dan menilai sikap orang lain, jadi saya hanya
menilai diri saya saja. Jujur, saya terkadang enggan untuk berdiri di tengah
lapangan yang panas. Itu manusiawi, tapi entah mengapa saya menjadi mampu
bertahan di kondisi yang seperti itu. Upacara bagi saya adalah hal yang sakral.
Pengenangan masa lalu dan rasa memiliki pun muncul. Hal yang saya anggap pokok
dari upacara adalah pengibaran bendera. Saya selalu was-was kalau menyaksikan
pengibaran bendera tersebut. Saya takut kalau pengibaran tersebut tak
berlangsung lancar.
Pengalaman
saya sewaktu sekolah dasar mungkin menjadi traumatic tersendiri bagi saya.
Dulu, saya pernah mendapat tugas mengibarkan bendera di sekolah. Sayangnya,
saya lalai dalam tugas. Akibat kesalahan saya, pengibaran bendera menjadi
berantakan. Saya sangat sedih waktu itu. Sampai saat ini, saya menjadi takut
kalau bendera gagal berkibar gara-gara kesalahan yang sama dengan saya.
Hal
menarik lainnya adalah pembacaan Pancasila. Di sini, saya menyayangkan, mengapa
Pancasila hanya dihafal? Jujur, jika saya ditanya apakah Pancasila itu? Saya
akan menjawab lima aturan. Memang benar bukan? Lantas saya akan mengingat lima
sila dalam Pancasila, itu saja tanpa mendalami dan menggali lebih dalam
penjabaran Pancasila itu sendiri.
Ah,
membahas Pancasila mungkin tak akan berakhir secepat itu. Saya pernah membaca
sebuah ulasan di facebook tentang pendapat seseorang mengenai Pancasila.
Menurutnya, Pancasila dan UUD adalah sesat. Pancasila diagung-agungkan padahal
Pancasila hanya sebuah lambang dan dibuat oleh manusia. Walaupun saya hanya
sekilas tahu tentang Pancasila, tapi saya tetap tak setuju jika Pancasila
dianggap sesat.
Bukankah
Pancasila sebagai harapan bangsa? Coba saja lihat, Indonesia terlalu banyak
macamnya. Mulai dari bahasa, latar belakang, kebiasaan, agama, ras, golongan,
dan suku, sampai kepulauan yang berbeda-beda. Dari segala perbedaan tersebut,
muncullah yang disebut Indonesia.
Masih
ingat dengan semboyan yang tertera dalam cemngkraman burung garuda di simbol
Pancasila? “Bhineka Tunggal Ika” : walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Hal
inilah yang merupakan ciri khas Indonesia. Jika kita ingat saja, bagaimana
sejarah masa lampau itu terjadi?
Saya
mulai suka untuk mendalami sejarah dari hati, ketika saya mendapat kelas
Pancasila. Entahlah, dulu saya di sekolah dasar dan menengah hanya dicekoki
oleh hafalan yang luar biasa, tapi tak pernah merasa butuh sejarah. Sekarang
saya benar-benar sadar, sikap saya yang dulu adalah salah. Saya butuh ilmu
pengetahuan tentang sejarah saat ini untuk tahu alur dan jalan ke depan.
Mempelajari
sejarah ternyata menyenangkan dan saya sangat senang. Ada seorang teman
bertanya, “Apa sih enaknya membaca buku sejarah kayak Soe Hok Gie itu?” Saya
pun membeberkan bahwa sejarah Indonesia itu sangat seru dan poin besar adalah
untuk belajar dan memetik pandangan baik orang zaman dahulu. Saya belajar
tentang perjuangan mereka, pemikiran kreatif, dan inilah wawasan yang
ditinggalkan oleh nenek moyang kepada kita.
Jujur,
saya merasa kecil jika menyaksikan perjuangan para pahlawan dulu. Kritis,
berjuang keras, pantang menyerah, dan berani. Sedangkan saat masa sekarang,
saya belum mampu berkontribusi apa-apa untuk Indonesia ini. Membaca sejarah
dapat mengajak saya ke masa lalu. Saya benar-benar seperti masuk dalam dunia
penjajahan, zaman terdahulu. Saya berefleksi, jika ada sejarah zaman dahulu
pasti beberapa tahun ke depan, tahun ini akan menjadi sejarah yang berarti
untuk masa yang akan datang.
Oleh
sebab itu, saya berusaha untuk mengukir sejarah hidup saya untuk masa depan.
Saya suka menulis dan saya akan tetap menyimpan dan mempublikasikannya. Mungkin
ini salah satu kontribusi untuk Indonesia. Buku-buku itu semoga bermanfaat
suatu hari nanti. Saya senang bisa berbagi lewat tulisan. Ini adalah
menyenangkan.
“Saya
yakin, suatu hari nanti saya akan tetap dikenang karena prestasi saya bukan
karena keburukan saya. Jika saya telah tiada, nama saya tetap ada bersama
karya-karya saya.” Seperti Pancasila dan buku-buku sejarah, mungkin.
Secara
tak langsung hal-hal tersebut di atas juga termasuk pengamalan sila-sila
Pancasila. Setiap orang punya harapan untuk hidup nyaman, sentosa, adil,
makmur, dan sejahtera pastinya. Sebenarnya, jika kita mau menilik kembali
tentang nilai moral yang diajarkan dari kearifan lokal daerah kita, akan
memiliki kemiripan dengan Pancasila. Mulai dari lingkungan keluarga saja, coba
kita perhatikan. Kita harus patuh terhadap orang tua kita, bukan? Memiliki
tuntunan agama, kebutuhan tercukupi, bersatu dengan anggota keluarga yang lain,
hidup damai, sejahtera, berdiskusi untuk menyelesaikan masalah, dan menghargai
orang lain. Sebenarnya, kita sudah diajarkan tentang kandungan Pancasila itu
secara tak langsung. Hanya saja sebagian besar kita tak sadar bahwa kita telah
melakukan Pancasila.
Saya
rasa Pancasila sebenarnya telah kita lakukan di kehidupan sehari-hari,
sayangnya kurang tergali lebih dalam. Jadi kesimpulan saya adalah pancasila
bukan menjadi tuntunan, tapi sebagai harapan kita semua. Indonesia berharap
jika rakyatnya semua telah melakukan hal-hal yang berhubungan dengan penjabaran
Pancasila tersebut, Indonesia menjadi lebih baik. Seharusnya kita sendiri yang
sadar akan hal tersebut, bukan malah menuntut negara untuk menjalankan
Pancasila. Kita semua memiliki tugas untuk mencapai harapan dan cita-cita
Indonesia yang termaktub dalam lambang Pancasila tersebut.
Indonesia
memiliki begitu banyak masalah saat ini. Itu semua bukan akibat dari sistem
pemerintah yang salah. Semua itu karena setiap individu belum mampu mengemban
tugas: mencapai kemerdekaan untuk memikirkan masa depan Indonesia. Mungkin
memang susah karena dalam kepala setiap orang berbeda-beda. Saya pun merasa
belum mampu berkontribusi juga.
Bagi
saya, tak harus sama apa yang kita lakukan untuk negeri ini. Tak harus
ikut-ikutan berdemo menuntut pemerintah. Kalau hanya ikut-ikutan sama saja
dengan kebohongan masal. Apa pun yang bisa lakukan untuk RI, hal yang
bermanfaat, lakukan saja. Biarkan mengalir apa adanya. Tugas kita bukan lagi menuntut
pemerintah, tapi mencapai harapan bangsa. Pancasila adalah harapan Indonesia,
dan tugas kitalah untuk membantu mencapainya. Haruskah Indonesia hanya bisa
berharap? Mari kita refleksikan dalam diri sendiri.
****
Referensi:
Susanto. (2013). Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa. Dibaca pada
tanggal 25 April 2013 dari http://www.pemerintahan.fisip.undip.ac.id/index.php/component/content/article/18-santozaq/108-pancasila-sebagai-identitas-dan-nilai-luhur-bangsa#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar